FB

FB


Ads

Sabtu, 22 Juni 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 087

Kauw Bian Cinjin yang mengepalai penyelidikannya dan tentu saja tahu pula akan kematian Su Ban Ki dan Ciu Kang, kematian yang aneh karena dilakukan oleh peti mati hidup yang ia duga tentulah Cui-beng-kui, baru sekarang mengerti mengapa Cui-beng-kui mencampuri urusan ini.

Diam-diam ia bersyukur bahwa biarpun Ma Thai Kun kini sudah berubah menjadi iblis, namun agaknya masih memiliki kesetiaan terhadap Nan-cao sehingga turun tangan membunuh dua orang pengkhianat itu.

“Ma-suheng, biarkan siauwte menghadapi iblis jembel ini!” seru Kauw Bian Cinjin. Ia terhitung adik seperguruan Cui-beng-kui.

Mereka adalah empat orang saudara seperguruan. Yang pertama adalah mendiang Liu Gan, ke dua ketua Beng-kauw sekarang, Liu Mo yang masih adik kandung Liu Gan, ke tiga adalah Ma Thai Kun dan ke empat Kauw Bian Cinjin.

Kauw Bian Cinjin bersama Liu Mo telah memperdalam ilmunya sehingga jauh melampaui dua tiga puluh tahun yang lalu, maka kini Kauw Bian Cinjin meragukan apakah suhengnya yang puluhan tahun menghilang itu akan mampu menandingi It-gan Kai-ong yang ia tahu amat sakti. Ia sendiri pun masih ragu-ragu apakah ia akan menang, akan tetapi kalau Ma Thai Kun kepandaiannya masih seperti dua puluh lima tahun yang lalu, tentu jauh di bawah tingkatnya.

“Mundurlah!” Cui-beng-kui mendengus, dan dengan langkah-langkah kaku ia menghampiri It-gan Kai-ong. “Siapa menghina dia harus mati di tanganku!”

It-gan Kai-ong tertawa bergelak,
“Ho-ho-ho-heh-heh, makin terbukti sekarang betapa bobroknya moral orang-orang Beng-kauw! Cui-beng-kui, kau disebut suheng oleh Kauw Bian Cinjin, berarti kau juga sute dari mendiang Pat-jiu Sin-ong dan kau terhitung paman guru Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian. Akan tetapi agaknya kau pun tergila-gila kepada murid keponakan yang jelita itu, ha-ha-ha!”

“Majulah jembel busuk. Hendak kubuktikan apakah kau patut menerima julukan sejajar dengan aku!” kata mayat hidup itu.

Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara bentakan nyaring sekali, bentakan seorang gadis yang melompat keluar dari dalam ruangan sembahyang, sebatang pedang bersinar kuning telanjang di tangannya.

“Cui-beng-kui, kau pembunuh ayah, terimalah pembalasanku!”

Dengan gerakan bagaikan seekor burung walet yang amat lincah, Lin Lin melompati kepala banyak tamu, langsung menyerbu ke tengah lapangan, menghadapi Cui-beng-kui. Gadis ini kelihatan marah sekali, sepasang matanya berkilat-kilat, kedua pipinya merah, bibirnya cemberut, pedang di tangan kanannya menggetar.

“Kau siapa? Jangan kira setelah kau dibebaskan, kau boleh bicara sesukamu. Siapa ayahmu?”

“Iblis busuk, setahun lebih kucari-cari kau, setan peti mati bersuling! Hayo katakan, bukankah kau pembunuh ayahku Kam Si Ek bersama isterinya dan seorang tamunya? Setahun yang lalu di Ting-chun?”

“Ho-ho, heh-heh, kiranya kau sudah membunuh sainganmu, Jenderal Kam Si Ek yang berhasil merenggut Tok-siauw-kwi dari tanganmu?” It-gan Kai-ong terkekeh-kekeh sambil mundur. “Hendak kulihat bagaimana kau akan dapat membereskan setan cilik ini, Cui-beng-kui. Aku menanti giliran!”

Muka yang pucat dan tak pernah bergerak kulitnya itu kini sepenuhnya menghadapi Lin Lin, membuat gadis itu merasa ngeri juga. Ia teringat akan pengalamannya di dalam ruangan peti mati yang menyeramkan.

Seperti telah kita ketahui, ketika Lin Lin memasuki ruangan peti mati melalui terowongan rahasia, ia melihat peti mati yang mendadak dapat “hidup” sehingga ia roboh pingsan itu ia telah dimasukkan ke dalam sebuah peti mati kosong oleh Cui-beng-kui!

Untung tidak lama Lin Lin pingsan di dalam peti mati. Ia siuman beberapa menit kemudian dan dapat dibayangkan betapa bingungnya ketika ia mendapatkan dirinya berada di tempat yang gelap gulita sehingga matanya seakan-akan buta. Melihat jari tangan sendiri pun tidak tampak! Ia meraba-raba dan teringatlah ia akan pengalamannya tadi. Hatinya berdebar. Iblis dalam peti mati itu! Sekarang ia pun berada di dalam peti mati. Tahulah ia bahwa ia telah ditawan oleh iblis tadi dan dimasukkan peti mati.

Dengan menabahkan hatinya, Lin Lin mendorong penutup peti itu terbuka. Ia melihat sinar terang, akan tetapi hampir saja ia jatuh pingsan kembali ketika melihat seorang laki-laki gundul, sebetulnya tak patut disebut orang laki-laki, melainkan lebih pantas disebut mayat hidup, berdiri terbungkuk di dekat peti di mana ia rebah. Muka itu! Pucat tak berdarah dan seperti kedok. Muka mayat! Kedua ujung bibir tertarik ke bawah, hidungnya panjang bengkok ke bawah.






Akan tetapi Lin Lin teringat bahwa iblis ini adalah pembunuh ayah ibu angkatnya. Tidak salah lagi kali ini. Mendiang ibu angkatnya sebelum menghembuskan napas terakhir menyebut-nyebut tentang iblis dalam peti mati yang mengeluarkan suara seperti suling. Ingatan ini sekaligus mengusir semua rasa takut dan ngeri.

“Iblis jahat, kau pembunuh ayah ibuku....!” teriaknya dan Lin Lin bergerak hendak melompat keluar dari dalam peti.

Akan tetapi iblis itu menggerakkan kedua tangan, menekan pundak Lin Lin dan gadis ini seketika tak dapat menggerakkan lagi kaki tangannya yang seakan-akan menjadi lumpuh.

“Hemmm, bagus sekali. Kau puteri mereka? Kebetulan sekali, kau cantik dan muda. Kau harus menebus hutang ayahmu, kau harus mengawani aku di sini, menghiburku, sampai kau atau aku mampus....”

Suara iblis itu berbisik-bisik, mendesis-desis mengerikan dan kini mukanya makin mendekati muka Lin Lin, tangan yang tadinya menekan pundak kini bergerak ke arah leher dan dada.

Saking ngeri dan takutnya, Lin Lin menjerit keras. Suara jeritannya terdengar gemanya dari jauh, agaknya melalui lorong rahasia yang gelap itu. Akan tetapi hanya satu kali Lin Lin dapat menjerit karena di lain detik ibils itu sudah menotoknya, membuat ia selain tak mampu meronta, juga tak dapat mengeluarkan suara lagi.

Setengah pingsan Lin Lin merasa betapa dua buah lengan yang keras karena hanya tulang terbungkus kulit, yang dingin menjijikkan, akan tetapi amat kuat, memondongnya keluar dari dalam peti.

Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Lin Lin itu, tiba-tiba menyambar hawa dingin yang membawa datang bau semerbak harum mewangi, kemudian terdengar suara yang sama dinginnya.

“Ma-susiok (Paman Guru Ma), kau hendak berbuat apa?”

Iblis itu yang tadinya sudah melangkah dua tindak, mendadak berhenti, memutar tubuhnya, dan memandang kepada seorang wanita rambut panjang riap-riapan yang tahu-tahu sudah berada di depannya. Wanita yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, akan tetapi yang wajahnya masih cantik jelita, terutama sepasang matanya yang seperti mata burung hong, rambutnya hitam panjang sekali tidak disanggul, pakaiannya serba hitam sehingga tangan dan lehernya yang tak tertutup kelihatan makin putih.

Sejenak iblis itu tertegun, kemudian tubuhnya menggigil dan kedua tangannya gemetar sehingga tubuh Lin Lin terlepas dari pondongannya, membuat gadis ini jatuh dan bergulingan. Lin Lin terguling agak jauh, akan tetapi mukanya menghadap ke atas sehingga ia dapat menyaksikan pertemuan dua orang aneh itu.

“.... Lu.... Lu Sian....!” Dengan sukar sekali akhirnya iblis itu mengeluarkan suara.

Jantung Lin Lin berdebar keras mendengar disebutnya nama ini dan ia makin memperhatikan wanita itu. Cantik memang, biarpun sudah tua, masih cantik jelita. Lebih cantik daripada ibu angkatnya, ibu Sian Eng dan Bu Sin. Inikah isteri pertama ayah angkatnya? Inikah ibu sekandung dari Kam Bu Song, kakaknya yang lenyap? Inikah, menurut penuturan bibi gurunya Kui Lan Nikouw, wanita puteri ketua Beng-kauw yang berjuluk Tok-siauw-kwi?

“Hemmm, Ma-susiok, dengan perbuatanmu ini, apakah kau masih ada muka untuk tetap mengaku bahwa kau mencintaku sampai kau mati? Huh, kiranya kau pun sama saja dengan laki-laki lain, berhati palsu, pandai pura-pura, mengobral sumpah!”

“Tidak.... tidak.... Lu Sian, aku.... bertahun-tahun aku menyiksa diri, aku menantimu.... aku bersetia padamu.... Lu Sian, apakah kedatanganmu ini menjadi tanda tiba saatnya aku mengecap kebahagiaanku, melewatkan hidup yang tak berapa lama lagi ini? Apakah timbul rasa iba di hatimu dan meyakinkan kau bahwa cintaku padamu murni?”

“Huh, tak perlu bermanis bibir, Susiok. Mau kau apakan gadis itu tadi?”

“Eh.... aku.... terus-terang saja.... karena tak tertahankan lagi kesunyian ini.... melihat gadis itu tadi.... hampir saja.... tapi untung kau segera datang, Lu Sian. Terima kasih! Setelah kau disini, apa artinya gadis ini bagiku? Biar seribu orang bidadari turun, aku tidak pedulikan mereka asal kau....”

“Sudahlah, tak perlu banyak membujuk rayu. Kita bukan orang-orang muda belia. Susiok, di luar terjadi keributan. It-gan Kai-ong mengacau, kalau kau tidak memperlihatkan jasa terhadap Beng-kauw, mana aku percaya bahwa kau betul mencintaiku?”

“Lu Sian, aku tahu, selama ini kepandaianmu sudah hebat sekali, jauh melampaui kemampuanku. Mengapa kau tidak membasmi mereka yang mengacau? Aku.... aku malu bertemu dengan orang-orang....”

“Hemmm, tentang permintaanmu mengawani kau disini, baru akan kupertimbangkan kalau kau mau membuat jasa. Kalau tidak, jangan harap malah aku akan mengusir kau dari tempat ini!”

Terdengar iblis itu mengeluh dan diam-diam Lin Lin merasa kasihan sekali. Gadis muda ini telah menyaksikan adegan yang amat mengharukan, adegan tentang cinta kasih yang demikian mendalam. Heran ia mengapa iblis itu biarpun sudah tua, tetap tidak melupakan kasihnya yang demikian mendalam. Dan ia merasa terharu dan kasihan melihat iblis yang hampir saja mencelakakannya itu mengeluh dan melangkah perlahan-lahan ke tempatnya, yaitu peti matinya yang terbuka lebar.

Namun hanya sebentar saja rasa kasihan ini, karena segera ia teringat bahwa iblis itu adalah pembunuh ayah bundanya yang selama ini dicari-carinya. Pembunuh kejam yang harus ia balas, apalagi tadi telah menghinanya dan hampir saja mencelakainya.

Iblis yang bukan lain adalah Ma Thai Kun bekas Panglima Nan-cao dan yang sekarang terkenal dengan julukan Cui-beng-kui ini dengan suara keluhan yang kemudian melengking seperti suara suling, memasuki peti matinya, kemudian peti mati itu bergerak-gerak ke arah dinding. Tangannya terjulur keluar peti, menekan di ujung bawah kiri dinding itu dan terdengarlah suara berkerit yang disusul dengan terbukanya sebuah lubang pada dinding itu, lubang bundar dengan garis tengah satu meter.

“Lu Sian, aku menaati permintaanmu....”

Terdengar suara dari dalam peti yang meluncur cepat keluar melalui lubang itu. Lubang rahasia itu segera tertutup kembali dengan sendirinya.

Wanita berambut panjang itu menarik napas panjang, kemudian ia memandang Lin Lin. Tiba-tiba tangannya bergerak dan seketika Lin Lin terbebas dari totokan. Ia cepat meloncat bangun, menyambar pedangnya yang menggeletak di dekat peti mati yang tadi menjadi “tempat tidurnya”.

“Bibi, terima kasih atas pertolongan Bibi....”

Lin Lin berkata dengan suara perlahan, karena ia masih ragu-ragu bagaimana ia harus menyebut wanita ini. Kam Si Ek adalah ayah angkatnya. Kalau wanita ini isteri Kam Si Ek, berarti juga ibu angkatnya. Akan tetapi ia tidak berani menyebut ibu, maka lalu menyebut saja bibi.

“Kau anak Kam Si Ek? Ibumu Bwe Hwa?”

“Bukan, Bibi. Kam Si Ek adalah ayah angkatku, bersama dua orang saudara angkat, aku pergi mencari Kakak Kam Bu Song. Bukankah Bibi ini ibu Kakak Kam Bu Song....?”

Akan tetapi wanita itu tidak menjawab, kelihatan termenung. Tiba-tiba ia bertanya.
“Bukankah cintanya amat besar kepadaku? Biarpun sudah menjadi mayat hidup, ia masih mencintaku. Cinta yang murni....” Ia menarik napas lagi.

“CINTA BERNODA DARAH!” Lin Lin berkata suaranya berubah dingin.

“Apa kau bilang....?” Wanita itu agaknya heran.

“Cintanya bernoda darah! Ia telah membunuh ayah dan ibu angkatku!”

“Hemmm, bocah, kau tahu apa? Itu karena cemburu yang ditahan-tahan di samping cinta kasihnya yang mendalam. Mana ada cinta tanpa cemburu? Ia tidak mengganggu selembar rambut Kam Si Ek selama masih menjadi suamiku, selama masih mencintaku. Akan tetapi setelah mendengar Kam Si Ek berpisah dariku, malah mengawini seorang wanita lain, nah, timbullah dendamnya dan dibunuhnya mereka.”

“Betapapun juga, dia musuh besarku, harus kubalas dendam ini!”

Wanita itu mengeluarkan suara ketawa halus.
“Kau....? Membalas padanya? Hik-hik, lucu sekali. Sesukamulah!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar