“Siapa menolong siapa? Aku tidak menolong siapa-siapa, hanya melakukan kewajiban sebagai manusia. Kesembronoan kalian bertiga sudah membawa korban. Adikmu yang paling kecil itu hilang, kau bilang tadi ia meninggalkan surat dan menyatakan bahwa ia dibawa pergi Kim-lun Seng-jin? Untung bertemu dengan Kim-lun Seng-jin. Kalau yang membawa itu seorang diantara Thian-te Liok-koai (Enam Setan), apakah tidak celaka sekali?”
Sian Eng memandang heran. Orang ini tidak mau disebut menolong, sikapnya acuh tak acuh, tidak peduli, akan tetapi kadang-kadang bisa marah-marah. Memang aneh sekali, membuat ia bingung. Ah, kalau saja ada Lin Lin disini, pikirnya, tentu kau akan tahu rasa. Lin Lin wataknya tidak kalah anehnya, dan adiknya itu pandai sekali bicara, pandai berdebat dan andaikata disitu ada Lin Lin, agaknya keadaannya akan berubah. Suling Emas ini tentu akan menjadi gelagapan dan gagap gugup menghadapi serangan bicara Lin Lin.
“Tak perlu kau marah-marah kepadaku,” akhirnya ia berkata, “kau mau menolong atau tidak, terserah. Juga kau mau memberi tahu kepadaku, kalau kau mengetahuinya, siapa adanya pembunuh ayah bundaku dan dimana pula adanya kakakku Bu Song, terserah.”
Suling Emas kembali membuang muka memandang api unggun. Wajahnya yang tadi agak berseri dan tampak sekali ketampanannya, sekarang kembali menjadi suram-muram seperti wajah patung mati. Setelah menarik napas beberapa kali dan menambah ranting pada api, ia berkata.
“Siapa yang membunuh ayah bundamu, aku tidak tahu. Terang bukanlah aku. Akan tetapi karena kau dan saudara-saudaramu menuduhku, aku akan berusaha mendapatkan siapa pembunuh itu. Tentang pelajar bernama Bu Song itu, setahuku dia sudah mampus!”
Kaget sekali hati Sian Eng mendengar berita terakhir ini, apalagi Suling Emas kelihatannya tidak senang ketika bicara tentang kakaknya, Bu Song.
“Bagaimana kau bisa tahu? Kenalkah kau dengan kakakku Bu Song? Bagaimana matinya? Harap kau suka bercerita kepadaku.”
Suling Emas menggeleng kepalanya.
“Tidak ada yang dapat diceritakan tentang diri pemuda tolol itu. Kenyataan bahwa dia meninggalkan ayahnya dan tak pernah kembali atau memberi kabar membuktikan bahwa dia tidak berharga untuk dipikirkan lagi. Mengapa kau bersama saudara-saudaramu bersitegang hendak mencarinya?”
Sian Eng tidak menjawab dan mendengar bahwa kakak sulung yang sedang dicari-cari itu telah meninggal dunia, tak dapat ditahannya lagi ia menangis terisak-isak. Suling Emas membiarkan ia menangis sampai lama. Baru kemudian terdengar ia berkata.
“Sudahlah, ditangisi air mata darah sekalipun tiada gunanya. Lebih baik kau memikirkan keadaan saudara-saudaramu yang masih ada. Kakakmu Bu Sin selamat dan tentu berada di tempat tidak jauh dari kota raja. Besok kita pergi kesana dan aku akan mengantarmu sampai di kota raja. Kemudian, kalau aku dapat bertemu dengan orang aneh Kim-lun Seng-jin, akan kupesan agar dia mengembalikan adikmu yang bernama Lin Lin itu. Kemudian kalian bertiga lebih baik pulang ke Ting-chun di kaki Gunung Cin-ling-san. Sekarang kau tidurlah.”
Setelah berkata demikian, Suling Emas duduk menjauhi Sian Eng, kembali merenung dekat api unggun.
Sian Eng maklum bahwa percuma mengajak bicara orang aneh ini, maka ia pun membaringkan tubuh. Sampai jauh malam masih terdengar beberapa kali ia mengisak. Akan tetapi kelelahan dan kedukaan membuat ia tertidur.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Eng sudah terbangun dan alangkah herannya ketika ia melihat pakaian terletak di dekatnya. Ia cepat bangkit duduk. Suling Emas telah menggosok-gosok tubuh kudanya dan tak jauh dari situ terdapat api unggun.
Sian Eng tertegun memandang. Orang aneh yang telah menolongnya itu sedang bersenandung. Entah apa yang dinyanyikannya karena terlalu perlahan untuk dapat ditangkap pendengarannya, akan tetapi Sian Eng mendengar suara yang menggetar penuh perasaan dalam lagu sedih yang disenandungkan itu. Bau hangus membuat ia cepat memandang api unggun dan kiranya di atas api itu terpanggang sepotong besar daging.
“Daging hangus....!”
Otomatis Sian Eng melompat, menutupkan jubah hitam yang terbuka di bagian dada, lari menghampiri daging itu dan membaliknya.
Suara senandung menghilang.
“Wah, aku lupa....! Rusakkah dagingnya?” Suling Emas sudah mendekat.
“Tidak, hanya hangus sedikit. Pakaian itu.... punya siapa?”
“Kaupakailah. Malam tadi kudapatkan dari dusun disana.”
Setelah berkata demikian, Suling Emas meninggalkan Sian Eng, kembali pada kudanya dan melanjutkan menggosok-gosok tubuh kudanya, berdiri membelakangi gadis itu. Sian Eng memandang wajahnya agak merah, dadanya berdegup aneh. Orang yang selama ini disangkanya musuh besar pembunuh ayah bundanya, kiranya seorang penolong dan seorang yang amat baik, orang yang menarik hatinya.
Tak mungkin, Sian Eng membantah di dalam hatinya, dia jauh lebih tua dariku, dia orang aneh. Gadis ini mengusir perasaan tertarik di hatinya, bersembunyi di belakang sebatang pohon besar untuk mengganti pakaian. Beberapa menit kemudian ia telah bersalin pakaian. Jubah hitam milik Suling Emas ia lipat baik-baik, kemudian ia menghampiri daging panggang yang sudah masak.
“Dagingnya sudah matang!” ia berteriak pada punggung yang lebar itu.
Suling Emas membalikkan tubuhnya, memandang dan tersenyum sedikit melihat Sian Eng telah berganti pakaian. Sian Eng yang mengharapkan datangnya ucapan pujian dari mulut Suling Emas, kecewa karena orang itu tidak berkata sesuatu.
“Ini jubahmu, terima kasih,” Sian Eng mengembalikan lipatan jubah hitam.
Suling Emas menerimanya tanpa berkata sesuatu, terus jubah itu dipakainya.
“Kita sarapan daging panggang lalu berangkat ke kota raja,” katanya singkat.
Sian Eng hanya mengangguk dan keduanya lalu makan daging panggang dan kue kering yang menjadi bekal Suling Emas. Setelah selesai makan, Suling Emas berkata, suaranya serius,
“Jangan menyangka yang bukan-bukan. Kau harus membonceng kuda di depanku agar perjalanan dapat dilakukan lebih cepat. Mudah-mudahan sesampainya di kota raja, kau akan dapat bertemu dengan kakakmu Bu Sin. Silakan!”
Kalau saja kata-kata itu tidak diucapkan demikian serius dan wajah Suling Emas yang tampan itu kelihatan angker, tentu Sian Eng akan menjadi malu dan mungkin tak sudi ia berboncengan di atas seekor kuda dengan orang ini. Akan tetapi karena ia ingin segera bertemu kembali dengan saudaranya, ia tidak mau membantah.
Dengan ringan ia bergerak, tubuhnya meloncat ke atas punggung kuda. Tiba-tiba kuda itu melonjak dan berlari cepat sekali seperti terbang. Sian Eng terkejut. Di mana Suling Emas? Apakah ia dibawa kabur kuda dan Suling Emas tertinggal di belakang? Dalam gugupnya ia menengok dan.... hampir saja dia beradu hidung dengan orang yang duduk di belakangnya!
Kiranya Suling Emas sudah duduk di belakangnya, agak di belakang sehingga tubuh mereka tidak bersentuhan. Agaknya orang ini demikian ringan gerakannya sehingga ia sama sekali tidak tahu bahwa dia sudah berada di belakangnya tadi. Cepat Sian Eng membalikkan mukanya yang menjadi merah sekali dan diam-diam ia amat kagum akan kehebatan kepandaian orang ini, juga kagum akan kesopanannya. Biarpun ia duduk berboncengan seperti itu, namun ia tidak merasa kikuk karena Suling Emas benar-benar berlaku sopan, duduknya agak jauh di belakang.
Memang benar ucapan Suling Emas. Kuda itu luar biasa larinya, cepat seperti terbang dan andaikata mereka melakukan perjalanan tanpa kuda, tentu akan lebih melelahkan, juga lambat. Suling Emas melakukan perjalanan cepat dan terus-menerus, hanya berhenti dua kali sehari. Bahkan kadang-kadang di malam hari mereka melanjutkan perjalanan.
Makin lama, makin percaya Sian Eng kepada orang aneh ini. Di dekat Suling Emas, ia merasa aman tenteram, kecurigaannya lenyap sama sekali dan ia memandang orang ini sebagai seorang pendekar besar yang amat mengagumkan. Yang ia sayangkan, Suling Emas orangnya pendiam, tak pernah mau bicara kalau tidak ditanya. Menjawab pertanyaan pun hanya singkat-singkat seperlunya saja. Hal ini mengecewakan hati Sian Eng karena gadis ini ingin sekali mendengar riwayat hidup orang aneh yang mengagumkan hatinya ini.
Ketika memasuki pintu gerbang kota raja pagi hari itu, banyak orang memandang mereka dengan kagum dan heran. Kagum karena melihat kuda besar bagus ditunggangi sepasang orang muda yang elok dan gagah. Agaknya Suling Emas hendak menyembunyikan dirinya karena ia telah menggunakan sehelai saputangan untuk menutupi gambar suling di dadanya. Namun telinga Sian Eng masih dapat menangkap beberapa orang di pinggir jalan berbisik,
“Dia.... Suling Emas....”
Suling Emas menghentikan kudanya di dalam pekarangan lebar sebuah kelenteng, mengajak Sian Eng turun. Di ruangan depan mereka disambut oleh beberapa orang hwesio (pendeta Buddha) yang segera memberi hormat kepada Suling Emas.
“Harap para Losuhu (Bapak Pendeta) sudi menerima Nona Kam ini sebagai tamu terhormat dan membantunya dalam usahanya menjumpai saudaranya di kota raja.”
“Omitohud.... tentu saja, Taihiap (Pendekar Besar)! Silakan masuk, Nona.... dan anggaplah disini sebagai tempait tinggalmu sendiri,” kata hwesio tua itu dengan ramah tamah. “Apakah Taihiap tidak keberatan untuk singgah dulu dan minum teh?”
Suling Emas menggelengkan kepalanya.
“Terima kasih, Losuhu. Saya masih mempunyai banyak urusan.” Kemudian ia menoleh kepada Sian Eng dan berkata. “Di kelenteng ini, kau berada di tempat yang aman, dan dengan bantuan para Losuhu disini, kalau saudaramu berada di kota raja, tentu kau dapat bertemu dengannya. Ingat, kalau kalian bertiga sudah saling bertemu dan berkumpul, satu-satunya hal terbaik bagi kalian adalah kembali ke Ting-chun. Nah, selamat berpisah.”
Suling Emas memberi hormat kepada pendeta kepala, lalu meloncat di atas punggung kudanya yang lari cepat meninggalkan tempat itu.
Sian Eng berdiri bengong, tak dapat berkata sesuatu. Apa yang dapat ia katakan? Berkumpul dengan orang itu, melakukan perjalanan bersama beberapa hari, telah membuktikan keluhuran budi Suling Emas, kesopanannya, akan tetapi juga keanehannya.
Agaknya ada sesuatu yang menekan perasaan orang itu, ada sesuatu yang dideritanya di dalam batin, yang membuatnya tampak pendiam, tidak pedulian, dan wajahnya yang tampan selalu muram seperti matahari yang selalu tertutup mendung di musim hujan. Tiba-tiba ia menoleh kepada pendeta kepala hwesio yang gendut peramah itu.
“Losuhu, dia itu.... Suling Emas itu.... orang macam apakah dia?”
Pertanyaan yang aneh ini keluar begitu saja dari mulut Sian Eng, langsung sebagai peluapan hatinya. Untung yang diajak bicara adalah seorang hwesio tua, kalau orang lain tentu akan memalukan sekali. Hwesio itu hanya tertawa, kemudian menjawab.
“Bukan hanya kau yang mengajukan pertanyaan seperti ini, Nona. Banyak orang, di antaranya pinceng (aku) sendiri! Tapi, siapa dapat menjawab? Kalau pinceng yang menjawab hanya begini: dia itu seorang pendekar besar yang berwatak aneh, kalau sedang menolong orang bijaksana seperti dewa, kalau menghadapi lawan ganas seperti iblis. Itulah Suling Emas, dan tidak pernah ada orang yang dapat menceritakan siapa dia. Tapi bagi kami, sudah cukup kalau mengetahui bahwa dia itu seorang yang baik, selalu berfihak kepada yang benar biarpun kadang-kadang amat sulit untuk dimengerti, Nona, kami menerima perintahnya, harus kami kerjakan baik-baik. Silakan masuk, Nona, ada sebuah kamar yang bersih untukmu. Tentang saudaramu, nanti kita bicarakan dan tentu para murid disini siap untuk membantumu mencarinya, kalau betul dia itu berada di dalam kota raja.”
Lega hati Sian Eng, sungguhpun keterangan tentang diri Suling Emas itu membuat hatinya makin penasaran dan ingin tahu. Ia memasuki kelenteng dan memang benar, para hwesio melayaninya penuh penghormatan dan kesopanan sehingga Sian Eng tidak ragu-ragu untuk mengajak mereka itu merundingkan tentang kedua saudaranya yang berpisah darinya. Ia memberi gambaran tentang diri Bu Sin dan Lin Lin dan memesan agar para hwesio yang melihat kedua orang ini di kota raja, segera memberi tahu kepadanya.
Para hwesio itu tampak bersemangat sekali membantu Sian Eng, dan gadis ini maklum bahwa semangat ini timbul karena keyakinan bahwa membantu Sian Eng berarti membantu Suling Emas dengan melaksanakan perintahnya! Makin kagumlah hatinya terhadap orang rahasia yang sanggup membikin orang-orang alim seperti hwesio-hwesio ini demikian tunduk dan setia. Tentu saja dia tidak tahu bahwa para hwesio itu, juga banyak sekali orang-orang di kota raja, telah berhutang budi besar kepada Suling Emas.
Sian Eng memandang heran. Orang ini tidak mau disebut menolong, sikapnya acuh tak acuh, tidak peduli, akan tetapi kadang-kadang bisa marah-marah. Memang aneh sekali, membuat ia bingung. Ah, kalau saja ada Lin Lin disini, pikirnya, tentu kau akan tahu rasa. Lin Lin wataknya tidak kalah anehnya, dan adiknya itu pandai sekali bicara, pandai berdebat dan andaikata disitu ada Lin Lin, agaknya keadaannya akan berubah. Suling Emas ini tentu akan menjadi gelagapan dan gagap gugup menghadapi serangan bicara Lin Lin.
“Tak perlu kau marah-marah kepadaku,” akhirnya ia berkata, “kau mau menolong atau tidak, terserah. Juga kau mau memberi tahu kepadaku, kalau kau mengetahuinya, siapa adanya pembunuh ayah bundaku dan dimana pula adanya kakakku Bu Song, terserah.”
Suling Emas kembali membuang muka memandang api unggun. Wajahnya yang tadi agak berseri dan tampak sekali ketampanannya, sekarang kembali menjadi suram-muram seperti wajah patung mati. Setelah menarik napas beberapa kali dan menambah ranting pada api, ia berkata.
“Siapa yang membunuh ayah bundamu, aku tidak tahu. Terang bukanlah aku. Akan tetapi karena kau dan saudara-saudaramu menuduhku, aku akan berusaha mendapatkan siapa pembunuh itu. Tentang pelajar bernama Bu Song itu, setahuku dia sudah mampus!”
Kaget sekali hati Sian Eng mendengar berita terakhir ini, apalagi Suling Emas kelihatannya tidak senang ketika bicara tentang kakaknya, Bu Song.
“Bagaimana kau bisa tahu? Kenalkah kau dengan kakakku Bu Song? Bagaimana matinya? Harap kau suka bercerita kepadaku.”
Suling Emas menggeleng kepalanya.
“Tidak ada yang dapat diceritakan tentang diri pemuda tolol itu. Kenyataan bahwa dia meninggalkan ayahnya dan tak pernah kembali atau memberi kabar membuktikan bahwa dia tidak berharga untuk dipikirkan lagi. Mengapa kau bersama saudara-saudaramu bersitegang hendak mencarinya?”
Sian Eng tidak menjawab dan mendengar bahwa kakak sulung yang sedang dicari-cari itu telah meninggal dunia, tak dapat ditahannya lagi ia menangis terisak-isak. Suling Emas membiarkan ia menangis sampai lama. Baru kemudian terdengar ia berkata.
“Sudahlah, ditangisi air mata darah sekalipun tiada gunanya. Lebih baik kau memikirkan keadaan saudara-saudaramu yang masih ada. Kakakmu Bu Sin selamat dan tentu berada di tempat tidak jauh dari kota raja. Besok kita pergi kesana dan aku akan mengantarmu sampai di kota raja. Kemudian, kalau aku dapat bertemu dengan orang aneh Kim-lun Seng-jin, akan kupesan agar dia mengembalikan adikmu yang bernama Lin Lin itu. Kemudian kalian bertiga lebih baik pulang ke Ting-chun di kaki Gunung Cin-ling-san. Sekarang kau tidurlah.”
Setelah berkata demikian, Suling Emas duduk menjauhi Sian Eng, kembali merenung dekat api unggun.
Sian Eng maklum bahwa percuma mengajak bicara orang aneh ini, maka ia pun membaringkan tubuh. Sampai jauh malam masih terdengar beberapa kali ia mengisak. Akan tetapi kelelahan dan kedukaan membuat ia tertidur.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Eng sudah terbangun dan alangkah herannya ketika ia melihat pakaian terletak di dekatnya. Ia cepat bangkit duduk. Suling Emas telah menggosok-gosok tubuh kudanya dan tak jauh dari situ terdapat api unggun.
Sian Eng tertegun memandang. Orang aneh yang telah menolongnya itu sedang bersenandung. Entah apa yang dinyanyikannya karena terlalu perlahan untuk dapat ditangkap pendengarannya, akan tetapi Sian Eng mendengar suara yang menggetar penuh perasaan dalam lagu sedih yang disenandungkan itu. Bau hangus membuat ia cepat memandang api unggun dan kiranya di atas api itu terpanggang sepotong besar daging.
“Daging hangus....!”
Otomatis Sian Eng melompat, menutupkan jubah hitam yang terbuka di bagian dada, lari menghampiri daging itu dan membaliknya.
Suara senandung menghilang.
“Wah, aku lupa....! Rusakkah dagingnya?” Suling Emas sudah mendekat.
“Tidak, hanya hangus sedikit. Pakaian itu.... punya siapa?”
“Kaupakailah. Malam tadi kudapatkan dari dusun disana.”
Setelah berkata demikian, Suling Emas meninggalkan Sian Eng, kembali pada kudanya dan melanjutkan menggosok-gosok tubuh kudanya, berdiri membelakangi gadis itu. Sian Eng memandang wajahnya agak merah, dadanya berdegup aneh. Orang yang selama ini disangkanya musuh besar pembunuh ayah bundanya, kiranya seorang penolong dan seorang yang amat baik, orang yang menarik hatinya.
Tak mungkin, Sian Eng membantah di dalam hatinya, dia jauh lebih tua dariku, dia orang aneh. Gadis ini mengusir perasaan tertarik di hatinya, bersembunyi di belakang sebatang pohon besar untuk mengganti pakaian. Beberapa menit kemudian ia telah bersalin pakaian. Jubah hitam milik Suling Emas ia lipat baik-baik, kemudian ia menghampiri daging panggang yang sudah masak.
“Dagingnya sudah matang!” ia berteriak pada punggung yang lebar itu.
Suling Emas membalikkan tubuhnya, memandang dan tersenyum sedikit melihat Sian Eng telah berganti pakaian. Sian Eng yang mengharapkan datangnya ucapan pujian dari mulut Suling Emas, kecewa karena orang itu tidak berkata sesuatu.
“Ini jubahmu, terima kasih,” Sian Eng mengembalikan lipatan jubah hitam.
Suling Emas menerimanya tanpa berkata sesuatu, terus jubah itu dipakainya.
“Kita sarapan daging panggang lalu berangkat ke kota raja,” katanya singkat.
Sian Eng hanya mengangguk dan keduanya lalu makan daging panggang dan kue kering yang menjadi bekal Suling Emas. Setelah selesai makan, Suling Emas berkata, suaranya serius,
“Jangan menyangka yang bukan-bukan. Kau harus membonceng kuda di depanku agar perjalanan dapat dilakukan lebih cepat. Mudah-mudahan sesampainya di kota raja, kau akan dapat bertemu dengan kakakmu Bu Sin. Silakan!”
Kalau saja kata-kata itu tidak diucapkan demikian serius dan wajah Suling Emas yang tampan itu kelihatan angker, tentu Sian Eng akan menjadi malu dan mungkin tak sudi ia berboncengan di atas seekor kuda dengan orang ini. Akan tetapi karena ia ingin segera bertemu kembali dengan saudaranya, ia tidak mau membantah.
Dengan ringan ia bergerak, tubuhnya meloncat ke atas punggung kuda. Tiba-tiba kuda itu melonjak dan berlari cepat sekali seperti terbang. Sian Eng terkejut. Di mana Suling Emas? Apakah ia dibawa kabur kuda dan Suling Emas tertinggal di belakang? Dalam gugupnya ia menengok dan.... hampir saja dia beradu hidung dengan orang yang duduk di belakangnya!
Kiranya Suling Emas sudah duduk di belakangnya, agak di belakang sehingga tubuh mereka tidak bersentuhan. Agaknya orang ini demikian ringan gerakannya sehingga ia sama sekali tidak tahu bahwa dia sudah berada di belakangnya tadi. Cepat Sian Eng membalikkan mukanya yang menjadi merah sekali dan diam-diam ia amat kagum akan kehebatan kepandaian orang ini, juga kagum akan kesopanannya. Biarpun ia duduk berboncengan seperti itu, namun ia tidak merasa kikuk karena Suling Emas benar-benar berlaku sopan, duduknya agak jauh di belakang.
Memang benar ucapan Suling Emas. Kuda itu luar biasa larinya, cepat seperti terbang dan andaikata mereka melakukan perjalanan tanpa kuda, tentu akan lebih melelahkan, juga lambat. Suling Emas melakukan perjalanan cepat dan terus-menerus, hanya berhenti dua kali sehari. Bahkan kadang-kadang di malam hari mereka melanjutkan perjalanan.
Makin lama, makin percaya Sian Eng kepada orang aneh ini. Di dekat Suling Emas, ia merasa aman tenteram, kecurigaannya lenyap sama sekali dan ia memandang orang ini sebagai seorang pendekar besar yang amat mengagumkan. Yang ia sayangkan, Suling Emas orangnya pendiam, tak pernah mau bicara kalau tidak ditanya. Menjawab pertanyaan pun hanya singkat-singkat seperlunya saja. Hal ini mengecewakan hati Sian Eng karena gadis ini ingin sekali mendengar riwayat hidup orang aneh yang mengagumkan hatinya ini.
Ketika memasuki pintu gerbang kota raja pagi hari itu, banyak orang memandang mereka dengan kagum dan heran. Kagum karena melihat kuda besar bagus ditunggangi sepasang orang muda yang elok dan gagah. Agaknya Suling Emas hendak menyembunyikan dirinya karena ia telah menggunakan sehelai saputangan untuk menutupi gambar suling di dadanya. Namun telinga Sian Eng masih dapat menangkap beberapa orang di pinggir jalan berbisik,
“Dia.... Suling Emas....”
Suling Emas menghentikan kudanya di dalam pekarangan lebar sebuah kelenteng, mengajak Sian Eng turun. Di ruangan depan mereka disambut oleh beberapa orang hwesio (pendeta Buddha) yang segera memberi hormat kepada Suling Emas.
“Harap para Losuhu (Bapak Pendeta) sudi menerima Nona Kam ini sebagai tamu terhormat dan membantunya dalam usahanya menjumpai saudaranya di kota raja.”
“Omitohud.... tentu saja, Taihiap (Pendekar Besar)! Silakan masuk, Nona.... dan anggaplah disini sebagai tempait tinggalmu sendiri,” kata hwesio tua itu dengan ramah tamah. “Apakah Taihiap tidak keberatan untuk singgah dulu dan minum teh?”
Suling Emas menggelengkan kepalanya.
“Terima kasih, Losuhu. Saya masih mempunyai banyak urusan.” Kemudian ia menoleh kepada Sian Eng dan berkata. “Di kelenteng ini, kau berada di tempat yang aman, dan dengan bantuan para Losuhu disini, kalau saudaramu berada di kota raja, tentu kau dapat bertemu dengannya. Ingat, kalau kalian bertiga sudah saling bertemu dan berkumpul, satu-satunya hal terbaik bagi kalian adalah kembali ke Ting-chun. Nah, selamat berpisah.”
Suling Emas memberi hormat kepada pendeta kepala, lalu meloncat di atas punggung kudanya yang lari cepat meninggalkan tempat itu.
Sian Eng berdiri bengong, tak dapat berkata sesuatu. Apa yang dapat ia katakan? Berkumpul dengan orang itu, melakukan perjalanan bersama beberapa hari, telah membuktikan keluhuran budi Suling Emas, kesopanannya, akan tetapi juga keanehannya.
Agaknya ada sesuatu yang menekan perasaan orang itu, ada sesuatu yang dideritanya di dalam batin, yang membuatnya tampak pendiam, tidak pedulian, dan wajahnya yang tampan selalu muram seperti matahari yang selalu tertutup mendung di musim hujan. Tiba-tiba ia menoleh kepada pendeta kepala hwesio yang gendut peramah itu.
“Losuhu, dia itu.... Suling Emas itu.... orang macam apakah dia?”
Pertanyaan yang aneh ini keluar begitu saja dari mulut Sian Eng, langsung sebagai peluapan hatinya. Untung yang diajak bicara adalah seorang hwesio tua, kalau orang lain tentu akan memalukan sekali. Hwesio itu hanya tertawa, kemudian menjawab.
“Bukan hanya kau yang mengajukan pertanyaan seperti ini, Nona. Banyak orang, di antaranya pinceng (aku) sendiri! Tapi, siapa dapat menjawab? Kalau pinceng yang menjawab hanya begini: dia itu seorang pendekar besar yang berwatak aneh, kalau sedang menolong orang bijaksana seperti dewa, kalau menghadapi lawan ganas seperti iblis. Itulah Suling Emas, dan tidak pernah ada orang yang dapat menceritakan siapa dia. Tapi bagi kami, sudah cukup kalau mengetahui bahwa dia itu seorang yang baik, selalu berfihak kepada yang benar biarpun kadang-kadang amat sulit untuk dimengerti, Nona, kami menerima perintahnya, harus kami kerjakan baik-baik. Silakan masuk, Nona, ada sebuah kamar yang bersih untukmu. Tentang saudaramu, nanti kita bicarakan dan tentu para murid disini siap untuk membantumu mencarinya, kalau betul dia itu berada di dalam kota raja.”
Lega hati Sian Eng, sungguhpun keterangan tentang diri Suling Emas itu membuat hatinya makin penasaran dan ingin tahu. Ia memasuki kelenteng dan memang benar, para hwesio melayaninya penuh penghormatan dan kesopanan sehingga Sian Eng tidak ragu-ragu untuk mengajak mereka itu merundingkan tentang kedua saudaranya yang berpisah darinya. Ia memberi gambaran tentang diri Bu Sin dan Lin Lin dan memesan agar para hwesio yang melihat kedua orang ini di kota raja, segera memberi tahu kepadanya.
Para hwesio itu tampak bersemangat sekali membantu Sian Eng, dan gadis ini maklum bahwa semangat ini timbul karena keyakinan bahwa membantu Sian Eng berarti membantu Suling Emas dengan melaksanakan perintahnya! Makin kagumlah hatinya terhadap orang rahasia yang sanggup membikin orang-orang alim seperti hwesio-hwesio ini demikian tunduk dan setia. Tentu saja dia tidak tahu bahwa para hwesio itu, juga banyak sekali orang-orang di kota raja, telah berhutang budi besar kepada Suling Emas.
**** 039 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar