Setelah Hek-giam-lo pergi, Sian Eng berpikir. Ia mengenang kata-kata Raja Khitan terhadapnya dan teringatlah ia akan Lin Lin. Adiknya itu bukanlah anak kandung ayah bundanya, melainkan anak angkat. Ayahnya tidak pernah bicara tentang orang tua Lin Lin, akan tetapi adik angkatnya itu wataknya aneh sekali dan ketika ia tadi melihat pengawal-pengawal dan dayang-dayang wanita di dalam gedung Raja Khitan, alangkah besar persamaan Lin Lin dengan para wanita itu. Terutama sekali bulu mata dan hidungnya. Jantungnya berdebar. Jangan-jangan Hek-giam-lo salah ambil, mengira dia Lin Lin. Dan besar kemungkinan Hek-giam-lo menduga bahwa Lin Lin adalah keponakan raja. Betulkah ini?
Tangis kedua orang gadis di sebelah depan dan belakangnya mengganggunya dari lamunan. Ia menengok dan perasaan kasihan memenuhi hatinya melihat dua buah kepala yang tidak berdaya dan sedang menangis terisak-isak itu, sama sekali lupa bahwa keadaannya sendiri pun tiada bedanya dengan mereka berdua. Ia tahu bahwa dia dan mereka akan menghadapi kematian yang mengerikan dan penuh sengsara. Dipendam sebatas leher dan dibiarkan sampai mati. Mungkin besok hari menerima penghinaan dari para penyiksanya sebelum mati kelaparan.
Tiba-tiba terdengar suara mengaum dari jauh. Dua orang gadis itu makin keras menangis dan Sian Eng sendiri bergidik. Tak salah lagi, itulah suara harimau yang mengaum dari dalam hutan. Bagaimana kalau raja hutan itu datang dan menyerang mereka? Dengan hanya kepalanya di atas tanah, Sian Eng dapat membayangkan betapa harimau itu akan makan kepala mereka seenaknya tanpa mereka dapat membalas atau pun melarikan diri. Siapa diantara mereka bertiga yang lebih dulu akan digerogoti harimau?
“Hu-hu-huk, Ayah.... Ibu.... tolong....!” Gadis yang berada di sebelah belakang Sian Eng menjerit-jerit.
“Aku.... aku.... takut.... ya Tuhan cabutlah nyawaku....!” Gadis cantik di sebelah depan Sian Eng mengeluh dan menangis.
Sian Eng mengerutkan keningnya, penuh iba hati. Ia tak menyalahkan dua orang gadis itu. Tentu saja mereka ketakutan. Mereka adalah gadis-gadis biasa yang lemah, oh, alangkah sengsaranya mati dalam keadaan ketakutan seperti itu.
“Enci berdua, tenangkanlah hati kalian. Manusia hidup memang hanya untuk menghadapi kematian yang sewaktu-waktu pasti akan tiba, cepat atau pun lambat. Mengapa takut? Mati adalah biasa, semua manusia akan mati, hanya waktu saja soalnya.”
Dua orang gadis itu menengok kepadanya, terheran-heran melihat Sian Eng sama sekali tidak menangis dan sama sekali tidak nampak takut.
“Aku.... aku tidak takut mati.... aku.... aku lebih baik mati. Yang kutakuti adalah kengerian ini dan.... dan penghinaan.... ah, lebih baik aku mati, tapi jangan.... jangan mati dimakan harimau....” kata gadis di depannya terisak-isak.
“Sebelum hayat meninggalkan badan, tak boleh berputus asa,” kata pula Sian Eng. “Enci berdua harap tenang saja, kalau belum waktunya kita mati, percayalah, kita takkan mati. Kalau sudah tiba waktunya mati, ah, jangankan sudah setua kita, kanak-kanak pun bisa saja mati.”
Hiburan dan kata-kata Sian Eng yang keluar dengan suara penuh ketabahan itu ternyata ada hasilnya juga. Dua orang gadis itu berhenti menangis dan anehnya, auman binatang buas dari dalam hutan tidak terdengar lagi. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sian Eng untuk mengajak dua orang teman “senasib sependeritaan” itu untuk bercakap-cakap.
Dari mereka dia memperoleh keterangan bahwa seperti juga dia, dua orang itu diculik oleh tokoh-tokoh Khitan karena disangka sang puteri! Akan tetapi begitu tiba di depan raja, mereka ditelanjangi dan diperiksa punggung mereka, karena katanya puteri itu mempunyai tanda merah di punggungnya. Tentu saja, seperti juga Sian Eng, mereka tidak memiliki tanda seperti itu karena memang mereka bukanlah puteri Khitan. Kemudian dengan air mata bercucuran dua orang gadis itu bercerita betapa selama tiga hari mereka menjadi permainan raja yang kejam.
Sian Eng menjadi panas hatinya. Jiwa pendekar dalam hatinya bergolak. Kalau saja ia mendapat kesempatan, tentu akan dibunuhnya Raja Khitan itu. Dan menghadapi penderitaan dua orang gadis itu, ia tidak dapat bicara banyak. Akan tetapi setidaknya percakapan mereka itu juga merupakan hiburan yang lumayan untuk melewatkan malam yang mengerikan ini.
Tentu saja semalam suntuk mereka tak mampu tidur semenit pun juga dan menjelang pagi, karena teringat bahwa para penyiksa itu tentu akan menghabisi nyawa mereka dengan siksaan-siksaan keji, dua orang gadis itu mulai menangis lagi. Sian Eng tidak mampu lagi menghibur mereka. Gadis ini mengambil keputusan bahwa kalau ia diberi kesempatan satu kali saja terbebas dari kuburan itu, ia akan mengamuk sampai mati!
Terdengar derap kaki kuda dari jauh, makin lama makin dekat. Dua orang wanita itu menoleh ke arah Sian Eng dan air mata mereka bercucuran.
“Adik Sian Eng, selamat berpisah....”
“Mudah-mudahan kematian segera datang menjemputku....” kata gadis di belakang Sian Eng, menyambut ucapan gadis di depan.
Sian Eng terharu, akan tetapi ia malah memaksa diri tersenyum,
“Enci, kalau seorang diantara kita mati, tentu yang dua akan mati pula. Bagaimana bisa bilang selamat berpisah? Kita takkan pernah berpisah kurasa, mati pun akan bersama-sama. Bukankah itu menyenangkan sekali? Kita akan ada teman selalu, biar di alam sana pun.”
Derap kaki kuda sudah dekat sekali, datang dari arah belakang mereka. Tiga orang gadis itu dapat menoleh ke kiri kanan, akan tetapi tentu saja tidak mungkin menengok ke belakang, karena tubuh mereka yang terpendam tanah itu sama sekali tidak dapat digerakkan. Oleh karena itu, biarpun hati mereka sekali memandang, mereka tidak dapat dan tidak tahu siapa gerangan penunggang kuda yang datang ini.
Tak lama kemudian, seekor kuda yang besar dan kuat berlari congklang dan berhenti dekat mereka. Seorang laki-laki berpakaian serba hitam melompat turun. Dua orang gadis itu hanya mengerling sebentar dan segera menutup mata dan menangis lagi. Pakaian orang ini sama dengan Si Iblis Hitam, mengerikan.
Akan tetapi Sian Eng menoleh ke kiri dan memandang dengan mata tajam dan kening berkerut. Darahnya berdenyut-denyut, jantungnya berdebar, membuat ia merasa dadanya sesak sekali. Si Jubah Hitam itu sama sekali bukan Hek-giam-lo, melainkan seorang laki-laki muda yang berwajah gagah sekali, tampan dan memiliki sepasang mata yang sayu di bawah lindungan sepasang alis yang tebal, hitam dan berbentuk panjang gompyok. Seorang laki-laki yang tampan dan tinggi besar.
Yang membuat Sian Eng berdebar tidak karuan hatinya adalah jubah hitam itu, mengingatkan ia akan laki-laki yang pernah ia lihat punggungnya yang berjubah hitam dan topinya, topi pelajar yang mempunyai ekor dua buah, yaitu tali hitam yang melambai ke bawah. Dan gambar pada baju di dada itu. Suling Emas! Celaka, pikirnya. Kiranya musuh besar ayah bundanya yang datang ini? Orang yang sudah membunuh ayah bundanya, sudah tentu mempunyai niat yang tidak baik terhadap dirinya.
Dan orang itu semenjak melompat turun dari kudanya, terus memandangnya dengan sinar mata yang tajam penuh selidik! Akan tetapi laki-laki itu segera melompat dekat, tangannya mencabut sebuah benda panjang kuning mengkilap. Sebuah suling! Tak salah lagi, dialah Suling Emas, karena yang dipegangnya itu apalagi kalau bukan suling terbuat daripada emas?
Dengan gerakan cepat, ia mendekati Sian Eng, sinar kuning berkelebat dan sebentar saja tanah di sekeliling Sian Eng terbongkar. Setelah Sian Eng dapat membebaskan kedua tangannya, ia menekan tanah di pinggirnya dan meronta, terus meloncat ke atas, sama sekali tidak ingat bahwa pakaiannya tidak karuan macamnya karena pakaian itu sudah robek-robek dan hanya ia pakai sekedar menutupi tubuhnya saja. Begitu melompat dan berdiri, baru ia melihat keadaan dirinya, maka cepat-cepat ia menggerakkan kedua lengan menutupi dada!
Pemuda itu menyumpah,
“Keparat....!” cepat ia membuka jubahnya yang hitam lebar itu, melemparnya kearah Sian Eng.
Kain jubah itu tepat sekali menimpa Sian Eng dan menyelimutinya dari leher sampai ke kaki! Kini Sian Eng berdiri terlongong, memandang pemuda itu yang kini tampak lebih gagah dengan pakaian dalam yang ringkas berwarna putih.
Akan tetapi laki-laki itu tanpa menoleh lagi sudah mengerjakan sulingnya, membongkar dan menggali tanah untuk membebaskan dua orang gadis itu. Kembali ia menyumpah karena kedua orang gadis itu malah dimasukkan ke dalam sumur dalam keadaan hampir telanjang bulat.
“Benar-benar setan!”
Ia menyumpah dan dengan gemas ia merenggut kain bendera besar tanda Hek-giam-lo, merobeknya menjadi dua dan menyerahkannya kepada dua orang gadis itu yang merasa berterima kasih sekali dan terus saja mengerodongkan robekan kain hitam itu ke atas tubuh mereka.
“Lekas, kalian naik ke atas kuda ini dan cepat pergi. Amat berbahaya disini.” Ia menoleh kepada Sian Eng, tersenyum sedikit dan berkata, “Nona, kau yang terkuat diantara kalian bertiga, kau di depan dan cepat larikan kuda ini keluar wilayah Khitan.”
Semenjak tadi Sian Eng hanya melongo, tidak tahu harus berbuat apa.
“Kau.... kau.... Suling Emas....?” akhirnya dapat juga ia mengucapkan kata-kata.
Wajah tampan dan mata sayu itu menjadi agak muram, tapi ia mengangguk.
“Bukan waktunya bercakap-cakap, lekas pergi lebih baik,” katanya.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar jerit ngeri dan dua orang gadis itu roboh terguling. Kain hitam yang menyelubungi tubuh mereka terbuka dan.... kulit tubuh yang putih bersih itu sekarang berubah menghitam, mata mereka mendelik dan bibir yang tadinya merah segar kini menjadi kering membiru!
“Ah, gobloknya aku....!” Suling Emas menarik napas panjang.
“Ihhh, mereka kenapa?” Sian Eng berseru, cemas dan ngeri.
Suling Emas menunding kearah robekan kain hitam tanda Hek-giam-lo.
“Kain itu mengandung racun yang jahat. Mereka sudah mati. Agaknya lebih baik begitu. Nah, mari kita pergi.”
Sian Eng tak sempat menjawab apalagi membantah, karena tahu-tahu tangannya telah kena dipegang dan disendal. Sentakan ini demikian kuat sehingga tak tertahankan olehnya dan tubuhnya melayang ke atas punggung kuda! Pada detik berikutnya, kuda itu telah lari cepat sekali dan Suling Emas telah duduk di belakang Sian Eng.
“Tapi.... jenazah mereka itu....?”
Sian Eng berseru sambil menoleh ke arah mayat dua orang gadis senasib yang menggeletak di atas tanah dan ditinggalkan begitu saja.
“Mereka sudah mati, mau diapakan lagi?”
Jawab Suling Emas tak acuh dan ia mengeluarkan kata-kata asing dari mulutnya kepada kuda itu yang meringkik keras lalu membalap seperti terbang cepatnya.
Tidak karuan rasa hati Sian Eng. Memang ia telah terlepas daripada ancaman bahaya maut di tangan orang-orang Khitan, maut yang amat mengerikan. Akan tetapi ia terlepas dari bahaya yang satu untuk jatuh ke dalam tangan yang lain. Ia kini terjatuh ke dalam tangan Suling Emas! Apakah kehendak orang aneh ini? Sikapnya mencurigakan, wataknya juga aneh. Ada kalanya tampak baik dan suka menolong, akan tetapi di lain saat bisa berhati keras dan kejam. Jenazah dua orang gadis itu dibiarkan begitu saja!
Ingin ia dapat memandang muka Suling Emas, akan tetapi ia duduk di depan dan orang itu duduk di belakang. Sedikitnya ia merasa lega bahwa Suling Emas agaknya bukan laki-laki yang ceriwis. Tidak ada bukti-bukti yang membayangkan watak kotornya terhadap wanita.
Sekarang pun, biar mereka duduk berdua di atas punggung kuda, namun Suling Emas duduknya agak jauh di belakang sehingga tidak menyentuhnya. Kalau saja tidak tampak kedua tangan orang itu di kanan kirinya memegangi kendali kuda, tentu ia mengira bahwa Suling Emas sudah tidak berada di belakangnya lagi.
Ketika ia diculik Hek-giam-lo dan dibawa ke utara, Sian Eng mengalami perjalanan yang amat aneh, dengan Hek-giam-lo sebagai pelayan dan juga pengawasnya yang jarang mengeluarkan suara, dengan maksud yang masih merupakan rahasia baginya.
Sekarang, dalam perjalanan kembalinya menuju ke selatan bersama Suling Emas, Sian Eng mengalami perjalanan yang aneh pula. Seperti juga Hek-giam-lo, tokoh ini jarang sekali membuka mulut. Biarpun wajah yang tampan itu kelihatan selalu sayu dan muram, namun membayangkan sesuatu yang mengerikan bagi Sian Eng, tidak kalah seramnya oleh muka Hek-giam-lo, muka iblis tengkorak itu. Bagaimana takkan ngeri dan seram kalau melihat orang ini diam saja, tak pernah memandangnya, tak pernah bicara, pendeknya, tidak pernah apa-apa seperti patung hidup!
Tangis kedua orang gadis di sebelah depan dan belakangnya mengganggunya dari lamunan. Ia menengok dan perasaan kasihan memenuhi hatinya melihat dua buah kepala yang tidak berdaya dan sedang menangis terisak-isak itu, sama sekali lupa bahwa keadaannya sendiri pun tiada bedanya dengan mereka berdua. Ia tahu bahwa dia dan mereka akan menghadapi kematian yang mengerikan dan penuh sengsara. Dipendam sebatas leher dan dibiarkan sampai mati. Mungkin besok hari menerima penghinaan dari para penyiksanya sebelum mati kelaparan.
Tiba-tiba terdengar suara mengaum dari jauh. Dua orang gadis itu makin keras menangis dan Sian Eng sendiri bergidik. Tak salah lagi, itulah suara harimau yang mengaum dari dalam hutan. Bagaimana kalau raja hutan itu datang dan menyerang mereka? Dengan hanya kepalanya di atas tanah, Sian Eng dapat membayangkan betapa harimau itu akan makan kepala mereka seenaknya tanpa mereka dapat membalas atau pun melarikan diri. Siapa diantara mereka bertiga yang lebih dulu akan digerogoti harimau?
“Hu-hu-huk, Ayah.... Ibu.... tolong....!” Gadis yang berada di sebelah belakang Sian Eng menjerit-jerit.
“Aku.... aku.... takut.... ya Tuhan cabutlah nyawaku....!” Gadis cantik di sebelah depan Sian Eng mengeluh dan menangis.
Sian Eng mengerutkan keningnya, penuh iba hati. Ia tak menyalahkan dua orang gadis itu. Tentu saja mereka ketakutan. Mereka adalah gadis-gadis biasa yang lemah, oh, alangkah sengsaranya mati dalam keadaan ketakutan seperti itu.
“Enci berdua, tenangkanlah hati kalian. Manusia hidup memang hanya untuk menghadapi kematian yang sewaktu-waktu pasti akan tiba, cepat atau pun lambat. Mengapa takut? Mati adalah biasa, semua manusia akan mati, hanya waktu saja soalnya.”
Dua orang gadis itu menengok kepadanya, terheran-heran melihat Sian Eng sama sekali tidak menangis dan sama sekali tidak nampak takut.
“Aku.... aku tidak takut mati.... aku.... aku lebih baik mati. Yang kutakuti adalah kengerian ini dan.... dan penghinaan.... ah, lebih baik aku mati, tapi jangan.... jangan mati dimakan harimau....” kata gadis di depannya terisak-isak.
“Sebelum hayat meninggalkan badan, tak boleh berputus asa,” kata pula Sian Eng. “Enci berdua harap tenang saja, kalau belum waktunya kita mati, percayalah, kita takkan mati. Kalau sudah tiba waktunya mati, ah, jangankan sudah setua kita, kanak-kanak pun bisa saja mati.”
Hiburan dan kata-kata Sian Eng yang keluar dengan suara penuh ketabahan itu ternyata ada hasilnya juga. Dua orang gadis itu berhenti menangis dan anehnya, auman binatang buas dari dalam hutan tidak terdengar lagi. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sian Eng untuk mengajak dua orang teman “senasib sependeritaan” itu untuk bercakap-cakap.
Dari mereka dia memperoleh keterangan bahwa seperti juga dia, dua orang itu diculik oleh tokoh-tokoh Khitan karena disangka sang puteri! Akan tetapi begitu tiba di depan raja, mereka ditelanjangi dan diperiksa punggung mereka, karena katanya puteri itu mempunyai tanda merah di punggungnya. Tentu saja, seperti juga Sian Eng, mereka tidak memiliki tanda seperti itu karena memang mereka bukanlah puteri Khitan. Kemudian dengan air mata bercucuran dua orang gadis itu bercerita betapa selama tiga hari mereka menjadi permainan raja yang kejam.
Sian Eng menjadi panas hatinya. Jiwa pendekar dalam hatinya bergolak. Kalau saja ia mendapat kesempatan, tentu akan dibunuhnya Raja Khitan itu. Dan menghadapi penderitaan dua orang gadis itu, ia tidak dapat bicara banyak. Akan tetapi setidaknya percakapan mereka itu juga merupakan hiburan yang lumayan untuk melewatkan malam yang mengerikan ini.
Tentu saja semalam suntuk mereka tak mampu tidur semenit pun juga dan menjelang pagi, karena teringat bahwa para penyiksa itu tentu akan menghabisi nyawa mereka dengan siksaan-siksaan keji, dua orang gadis itu mulai menangis lagi. Sian Eng tidak mampu lagi menghibur mereka. Gadis ini mengambil keputusan bahwa kalau ia diberi kesempatan satu kali saja terbebas dari kuburan itu, ia akan mengamuk sampai mati!
Terdengar derap kaki kuda dari jauh, makin lama makin dekat. Dua orang wanita itu menoleh ke arah Sian Eng dan air mata mereka bercucuran.
“Adik Sian Eng, selamat berpisah....”
“Mudah-mudahan kematian segera datang menjemputku....” kata gadis di belakang Sian Eng, menyambut ucapan gadis di depan.
Sian Eng terharu, akan tetapi ia malah memaksa diri tersenyum,
“Enci, kalau seorang diantara kita mati, tentu yang dua akan mati pula. Bagaimana bisa bilang selamat berpisah? Kita takkan pernah berpisah kurasa, mati pun akan bersama-sama. Bukankah itu menyenangkan sekali? Kita akan ada teman selalu, biar di alam sana pun.”
Derap kaki kuda sudah dekat sekali, datang dari arah belakang mereka. Tiga orang gadis itu dapat menoleh ke kiri kanan, akan tetapi tentu saja tidak mungkin menengok ke belakang, karena tubuh mereka yang terpendam tanah itu sama sekali tidak dapat digerakkan. Oleh karena itu, biarpun hati mereka sekali memandang, mereka tidak dapat dan tidak tahu siapa gerangan penunggang kuda yang datang ini.
Tak lama kemudian, seekor kuda yang besar dan kuat berlari congklang dan berhenti dekat mereka. Seorang laki-laki berpakaian serba hitam melompat turun. Dua orang gadis itu hanya mengerling sebentar dan segera menutup mata dan menangis lagi. Pakaian orang ini sama dengan Si Iblis Hitam, mengerikan.
Akan tetapi Sian Eng menoleh ke kiri dan memandang dengan mata tajam dan kening berkerut. Darahnya berdenyut-denyut, jantungnya berdebar, membuat ia merasa dadanya sesak sekali. Si Jubah Hitam itu sama sekali bukan Hek-giam-lo, melainkan seorang laki-laki muda yang berwajah gagah sekali, tampan dan memiliki sepasang mata yang sayu di bawah lindungan sepasang alis yang tebal, hitam dan berbentuk panjang gompyok. Seorang laki-laki yang tampan dan tinggi besar.
Yang membuat Sian Eng berdebar tidak karuan hatinya adalah jubah hitam itu, mengingatkan ia akan laki-laki yang pernah ia lihat punggungnya yang berjubah hitam dan topinya, topi pelajar yang mempunyai ekor dua buah, yaitu tali hitam yang melambai ke bawah. Dan gambar pada baju di dada itu. Suling Emas! Celaka, pikirnya. Kiranya musuh besar ayah bundanya yang datang ini? Orang yang sudah membunuh ayah bundanya, sudah tentu mempunyai niat yang tidak baik terhadap dirinya.
Dan orang itu semenjak melompat turun dari kudanya, terus memandangnya dengan sinar mata yang tajam penuh selidik! Akan tetapi laki-laki itu segera melompat dekat, tangannya mencabut sebuah benda panjang kuning mengkilap. Sebuah suling! Tak salah lagi, dialah Suling Emas, karena yang dipegangnya itu apalagi kalau bukan suling terbuat daripada emas?
Dengan gerakan cepat, ia mendekati Sian Eng, sinar kuning berkelebat dan sebentar saja tanah di sekeliling Sian Eng terbongkar. Setelah Sian Eng dapat membebaskan kedua tangannya, ia menekan tanah di pinggirnya dan meronta, terus meloncat ke atas, sama sekali tidak ingat bahwa pakaiannya tidak karuan macamnya karena pakaian itu sudah robek-robek dan hanya ia pakai sekedar menutupi tubuhnya saja. Begitu melompat dan berdiri, baru ia melihat keadaan dirinya, maka cepat-cepat ia menggerakkan kedua lengan menutupi dada!
Pemuda itu menyumpah,
“Keparat....!” cepat ia membuka jubahnya yang hitam lebar itu, melemparnya kearah Sian Eng.
Kain jubah itu tepat sekali menimpa Sian Eng dan menyelimutinya dari leher sampai ke kaki! Kini Sian Eng berdiri terlongong, memandang pemuda itu yang kini tampak lebih gagah dengan pakaian dalam yang ringkas berwarna putih.
Akan tetapi laki-laki itu tanpa menoleh lagi sudah mengerjakan sulingnya, membongkar dan menggali tanah untuk membebaskan dua orang gadis itu. Kembali ia menyumpah karena kedua orang gadis itu malah dimasukkan ke dalam sumur dalam keadaan hampir telanjang bulat.
“Benar-benar setan!”
Ia menyumpah dan dengan gemas ia merenggut kain bendera besar tanda Hek-giam-lo, merobeknya menjadi dua dan menyerahkannya kepada dua orang gadis itu yang merasa berterima kasih sekali dan terus saja mengerodongkan robekan kain hitam itu ke atas tubuh mereka.
“Lekas, kalian naik ke atas kuda ini dan cepat pergi. Amat berbahaya disini.” Ia menoleh kepada Sian Eng, tersenyum sedikit dan berkata, “Nona, kau yang terkuat diantara kalian bertiga, kau di depan dan cepat larikan kuda ini keluar wilayah Khitan.”
Semenjak tadi Sian Eng hanya melongo, tidak tahu harus berbuat apa.
“Kau.... kau.... Suling Emas....?” akhirnya dapat juga ia mengucapkan kata-kata.
Wajah tampan dan mata sayu itu menjadi agak muram, tapi ia mengangguk.
“Bukan waktunya bercakap-cakap, lekas pergi lebih baik,” katanya.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar jerit ngeri dan dua orang gadis itu roboh terguling. Kain hitam yang menyelubungi tubuh mereka terbuka dan.... kulit tubuh yang putih bersih itu sekarang berubah menghitam, mata mereka mendelik dan bibir yang tadinya merah segar kini menjadi kering membiru!
“Ah, gobloknya aku....!” Suling Emas menarik napas panjang.
“Ihhh, mereka kenapa?” Sian Eng berseru, cemas dan ngeri.
Suling Emas menunding kearah robekan kain hitam tanda Hek-giam-lo.
“Kain itu mengandung racun yang jahat. Mereka sudah mati. Agaknya lebih baik begitu. Nah, mari kita pergi.”
Sian Eng tak sempat menjawab apalagi membantah, karena tahu-tahu tangannya telah kena dipegang dan disendal. Sentakan ini demikian kuat sehingga tak tertahankan olehnya dan tubuhnya melayang ke atas punggung kuda! Pada detik berikutnya, kuda itu telah lari cepat sekali dan Suling Emas telah duduk di belakang Sian Eng.
“Tapi.... jenazah mereka itu....?”
Sian Eng berseru sambil menoleh ke arah mayat dua orang gadis senasib yang menggeletak di atas tanah dan ditinggalkan begitu saja.
“Mereka sudah mati, mau diapakan lagi?”
Jawab Suling Emas tak acuh dan ia mengeluarkan kata-kata asing dari mulutnya kepada kuda itu yang meringkik keras lalu membalap seperti terbang cepatnya.
Tidak karuan rasa hati Sian Eng. Memang ia telah terlepas daripada ancaman bahaya maut di tangan orang-orang Khitan, maut yang amat mengerikan. Akan tetapi ia terlepas dari bahaya yang satu untuk jatuh ke dalam tangan yang lain. Ia kini terjatuh ke dalam tangan Suling Emas! Apakah kehendak orang aneh ini? Sikapnya mencurigakan, wataknya juga aneh. Ada kalanya tampak baik dan suka menolong, akan tetapi di lain saat bisa berhati keras dan kejam. Jenazah dua orang gadis itu dibiarkan begitu saja!
Ingin ia dapat memandang muka Suling Emas, akan tetapi ia duduk di depan dan orang itu duduk di belakang. Sedikitnya ia merasa lega bahwa Suling Emas agaknya bukan laki-laki yang ceriwis. Tidak ada bukti-bukti yang membayangkan watak kotornya terhadap wanita.
Sekarang pun, biar mereka duduk berdua di atas punggung kuda, namun Suling Emas duduknya agak jauh di belakang sehingga tidak menyentuhnya. Kalau saja tidak tampak kedua tangan orang itu di kanan kirinya memegangi kendali kuda, tentu ia mengira bahwa Suling Emas sudah tidak berada di belakangnya lagi.
Ketika ia diculik Hek-giam-lo dan dibawa ke utara, Sian Eng mengalami perjalanan yang amat aneh, dengan Hek-giam-lo sebagai pelayan dan juga pengawasnya yang jarang mengeluarkan suara, dengan maksud yang masih merupakan rahasia baginya.
Sekarang, dalam perjalanan kembalinya menuju ke selatan bersama Suling Emas, Sian Eng mengalami perjalanan yang aneh pula. Seperti juga Hek-giam-lo, tokoh ini jarang sekali membuka mulut. Biarpun wajah yang tampan itu kelihatan selalu sayu dan muram, namun membayangkan sesuatu yang mengerikan bagi Sian Eng, tidak kalah seramnya oleh muka Hek-giam-lo, muka iblis tengkorak itu. Bagaimana takkan ngeri dan seram kalau melihat orang ini diam saja, tak pernah memandangnya, tak pernah bicara, pendeknya, tidak pernah apa-apa seperti patung hidup!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar