FB

FB


Ads

Sabtu, 22 Juni 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 088

Tiba-tiba saja wanita rambut panjang itu berkelebat dan lenyap dari depan Lin Lin, meninggalkan bau harum yang menyengat hidung.

Lin Lin tidak mempedulikan hal itu lagi, ia cepat menghampiri dinding dan mencari alat rahasianya. Baiknya ia tadi melihat tangan Cui-beng-kui menekan ujung kiri bawah dinding, maka sekarang ia dapat melihat sebuah benda bundar sebesar ibu jari kaki terpasang di sudut itu. Cepat benda ini didorongnya sambil mengerahkan tenaga dan.... terdengarlah suara berkerit seperti tadi dan dinding itu berlubang.

Lin Lin menerobos masuk dengan pedang di depan dada, siap menghadapi segala ancaman dari depan. Kiranya lubang itu merupakan lorong sempit. Ia merangkak terus dan setelah lewat dua puluh meter, ia melompat keluar dari terowongan ini kedalam sebuah ruangan di mana terdapat sebuah pintu besar yang menembus ke ruangan sembahyang!

Demikianlah, pada saat Cui-beng-kui sedang berbantah dengan It-gan Kai-ong, secara tiba-tiba Lin Lin muncul dan serta merta gadis ini menghadapi Cui-beng-kui dan memaki-makinya sebagai pembunuh ayah ibu angkatnya. Cui-beng-kui adalah seorang iblis yang berkepandaian tinggi, selain terkenal sebagai seorang di antara Enam Iblis juga ia bekas panglima tertinggi Kerajaan Nan-cao.

Tentu saja ia menjadi marah sekali ketika seorang gadis remaja berani memaki-makinya di depan orang banyak, apalagi ketika ia mendapat kenyataan bahwa gadis ini adalah gadis yang membuat ia tadi kesalahan terhadap kekasihnya, Liu Lu Sian.

“Betul aku yang membunuh jahanam Kam Si Ek dan isterinya. Kau mau apa? Bocah lancang, kau punya kepandaian apa berani berlagak di depanku?”

“Cui-beng-kui! Biar akan melayang nyawaku, aku pertaruhkan untuk membalas kematian ayah ibu angkatku!” bentak Lin Lin dan pedangnya menyambar.

“Cringgg!”

Lin Lin terhuyung ke belakang dan matanya memandang terbelalak. Kalau ia tidak mengalami sendiri, mana ia dapat percaya? Pedangnya yang menyambar leher tadi telah ditangkis oleh kuku-kuku jari tangan mayat hidup itu! Betapa mungkin kuku jari dapat membuat pedangnya terpental dan ia terhuyung?

“Lin-moi, jangan lepaskan dia!”

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan seorang gadis lain berkelebat ke dalam kalangan pertempuran dengan pedang di tangan.

“Enci Eng, hati-hati, dia lihai sekali!”

Lin Lin girang melihat Sian Eng muncul dan membantunya, akan tetapi juga khawatir akan keselamatan Sian Eng karena ia maklum bahwa kepandaian encinya itu masih jauh terlalu rendah untuk ikut menghadapi iblis yang sakti ini.

“Eng-moi! Lin-moi! Jangan takut, aku datang!”

Bu Sin melompat dengan pedang di tangan pula. Pemuda ini sejak munculnya Lin Lin tadi, sudah ingin sekali membantu adiknya, akan tetapi Liu Hwee memegang lengannya dan mencegahnya sambil mengatakan bahwa Cui-beng-kui bukanlah lawannya. Akan tetapi melihat kedua orang adiknya sudah berada di sana menghadapi pembunuh orang tuanya, tentu saja Bu Sin tak dapat tinggal diam lagi. Ia memaksa diri dan meloncat ke kalangan pertempuran menemani kedua orang adiknya.

“Heh, bagus sekali! Kalian ini anak-anak Kam Si Ek si keparat? Mari kuantar kalian menyusul orang tuamu!”

Setelah berkata demikian, Cui-beng-kui mengeluarkan suara melengking nyaring tinggi seperti suara suling, disusul tubuhnya yang bergerak ke depan dengan kedua lengan menampar ke arah Bu Sin bertiga.

Pukulan ini mengandung hawa pukulan jarak jauh yang dahsyat sampai terdengar angin bersiutan menyambar-nyambar, Bu Sin cepat mengerahkan sin-kangnya namun ia tetap terhuyung-huyung sampai tiga langkah ke belakang. Lin Lin cepat mengerahkan Khong-in-ban-kin dan berhasil mengelak. Akan tetapi Sian Eng biarpun sudah mengerahkan sin-kang, tetap saja ia terguling roboh!

“Keparat, rasakan pedangku!”

Lin Lin yang berhasil mengelak tadi kini cepat menggerak-gerakkan pedang menerjang sambil mainkan ilmunya Khong-in-liu-san. Pedangnya menjadi segulung sinar bundar yang cemerlang, bagaikan bola api melayang ke arah Cui-beng-kui.

“Kiam-hoat (ilmu pedang) bagus!”

Cui-beng-kui memuji dan pujian ini sudah membuktikan bahwa ilmu yang ia warisi dari Kim-lun Seng-jin itu memang bukan ilmu rendah.






Sayang bagi Lin Lin bahwa ia kurang matang dalam latihan dan tentu saja, dibandingkan dengan Cui-beng-kui, ia kalah beberapa tingkat. Ketika pedangnya menyambar leher, kembali kuku jari tangan iblis itu menangkis pedang dan sekaligus tangan kanan yang berkuku runcing itu mencengkeram ke arah perutnya!

Lin Lin terkejut bukan main. Pedangnya yang tertahan kuku itu seakan-akan menempel. Ia tidak dapat menangkis, juga tidak dapat mengelak, sedangkan jari-jari tangan kanan yang berkuku runcing mengerikan itu mengancam perutnya yang tak terlindungi lagi!

Pada saat itu, dalam keadaan terancam bahaya maut, Lin Lin menoleh ke arah Suling Emas, mengharapkan bantuan pendekar sakti ini. Ia melihat Suling Emas menggerakkan tangan kanan dan.... Cui-beng-kui meloncat mundur dua langkah, terpaksa melepaskan Lin Lin yang juga cepat membanting diri ke belakang dan bergulingan.

“Keparat, siapa main gila....?”

Cui-beng-kui mendengus marah, memandang ke arah kiri dari mana datangnya batu kecil yang demikian kuat melayang dan mengancam urat nadi pergelangan tangannya tadi.

Akan tetapi pada saat itu telah berloncatan masuk enam orang Khitan yang langsung menyerbunya dengan senjata di tangan. Seorang di antara mereka berseru.

“Keparat, berani kau menyerang tuan puteri kami yang mulia?”

Cui-beng-kui tercengang, akan tetapi juga timbul kemarahannya. Golok dan pedang yang menerjangnya bagaikan hujan itu ia sambut dengan kedua tangannya. Terdengar bunyi “trang-tring-trang-tring” ketika senjata-senjata tajam itu beterbangan, kemudian disusul teriakan mengerikan ketika Cui-beng-kui berhasil mencengkeram tubuh dua orang Khitan. Terdengar suara mengerikan dari daging robek dan dua orang ini roboh mandi darah, dada dan perut mereka robek, isinya berantakan keluar semua!

Biarpun senjata mereka sudah terpental, empat orang Khitan yang lain menyaksikan dua orang kawannya tewas, dengan nekat mereka menyerbu. Orang-orang Khitan terkenal gagah berani dan setia kawan, hal yang membuat suku bangsa ini menjadi kuat.

Enam orang yang menyerbu Cui-beng-kui ini adalah enam orang di antara dua puluh empat orang pengikut Pak-sin-tung yang terbagi menjadi empat kelompok dari enam orang. Sekelompok sudah tewas semua ketika membela Pak-sin-tung, kini kelompok ke dua membela Lin Lin. Akan tetapi mereka pun sama sekali bukan tandingan Cui-beng-kui. Berturut-turut terdengar suara mengerikan dan empat orang Khitan yang mengeroyok iblis itu roboh pula dengan isi perut berantakan.

Mendadak dua belas orang Khitan yang lain datang menyerbu, akan tetapi bukan untuk menyerang Cui-beng-kui. Mereka mengeluarkan suara teriakan-teriakan aneh, berlari ke sana ke mari seperti orang melakukan tarian yang membingungkan. Teriakan-teriakan mereka seperti orang-orang menangis, melolong panjang dan tubuh mereka berloncat-loncatan mengitari sekeliling tempat itu.

Biar Cui-beng-kui sendiri dan para tamu, merasa terheran-heran karena belum pernah mereka menyaksikan “upacara” macam ini. Tiba-tiba dua belas orang Khitan yang tadinya bersimpang-siur tanpa pernah saling bertabrakan itu, berubah menjadi barisan memanjang dan lari keluar dari tempat itu sambil berteriak-teriak pula.

Selelah mereka pergi, barulah semua orang terheran-heran, karena kepergian mereka ternyata tanpa disangka-sangka, telah membawa pergi pula mayat enam orang Khitan tadi, termasuk Lin Lin!

Mula-mula tidak ada yang menyangka bahwa gadis itu pun ikut pergi, karena dalam keadaan kacau-balau itu tidak terlihat Lin Lin ikut pergi. Akan tetapi ketika Bu Sin dan Sian Eng mencari adik mereka ini, ternyata Lin Lin tidak berada di situ dan barulah mereka menduga bahwa tentu Lin Lin ikut pergi dengan rombongan orang Khitan itu sebagai tuan puteri mereka!

Selagi mereka kebingungan dan hendak nekat menerjang Cui-beng-kui pembunuh orang tua mereka, tiba-tiba Suling Emas sudah berada di belakang mereka dan berkata perlahan.

“Bu Sin, Sian Eng, mundurlah. Dia bukan lawanmu.”

“Twako, dia.... dia pembunuh ayah ibu....!” Bu Sin membantah.

Sian Eng terharu mendengar kakaknya menyebut Suling Emas “twako”. Kini semua keraguannya lenyap. Jelas bahwa Suling Emas adalah kakaknya, Kam Bu Song yang selama ini mereka cari-cari, dan Bu Sin sudah mengetahuinya pula. Dengan terharu dan air mata berlinang ia memegang lengan Suling Emas, berkata perlahan.

“Kau.... kau Kakak Bu Song?”

Suling Emas tunduk memandang wajah cantik itu, lalu merangkul pundaknya dan mengelus rambut kepalanya.

“Sian Eng, adikku, apakah baru sekarang kau tahu? Kalian berdua jangan melawannya, dia amat lihai, bukan lawan kalian.”

“Song-koko, kau majulah, balaskan kematian ayah kita....!” Sian Eng berkata.

Suling Emas tersenyum duka, lalu menggerakkan mukanya ke arah depan.
“Tenanglah dan lihat, dia bertemu tanding.”

Ketika mereka memandang, kiranya sambil tertawa-tawa It-gan Kai-ong sudah maju lagi berhadapan dengan Cui-beng-kui. Di belakangnya sekarang berdiri Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong!

“Hemmm, jembel busuk. Apakah kau hendak mengeroyok? Aku tidak takut, biar dua orang liar ini maju membantumu!” kata Cui-beng-kui, nadanya mengejek.

“Ho-ho-heh-heh, aku tidak marah lagi padamu, Cui-beng-kui! Cara kau membereskan lawan-lawanmu benar-benar menyenangkan, cocok sekali kau menjadi seorang di antara Enam Iblis! Tak boleh kita saling basmi. Enam iblis harus tetap utuh. Tentang penentuan siapa paling unggul, nanti bulan lima malam ke lima belas kita main-main di puncak Thai-san, Thian-te Liok-koai (Enam Iblis Dunia) akan bertemu dan saling menguji kepandaian disana.”

“Hemmm, kau masih berani memaki Liu Lu Sian?”

“Ho-ho-ho, aku tidak memakinya lagi. Musuhmu bukan aku, melainkan keluarga she Kam. Kita Thian-te Liok-koai semua memusuhi Kerajaan Sung yang sombong. Sayang hanya Nan-cao yang tidak mau tahu, terlalu tenggelam dalam keangkuhan sendiri. Tanpa persatuan kerajaan-kerajaan kecil, mana dapat melawan? Mereka yang keenakan tenggelam, tentu kelak akan tahu rasa kalau Kerajaan Sung sudah menyerbu dan merampas kerajaan-kerajaannya. Cui-beng-kui orang Nan-cao, Siang-mou Sin-ni orang Hou-han, Hek-giam-lo orang Khitan, aku sendiri dari Wu-yueh, sedangkan Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong dari pulau kosong di Lam-hai. Kenapa kita saling bertentangan? Lebih baik Thian-te Liok-koai bersatu untuk menumbangkan pemerintah Sung. Hal ini selain akan mengangkat tinggi-tinggi nama Thian-te Liok-koai, juga akan membebaskan kerajaan-kerajaan kecil daripada ancaman Sung Utara!”

Ucapan It-gan Kai-ong ini bergema di tengah-tengah kesunyian para tamu yang mendengarnya. Kata-kata itu agaknya termakan betul di hati mereka. Hanya utusan Kerajaan Sung yang menjadi pucat lalu merah mukanya, tanda bahwa mereka terkejut dan marah. Selama ini, mereka menganggap It-gan Kai-ong sebagai tokoh sakti yang tidak memusuhi Sung, karena semua tahu belaka bahwa kakek ini adalah guru dari Suma Boan, seorang putera Pangeran Sung. Siapa kira, di tempat ini, disaksikan oleh para utusan dari semua pelosok, kakek pengemis ini mengeluarkan kata-kata seperti itu!

Tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu disambung berkelebatnya bayangan yang gesit sekali. Sukar diikuti pandang mata gerakan ini dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita berambut panjang, cantik jelita, rambutnya riap-riapan. Siapa lagi kalau bukan Siang-mou Sin-ni! Dari rambutnya yang panjang terurai ini tersebar bau harum semerbak.

“Aku setuju dengan ucapan It-gan Kai-ong! Hi-hik, baru kali ini selamanya aku cocok dengan pendapat kakek jembel busuk ini! Kerajaan Hou-han selalu menyambut setiap uluran menghadapi Sung!”

Makin tegang keadaan di situ, terutama di antara para utusan Sung. Mereka ini diam-diam memperhatikan wajah para tamu, dan tentu saja mereka mengharapkan agar tidak banyak yang menyetujui ucapan permusuhan yang dicetuskan oleh It-gan Kai-ong terhadap Sung itu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar