FB

FB


Ads

Kamis, 30 Mei 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 038

Malam itu Suling Emas terpaksa menghentikan kudanya. Malam amat gelap sehingga tak mungkin melanjutkan perjalanan. Mereka berhenti di sebuah lereng bukit, di pinggir jalan. Kuda hitam belang putih itu tidak diikat, dibiarkan terlepas begitu saja.

Suling Emas lalu mengumpulkan ranting dan daun kering, membuat api unggun di bawah pohon besar. Mengambil roti kering dan tempat minum dari kantung yang tergantung di punggung kuda, lalu duduk di dekat api unggun. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menoleh ke arah Sian Eng dan sinar matanya saja yang mengajak gadis itu duduk mendekati api.

Sian Eng mendekat, lalu duduk di atas rumput kering dekat api unggun. Tanpa berkata sesuatu, Suling Emas memberi roti kering dan tempat minum. Sian Eng menghela napas, akan tetapi menerima roti dan makan roti itu, karena perutnya terasa amat lapar. Sehari suntuk mereka menunggang kuda, tak pernah berhenti sebentar pun juga, tidak makan tidak minum. Sudah lama Sian Eng tidak pernah menunggang kuda dan sekarang, sekali naik kuda sehari penuh. Punggungnya terasa kaku dan seluruh badan sakit-sakit!

Mereka makan roti kering dan minum air tawar tanpa bicara. Sesudah makan, Sian Eng melihat betapa Suling Emas hanya duduk termenung memandang api yang bernyala-nyala, duduk tak bergerak dan mata itu bersinar-sinar, hilang kesayuannya. Wajah yang tampan dan aneh itu pun tidak muram lagi, malah agak berseri.

Keindahan api itukah yang mendatangkan semua ini? Ataukah karena di dalam nyala api ia melihat atau teringat akan sesuatu? Diam-diam Sian Eng menatap wajah itu dari samping. Wajah yang tampan, dengan guratan-guratan yang membayangkan penderitaan hidup, guratan kematangan jiwa. Tidak terlalu muda lagi biarpun tak mungkin mengatakan bahwa dia itu sudah tua. Sukar menaksir usianya. Akhirnya Sian Eng tak dapat menahan lagi kegelisahannya.

“Kau hendak membawaku kemana?”

Suling Emas agaknya terkejut mendengar suara ini. Tadinya ia melamun dan seakan-akan telah lupa bahwa di dekatnya terdapat seorang manusia lain. Suara Sian Eng seperti menyeretnya turun dari dunia lamunan dan gagap ia menoleh sambil bertanya.

“Apa....?”

Mendongkol juga hati Sian Eng. Orang ini terlalu memandang remeh kepadanya, pikirnya. Dengan ketus ia bertanya.

“Dengan maksud apa kau menolongku, dan kemana kau hendak membawaku pergi?”

“Dengan maksud apa?” Agaknya pertanyaan ini membuat Suling Emas kembali melamun sebentar, mengingat-ingat setelah mengulang pertanyaan itu, kemudian ia menjawab, “Tentu saja agar kau bebas daripada ancaman bahaya, dan tentu saja membawamu pergi dari daerah yang dikuasai orang-orang Khitan.”

Sian Eng tak dapat berkata apa-apa lagi. Memang alangkah bodohnya pertanyaannya tadi. Tentu saja begitulah tujuan Suling Emas menolongnya, tanpa bertanya pun seharusnya ia mengerti. Akan tetapi, Suling Emas ini bukan orang biasa, melainkan musuh besarnya! Kembali berdebar jantungnya dan dia memandang wajah yang sudah menoleh kembali menatap api unggun.

“Kurasa bukan itu maksudmu,” ia berkata dengan suara tegas dan ketus. “Suling Emas, kau telah membunuh ayah bundaku! Sekarang kau pura-pura menolongku, tentu dengan maksud tertentu yang.... yang tidak baik!”

Suling Emas mengangguk-angguk, tetap memandang api, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri, agaknya ia gembira sekali mendengar ini.

“Hemmm.... itukah sebabnya mengapa kalian bertiga mencari-cari Suling Emas? Pantas saja kalian menghujankan senjata rahasia kepadaku di hutan itu....”

Sian Eng terkejut. Jadi orang ini sudah tahu bahwa dia dan dua orang saudaranya mencari-carinya, malah tahu pula akan penyerangan di dalam hutan itu! Benar-benar orang aneh dan lihai sekali. Akan tetapi ia tidak takut.

“Memang betul. Biarpun kau berkepandaian tinggi, karena kau membunuh ayah bunda kami, kami hendak menuntut balas. Malah sekarang juga aku menantangmu untuk bertempur. Kau harus menebus kematian orang tuaku dengan nyawamu, atau aku yang akan mengorbankan nyawa dalam menuntut balas dendam!”






Sian Eng meloncat bangun dan memasang kuda-kuda, mengambil keputusan untuk mengadu nyawa dengan musuh besarnya walaupun ia cukup maklum bahwa kepandaiannya sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan tokoh aneh ini.

Suling Emas tetap tidak menoleh, malah menggunakan sebatang ranting untuk mengorek api unggun sehingga nyala api membesar, menerangi wajahnya yang tampan dan yang kini berkerut-kerut di bagian jidatnya itu.

“Hemmm, kalian bodoh. Aku tidak membunuh orang tua kalian, tahu pun tidak aku siapa mereka dan siapa kalian bertiga. Mana bisa aku membunuh orang yang tak kuketahui siapa dan dimana tempat tinggalnya?”

Sian Eng ragu-ragu dan bimbang. Ketegangan yang sudah memenuhi tubuhnya tadi mengendur,

“Tapi.... tapi.... sebelum meninggal, Ibu bilang.... tentang pembunuh itu.... menyebut-nyebut tentang suling....”

“Jangan bodoh. Duduklah dan ceritakan yang jelas. Kalau aku membunuh orang, siapapun dia itu, aku takkan menyangkal. Suling Emas tidak biasa menyangkal perbuatannya, tidak biasa bersikap pengecut, berani berbuat harus berani bertanggung jawab.”

Biarpun Suling Emas tidak menengok dan masih memandang api namun terasa oleh Sian Eng bahwa ucapannya itu keluar dari lubuk hati. Kemarahannya melunak dan ia lalu duduk lagi dekat api, melirik ke arah orang itu dengan bingung.

“Kalau bukan engkau, siapa....?”

Pertanyaan ini keluar dari bibirnya tanpa ia sadari, seakan-akan suara hatinya yang terdengar melalui bibirnya.

“Bukan aku!” jawab Suling Emas pasti. “Kalau kau mau, ceritakanlah tentang pembunuhan itu.”

Sian Eng percaya. Andaikata orang ini yang membunuh orang tuanya, kiranya tak perlu menyangkal memang. Kepandaiannya tinggi dan dia sendiri akan dapat berbuat apakah terhadap Suling Emas? Dan hatinya menjadi agak lega.

Syukur kalau bukan Suling Emas. Pertama, karena kalau benar dia pembunuhnya, tentu sukar sekali membalas dendam. Kedua, ia sudah ditolongnya terlepas daripada bahaya maut di tangan orang-orang Khitan. Ke tiga, ia ingat sekarang, dan tahu bahwa dia bersama dua orang saudaranya dahulu itu pun dibebaskan daripada bahaya maut ditangan It-gan Kai-ong oleh Suling Emas. Kalau Suling Emas pembunuh orang tua mereka dan sekaligus penolong mereka, bukankah hal itu akan menimbulkan hal yang amat membingungkan?

“Ah, kalau begitu maafkan kami. Kami selalu mengira kaulah musuh besar kami. Ah, kalau begitu benar dugaan Lin-moi....”

“Lin-moi? Siapa?”

“Adikku....”

“Ahhh, begitu? Kalau tidak keberatan, ceritakan tentang pembunuhan itu.”

Sian Eng berpikir sejenak. Apa salahnya menceritakan hal itu kepada Suling Emas yang sekarang bukan lagi merupakan musuh, malah menjadi penolong? Siapa tahu dari tokoh ini ia akan dapat mengetahui siapa gerangan pembunuh ayah bundanya.

“Kami adalah keluarga Kam, tinggal di dusun Ting-chun di kaki Gunung Cin-ling-san. Ayah kami....”

“Jenderal Kam.”

Sian Eng terkejut dan kembali ia menjadi curiga.
“Bagaimana kau bisa tahu?”

Masih tetap merenung dan memandang api, Suling Emas menjawab tak acuh.
“Banyak tokoh kukenal. Jenderal Kam bukanlah orang yang tidak ternama. Teruskanlah.”

Sian Eng melanjutkan penuturannya, semenjak munculnya Giam Sui Lok sampai dengan terbunuhnya Kam Si Ek suami isteri dan juga Giam Sui Lok dalam keadaan mengerikan. Ia menceritakan semuanya, malah urusan kakaknya, Kam Bu Song yang harus mereka cari itu pun ia ceritakan kepada Suling Emas.

Panjang ceritanya, memakan waktu seperempat jam untuk menceritakan semua dengan jelas. Dan selama itu, Suling Emas duduk menghadapi api tanpa bergerak. Tak pernah menoleh kepadanya, tak pernah pula memotong ceritanya sehingga kadang-kadang Sian Eng meragu apakah ia didengar orang. Ia merasa seperti bercerita kepada sebatang pohon atau kepada sebuah patung!

“Begitulah, kami bertiga berangkat meninggalkan kampung halaman, pergi menuju ke kota raja untuk mencari musuh besar kami dan juga kakak kami Kam Bu Song. Akan tetapi, belum tercapai maksud kami dan belum selesai tugas kami, musuh belum terdapat, kakak belum bertemu, kami sudah cerai-berai tertimpa malapetaka.”

Dengan ringkas Sian Eng menceritakan betapa adiknya, Lin Lin, lenyap di atas gedung keluarga bangsawan Suma di An-sui. Kemudian betapa dia dan kakaknya, Bu Sin, yang mendatangi keluarga Suma untuk bertanya tentang kakak mereka, diserang dan ditangkap oleh Suma Boan.

“Tak tahu aku bagaimana akan nasib Sin-ko.” Ia mengakhiri ceritanya dengan suara penuh kegelisahan.

“Tak perlu gelisah. Dia selamat.”

“Bagaimana kau tahu?” Sian Eng bertanya, nada suaranya gembira dan lega bukan main. Tadinya ia mengira bahwa kakaknya itu mungkin sekali tewas dalam tangan putera pangeran yang jahat dan lihai itu. “Ah, tentu kau telah menolongnya pula, bukan?”

Suling Emas menunduk, lalu berkata perlahan,
“Menolong sih tidak, hanya aku melihat dia diikat, luka-luka oleh anak panah Suma Boan. Tak dapat aku membiarkan dia mati begitu, kuambil dia dan sekarang dia sudah bebas daripada bahaya. Kalian bertiga sungguh tak tahu diri....”

Sian Eng mengerutkan kening. Kalau saja ia tidak ingat bahwa orang ini sudah menolongnya, juga sudah menyelamatkan Bu Sin, tentu ia akan marah sekali. Kata-kata yang tidak hanya mencela, akan tetapi juga sifatnya memandang rendah, bahkan menghina.

“Kau sudah menolong kami, patut aku berterima kasih kepadamu. Akan tetapi, mengapa kau melakukan semua ini? Mengapa kau menolong kami apa pula maksud kata-katamu tadi bahwa kami adalah tiga orang yang tak tahu diri?”

Suling Emas bangkit berdiri untuk mengumpulkan ranting di sekitar tempat itu, kemudian ia membanting ranting-ranting kering itu dekat api unggun dan berkata, suaranya seperti orang marah,

“Kalian bertiga dengan kepandaian yang tidak berarti begitu berani mati melakukan perantauan untuk mencari musuh besar yang belum diketahui siapa! Sungguh menyia-nyiakan usia muda. Apa yang kalian dapat lakukan kalau bertemu dengan orang-orang jahat? Bagaimana seandainya bertemu dengan orang yang membunuh ayah bundamu?”

Sian Eng maklum akan maksud kata-kata Suling Emas, tahu bahwa kepandaian mereka bertiga memang masih jauh jika dibandingkan dengan kepandaian beberapa orang tokoh besar dalam dunia kang-ouw. Akan tetapi tadinya ketika mereka melakukan perantauan, mereka sama sekali tidak mengira akan hal ini, sama sekali tidak pernah mengira bahwa di dunia ini begitu banyaknya orang pandai, orang aneh dan orang jahat. Betapapun juga, ia tetap tidak menjadi jerih.

“Kalau bertemu, biar kepandaiannya setinggi langit, aku akan melawannya dan mengajaknya bertanding mati-matian!” Sian Eng menjawab dengan suara lantang.

Suling Emas mendengus.
“Huh, mudah saja bicara. Kau anak kecil....”

Sian Eng mau marah, tapi tidak dapat. Betapapun juga ia memang merasa seperti anak kecil di depan pemuda yang aneh ini, yang bersikap begitu alim, pendiam dan serius.

“Memang aku anak kecil, biarlah, memang tidak setua engkau,” kata-kata ini untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya.

Suling Emas menoleh, agak tersenyum dan aneh sekali. Mendadak saja kemarahan Sian Eng lenyap dan ia merasa seakan-akan sudah lama mengenal orang ini, sudah sering kali bertemu. Hal yang tidak mungkin. Barangkali bertemu dalam alam mimpi!

“Dan kenapa kau menolongku, menolong Sin-ko?”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar