FB

FB


Ads

Kamis, 30 Mei 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 036

Kita tinggalkan dulu Lin Lin dan Lie Bok Liong yang melakukan perjalanan malam menuju ke kota raja karena Lin Lin sudah tidak sabar lagi menanti untuk segera dapat bertemu dengan orang yang dianggap musuh besarnya, yaitu Suling Emas. Mari sekarang kita menengok keadaan Sian Eng, gadis yang mengalami hal yang amat menyeramkan hatinya itu.

Seperti telah dituturkan di bagian depan, Sian Eng tadinya berhasil melarikan diri dari tempat rahasia di bawah kuburan yang menjadi tempat tinggai Hek-giam-lo, yaitu pada saat Hek-giam-lo bertempur melawan Siang-mou Sin-ni yang datang menyerbu untuk minta dikembalikannya surat rahasia. Akan tetapi malang baginya, di dalam sebuah hutan, selagi ia merasa lega dan mengira telah terlepas daripada cengkeraman iblis itu, tiba-tiba si iblis itu sendiri muncul di depannya, Hek-giam-lo telah berada di situ, seakan-akan telah lebih dulu datang dan sengaja menanti kedatangannya. Ia berusaha menyerang, namun apa dayanya terhadap Hek-giam-lo yang sakti? Di lain detik ia sudah pingsan dan dipondong Hek-giam-lo, kemudian dibawa lari secepat terbang!

Kali ini si kedok iblis itu berlaku amat teliti, tak pernah memberi kesempatan sedikit pun juga kepadanya untuk dapat melepaskan diri daripada pengawasannya. Hek-giam-lo bersikap amat menghormat kepadanya, menyebutnya tuan puteri, akan tetapi di samping sikap menghormat ini terbayang sifat memaksa yang tak dapat dibantah lagi. Memaksa agar Sian Eng ikut dengannya dan mentaati segala permintaannya. Akhirnya gadis ini maklum bahwa tak mungkin ia mampu membebaskan diri lagi, maka ia juga tidak lagi mencoba. Selama iblis ini tidak mengganggunya dan memperlakukannya dengan sikap menghormat dan baik-baik, ia pun menurut saja dan hendak melihat apa yang akan terjadi selanjutnya dan ke mana ia akan dibawa.

“Hek-giam-lo, sudah berkali-kali kunyatakan bahwa aku bukanlah puteri raja seperti yang kau sebut-sebut. Aku she Kam, namaku Sian Eng. Kau salah lihat, karena itu harap jangan ganggu aku, biarkanlah aku pergi.”

Berkali-kali gadis itu mencoba dengan bujukannya ketika mereka berjalan melalui sebuah bukit yang sunyi.

Hek-giam-lo memang pendiam dan tak banyak ia bicara selama dalam perjalanan, sungguhpun ia amat memperhatikan keperluan Sian Eng dan tak pernah terlambat untuk mencarikan makanan dengan pelayanan penuh hormat. Permintaan berkali-kali dari Sian Eng hanya dijawabnya singkat,

“Paduka puteri raja kami, memang sejak kecil diambil anak oleh Jenderal Kam.” Hanya demikian jawabnya dan selanjutnya ia tidak mau bicara lagi.

Melalui perjalanan yang amat cepat, kadang-kadang Hek-giam-lo memondong dan membawanya lari seperti terbang, setelah minta maaf lebih dulu, mereka menuju ke arah timur laut dan pada suatu hari tibalah mereka di daerah yang jauh dari kota, daerah penuh hutan yang amat liar.

Kemudian, di tengah-tengah daerah ini, tibalah mereka di sebuah rumah perkampungan dengan rumah-rumah yang kelihatan baru. Inilah perkampungan baru yang dijadikan pusat suku bangsa Khitan, terletak dalam sebuah hutan liar dikelilingi hutan-butan kecil diantara gunung-gunung di perbatasan Mancuria!

Dapat dibayangkan betapa heran dan berdebar hati Sian Eng ketika Hek-giam-lo berteriak-teriak dalam bahasa yang ia tidak mengerti, para penyambut menjatuhkan diri berlutut di sepanjang jalan yang mereka lalui.

“Tengoklah, Tuan Puteri, rakyat kita memberi hormat kepada Paduka,” kata Hek-giam-lo, nada suaranya gembira.

Sian Eng melihat orang-orang kasar yang bertubuh tegap dan kuat, wanita-wanita cantik tapi sederhana, juga terdapat sifat-sifat gagah pada para wanita yang berlutut di pinggir jalan itu.

“Kita sekarang kemana, Hek-giam-lo?”

“Mari menghadap Sri Baginda, Paman Paduka.”

“Pamanku?”

Sian Eng tidak mendapat jawaban, terpaksa ia berjalan mengikuti Hek-giam-lo yang menuju ke sebuah rumah besar di tengah-tengah perkampungan itu.

Di depan rumah besar ini terdapat banyak penjaga, laki-laki berpakaian perang yang kelihatan gagah dan kuat, dengan tombak di tangan dan golok besar di pinggang. Mereka berbaris rapi dan memberi hormat dengan tegak ketika Hek-giam-lo dan Sian Eng lewat. Juga di dalam rumah, di sepanjang lorong, berbaris pasukan pengawal.






Kiranya dalam rumah besar itu yang dari luar kelihatan sederhana, sebelah dalamnya amat mewah. Bendera-bendera kecil berkibar dimana-mana, bermacam-macam warnanya. Ketika mereka sampai di ruangan sebelah dalam, pasukan pengawal berganti, kini pasukan wanita yang cantik-cantik dan gagah serta bersinar mata tajam! Namun, baik pasukan laki-laki maupun wanita, semua kelihatannya amat takut dan menghormat Hek-giam-lo.

Melalui pelaporan seorang penjaga yang seperti raksasa wanita, besar dan bengis, mereka diperkenankan memasuki ruangan besar dimana telah menanti seorang laki-laki tampan berpakaian indah, duduk di atas sebuah kursi atau singgasana terbuat daripada gading. Laki-laki ini usianya kurang lebih empat puluh tahun, berwajah tampan bermata tajam.

Hek-giam-lo yang menuntun Sian Eng masuk, berkata singkat,
“Tuan Puteri, harap memberi hormat kepada Sri Baginda, Paman Paduka.” Ia sendiri lalu menjatuhkan diri berlutut dan terdengar suaranya nyaring.

“Hamba datang menghadap, dengan berkah Sri Baginda, hamba berhasil mendapatkan Tuan Puteri yang sekarang ikut menghadap Sri Baginda.”

Laki-laki itu ternyata adalah Raja suku bangsa Khitan yang bernama Kubukan. Ia memandang wajah Sian Eng penuh perhatian. Sian Eng yang tidak sudi berlutut, mengira bahwa raja yang tampan ini tentu akan marah karena ia tidak mau memberi hormat, akan tetapi kiranya tidak demikian. Raja itu memandang dengan sinar mata kurang ajar, kemudian tertawa bergelak dan berkata kepadanya dalam bahasa Han yang cukup lancar.

“Nona, marilah mendekat, biarkan aku memeriksa cermat apakah kau benar keponakanku ataukah palsu.”

Sian Eng melangkah maju sampai berada dekat dengan raja itu sambil berkata,
“Hek-giam-lo tahu bahwa aku bukan keponakanmu. Sudah kuberitahukan berkali-kali tapi ia nekat saja membawaku kesini. Siapa pun adanya kau, harap kau suka berlaku murah dan bebaskan aku.”

Raja itu memandang lagi penuh perhatian, kemudian tertawa sekali lagi. Dari mulutnya berhamburan bau arak yang keras.

“Ha-ha-ha, semua orang mengaku keponakanku, ha-ha. Alangkah inginku dapat memeluk keponakanku, dapat meraba lehernya yang halus. Untung kau bukan keponakanku, Nona, kau cukup cantik jelita. Ha-ha, untung....!”

Sian Eng terkejut sekali dan ia sudah merasa ngeri ketika kedua tangan raja yang berbulu lengannya itu bergerak hendak merabanya.

Akan tetapi pada saat itu Hek-giam-lo berkata dalam bahasa Khitan yang tak dimengerti Siang Eng,

“Sri Baginda, kali ini tidak bisa salah lagi. Dia itu adalah anak Jenderal Kam. Sayang Jenderal Kam sendiri sudah mampus ketika hamba sampai disana. Hamba mendengar bahwa anak-anaknya pergi ke kota raja, maka hamba menyelidiki dan berhasil menangkap anak perempuannya ini. Tak salah lagi, dia adalah puteri mendiang Tuan Puteri Tayami.”

“Hek-giam-lo, apa yang menyebabkan kau yakin benar bahwa dia ini betul-betul keponakanku? Sudah ada dua orang gadis yang dibawa datang dan perwira-perwira yang membawanya bersumpah bahwa mereka adalah keponakanku. Tapi ternyata bukan. Kau boleh lihat mereka, biarpun mereka berdua itu jauh lebih cocok menjadi keponakan yang kucari-cari daripada gadis ini, toh mereka itu bukan keponakanku!”

Raja memberi tanda dengan tepukan tangan dan tak lama kemudian dua orang gadis digiring masuk. Dua orang gadis yang cantik jelita akan tetapi wajah mereka pucat dan dikedua pipi yang halus tampak bekas air mata. Mereka ini berdiri di depan raja dan menundukkan muka.

“Ha-ha-ha, mereka ini keponakanku? Akan tetapi biarpun bukan, kedatangan mereka sedikit banyak menyenangkan hatiku, biarpun hanya untuk beberapa malam. Hek-giam-lo, gadis yang kau bawa ini bukanlah puteri Kakak Tayami.”

“Tapi Sri Baginda....”

“Kau mau bukti? Dengar, ketika masih bayi, pernah kulihat keponakanku itu. Pada punggungnya terdapat sebuah tanda merah. Coba kita periksa bersama!”

Ia memberi isyarat dan tiba-tiba Hek-giam-lo menggerakkan tangannya. Tahu-tahu ia telah memegang senjatanya yang hebat, yaitu sabit bengkok yang amat tajam itu.

Sinar berkilauan menyambar-nyambar, Sian Eng menjerit ngeri karena merasa betapa tubuhnya dikurung sinar berkilauan. Kemudian, hampir ia roboh pingsan ketika mendapat kenyataan bahwa pakaiannya telah terbang ke kanan kiri disambar sinar itu dan beberapa detik kemudian ia telah menjadi telanjang bulat!

Dapat dibayangkan betapa malu dan marahnya Sian Eng. Ingin ia berlaku nekat dan menerjang mengadu nyawa, akan tetapi rasa malu karena keadaannya yang telanjang itu membuat ia kehilangan tenaga, malah ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan setengah bertiarap diatas lantai untuk menyembunyikan tubuhnya. Tentu saja dengan berbuat demikian, punggungnya tampak jelas dan raja bersama Hek-giam-lo melihat jelas kulit punggung yang putih bersih tiada cacad sedikit pun!

“Ha-ha-ha-ha, kau lihat, Hek-giam-lo? Dia bukan keponakanku, sayang seribu sayang. Tapi lumayan juga, dia cantik manis!”

“Ampun, Sri Baginda. Hamba telah berlaku ceroboh.” terdengar Hek-giam-lo berkata, suaranya gemetar penuh sesal.

“Tidak apa, kau carilah lagi. Gadis ini pasti akan menyenangkan hatiku. Eh, Nona, kau berdirilah.”

Sian Eng terkejut sekali ketika merasa betapa pundaknya diraba orang yang hendak menariknya berdiri. Ia mengangkat muka memandang dan kiranya raja itulah yang sudah turun dari singgasana untuk membangunkannya, matanya bersinar-sinar penuh nafsu. Saking ngeri, malu, dan marahnya, Sian Eng tidak ingat apa-apa lagi. Bagaikan seekor harimau betina, ia melompat dan menerkam ke depan, memukul dengan kedua tangannya ke arah dada dan perut raja itu!

Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terpental ke samping, roboh menumbuk dinding. Raja itu sendiri pucat mukanya dan terhuyung ke belakang sampai tiga langkah. Hampir saja ia celaka kalau tidak Hek-giam-lo yang cepat menolongnya tadi. Marahnya bukan main. Lenyap keinginannya untuk mempermainkan Sian Eng, terganti rasa benci yang meluap-luap.

“Hek-giam-lo, kuserahkan dia kepadamu. Hukum dia, juga dua orang puteri palsu ini. Muak aku kepada mereka. Kubur mereka hidup-hidup, jadikan tontonan, biar rakyatku melihat dan berkesempatan menghina mereka yang menyebalkan hati rajanya!”

Setelah berkata demikian, raja itu mendengus marah, lalu pergi memasuki kamarnya, diiringkan oleh dayang-dayang cantik jelita dan muda-muda.

Sian Eng sudah bangun kembali dan cepat menyambar pakaiannya yang robek menjadi beberapa potong. Sedapat-dapat ia membungkus tubuhnya dengan pakaian itu dan untung bahwa pakaiannya terbuat daripada kain yang lebar dan panjang sehingga biarpun robek-robek namun masih cukup untuk menutupi ketelanjangannya.

Akan tetapi Hek-giam-lo tak memberi kesempatan lagi kepadanya. Dengan pekik mengerikan, iblis ini bergerak dan tahu-tahu ia telah menangkap Sian Eng dan dua orang gadis pucat itu, membawa mereka bertiga seperti orang membawa tiga ekor ayam saja, kemudian melangkah lebar keluar dari gedung itu.

Malam itu terang bulan, namun keadaan di luar perkampungan itu, di pinggir hutan, amat menyeramkan. Apalagi kalau orang melihat ke arah kiri, dimana terdapat tempat terbuka dan sinar bulan menyorot langsung tidak terhalang ke atas tanah. Orang itu pasti akan bergidik melihat apa yang tampak disana.

Tiga buah kepala orang berada di atas tanah. Kepala tiga orang wanita yang masih hidup! Yang dua buah adalah kepala dua orang wanita cantik bermuka pucat dan terdengar mereka ini menangis terisak-isak dengan air mata bercucuran.

Akan tetapi, kepala yang berada di kiri, kepala Sian Eng, biarpun tampak agak pucat juga, namun sama sekali tidak menangis, malah sepasang matanya bersinar-sinar penuh kemarahan.

Memang hebat dan mengerikan sepak terjang Hek-giam-lo, si manusia iblis itu, yang mentaati perintah rajanya. Ia menggali tiga buah lubang-lubang yang sempit dan dalam macam sumur kecil, memasukkan tiga orang gadis tawanan itu ke dalam sumur dan mengubur mereka sebatas leher.

Seluruh tubuh tiga orang gadis ini tidak tampak, hanya kepala mereka sebatas leher yang keluar dari tanah. Kemudian iblis ini memasang benderanya di atas pohon dekat tempat itu. Dengan adanya tanda ini, tidak ada seorang pun manusia di perkampungan itu berani mencoba menolong gadis-gadis bernasib malang ini. Siapakah berani melawan Tengkorak Hitam yang menjadi tangan kanan raja?






Tidak ada komentar:

Posting Komentar