Dendam merupakan racun bagi batin yang amat berbahaya. Dendam dapat menciptakan perbuatan-perbuatan yang amat keji dan kejam, amat kotor dan hina. Dendam membuat kita mau melakukan apa saja, betapapun kotornya, untuk melampiaskan dendam itu.
Dendam menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Dendam adalah kebencian dan penyakit batin ini sudah umum diderita oleh kita semua. Kalau perasaan benci dan dendam menyerang batin kita dan kita lalu bersikap waspada, mengamati perasaan kita sendiri, maka akan nampaklah dengan jelas rangkaian-rangkaiannya, sebab-sebabnya dan timbulnya benci.
Mula-mula kebencian timbul kalau si aku merasa dirugikan, merasa dibikin tidak senang, dikecewakan, pendeknya yang membuat si aku merasa rugi, baik lahir maupun batin. Dari perasaan tidak senang inilah timbulnya kebencian. Kalau hanya sampai di situ, kalau kita mengamati dengan penuh kewaspadaan, mengamati dengan batin kosong tanpa menilai, maka kebencian akan berakhir pula sampai di situ. Akan tetapi, biasanya pikiran kita lalu bekerja dengan sibuknya, menilai perasaan benci ini, menilai, mendorong, menarik, mengendalikan.
Sebagian pikiran mencela bahwa benci itu tidak baik, sebagian pikiran pula membela perasaan itu dengan mengajukan sebab-sebabnya, yaitu karena dirugikan. Terjadilah pemborosan enersi batin, terjadilah konflik dan tarik-menarik dari penilaian itu, dan konflik ini bahkan menambah pupuk bagi kebencian itu sendiri. Yang benci adalah aku, kebencian adalah aku, yang menilai, mencela dan membela adalah aku pula, yakni kesibukan pikiran sendiri. Dengan demikian, kebencian takkan mungkin lenyap.
Bisa saja dikendalikan dan ditekan dan NAMPAKNYA saja lenyap, namun sesungguhnya hanya merupakan penundaan sementara saja, api kebencian itu masih membara, seperti api dalam sekam, nampaknya padam namun di sebelah dalam membara dan sewaktu-waktu pasti akan bernyala lagi kalau mendapatkan angin dan bahan bakar! Pupuk yang membuat suburnya kebencian itulah yang harus lenyap dari batin kita.
Penilaian, pengendalian, celaan dan pembelaan itulah yang harus tidak ada. Yang ada hanya mengamati saja kebencian yang timbul itu, mengamati tanpa menilai, bukan AKU yang mengamati karena kalau demikian masih sama saja, masih kesibukan pikiran belaka yang menginginkan lain, yang ingin agar tidak benci, agar baik dan sebagainya. Yang ada hanya pengamatan saja penuh kewaspadaan, perhatian yang menyeluruh terhadap kebencian yang mengamuk di hati dan pikiran itu. Tanpa penilaian seperti itu, kebencian akan kehilangan daya gerak, akan kehilangan daya hidup, seperti api kehabisan bahan bakarnya.
Benci pribadi, atau kebencian yang timbul karena keluarga, demi golongan, demi bangsa, semua itu pada hakekatnya sama saja, yang menjadi peran utama adalah si aku yang dapat saja diperluas menjadi keluargaku, golonganku, bangsaku dan selanjutnya.
Louw Tek Ciang pulang ke rumah suhunya dengan dendam yang sudah digodok matang dengan rencana siasat keji yang diatur oleh Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng!
Dua hari kemudian, pada suatu sore, seperti biasa Cin Liong datang mengunjungi kekasihnya, disambut dengan gembira oleh Suma Hui. Mereka lalu duduk di ruangan tamu dan pada sore hari itu, seperti sudah dijanjikan, Cin Liong harus makan malam di situ karena sudah dipersiapkan oleh kekasihnya. Dan baru pada waktu makan itulah, setelah lewat beberapa hari, Cin Liong berkesempatan jumpa dengan Tek Ciang. Dia memandang tajam dan mendapat kenyataan bahwa pemuda itu sudah berobah. Tidak muram atau pucat lagi, bahkan hormat dan ramah kepadanya.
“Kao-taihiap, aku minta maaf atas segala kesalahanku....”
“Ah, Louw-susiok mengapa menyebutku taihiap segala?”
“Suheng, engkau kenapa sih? Kenapa menyebut taihiap kepada Cin Liong?” Suma Hui juga menegur sambil tersenyum, merasa geli oleh sikap baru ini.
Tek Ciang menarik napas panjang.
“Ahh, aku ingin menampar pipi sendiri kalau berani menyebut nama begitu saja.”
“Ih, kenapa begitu, suheng? Cin Liong ini memang masih terhitung keponakanku, maka sudah sepatutnya dia menyebutmu susiok dan engkau menyebut namanya begitu saja. Bukankah yang sudah-sudah engkaupun menyebut namanya saja?”
Dendam menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Dendam adalah kebencian dan penyakit batin ini sudah umum diderita oleh kita semua. Kalau perasaan benci dan dendam menyerang batin kita dan kita lalu bersikap waspada, mengamati perasaan kita sendiri, maka akan nampaklah dengan jelas rangkaian-rangkaiannya, sebab-sebabnya dan timbulnya benci.
Mula-mula kebencian timbul kalau si aku merasa dirugikan, merasa dibikin tidak senang, dikecewakan, pendeknya yang membuat si aku merasa rugi, baik lahir maupun batin. Dari perasaan tidak senang inilah timbulnya kebencian. Kalau hanya sampai di situ, kalau kita mengamati dengan penuh kewaspadaan, mengamati dengan batin kosong tanpa menilai, maka kebencian akan berakhir pula sampai di situ. Akan tetapi, biasanya pikiran kita lalu bekerja dengan sibuknya, menilai perasaan benci ini, menilai, mendorong, menarik, mengendalikan.
Sebagian pikiran mencela bahwa benci itu tidak baik, sebagian pikiran pula membela perasaan itu dengan mengajukan sebab-sebabnya, yaitu karena dirugikan. Terjadilah pemborosan enersi batin, terjadilah konflik dan tarik-menarik dari penilaian itu, dan konflik ini bahkan menambah pupuk bagi kebencian itu sendiri. Yang benci adalah aku, kebencian adalah aku, yang menilai, mencela dan membela adalah aku pula, yakni kesibukan pikiran sendiri. Dengan demikian, kebencian takkan mungkin lenyap.
Bisa saja dikendalikan dan ditekan dan NAMPAKNYA saja lenyap, namun sesungguhnya hanya merupakan penundaan sementara saja, api kebencian itu masih membara, seperti api dalam sekam, nampaknya padam namun di sebelah dalam membara dan sewaktu-waktu pasti akan bernyala lagi kalau mendapatkan angin dan bahan bakar! Pupuk yang membuat suburnya kebencian itulah yang harus lenyap dari batin kita.
Penilaian, pengendalian, celaan dan pembelaan itulah yang harus tidak ada. Yang ada hanya mengamati saja kebencian yang timbul itu, mengamati tanpa menilai, bukan AKU yang mengamati karena kalau demikian masih sama saja, masih kesibukan pikiran belaka yang menginginkan lain, yang ingin agar tidak benci, agar baik dan sebagainya. Yang ada hanya pengamatan saja penuh kewaspadaan, perhatian yang menyeluruh terhadap kebencian yang mengamuk di hati dan pikiran itu. Tanpa penilaian seperti itu, kebencian akan kehilangan daya gerak, akan kehilangan daya hidup, seperti api kehabisan bahan bakarnya.
Benci pribadi, atau kebencian yang timbul karena keluarga, demi golongan, demi bangsa, semua itu pada hakekatnya sama saja, yang menjadi peran utama adalah si aku yang dapat saja diperluas menjadi keluargaku, golonganku, bangsaku dan selanjutnya.
Louw Tek Ciang pulang ke rumah suhunya dengan dendam yang sudah digodok matang dengan rencana siasat keji yang diatur oleh Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng!
Dua hari kemudian, pada suatu sore, seperti biasa Cin Liong datang mengunjungi kekasihnya, disambut dengan gembira oleh Suma Hui. Mereka lalu duduk di ruangan tamu dan pada sore hari itu, seperti sudah dijanjikan, Cin Liong harus makan malam di situ karena sudah dipersiapkan oleh kekasihnya. Dan baru pada waktu makan itulah, setelah lewat beberapa hari, Cin Liong berkesempatan jumpa dengan Tek Ciang. Dia memandang tajam dan mendapat kenyataan bahwa pemuda itu sudah berobah. Tidak muram atau pucat lagi, bahkan hormat dan ramah kepadanya.
“Kao-taihiap, aku minta maaf atas segala kesalahanku....”
“Ah, Louw-susiok mengapa menyebutku taihiap segala?”
“Suheng, engkau kenapa sih? Kenapa menyebut taihiap kepada Cin Liong?” Suma Hui juga menegur sambil tersenyum, merasa geli oleh sikap baru ini.
Tek Ciang menarik napas panjang.
“Ahh, aku ingin menampar pipi sendiri kalau berani menyebut nama begitu saja.”
“Ih, kenapa begitu, suheng? Cin Liong ini memang masih terhitung keponakanku, maka sudah sepatutnya dia menyebutmu susiok dan engkau menyebut namanya begitu saja. Bukankah yang sudah-sudah engkaupun menyebut namanya saja?”
“Karena aku belum mengenal siapa dia! Kalau dia seorang biasa yang lemah seperti aku masih mending. Akan tetapi dia adalah seorang pendekar sakti, seorang jenderal, dan jauh lebih tua dariku. Kalau aku menyebut namanya begitu saja tentu aku akan menjadi buah tertawaan orang. Tidak, aku harus menyebut taihiap atau aku tidak akan berani menyebut sama sekali.”
Cin Liong tersenyum, di dalam hatinya dia membenarkan Suma Hui yang menceritakan kepadanya bahwa pemuda itu selalu ramah dan hormat.
“Baiklah, Louw-susiok, sesukamulah. Apa artinya dalam sebuah sebutan? Akan tetapi, mengapa engkau minta maaf?”
“Karena aku telah bersikap kasar selama ini terhadap taihiap, juga menyangka yang bukan-bukan berhubung dengan kematian ayah, dan juga.... ketika pertama kali taihiap datang, aku.... aku telah membayangimu sampai ke rumah penginapan, maklumlah, aku.... aku ketika itu menaruh curiga kepadamu.”
Cin Liong tertawa.
“Aku sudah tahu akan hal itu dan tak perlu dirisaukan, susiok. Eh, bagaimana dengan hasil penyelidikanmu tentang jai-hwa-cat itu?”
Tek Ciang menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
“Agaknya aku masih terlalu bodoh, kepandaianku masih terlalu rendah untuk dapat menemukan jejaknya, walaupun beberapa kali aku melihat berkelebatnya bayangan orang yang cepat sekali di wuwungan rumah-rumah. Bahkan aku mendengar berita akan hilang terculiknya seorang gadis dari keluarga Ciong di ujung barat kota. Aku yakin bahwa ayah benar, yakni bahwa ada jai-hwa-cat berkeliaran di kota ini.”
Cin Liong mengangguk.
“Akupun sudah mendengar berita itu dari komandan kota. Karena kebetulan aku sendiri sedang berada di kota ini, biarlah aku akan melakukan penyelidikan malam ini.”
“Aku juga akan melakukan penyelidikan sedapatku, taihiap. Pendeknya, aku takkan berhenti menyelidiki sebelum penjahat itu tertangkap atau terbunuh!” Tek Ciang berkata penuh semangat.
Setelah makan selesai, Tek Ciang yang “tahu diri” lalu mundur dan memasuki kamarnya sendiri, membiarkan sepasang kekasih itu asyik berdua saja di kamar tamu. Dan memanglah, setiap kali mereka bertemu berdua saja, Cin Liong dan Suma Hui tentu menumpahkan rindu dan sayangnya melalui suasana yang akrab dan santai, romantis dan mesra. Mereka bercakap-cakap, bersendau-gurau, kadang-kadang berangkulan dan berciuman.
“Hui-moi, kalau ayah bundaku sudah melamar, dan kalau orang tuamu setuju, aku ingin kita tidak lama-lama menunda pernikahan. Aku ingin segera menikah denganmu, tinggal di kota raja dan aku akan mengajukan permohonan kepada sri baginda kaisar agar ditugaskan di kota raja saja, agar tidak banyak berkeliaran meninggalkan rumah seperti sekarang. Dengan demikian, kita akan dapat setiap bari berjumpa dan berkumpul.”
“Ihh, kenapa tergesa-gesa amat menikah?” Suma Hui menggoda sambil tersenyum dan kedua pipinya merah.
Cin Liong mencubit dagunya.
“Masa tidak mengerti? Aku aku sudah ingin.... eh, selalu di sampingmu, Hui-moi.”
Sejenak mereka bermesraan. Tiba-tiba Suma Hui menarik napas panjang.
“Bagaimana andaikata.... ayahku tidak setuju?”
Cin Liong mengerutkan alisnya.
“Kalau begitu.... tinggal terserah kepadamu. Tentu saja aku tidak berani menentang orang tuamu, Hui-moi, akan tetapi demi engkau, apapun juga akan kulakukan, kalau perlu menghadapi orang tuamu.”
“Kalau aku.... jika ayah melarang dan menentang, aku akan pergi meninggalkan rumah ini, aku akan pergi bersamamu.... maukah engkau, Cin Liong?”
“Tentu saja! Dan aku akan melindungimu, membelamu dengan nyawaku. Akan tetapi, mudah-mudahan tidak sampai sejauh itu, Hui-moi, aku percaya akan kebijaksanaan ayahmu sebagai seorang pendekar sakti yang berpemandangan luas.”
Demikianlah, mereka bercakap-cakap, kadang-kadang gembira, kadang-kadang gelisah kalau membayangkan halangan besar yang mungkin timbul dalam hubungan mereka karena penentangan ayah gadis itu. Kemudian pemuda itu menyatakan bahwa sebaiknya kalau dia pergi dulu ke kota raja, selain untuk urusan tugas, juga untuk menanti datangnya ayah bundanya.
Suma Hui terkejut mendengar kekasihnya akan pergi.
“Apakah engkau tidak dapat menanti sampai pulangnya ayah dan ibu?”
Gadis ini membayangkan betapa hidup akan terasa sunyi dan tidak menyenangkan kalau kekasihnya ini pergi dari Thian-cin.
“Agaknya tidak baik kalau di waktu orang tuamu tidak ada di rumah, aku setiap hari datang mengunjungimu, Hui-moi. Apa akan kata orang nanti? Pula, orang tuaku sudah berjanji bahwa kalau mereka pergi ke Thian-cin, mereka akan singgah dulu di kota raja.”
Biarpun hatinya terasa berat, namun Suma Hui tidak dapat membantah kekasihnya. Ia hanya bertanya muram,
“Kapan engkau akan pergi?”
“Sebaiknya besok atau lusa, Hui-moi. Sudah agak lama aku berada di sini.”
Malam itu, ketika Cin Liong hendak meninggalkan Suma Hui, gadis itu merangkulnya dan suaranya penuh kesedihan ketika ia berkata,
“Cin Liong, jangan terlalu lama meninggalkan aku.... aku akan merasa kesepian dan tidak betah di rumah ini....”
Cin Liong merangkul dan menciumnya. Karena mereka berdua maklum bahwa besok mereka akan berpisah, maka rangkulan dan ciuman mereka lebih hangat dan mesra daripada biasanya. Cin Liong yang merasa betapa gairah berahi menyerangnya, cepat mendorong tuhuh Suma Hui dengan halus sambil berkata dan tersenyum.
“Ah, Hui-moi. Kenapa engkau bersedih? Kita berpisah hanya untuk beberapa bulan saja. Bagaimanapun juga, engkau adalah calon isteriku, apapun yang akan terjadi, bukan? Engkau adalah punyaku....” Mereka berdekapan lagi.
“Aku punyamu dan engkau milikku, Cin Liong.... hanya kematian yang akan memisahkan kita....”
“Aku cinta padamu, Hui-moi.... aku cinta padamu....”
Dengan kata-kata yang diucapkan suara tergetar ini masih terngiang di telinganya, Suma Hui mengantar kekasihnya yang meninggalkan rumahnya itu. Cin Liong juga merasa berat sekali meninggalkan Suma Hui, walaupun besok sebelum berangkat dia tentu akan singgah untuk berpamit dulu.
Dia tidak langsung ke rumah penginapan karena teringat akan cerita yang didengarnya tentang gadis yang lenyap diculik penjahat. Kalau memang benar ada jai-hwa-cat berkeliaran di kota ini, sebelum dia pergi, dia harus dapat menangkapnya lebih dulu. Adanya seorang penjahat cabul di Thian-cin sama dengan memandang rendah kepada keluarga Suma! Maka diapun mulai melakukan penyelidikan pada malam hari itu.
Cin Liong tersenyum, di dalam hatinya dia membenarkan Suma Hui yang menceritakan kepadanya bahwa pemuda itu selalu ramah dan hormat.
“Baiklah, Louw-susiok, sesukamulah. Apa artinya dalam sebuah sebutan? Akan tetapi, mengapa engkau minta maaf?”
“Karena aku telah bersikap kasar selama ini terhadap taihiap, juga menyangka yang bukan-bukan berhubung dengan kematian ayah, dan juga.... ketika pertama kali taihiap datang, aku.... aku telah membayangimu sampai ke rumah penginapan, maklumlah, aku.... aku ketika itu menaruh curiga kepadamu.”
Cin Liong tertawa.
“Aku sudah tahu akan hal itu dan tak perlu dirisaukan, susiok. Eh, bagaimana dengan hasil penyelidikanmu tentang jai-hwa-cat itu?”
Tek Ciang menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
“Agaknya aku masih terlalu bodoh, kepandaianku masih terlalu rendah untuk dapat menemukan jejaknya, walaupun beberapa kali aku melihat berkelebatnya bayangan orang yang cepat sekali di wuwungan rumah-rumah. Bahkan aku mendengar berita akan hilang terculiknya seorang gadis dari keluarga Ciong di ujung barat kota. Aku yakin bahwa ayah benar, yakni bahwa ada jai-hwa-cat berkeliaran di kota ini.”
Cin Liong mengangguk.
“Akupun sudah mendengar berita itu dari komandan kota. Karena kebetulan aku sendiri sedang berada di kota ini, biarlah aku akan melakukan penyelidikan malam ini.”
“Aku juga akan melakukan penyelidikan sedapatku, taihiap. Pendeknya, aku takkan berhenti menyelidiki sebelum penjahat itu tertangkap atau terbunuh!” Tek Ciang berkata penuh semangat.
Setelah makan selesai, Tek Ciang yang “tahu diri” lalu mundur dan memasuki kamarnya sendiri, membiarkan sepasang kekasih itu asyik berdua saja di kamar tamu. Dan memanglah, setiap kali mereka bertemu berdua saja, Cin Liong dan Suma Hui tentu menumpahkan rindu dan sayangnya melalui suasana yang akrab dan santai, romantis dan mesra. Mereka bercakap-cakap, bersendau-gurau, kadang-kadang berangkulan dan berciuman.
“Hui-moi, kalau ayah bundaku sudah melamar, dan kalau orang tuamu setuju, aku ingin kita tidak lama-lama menunda pernikahan. Aku ingin segera menikah denganmu, tinggal di kota raja dan aku akan mengajukan permohonan kepada sri baginda kaisar agar ditugaskan di kota raja saja, agar tidak banyak berkeliaran meninggalkan rumah seperti sekarang. Dengan demikian, kita akan dapat setiap bari berjumpa dan berkumpul.”
“Ihh, kenapa tergesa-gesa amat menikah?” Suma Hui menggoda sambil tersenyum dan kedua pipinya merah.
Cin Liong mencubit dagunya.
“Masa tidak mengerti? Aku aku sudah ingin.... eh, selalu di sampingmu, Hui-moi.”
Sejenak mereka bermesraan. Tiba-tiba Suma Hui menarik napas panjang.
“Bagaimana andaikata.... ayahku tidak setuju?”
Cin Liong mengerutkan alisnya.
“Kalau begitu.... tinggal terserah kepadamu. Tentu saja aku tidak berani menentang orang tuamu, Hui-moi, akan tetapi demi engkau, apapun juga akan kulakukan, kalau perlu menghadapi orang tuamu.”
“Kalau aku.... jika ayah melarang dan menentang, aku akan pergi meninggalkan rumah ini, aku akan pergi bersamamu.... maukah engkau, Cin Liong?”
“Tentu saja! Dan aku akan melindungimu, membelamu dengan nyawaku. Akan tetapi, mudah-mudahan tidak sampai sejauh itu, Hui-moi, aku percaya akan kebijaksanaan ayahmu sebagai seorang pendekar sakti yang berpemandangan luas.”
Demikianlah, mereka bercakap-cakap, kadang-kadang gembira, kadang-kadang gelisah kalau membayangkan halangan besar yang mungkin timbul dalam hubungan mereka karena penentangan ayah gadis itu. Kemudian pemuda itu menyatakan bahwa sebaiknya kalau dia pergi dulu ke kota raja, selain untuk urusan tugas, juga untuk menanti datangnya ayah bundanya.
Suma Hui terkejut mendengar kekasihnya akan pergi.
“Apakah engkau tidak dapat menanti sampai pulangnya ayah dan ibu?”
Gadis ini membayangkan betapa hidup akan terasa sunyi dan tidak menyenangkan kalau kekasihnya ini pergi dari Thian-cin.
“Agaknya tidak baik kalau di waktu orang tuamu tidak ada di rumah, aku setiap hari datang mengunjungimu, Hui-moi. Apa akan kata orang nanti? Pula, orang tuaku sudah berjanji bahwa kalau mereka pergi ke Thian-cin, mereka akan singgah dulu di kota raja.”
Biarpun hatinya terasa berat, namun Suma Hui tidak dapat membantah kekasihnya. Ia hanya bertanya muram,
“Kapan engkau akan pergi?”
“Sebaiknya besok atau lusa, Hui-moi. Sudah agak lama aku berada di sini.”
Malam itu, ketika Cin Liong hendak meninggalkan Suma Hui, gadis itu merangkulnya dan suaranya penuh kesedihan ketika ia berkata,
“Cin Liong, jangan terlalu lama meninggalkan aku.... aku akan merasa kesepian dan tidak betah di rumah ini....”
Cin Liong merangkul dan menciumnya. Karena mereka berdua maklum bahwa besok mereka akan berpisah, maka rangkulan dan ciuman mereka lebih hangat dan mesra daripada biasanya. Cin Liong yang merasa betapa gairah berahi menyerangnya, cepat mendorong tuhuh Suma Hui dengan halus sambil berkata dan tersenyum.
“Ah, Hui-moi. Kenapa engkau bersedih? Kita berpisah hanya untuk beberapa bulan saja. Bagaimanapun juga, engkau adalah calon isteriku, apapun yang akan terjadi, bukan? Engkau adalah punyaku....” Mereka berdekapan lagi.
“Aku punyamu dan engkau milikku, Cin Liong.... hanya kematian yang akan memisahkan kita....”
“Aku cinta padamu, Hui-moi.... aku cinta padamu....”
Dengan kata-kata yang diucapkan suara tergetar ini masih terngiang di telinganya, Suma Hui mengantar kekasihnya yang meninggalkan rumahnya itu. Cin Liong juga merasa berat sekali meninggalkan Suma Hui, walaupun besok sebelum berangkat dia tentu akan singgah untuk berpamit dulu.
Dia tidak langsung ke rumah penginapan karena teringat akan cerita yang didengarnya tentang gadis yang lenyap diculik penjahat. Kalau memang benar ada jai-hwa-cat berkeliaran di kota ini, sebelum dia pergi, dia harus dapat menangkapnya lebih dulu. Adanya seorang penjahat cabul di Thian-cin sama dengan memandang rendah kepada keluarga Suma! Maka diapun mulai melakukan penyelidikan pada malam hari itu.
**** 032 ****
TEMPAT WISATA MANCA NEGARA
Istana Kekaisaran Tokyo | Jembatan Gerbang Emas | Air Terjun Niagara |
---|---|---|
Grand Canyon | Pasar Terbesar di Bangkok | Taman Nasional Yellowstone |
Budj Khalifa - Dubai | Taj Mahal | Taman Nasional Yellowstone |
===============================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar