FB

FB


Ads

Selasa, 28 Mei 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 032

Kilauan gigi putih berderet rapi yang hanya tampak sekilas di balik sepasang bibir segar, lebih ampuh daripada sinar petir yang langsung menyambar kepala memasuki tubuh menyelusup ke seluruh tulang sumsum! Tidaklah terlalu mengherankan apabila Bok Lieng berdiri dengan kedua lutut gemetar ketika ia menghadapi wajah Lin Lin yang berseri-seri itu.

“Kau kira aku seorang yang buta?” demikian Lin Lin mulai kata-katanya yang kini terdengar manis, hilang sama sekali ketusnya. “Aku pun sekali bertemu saja tahu bahwa kau bukan orang jahat, akan tetapi aku harus yakin dulu. Twako.... ya, lebih baik kusebut kau Twako (Kakak), karena kau tentu lebih tua daripada Sin-ko (Kakak Sin). Eh, berapa sih usiamu?”

Mau tak mau Bok Liong tersenyum, setelah gadis ini bersikap jenaka seperti ini, ia merasa betapa sinar matahari menjadi lebih terang daripada tadi.

“Usiaku hampir dua puluh dua tahun.”

“Nah, betul dugaanku. Sin-ko baru dua puluh tahun, aku sendiri baru tujuh belas. Sampai dimana aku tadi? Oya, tentang nama. Namaku Lin Lin, she.... Kam.”

“Kam Lin Lin.... indah benar namamu, Nona.”

“Wah, kalau kau masih menyebut nona-nonaan segala, aku pun akan menyebutmu dengan tuan-tuanan. Bagaimana pendapatmu, Tuan Besar?”

Bok Liong tertawa bergelak, kemudian terheran. Seingatnya, baru kali inilah ia dapat tertawa sampai begitu keras, sampai basah kedua matanya. Benar-benar mengherankan. Apa yang terjadi dengan dirinya?

“Habis, aku harus menyebut bagaimana? Ah, kau betul. Kau menyebutku Twako, kalau begitu kau adikku, Moi-moi.”

“Nah, begitu baru enak bicara. Terhadap seorang tuan mana aku sudi mengobrol begini? Lain lagi kalau terhadap seorang kakak....”

“Maksudmu, terhadap seorang sahabat baik seperti kakak sendiri,” potong Bok Liong.

“Sama saja, apa bedanya? Twako, kulihat tadi ilmu silatmu juga hebat sekali. Siapakah gurumu?”

Kalau orang lain yang menanyakan hal ini, tentu Bok Liong takkan mau menerangkannya. Selama ia berkecimpung di dunia kang-ouw, hanya beberapa orang tokoh besar saja yang tahu murid siapa pemuda lihai ini. Akan tetapi terhadap Lin Lin yang sekaligus sudah merobohkan jantung menawan hatinya, ia tidak berani berbohong, apalagi tidak menjawab. Ia takut kalau-kalau gadis yang sekarang sudah “jinak” dan baik kepadanya ini akan mengamuk lagi dan memusuhinya. Tidak ada malapetaka baginya di saat itu yang akan lebih besar dan hebat daripada dimusuhi Lin Lin!

“Nona.... eh, Lin-moi (Adik Lin). Guruku terkenal dengan namanya yang sederhana sekali, malah sesungguhnya, orang lain termasuk aku sendiri tak pernah mengenal namanya karena ia hanya memperkenalkan she (nama keturunan) yaitu she Gan. Karena inilah maka di dunia kang-ouw ia dikenal sebagai Gan-lopek (Empat Tua Gan)!”

Senyum di bibir Lin Lin melebar.
“Gan-lopek? Hi-hik! Badut tak pernah mandi yang pantatnya besar, kumis dan jenggotnya dijadikan sarang semut, paling takut melihat cacing dan ular? Hi-hi-hik, geli hatiku kalau mengenangkan dia!” Lin Lin menutupi mulut dengan tangan kiri untuk menyembunyikan tawanya.

Bok Liong membelalakkan kedua matanya yang lebar,
“Apa? Kau pernah melihat Suhu?”

Lin Lin menggeleng kepala, menahan kekehnya. Agak lama baru dia dapat bicara.
“Aku hanya mendengar ceritanya dari kakek gundul pacul. Wah, kakek dan aku tertawa-tawa sampai perutku menjadi keras dan kakek jatuh terguling dari atas cabang pohon.”

Kembali Lin Lin tertawa terkekeh-kekeh dan diam-diam Bok Liong menjadi tak senang hatinya karena merasa betapa suhunya, orang yang ia anggap paling hebat di dunia ini, menjadi buah tertawaan, sungguhpun ia cukup mengenal suhunya sebagai orang yang luar biasa anehnya dan kadang-kadang membuat lelucon yang luar biasa.

“Hemmm, kau pernah mendengar cerita tentang Suhu? Dan kakek gundul pacul yang menceritakan itu, apakah dia jatuh dari cabang pohon terus mati?”






Tiba-tiba suara ketawa Lin Lin terhenti.
“Dia? Mati jatuh dari cabang? Ah, Twako, kau benar-benar tidak mengenal dia. Dialah yang menurunkan ilmu SERBA KOSONG kepadaku, dia orang sakti seperti dewa. Mana bisa mati jatuh dari cabang?”

Bok Liong benar-benar tidak mengerti. Luar biasa sekali dara ini, pikirnya. Kalau kakek gundul pacul itu mengajar ilmu, berarti kakek itu guru si nona. Akan tetapi kenapa nona ini menyebutnya gundul pacul, sebutan yang seakan-akan mengejek dan memandang rendah?

“Ah, kalau begitu beliau seorang sakti? Siapakah beliau itu, atau kau juga tidak tahu namanya?”

“Tentu saja aku tahu. Dia disebut Kim-lun Seng-jin.... eh, kenapa kau, Liong-twako (Kakak Liong)?”

Lin Lin heran melihat pemuda itu meloncat seperti dipagut ular dan matanya menjadi amat bundar dan lebar.

“Kim-lun Seng-jin? Beliau itu gurumukah?” tanya Bok Liong.

Kembali Lin Lin menggeleng kepala.
“Bukan! Bukan guruku. Dia sahabat baikku.”

Makin heranlah Bok Liong. Masa, kakek sakti yang amat terkenal di dunia ini yang tingkatnya sekelas dengan gurunya, menjadi sahabat baik gadis ini?

“Tapi kau bilang tadi bahwa kau menerima ilmu dari padanya. Kan itu berarti bahwa dia gurumu.”

“Bukan! Hanya kenalan biasa saja. Tapi ilmunya SERBA KOSONG memang boleh juga.”

Lin Lin bersikap seakan-akan hal itu merupakan hal yang “bukan apa-apa” baginya, sikap ini sengaja ia “pasang” karena melihat betapa Bok Liong terheran-heran dan agaknya amat menjunjung tinggi Kim-lun Seng-jin!

“Serba kosong! Aneh sekali nama ilmu itu. Tapi, Lin-moi, aku percaya bahwa ilmu yang diturunkan oleh Kim-lun Seng-jin tentulah hebat bukan main. Ah, maafkan kalau tadi aku bersikap kurang hormat. Siapa mengira bahwa kau adalah mur.... eh, sahabat baik Kim-lun Seng-jin Locianpwe (Orang Tua Gagah)? Pantas saja beliau bisa bercerita tentang Suhuku.”

Senang sekali hati Lin Lin, kebanggaannya bukan main sehingga ia mengangkat dadanya yang sudah membusung. Karena senangnya, ia ingin memberi sekedar hiburan kepada Bok Liong dengan kata-kata manis.

“Tapi kakek berkata bahwa biarpun Gan-lopek itu orangnya lucu dan merupakan seorang badut besar, namun kepandaiannya hebat. Maka sekarang, melihat kepandaianmu, aku percaya akan kesaktiannya.”

Sekarang Bok Liong teringat akan matanya menatap ke arah pedang yang tergantung di pinggang Lin Lin. Tadi ketika mendengar ucapan Cheng Hie Hwesio tentang Pedang Besi Kuning, ia amat terkejut. Ia mendengar pula tentang lenyapnya pedang pusaka itu dari gudang pusaka istana, dan ia tadi masih terheran-heran bagaimana pedang itu bisa terjatuh ke tangan Lin Lin.

Betapapun pandainya Lin Lin, kiranya bukanlah hal yang mudah untuk dapat memasuki istana dan mencuri sebuah pedang pusaka. Akan tetapi sekarang terbukalah rahasia itu, kalau gadis itu pergi bersama seorang sakti seperti Kim-lun Seng-jin, soal memasuki istana dan mencuri pedang pusaka bukanlah merupakan hal yang aneh lagi. Akan tetapi, ia mulai mengenal watak Lin Lin dan karenanya ia tidak mau bertanya-tanya akan hal pedang itu, takut kalau-kalau Lin Lin akan menjadi curiga dan marah kepadanya. Sebaliknya ia lalu bertanya.

“Lin-moi, setelah kita menjadi sahabat dan kenalan sekarang, bolehkah aku mengetahui apa yang kau kehendaki sehingga kau seorang diri sampai berada di tempat ini? Hendak pergi ke manakah kau?”

Ini memang merupakan pertanyaan yang dinanti-nanti Lin Lin. Gadis ini sudah mengambil keputusan untuk minta bantuan Bok Liong. Kakek gundul Kim-lun Seng-jin biarpun telah mewariskan ilmu dan mengajaknya ke kota raja, malah ke dalam istana dan mencuri pedang, namun tidak berhasil menolong dia mendapatkan musuh besarnya, juga kakek angkatnya.

Setelah mendengar tentang sangkaan Kim-lun Seng-jin mengenal asal-usulnya dengan bangsa Khitan, makin besar keinginan hatinya untuk bertemu dengan Bu Song, karena dialah satu-satunya orang yang boleh diharapkan akan dapat menceritakan asal-usulnya, karena ketika ia diambil anak oleh Jenderal Kam, tentu Bu Song sudah besar dan dapat mengingat semua peristiwa diwaktu itu.

“Liong-twako, sebelum aku menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, lebih dulu kau jawablah. Apakah kau akan suka membantuku?”

“Tentu saja! Dengan segala senang hati aku akan membantumu. Apakah yang dapat kulakukan untukmu, Moi-moi?”

“Tanpa syarat?”

“Eh.... tanpa syarat bagaimana? Tentu saja, aku harus mendengar dulu apa urusanmu itu dan apa yang harus kulakukan.”

Bibir manis itu cemberut, tapi bagi Bok Liong malah tampak makin manis.

“Kalau begitu, tak usah kau membantuku. Ucapanmu itu menyatakan bahwa tidak sepenuh hatimu kau berniat membantuku. Kalau sepenuh hati suka membantu, tentu tidak akan bertanya-tanya lagi, apa saja urusannya, akan suka membantu.”

Merah muka Bok Liong mendengar celaan ini, dan diam-diam ia harus akui bahwa ucapan gadis ini, biarpun terdengar seperti mencari menang sendiri, namun ada benarnya juga.

“Baiklah, aku akan membantumu. Akan tetapi, Moi-moi, kau tentu tahu bahwa biarpun untuk kau sendiri, terpaksa aku tidak mau melakukan hal-hal yang berlawanan dengan kebenaran, ringkasnya, aku tidak mau membantu fihak yang melakukan kejahatan....”

Bok Liong terpaksa menghentikan kata-katanya karena seketika Lin Lin menjadi marah sekali. Gadis ini berdiri tegak, mengedikkan kepala, kedua tangan di pinggang, pandang matanya keras.

“Sudahlah, kita tidak jadi bersahabat. Aku tidak sudi bersahabat dengan orang yang tidak percaya kepadaku sedangkan aku amat percaya kepadamu!” Tubuhnya membalik dan berkelebat pergi.

Bukan main kagetnya hati Bok Liong. Ia pun cepat mengerahkan gin-kangnya untuk mengejar,

“Nanti dulu, Non.... eh, Moi-moi. Tunggu....! Mari kita bicara....!”

Akan tetapi Lin Lin tidak mempedulikannya, terus lari kencang. Karena ia mempergunakan gin-kang dari Khong-in-ban-kin, tentu saja larinya cepat sekali, mengalahkan kuda betina yang kabur dikejar kuda jantan. Dan Bok Liong sampai berkeringat karena harus mengerahkan seluruh tenaga mengejar.

“Lin-moi.... tunggu dulu....! Aku percaya padamu....!”

Lin Lin mendengar derap kaki kuda. Kiranya Bok Liong yang melihat betapa gerakan Lin Lin amat gesit dan cepat, kembali ke tempat tadi, meloncat ke atas punggung kudanya dan membalapkan kuda tunggangannya itu, melakukan pengejaran. Tapi ilmu lari cepat yang dipergunakan Lin Lin benar-benar luar biasa sekali. Kalau gadis itu sudah matang dalam melatih Khong-in-ban-kin, kiranya pemuda itu biarpun berkuda takkan mampu menyusulnya.

Sekarang pun, sukar sekali Bok Liong dapat menyusul. Setelah berkejaran hampir dua jam dan mereka tiba di luar kota Pao-teng sebelah selatan kota raja, barulah Lin Lin tersusul. Hal inipun hanya karena gadis itu kehabisan napas, terpaksa ia berhenti dengan napas memburu. Sepasang pipinya menjadi merah seperti buah tomat karena darahnya bergerak cepat setelah berlari selama itu.

Bok Liong cepat-cepat melompat turun dari atas kudanya dan menghadapi Lin Lin yang berdiri cemberut. Bok Liong kembali mengangkat kedua tangan memberi hormat dan suaranya benar-benar penuh bujuk rayu,

“Adikku yang baik, Moi-moi yang baik budi, maafkanlah aku yang tolol. Aku sungguh tidak mengerti mengapa kau marah-marah kepadaku, kalau kau suka menjelaskan, biarlah aku akan membunuh diri kalau memang aku berbuat dosa terhadapmu.”

Di dalam hatinya, Lin Lin tertawa geli dan mengira pemuda itu membadut. Akan tetapi karena ia masih mendongkol, ia menjawab ketus,

“Kau sudah tidak percaya kepadaku, mengapa masih memperlihatkan sikap bersahabat?”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar