FB

FB


Ads

Selasa, 28 Mei 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 031

“Hemmm, pemutar-balikan fakta yang menjijikkan! Adalah dua orang hwesio itulah yang kurang ajar, mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan terhadap wanita terhormat. Ji-wi Suhu akan membersihkan nama partai kalau sekarang juga memberi hukuman kepada murid-murid sendiri, daripada menyerang orang yang tidak berdosa.”

“Orang muda, kau siapakah, berani bicara lancang, memberi kuliah kepada kami?”

Pemuda itu tersenyum.
“Aku she Lie bernama Bok Liong, orang biasa saja. Akan tetapi aku mengenal baik Cheng Han Losuhu dan pedangku Goat-kong-kiam ini selalu menghendaki kebenaran dibela oleh orang-orang gagah.”

Cheng Han Hwesio adalah ketua Siauw-lim-pai, maka mendengar disebutnya nama ini, kedua orang hwesio itu menjadi kaget sekali. Mereka khawatir kalau-kalau pemuda ini akan mengadu, dan memang akhir-akhir ini banyak sekali anak buah para hwesio yang tersesat, mabuk oleh kesenangan duniawi dan mempergunakan kesempatan selagi negara kacau dan ketua dari pusat tidak sempat melakukan pengawasan, mereka mengumbar nafsu jahatnya. Terutama sekali yang menimbulkan keadaan memalukan dan buruk ini adalah para penjahat dan pelarian yang menyembunyikan diri dengan jalan mencukur rambutnya dan memakai jubah pendeta, tinggal bersembunyi di kelenteng-kelenteng.

Merekalah yang menjadi “guru” dan menyeret para hwesio muda yang belum teguh batinnya dan masih lemah imannya ke jalan sesat. Dua orang hwesio ini hanya merupakan kepala dari sebuah kelenteng kecil, sudah terlalu lama berkecimpung di dalam keduniaan, maka hanya pada lahirnya saja seperti pendeta, namun batinnya sudah menjadi penjahat-penjahat hamba nafsu buruk.

“Keparat, kau benar kurang ajar! Kau kira kami takut padamu? Sute, kau hajar dia ini, biar pinceng menangkap Nona liar. Kalau tidak diberi hajaran, tidak akan kapok orang-orang muda kepala batu ini!”

Dua orang hwesio Siauw-lim-pai itu terlalu memandang rendah orang muda. Mereka mengandalkan kepandaian yang tinggi dan senjata tongkat yang berat, pula, memang ilmu tongkat atau ilmu toya dari Siauw-lim-pai amat terkenal kuat. Namun, pemuda itu adalah murid orang sakti, juga Lin Lin telah menerima gemblengan dari seorang sakti yang tingkatnya sejajar dengan ketua Siauw-lim-pai di pusat sendiri! Maka kalau mau dibuat perbandingan, tingkat dua orang hwesio itu masih jauh di bawah.

“Aku tidak ingin kau bantu!” seru Lin Lin sambil menggerakkan pedang menghadapi serangan seorang hwesio.

“Siapa membantumu, Nona? Aku pun diserang oleh hwesio palsu ini!”

Jawab pemuda yang bernama Lie Bok Liong itu sambil menggerakkan pedang pula menandingi lawannya.

Pertempuran seru terjadi, terpecah menjadi dua.
“Nona, adu ilmu antara kita boleh ditentukan sekarang. Siapa yang lebih dulu mengalahkan lawan, dia yang lebih unggul antara kita!” pemuda itu berseru.

“Baik, seorang laki-laki tidak melanggar janjinya!” seru Lin Lin girang.

Gadis ini sebentar saja dapat melihat kelemahan lawan dan ia yakin akan dapat merobohkannya dalam waktu cepat, maka usul pemuda itu diterimanya dengan girang. Melihat tongkat itu menyodok ke arah dadanya, Lin Lin sengaja berlaku lambat, membiarkan lawan lengah dan kegirangan.

Beberapa senti meter sebelum ujung tongkat mengenai dadanya, tiba-tiba ia miringkan tubuhnya menggunakan jurus Pek-wan-hian-ko (Lutung Putih Berikan Buah) dari ilmu silat ayahnya, tangan kirinya menangkis dengan jari-jari terbuka, dan pedangnya bergerak cepat ke depan. Inilah gerakan dari Khong-in-liu-san, yang tidak terduga dan amat cepat datangnya. Hwesio lawannya itu menjerit kesakitan, tongkatnya terlepas dan pangkal lengannya terobek pedang sampai kelihatan tulangnya.

Sambil tersenyum manis tapi penuh ejekan, Lin Lin membalikkan tubuh memandang ke arah pemuda pesek itu, siap untuk mengejek dan berbangga akan kemenangannya. Akan tetapi tiba-tiba wajahnya berubah merah sekali. Apa yang dilihatnya? Pemuda itu ternyata sudah lebih dulu merobohkan lawannya, hwesio lawan pemuda itu sudah rebah dengan pundak berdarah!

Akan tetapi pemuda itu berkata,
“Nona, kita berhasil dalam waktu yang sama. Hayo kita berlumba merobohkan dua orang hwesio ceriwis itu!”






Lin Lin melihat betapa hwesio muda yang dua orang tadi telah melarikan diri tunggang-langgang melihat betapa kedua orang paman guru mereka telah roboh! Karena dua orang hwesio muda itu yang menjadi biang keladi pertempuran, dan dua orang hwesio itu yang sebenarnya amat kurang ajar, Lin Lin menjadi marah sekali dan tubuhnya berkelebat melakukan pengejaran.

Ia melihat sesosok bayangan dengan cepat juga berkelebat di sampingnya. Tahu bahwa pemuda pesek itu tidak mau kalah, Lin Lin mengerahkan gin-kangnya dan di lain saat ia sudah tiba di belakang dua orang hwesio itu. Pedangnya menyambar dan dua orang hwesio itu menjerit, roboh terguling. Dua orang hwesio muda itu terluka pahanya.

Karena menganggap bahwa dua orang hwesio itu jahat sekali, Lin Lin kembali menggerakkan pedang hendak membunuh mereka.

“Tranggg!” Bunga api berpijar ketika pedangnya bertemu dengan pedang di tangan Lie Bok Liong.

“Nona, harap jangan bunuh mereka. Mereka adalah hwesio-hwesio Siauw-lim!”

“Hwesio Siauw-lim atau hwesio-hwesio langit, siapa takut? Mereka ini jahat, kalau hwesio-hwesio tua Siauw-lim-pai membela mereka, berarti mereka pun jahat!”

“Omitohud.... kasar akan tetapi harus diakui kebenarannya....”

Terdengar seruan suara halus dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang hwesio tua yang putih semua jenggotnya, akan tetapi mukanya masih segar kemerahan seperti seorang muda. Hwesio ini berjubah kuning, memegang sebuah tongkat pendeta dan sinar matanya berpengaruh penuh wibawa.

Melihat hwesio ini, Lie Bok Liong segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat.

“Cheng Hie Losuhu! Kebetulan sekali Losuhu datang. Kami dua orang muda telah berselisih faham dengan beberapa orang anak murid Siauw-lim-pai, harap Losuhu memberi kebijaksanaan.”

Hwesio tua itu tertawa perlahan.
“Lie-sicu tak perlu bersikap sungkan. Pinceng (aku) yang tua sudah melihat dan mendengar semua. Memang sudah pinceng dengar kenakalan empat orang anak murid ini, akan tetapi baru sekarang pinceng melihat buktinya.” Kemudian ia mengalihkan pandang mata kepada Lin Lin dan berkata, “Nona, kepandaianmu hebat bagi seorang semuda Nona. Memang pantas sekali Pedang Besi Kuning berada di tanganmu! Dua orang anak murid Siauw-lim-pai yang durhaka ini telah melakukan kesalahan kepadamu, harap Nona sudi memberi maaf, biar pinceng nanti yang akan menghukum mereka.”

Lin Lin kaget bukan main. Hwesio tua ini dapat mengetahui segalanya, bahkan tahu pula tentang pedangnya, pedang curian dari gudang istana. Tentu seorang yang berilmu tinggi, pikirnya. Ia memang marah kepada dua orang hwesio yang kurang ajar itu, akan tetapi sekarang sudah ada pentolan Siauw-lim-pai yang mengurus dan hendak menghukum, hatinya puas.

“Terserah kepada Losuhu. Aku percaya Losuhu akan benar-benar memberi hukuman berat, kalau tidak, berarti Losuhu membantu orang jahat!”

Muka hwesio tua itu berubah agak pucat, akan tetapi ia hanya tertawa dan menjura. Lie Bok Liong lalu mengajak Lin Lin pergi,

“Marilah, setelah ada Cheng Hie Losuhu, tentu mereka akan mendapat bagian mereka. Cheng Hie Losuhu terkenal sebagai pengawal tindak-tanduk dan sepak terjang para anak murid Siauw-lim-pai dan dunia kang-ouw mengenal belaka kebijaksanaan dan keadilannya. Losuhu, perkenankan kami pergi.”

Cheng Hie Hwesio menggerakkan tangannya, mengangguk-angguk.
“Pergilah.... pergilah dengan hati-hati, orang-orang muda. Doa restu dan berkahku mengiringi kalian berdua....”

Lin Lin tercengang, hendak marah kepada pemuda pesek itu. Enak saja, pikirnya, ajak-ajak seakan-akan dia itu memang teman seperjalanan. Kenal pun tidak! Akan tetapi melihat sikap hwesio yang amat halus dan baik itu, tak enak hatinya menimbulkan ribut di depannya. Ia pun mengangguk dan berjalan pergi bersama Lie Bok Liong yang menuntun kudanya.

Sampai lama mereka jalan berendeng, diam saja, tidak berkata-kata, juga saling lirik saja tidak. Seakan-akan mereka saling tidak ingat lagi bahwa di sebelah mereka berjalan seorang lain.

Tentu saja tidak demikian hal yang sebetulnya. Bok Liong sekaligus terbetot semangatnya oleh gadis lincah ini, dan ia berjalan sambil merenung, terheran-heran atas perubahan di dalam hatinya sendiri, mengapa ia merasakan hal yang aneh ini, hal yang selama ia hidup belum pernah ia rasai. Adapun Lin Lin, ia sedang mengumpul-ngumpulkan kata-kata untuk menyerang pemuda pesek lancang ini nanti setelah mereka jauh dari hwesio tua tadi.

Setelah mereka keluar dari dalam hutan dan berada di jalan yang sunyi sekali, tiba-tiba Lin Lin berhenti dan berkata ketus,

“Nah, sekarang tidak ada siapa-siapa yang akan menghalangi kita membuat perhitungan!”

Pemuda itu seakan-akan baru sadar dari alam mimpi. Ia menengok dan memandang dengan kaget.

“Perhitungan? Perhitungan apa, Nona?”

“Perhitungan apa? Pura-pura tanya lagi. Kau tadi mengajak adu cepat berlumba merobohkan dua orang hwesio ceriwis. Siapa yang menang? Aku! Lalu hwesio tua Siauw-lim-pai tadi memuji-muji dan minta maaf. Memuji siapa dan minta maaf kepada siapa? Aku! Tapi kau memerintah aku ikut denganmu! Sombong!”

Bok Liong cepat menjura, sikapnya sungguh-sungguh.
“Nona, harap kau tidak main-main lagi. Maafkanlah kalau sikap dan kata-kataku pernah menyinggungmu. Aku Lie Bok Liong adalah seorang laki-laki sejati, dan kulihat sepak terjangmu membuktikan bahwa kau seorang pendekar wanita yang mengagumkan. Oleh karena itu, terimalah hormatku, Nona, dan sampai mati aku tidak nanti berani mengangkat senjata terhadapmu lagi. Aku mengaku kalah dan menyerah.”

Watak Lin Lin memang aneh. Dalam segala hal ia selalu tidak mau kalah. Kalau orang bersikap keras terhadapnya, ia tidak mau kalah keras, kalau orang galak, ia akan lebih galak lagi. Kini Bok Liong bersikap merendah dan mengalah dengan suara sungguh-sungguh dan wajah serius, ia pun tidak mau kalah!

“Nah, kau sih yang sombong tadinya. Padahal aku juga tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan orang seperti kau ini. Aku tahu kau bukan orang jahat, tapi, kalau aku tidak bersikap keras, orang takkan mengetahui kelihaianku. Nah, kau pun kuminta maklum saja kalau tadi aku bersikap kaku. Betapapun juga, kau telah membantuku menghadapi hwesio-hwesio kotor tadi.”

Jantung Bok Liong berdebar-debar. Alangkah girangnya melihat bahwa nona yang lincah galak ini kiranya dapat juga bicara dengan baik. Ia menahan senyumnya dan berkata lagi.

“Nona, terima kasih atas pengertianmu. Kita menjadi sahabat, hal yang amat kuinginkan semenjak aku melihat kau menghajar hwesio-hwesio ceriwis di hutan itu. Sekali lagi, namaku Lie Bok Liong, biarpun bukan seorang tokoh besar di dunia kang-ouw, akan tetapi aku mengenal hampir semua tokoh kang-ouw, kecuali tokoh-tokoh besar yang masih muda seperti kau. Bolehkah aku mengetahui nama dan julukanmu? Terus terang saja, aku yang banyak mengenal ilmu silat, tahu akan dasar-dasar gerakan ilmu silat dari Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai dan banyak partai persilatan lain lagi, sama sekali buta akan ilmu silatmu yang luar biasa tadi, Nona.”

Lin Lin merasa diayun-ayun di atas awan saking bangga dan girangnya mendengar kata-kata pujian yang keluar sejujurnya dari mulut pemuda itu. Setelah ia pandang-pandang, pemuda berhidung pesek ini, wajahnya menarik dan menyenangkan hati juga, sikapnya jujur dan sopan tapi tidak bermuka-muka atau menjilat, sikap sewajarnya dari seorang yang memasang isi hati pada wajahnya.

Timbul rasa suka di hatinya disertai kepercayaan besar. Apalagi tadi ia mendengar bahwa Bok Liong ini mengenal hampir semua tokoh kang-ouw. Siapa tahu pemuda ini bisa memberitahu kepadanya tentang Suling Emas, atau mungkin juga tentang kakaknya, Bu Song. Wajahnya seketika berseri, matanya bersinar-sinar, bibirnya yang manis itu tersenyum sehingga pemuda itu merasa betapa tiba-tiba kedua lutut kakinya lemas dan gemetar!

Memang hebat daya pengaruh asmara yang mulai menggerogoti jantung seorang pemuda. Hanya si pemuda yang bersangkutan sendiri yang dapat merasakannya. Kalau seorang pemuda sedang bercinta, terutama sekali kalau mulai jatuh cinta, segala sesuatu pada diri dara yang dicintainya tampak hebat luar biasa. Kerling mata yang tajam melebihi pedang pusaka langsung menusuk dada menembus punggung! Senyum sepasang bibir merah membasah bagaikan seribu manis dari madu yang memabukkan dan membuat kepalanya pening tujuh keliling dengan mata berkunang-kunang!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar