FB

FB


Ads

Rabu, 03 Juli 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 114

“Keparat, tutup mulutmu yang kotor!” Liu Hwee membentak, sepasang bolanya menyambar.

Siang-mou Sin-ni tertawa, rambutnya bergerak dan hampir saja senjata cambuk itu kena dilibat rambut. Terpaksa Liu Hwee menarik senjatanya dan kini mendadak ia memukulkan tangannya ke depan dengan pengerahan tenaga sakti. Inilah pukulan jarak jauh yang hanya dimiliki oleh kaum Beng-kauw.

“Wuuuuuttttt!”

Angin pukulan dahsyat ini menyambar ke arah dada Siang-mou Sin-ni, tepat mengenai sasaran.

“Uuugghhh!”

Dari mulut iblis betina itu tersembur darah segar yang langsung menyambar ke arah muka Liu Hwee! Tadinya Liu Hwee girang, mengira bahwa pukulannya mengenai lawan, siapa kira darah yang tersembur keluar itu malah merupakan serangan balasan yang hebat sekali. Ia sudah berusaha mengelak, namun tiba-tiba ia menjadi pening dan biarpun darah itu tidak tepat mengenai mukanya, hanya lewat di pinggir kepala, namun cukup membuat gadis ini terhuyung-huyung, pandang matanya gelap.

Ia tidak tahu bahwa itulah Ilmu Tok-hiat-hoat-lek yang belum sempurna! Yang tidak tahu mengira bahwa Siang-mou Sin-ni terkena pukulan sampai muntah darah, padahal ilmu mujijat ini selain dipergunakan untuk menahan pukulan, juga sekaligus dipergunakan untuk menyerang lawan dengan darah yang langsung keluar dari dalam mulut, darah yang mengandung racun berbahaya!

“Ibils keji!”

Bu Sin menerjang maju menusukkan pedangnya. Kembali Siang-mou Sin-ni mencoba ilmu barunya. Ia menerima tusukan pedang itu dengan perutnya!

“Cappppp!”

Bu Sin girang karena mengira bahwa pedangnya menembus perut wanita yang dibencinya. Akan tetapi mendadak wanita itu terkekeh, rambutnya bergerak menangkap tubuh Bu Sin, diangkat ke atas lalu dibantingnya tubuh itu menimpa diri Liu Hwee yang sedang terhuyung-huyung. Tak dapat dicegah lagi, kedua orang muda itu terbanting dan roboh tumpang tindih!

“Eh.... maaf.... Moi-moi....” Bu Sin mengeluh.

“Tidak apa, Koko.... siluman ini memang lihai....”

Bu Sin sudah kehilangan pedang yang “menancap” di perut Siang-mou Sin-ni. Namun ia menjadi nekat. Bersama dengan Liu Hwee ia melompat bangun, siap menerjang dengan tangan kosong. Akan tetapi tiba-tiba Siang-mou Sin-ni terbatuk keras dan.... pedang yang dikira menancap di perutnya itu melayang bagaikan anak panah cepatnya menuju dada Bu Sin!

“Koko, awas....!” Liu Hwee mendorong Bu Sin dari samping.

Terdengar kain terobek dan pedang itu ternyata telah merobek baju Bu Sin di bagian lambungnya. Kurang cepat sedikit saja Liu Hwee mendorong, bukan baju yang akan terobek, melainkan dada atau lambung!

“Iblis keji....!”

Dengan wajah pucat Liu Hwee memaki marah, kemudian ia menyerang lagi dengan sepasang bola bajanya. Adapun Bu Sin cepat lari dan mencabut pedangnya yang menancap pada sebatang pohon. Kemudian ia menghampiri tempat pertempuran dan membantu Liu Hwee lagi dengan mati-matian.

“Hi-hik, saling mencinta berarti bodoh, boleh mati bersama!”

Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan tahu-tahu sepasang bola baja Liu Hwee telah lekat dengan kawat-kawat alat musik yang-khim. Betapapun Liu Hwee membetotnya, sia-sia saja karena dengan tenaga “menyedot” Siang-mou Sin-ni telah membuat bola-bola itu melibat-libat kawat, kemudian rambutnya bergerak seperti puluhan cambuk ke depan!

Bu Sin berusaha menolong temannya. Pedangnya diputar menahan datangnya rambut-rambut itu, dengan maksud membabatnya sambil mengerahkan tenaga sakti. Namun Siang-mou Sin-ni sekarang telah tahu bahwa pemuda ini entah bagaimana caranya telah memiliki tenaga sakti yang hebat, maka ia tidak melawan keras dengan keras karena khawatir kalau-kalau rambutnya akan terbabat putus.






Ia menggunakan tenaga lemas, rambutnya bertemu pedang terus membelit, bahkan membelit juga pergelangan tangan Bu Sin. Pemuda ini berseru keras karena merasa betapa pergelangan tangannya seakan-akan hendak patah. Pedangnya terlepas dari pegangan dan di lain saat ia telah dilucuti, seperti halnya Liu Hwee. Mereka kini berdiri tanpa senjata, menghadapi lawan yang terkekeh dan menggerak-gerakkan kepala sehingga rambutnya menyambar-nyambar mengerikan.

“Hi-hik, kalian saling mencinta, ya? Hi-hi-hik, sehidup semati, senasib sependeritaan!”
Siang-mou Sin-ni terus mengejek dengan suaranya yang nyaring diselingi kekehnya yang menyeramkan.

Kini rambut kepalanya menyambar-nyambar, melecut-lecut dan mencambuki dua orang itu. Kasihan sekali Liu Hwee dan Bu Sin. Mereka tak mungkin dapat mengelak dari hujan serangan ini karena rambut kepala yang hitam panjang dan gemuk itu berubah menjadi puluhan batang cambuk yang kuat.

Mereka dapat mengerahkan sin-kang untuk menjaga diri, namun mereka tak mungkin dapat menjaga pakaian mereka yang mulai robek-robek! Liu Hwee maklum bahwa ia akan terhina kalau sampai pakaiannya robek semua dan membuatnya menjadi telanjang bulat, maka dengan nekat ia berusaha untuk menyambar rambut-rambut itu. Akhirnya ia berhasil mencengkeram segenggam rambut, mengerahkan tenaganya dan menarik sekuatnya.

Siang-mou Sin-ni menjerit karena segenggam rambutnya telah jebol dari kulit kepala. Ia seperti setan sekarang. Rasa nyeri membuatnya marah sekali dan di lain saat kedua tangan Liu Hwee telah dibelit rambut sampai tak dapat bergerak tagi, lalu cambuk-cambuk rambut itu melecut-lecut tubuhnya dari segenap penjuru!

Gadis ini hanya dapat meramkan mata agar mata itu tidak terkena hantaman rambut, akan tetapi pakaiannya mulai robek-robek tidak karuan. Betapa hancur hati Bu Sin menyaksikan gadis yang merampas kasih sayangnya itu mengalami siksaan itu. Namun apa dayanya? Ia sendiri juga tidak terlepas daripada siksaan cambuk-cambuk rambut yang halus dan harum itu, tetapi yang melecut dengan tajamnya, yang merobek pakaiannya dan sedikit saja ia mengurangi pengerahan sin-kang, kulitnya tentu akan robek-robek pula.

“Bocah she Liu, bersiaplah untuk mampus!” tiba-tiba Siang-mou Sin-ni berseru keras.

“Siang-mou Sin-ni, aku tidak takut mampus! Akan tetapi, sekali kau berani mengganggu kami, ayah pasti akan mencarimu dan mencabuti semua urat dari dalam tubuhmu!”

“Hi-hi-hik, siapa takut terhadap Beng-kauwcu? Tua bangka itu boleh saja datang, kubikin mampus sekalian!”

Gugup sekali hati Bu Sin sehingga lecutan rambut itu kini mulai merobek kulitnya karena saking gugup dan bingung melihat gadis yang dicintanya terancam, pengerahan tenaganya mengendur.

“Siang-mou Sin-ni, kalau kau berani mengganggu dia, kakakku Suling Emas tentu akan menghancurkan kepalamu!”

Siang-mou Sin-ni mendengus,
“Huh, siapa takut Suling Emas? Dia mau apa? Lihat, kubunuh sekarang juga bocah she Liu kekasihmu ini, Suling Emas bisa berbuat apa?” Iblis betina itu mengangkat tangan kirinya, siap menghantam kepala Liu Hwee.

Akan tetapi tiba-tiba ia menjerit, tubuhnya terangkat ke atas dan sebelum iblis betina ini tahu apa yang terjadi, tubuhnya sudah tergantung di atas pohon. Kiranya ada orang yang tadi menariknya ke atas dengan cara mencengkeram rambut-rambutnya, dan kini orang telah mengikatkan ujung rambutnya pada batang pohon yang tinggi di atasnya!

Ketika ia melirik ke atas dengan heran, ternyata yang melakukan perbuatan ini bukan lain adalah.... Suling Emas! Dengan kaget Siang-mou Sin-ni hendak melepaskan diri, akan tetapi tiba-tiba berkelebat sinar kuning dan punggungnya telah tertotok ujung suling sehingga ia tidak mampu bergerak lagi!

“Siang-mou Sin-ni, di mana-mana kau hanya membikin onar!”

Seru Suling Emas dengan suara dingin dan marah ketika ia melirik ke arah Liu Hwee yang kini berlutut di tanah dengan muka merah sambil berusaha menutupi tubuhnya yang setengah telanjang, dan Bu Sin yang juga robek-robek pakaiannya, bahkan mandi darah oleh lecutan-lecutan tadi.

“Twako....!” seru Bu Sin dengan girang sekali.

Suling Emas tidak dapat menjawab karena pada saat itu Siang-mou Sin-ni sudah memaki-makinya.

“Suling Emas, kau pengecut hina-dina! Kau menyerangku dengan cara pengecut! Hayo lepaskan aku dan kita bertanding sampai selaksa jurus! Cih, kau laki-laki apa? Pengecut tak tahu malu!”

Akan tetapi Suling Emas tidak melayaninya, bahkan tangannya meraih dan.... seketika pakaian luar Siang-mou Sin-ni terlepas dari tubuhnya, membuat iblis betina ini menjadi setengah telanjang karena yang menutupi tubuhnya kini hanyalah pakaian dalam!

“Heee, setan neraka! Mau apa kau dengan pakaianku?” Kemudian suaranya berubah, halus dan ragu-ragu, “Suling Emas.... kalau kau.... suka kepadaku, kenapa tidak menanti sampai kita berdua saja....? Mau apa kau melepaskan pakaianku!”

“Huh, perempuan hina!”

Suling Emas mendengus marah, lalu melompat dari atas pohon, menyerahkan pakaian itu kepada Bu Sin sambil berkata,

“Kau berikan ini kepada Bibi Kecil Liu Hwee, kemudian kau bersama dia kembalilah ke Nan-cao.”

Bu Sin menerima pakaian itu lalu menghampiri Liu Hwee. Sebagai seorang laki-laki gagah yang memegang kesopanan, ia membuang muka tidak mau memandang Liu Hwee yang setengah telanjang itu, menyodorkan pakaian sambil berkata.

“Hwee-moi, cepat pakailah ini!”

Dengan cepat dan lega hati Liu Hwee lalu menyambar pakaian itu dan sebentar saja ia sudah memakai pakaian Siang-mou Sin-ni yang serba hitam. Untung baginya, bentuk tubuh iblis betina itu ramping dan sama dengan tubuhnya sehingga pakaian itu pas betul.

“Bu Song, kau bunuh saja perempuan jahat itu!” Liu Hwee berkata sambil menghampiri Suling Emas.

“Hi-hik, kau yang pengecut tak tahu malu!” Siang-mou Sin-ni memaki. “Lepaskan aku dan kalian akan kubunuh mampus semua!”

“Bibi Kecil Liu Hwee, harap kau dan Sin-te (Adik Sin) suka cepat kembali ke Nan-cao. Iblis ini biar aku yang menghadapinya. Setelah aku dapat menolong Lin Lin, tentu aku akan kembali ke Nan-cao pula. Eh, Bu Sin, dimana adanya Sian Eng? Kenapa tidak bersamamu?”

Dengan kening berkerut Bu Sin menceritakan pengalamannya di dalam terowongan rahasia, betapa mereka menjadi tawanan Hek-giam-lo kemudian betapa Siang Eng dibawa lari oleh Suma Boan dan dia sendiri diculik Siang-mou Sin-ni.

“Hemmm, sudahlah. Agaknya kali ini aku takkan bisa mengampunkannya lagi!” kata Suling Emas dengan suara gemas. “Kalian lekas kembali ke Nan-cao dan menanti aku disana. Terlalu banyak orang jahat memusuhi kita dan tak mungkin dapat membagi diri untuk mengamati kalian. Aku pasti akan dapat mencari Sian Eng, Lin Lin, dan membawa kembali tongkat Beng-kauw.”

“Paman Guru Kauw Bian Cinjin juga sudah keluar pintu untuk membantumu merampas kembali tongkat pusaka,” kata Liu Hwee menerangkan.

Suling Emas mengangguk-angguk,
“Bagus, tenaga Paman Kauw Bian Cinjin dapat diandalkan. Sekarang kalian lekaslah kembali ke Nan-cao.”

Liu Hwee dan Bu Sin tidak membantah lagi, segera mereka berlari cepat meninggalkan tempat itu. Akan tetapi setelah berlari kurang lebih dua jam lamanya, Liu Hwee berhenti dan berkata.

“Bu Sin koko, cukup jauh kita berlari. Mari sekarang kita kembali.”

Bu Sin memandang heran.
“Hwee-moi, apa maksudmu?”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar