FB

FB


Ads

Selasa, 28 Mei 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 033

“Siapa bilang aku tidak percaya, Lin-moi? Aku percaya seribu prosen kepadamu. Percaya mati-matian dan bulat-bulat!”

Bok Liong sengaja bersikap jenaka dan benar saja, dara yang memang pada dasarnya berwatak jenaka gembira itu sebentar saja sudah hilang marahnya.

“Kau bilang percaya hanya di mulut tapi di hati kau menyangka aku akan melakukan hal-hal jahat dan akan menyeretmu ke dalam perbuatan-perbuatan yang berlawanan dengan kebenaran. Bagus, ya? Lain di mulut lain di hati, berani sumpah tak berani mati!”

Kini tiba giliran Bok Liong yang tertawa geli di dalam hatinya. Entah dari mana dara ini memungut kata-kata sindiran yang merupakan istilah dalam panggung sandiwara itu untuk mengukur watak laki-laki.

“Wah, benar aku telah bersalah, Lin-moi, akan tetapi sungguh mati bukan maksudku untuk tidak percaya kepadamu.”

“Nah, sekarang bunuh dirilah. Aku ingin sekali lihat!”

Kata Lin Lin sambil duduk di atas tanah, dibawah pohon. Peluhnya membasahi jidat dan leher, diusapnya dengan saputangan sutera.

“Bunuh diri....? Apa maksudmu....?”

“Eh, pakai tanya lagi! Kan kau sendiri yang tadi berjanji hendak bunuh diri kalau berdosa kepadaku. Nah, kau bunuh dirilah. Atau memang kau pun termasuk golongan yang berani sumpah tak berani mati?”

“Waduh-waduh, masa kesalahan begitu saja dianggap dosa besar yang harus ditebus dengan nyawa? Lin-moi, harap jangan main-main. Biarlah, aku mengaku salah dan tidak akan banyak tanya lagi. Aku akan membantumu tanpa syarat dan tanpa tanya-tanya lagi. Sekarang katakan, apa yang dapat kulakukan untuk membantumu? Apakah kesukaranmu?”

Kata Bok Liong sambil duduk pula di atas tanah, berhadapan dengan Lin Lin. Kudanya yang juga tampak lelah itu beristirahat sambil makan rumput gemuk hijau di pinggir jalan, ekornya dikebut-kebutkan ke kanan kiri mengusir lalat, kelihatan girang dan lega kuda itu setelah tadi berlumba lari.

Kini wajah Lin Lin tampak sungguh-sungguh. Memang, ia tadi mendongkol. Akan tetapi tidak mendalam dan puaslah ia sudah dapat balas menggoda Bok Liong. Kini dengan suara serius ia berkata.

“Liong-twako, sebetulnya pikiranku amat bingung. Aku mencari musuh besar tidak bertemu, mencari kakak angkatku juga tidak berhasil, malah-malah Kakak Bu Sin dan Enci Sian Eng pun sampai sekarang tidak bertemu kembali denganku, entah lenyap kemana mereka itu!”

Tahulah sekarang Bok Liong bahwa gadis ini adalah seorang dara remaja yang hilang dalam arti kata, terpisah daripada dua orang kakaknya. Ia tidak memotong, melainkan menanti gadis itu melanjutkan penuturannya.

“Kami bertiga pergi meninggalkan dusun kami di kaki Gunung Cin-ling-san, dengan niat mencari musuh besar kami, juga mencari kakak angkatku yang semenjak kami lahir tak pernah kami temui. Celakanya, kami bercerai-berai dan aku mencari sendiri, dibantu oleh kakek gundul Kim-lun Seng-jin. Namun hasilnya sia-sia belaka. Kakek gundul itu ternyata tidak becus membantuku, tak dapat membawaku kepada kakak angkatku, juga tidak tahu dimana adanya musuh besarku. Nah, sekarang aku minta bantuanmu, Liong-twako, bantulah aku mencari mereka itu.”

Bok Liong tertawa. Hatinya lega bukan main.
“Ah, Lin-moi, kau ini memang suka bikin orang bingung. Kalau tadi-tadi kau bilang hanya bantuan seperti ini saja, tentu aku seribu kali setuju. Akan kubantu engkau, Moi-moi. Akan tetapi, tentu saja aku harus tahu lebih dulu siapakah gerangan mereka yang kau cari. Siapakah musuh besarmu itu?”

“Aku sendiri juga tidak tahu, akan tetapi menurut dugaan kami, dia adalah Si Suling Emas.”

Tiba-tiba Bok Liong meloncat sampai satu meter lebih. Mukanya berubah dan ia memandang kepada Lin Lin dengan bengong. Lin Lin juga meloncat dan membanting kakinya.

“Nah-nah-nah, kau kumat lagi! Apakah semua laki-laki memang pengecut sehingga begitu mendengar nama Suling Emas lantas menjadi ketakutan macam ini? Kau dan kakek gundul sama saja. Menjemukan benar!”

Wah, kau yang kumat, bukan aku, demikian suara hati Bok Liong. Akan tetapi mulutnya segera berkata,

“Jangan salah sangka, Lin-moi. Aku tidak takut, hanya terheran-heran. Kau agaknya tidak tahu orang macam apa dia itu, maka begitu mudah kau menuduh dia sebagai musuh besarmu. Lin-moi, Suling Emas adalah seorang pendekar sakti yang dipandang tinggi oleh para tokoh bersih di dunia kang-ouw. Masa dia membunuh ayah bundamu?”






Lin Lin cemberut.
“Biar dipandang tinggi oleh semua orang di dunia atau dipandang tinggi oleh para dewa sekali pun, aku tidak takut! Ihhh, semua orang takut kepada Suling Emas. Sampai bagaimana sih kepandaiannya? Ingin aku bertemu dengan dia dan mengajak dia duel (adu ilmu) sampai selaksa jurus!:”

Bok Liong meraba-raba bawah hidungnya yang tidak berkumis untuk menahan tawa.
“Baiklah, Lin-moi. Aku akan membantumu dan kurasa kalau diusahakan benar, bukan tidak mungkin aku akan dapat memperjumpakan kau dengan Suling Emas.”

Wajah yang cemberut itu seketika berseri dan kembali Bok Liong merasa dadanya tergetar. Sekarang demikian hebat ia terpengaruh sehingga jantung di dalam rongga dadanya berloncatan ke atas kemudian jatuh kembali di tempatnya dalam keadaan terbalik! Mulutnya sampai ternganga ketika ia memandang wajah Lin Lin, sinar matanya sayu penuh keharuan. Baru kali ini ia menyaksikan sesuatu yang demikian indahnya sampai mengharukan.

Akan tetapi Lin Lin mana memperhatikan hal ini? Ia sudah terlampau girang cepat ia menyambar tangan Bok Liong, di guncang-guncangnya.

“Betul, Liong-twako? Kau bisa mencari dia? Ah, kakek gundul itu saja tidak becus. Dimana adanya Suling Emas, Liong-ko? Jauh atau dekat? Hayo kita segera pergi kesana, ingin kupaksa dia mengaku tentang pembunuhan itu!”

Kembali Bok Liong tersenyum. Kini ia berani tersenyum dan ini memudahkan ia menahan tawanya mendengar kata-kata dan melihat sikap yang lucu ini. Benar-benar seorang dara lincah jenaka yang seperti seekor burung baru belajar terbang, tidak tahu tingginya gunung lebarnya lautan!

“Tidak begitu mudah, Lin-moi. Orang macam dia itu tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Akan tetapi, aku akan bertanya-tanya kepada tokoh kang-ouw. Aku mempunyai banyak kenalan di dunia kang-ouw dan dari mereka, kurasa akhirnya kita akan dapat berjumpa dengan Suling Emas. Sekarang soal ke dua, tentang kakakmu itu. Siapa dia dan bagaimana mungkin seorang kakak tidak pernah bertemu dengan adik-adiknya selamanya?”

“Kakak angkatku itu bernama Kam Bu Song, akan tetapi ketika ia mengikuti ujian di kota raja empat belas tahun yang lalu, ia memakai she Liu. Apakah kau bisa mencari keterangan tentang dia?”

“Kam.... Liu Bu Song? Tak pernah aku mendengar nama ini, akan tetapi kalau empat belas tahun yang lalu dia di kota raja, tentu saja aku tidak ingat lagi. Tentu aku masih kanak-kanak waktu itu. Akan tetapi, aku dapat mencari keterangan di kota raja tentang dia. Sekarang, kau hendak mencari yang mana lebih dulu? Kalau mencari kakakmu lebih dulu, kita kembali ke kota raja. Kalau mencari Suling Emas, tidak perlu kita ke kota raja.”

Lin Lin termenung. Kedua orang itu sama pentingnya. Akan tetapi, pertemuan dengan Kim-lun Seng-jin dan cerita tentang “Puteri Khitan” amat menarik hatinya dan membuat ia ingin sekali segera mendengar pemecahan rahasia ini. Pula, kalau ia mencari Bu Song di kota raja, ada keuntungannya, yaitu sambil menanti datangnya Bu Sin dan Sian Eng. Mereka berdua itu pasti akan datang ke kota raja pula.

“Biar kita mencari Kakak Bu Song lebih dulu, ke kota raja.” Akhirnya ia berkata. “Sekalian menanti munculnya Sin-ko dan Enci Sian Eng. Liong-twako, kau baik sekali. Perlu kau kuperkenalkan dengan Sin-ko dan terutama dengan Eng-cici. Wah, dia itu gagah perkasa, ilmu pedangnya hebat dan dia cantik sekali, Twako!” Setelah berkata demikian ia tertawa-tawa gembira.

Merah muka Bok Liong.
“Hush, kau bicara apa ini? Kenapa kau bilang kepadaku tentang Cicimu? Apa perlunya?”

“Ihhh, kalau aku memuji kecantikan Enciku di depanmu, apa sih salahnya?” Ia tertawa-tawa lagi dan matanya menggoda.

Bok Liong tersenyum masam, hatinya mengeluh. Engkaulah yang cantik, tidak ada wanita kedua di dalam dunia ini yang dapat menggerakkan hatiku seperti engkau, demikian suara hatinya.

“Baiklah, kita kembali ke kota raja. Akan tetapi sarung pedangmu itu harus diganti. Biar nanti kucarikan gantinya.”

“Sarung pedang? Mengapa?” Lin Lin meraba pedangnya.

“Moi-moi, tadi aku mendengar dari kata-kata Cheng Hie Hwesio tentang Pedang Besi Kuning yang hilang dari istana dan berada di tanganmu. Lebih baik sarungnya yang istimewa itu diganti, sehingga tidak akan dikenal orang.”

Lin Lin tersenyum.
“Memang inilah pedang itu, kakek gundul dan aku yang mengambilnya. Wah, kalau kau ikut tentu senang sekali, Liong-twako. Kami berdua sikat habis semua masakan di dalam dapur istana. Wah, enak-enak, pendeknya, selama hidup belum pernah kau merasakannya. Sampai sakit perutku, terlalu kenyang dan perut kakek itu menjadi busung. Dan kami.... kami menyamar seperti kucing....”

Lin Lin terkekeh gembira, menutupi mulutnya dan dengan suara terputus-putus diseling tawa ia menceritakan pengalamannya di istana.

Bok Liong kagum bukan main. Kagum akan kehebatan Kim-lun Seng-jin, juga kagum akan manisnya mulut yang bergerak-gerak bicara itu. Kemudian mereka berdua memasuki kota Pao-teng dan di sebuah toko senjata Bok Liong membeli sebuah sarung pedang untuk pedang yang tergantung di pinggang Lin Lin. Kini pedang itu, tanpa ronce-ronce dan dengan sarung lain, tiada bedanya dengan pedang biasa, maka tentu tidak akan ada yang tahu bahwa itulah Pedang Besi Kuning, pedang pusaka rampasan dari bangsa Khitan yang lenyap dari dalam gudang pusaka istana.

Di kota Pao-teng, Bok Liong mengajak Lin Lin memasuki sebuah rumah makan yang cukup besar dan bersih. Hari menjelang senja dan perut mereka telah lapar. Tanpa sungkan-sungkan Lin Lin menyetujui dan seorang pelayan segera menyambut mereka dengan hormat, apalagi ketika melihat pedang yang tergantung di punggung Bok Liong dan di punggung Lin Lin.

Bok Liong bertanya,
“Kau hendak makan apa, Moi-moi?”

“Apa sajalah. Setelah makan eh.... anu.... semua itu, kiranya tidak ada makanan yang cukup bagiku.”

Ia mengernyitkan hidung dan Bok Liong maklum bahwa yang dimaksudkan Lin Lin tentu masakan-masakan di dapur istana itu.

Pelayan yang menanti pesanan mereka tentu saja tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh nona yang cantik jelita dan gagah perkasa ini. Bok Liong memesan arak wangi, nasi putih, bakmi, bakso dan beberapa macam sayur-mayur lagi. Pesanan itu dilayani dengan cepat sehingga beberapa menit kemudian mereka telah mulai makan minum.

Kelahapan Bok Liong dan perutnya yang sudah amat lapar itu membuat Lin Lin dapat makan dengan enak juga, malah tidak kalah enaknya dengan masakan-masakan dapur istana ketika ia sudah kekenyangan. Bukanlah masakannya yang menjadi syarat mutlak untuk kelezatan, melainkan perut lapar. Perut lapar menyedapkan setiap makanan yang paling sederhana seakalipun!

Suara orang bercakap-cakap riuh rendah memasuki restoran itu tidak menarik perhatian Lin Lin dan Bok Liong yang sedang enak makan, juga ketika beberapa orang tamu memesan masakan dengan suara parau, mereka tidak menengok dan terus makan.

Akan tetapi karena tiga orang laki-laki yang baru datang itu duduknya di meja yang berhadapan dengan Lin Lin, mau tak mau Lin Lin dapat melihat mereka. Mendadak gadis ini meletakkan sumpit dan mangkoknya, kemudian ia bangkit dari tempat duduk dengan mata berapi. Bok Liong melihat keadaan gadis ini, sambil menghirup kuah dari mangkok, menoleh lalu mengerutkan keningnya. Kiranya yang bercakap-cakap dan duduk mengelilingi meja itu adalah tiga orang laki-laki yang pakaiannya ditambal-tambal, pakaian pengemis jembel!

“Sssttttt, Lin-moi, tenang dan duduklah. Tak baik membuat ribut di restoran orang, bikin kacau dan rusak barang orang saja.” bisiknya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar