FB

FB


Ads

Sabtu, 25 Mei 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 030

Kiranya dua orang hwesio muda itu tidak terlalu menyombong. Permainan cambuk mereka memang hebat, cepat dan kuat sekali. Namun kali ini mereka bertemu dengan Lin Lin, yang baru saja mewarisi Ilmu Khong-in-ban-kin, ilmu yang membuat ia dapat mengerahkan gin-kang yang hebat sehingga tubuhnya berubah ringan dan cepat laksana gerakan seekor burung walet.

Betapapun cepatnya dua batang cambuk itu melecut dan menyambar, tubuh Lin Lin lebih cepat lagi bergerak, berkelebat di antara sambaran cambuk diselimuti gulungan sinar kuning dari pedangnya.

Memang hebat sekali Lin Lin setelah ia mewarisi ilmu dari Kim-lun Seng-jin. Apalagi di tangannya sekarang ada sebatahg pedang pusaka terbuat daripada besi aji yang amat ampuh. Dengan sinar yang menyilaukan mata, pedangnya berkelebat dan.... dua orang hwesio muda itu berteriak kesakitan ketika cambuk-cambuk di tangan mereka itu putus semua berikut ujung lengan baju dan sebagian daripada kulit dan daging lengan mereka, semua terbabat oleh sinar pedang yang menyilaukan dan berhawa dingin itu! Tentu saja mereka terkejut dan ketakutan, lalu melarikan diri sambil memegangi kepala seakan-akan merasa khawatir kalau-kalau kepala mereka pun akan terbabat putus!

“Bagus sekali. Benar-benar kiam-hoat (ilmu pedang) yang amat indah dan lihai!”

Lin Lin cepat menengok. Kiranya tak jauh dari tempat pertempuran itu tampak seorang laki-laki muda duduk di atas punggung kudanya. Pemuda ini berusia dua puluh tahun lebih, bermuka bundar dengan jidat lebar, sepasang matanya lebar dan menyinarkan kejujuran, alisnya tebal, hidungnya agak pesek, mulutnya membayangkan keramahan. Biarpun bukan wajah yang dapat disebut tampan, namun ia tidak buruk rupa, bahkan wajahya yang sederhana ini menyenangkan hati orang. Pakaiannya pun sederhana dan bersih, rambutnya digelung ke atas dan dibungkus sutera berkembang. Gagang sebuah pedang yang tampak menandakan bahwa ia pun seorang yang tidak asing akan senjata tajam. Juga bentuk tubuhnya yang kekar membayangkan tenaga besar.

Lin Lin masih marah. Sehabis bertemu dengan dua orang hwesio muda yang bermulut kotor dan lancang tadi, ia mempunyai prasangka buruk terhadap pemuda ini. Kalau laki-laki yang sudah menjadi hwesio-hwesio saja seperti tadi kurang ajarnya, apalagi yang masih muda seperti ini! Dengan muka merah dan mulut cemberut ia membalikkan tubuh menghadapi pemuda itu, lalu menghardik.

“Memang kiam-hoatku indah dan lihai, juga pedangku ini cukup tajam untuk memenggal leher setiap orang laki-laki ceriwis dan kurang ajar! Kau mau apa ikut campur?”

Ada semenit pemuda itu melongo. Matanya yang lebar itu makin melebar ketika ia memandang Lin Lin. Terbayang pada matanya itu kekaguman luar biasa dan sesungguhnya, ia memang kagum sekali setelah dara ini sekarang menghadapinya.

Wajah Lin Lin seakan-akan menyihirnya, membuat jantungnya jungkir balik dan kepalanya puyeng, matanya berkunang-kunang. Belum pernah selama hidupnya ia melihat seorang dara seperti ini, dan belum pernah ia mengalami guncangan seperti ini pula menghadapi seorang gadis.

Lin Lin makin tidak sabar. Agaknya laki-laki ini kurang ajar pula, duduk di atas punggung kuda dan memandangnya tanpa berkata apa-apa, memandangnya tanpa berkedip. Ia membanting kaki dan memaki,

“Apa kau kira aku ini barang tontonan maka matamu melotot terus memandangku?”

Pemuda itu tersenyum.
“Bukan barang tontonan, Nona, akan tetapi tidak ada tontonan yang lebih indah, lebih mempesona, lebih....”

“Kau lebih kurang ajar lagi!”

Bentak Lin Lin dan tubuhnya sudah melesat ke depan sambil mengirim serangan dengan pedangnya.

“Uiiihhhhh, ganas....!” pemuda itu cepat sekali membuang diri dari atas punggung kuda, berjumpalitan beberapa kali dan ketika kedua kakinya sudah berdiri di atas tanah, ternyata ia telah mencabut pedangnya yang berkilauan seperti perak. “Baiklah, Nona. Kalau kau ingin mencoba kepandaian, mari kulayani. Agaknya kau murid orang pandai dan patut menjadi lawanku bertanding pedang.” Ia melambaikan tangan kiri menantang.

Dari gerakan pemuda tadi yang amat mengagumkan hati Lin Lin, gadis inipun maklum bahwa lawannya kali ini bukanlah seorang sembarangan, bukan macam dua orang hwesio tadi. Akan tetapi ia tidak takut! Dan perasaannya ini ia keluarkan melalui bibirnya yang merah,

“Biar ada sepuluh orang macam engkau, aku tidak gentar!”






“Ha-ha-ha, ada satu saja orang macam aku sudah terlalu repot bagimu, apalagi ada sepuluh orang!”

Pemuda itu berkelakar, akan tetapi ia harus cepat-cepat menggerakkan pedangnya menangkis karena dengan gerakan seperti seekor burung walet, gadis itu sudah menerjangnya.

“Trang-trang-tranggggg....!”

Tiga kali pedang mereka saling beradu, menimbulkan bunga api yang muncrat ke sana-sini.

Keduanya cepat menarik pedang masing-masing dan lega hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa pedang mereka tidak rusak oleh pertemuan keras lawan keras tadi. Masing-masing kagum dan juga kaget. Apalagi Lin Lin. Tadi ia sudah mengerahkan tenaga Khong-in-ban-kin dan ia maklum bahwa tenaga yang terdapat dalam ilmu ini luar biasa besarnya. Tadi ia gunakan sedikit saja untuk menghadapi dua orang hwesio, sekali babat saja cambuk-cambuk itu putus semua.

Sekarang ia pergunakan tenaga ilmu ini dalam mengadu pedang, sedangkan di tangannya adalah pedang pusaka pula, mengapa pedang lawannya tidak menjadi rusak dan tidak terpental? Ini hanya menjadi bukti bahwa pemuda pesek ini selain memiliki pedang yang ampuh juga memiliki kepandaian tinggi, dapat melawan terjangan tenaga Khong-in-ban-kin. Apakah kakek gundul pelontos Kim-lun Seng-jin yang membohonginya dan membual tentang kelihaian Khong-in-ban-kin? Kakek itu bilang bahwa jarang ada lawan yang akan dapat mengimbangi kecepatan dan kekuatan tenaga dalamnya kalau ia mengerahkan Khong-in-ban-kin, akan tetapi sekarang, baru saja bertemu dengan seorang pemuda pesek, ilmunya itu seakan-akan tiada artinya lagi.

Di lain fihak, Si Pemuda juga kaget dan tercengang di samping kekagumannya yang menjadi-jadi. Tadinya ia mengira bahwa dara lincah itu hanya memiliki gerakan yang amat cepat dan ilmu pedang yang tinggi saja, maka dengan mudah dapat mengalahkan dua orang hwesio kurang ajar tadi. Siapa kira, dalam pertemuan pedang tadi ia mendapat kenyataan bahwa dalam hal tenaga, gadis itu tidak usah mengaku kalah terhadapnya, juga pedang di tangannya itu adalah pedang ampuh yang dapat menahan pusakanya sendiri. Padahal pusakanya ini adalah pedang Goat-kong-kiam (Pedang Sinar Bulan) yang jarang bandingannya, pedang pusaka pemberian suhunya.

“Wah karena pedangmu ampuh kau jadi sombong, ya? Awas lehermu!”

Lin Lin membentak dan segera gadis ini mainkan Khong-in-liu-san untuk menerjang lawannya.

Hebat terjangannya ini, pedangnya berubah menjadi sinar kuning bergulung-gulung, makin lama makin tebal merupakan segunduk awan bergerak perlahan mengurung diri pemuda itu dari segala jurusan.

Pemuda itu mengeluarkan seruan tertahan. Benar-benar tak disangkanya gadis ini sedemikian lihainya. Ia pun lalu bersilat dengan pedangnya, ilmu silat yang aneh, gerakan-gerakannya lucu dengan tubuh megal-megol seperti seorang pelawak beraksi di atas panggung wayang.

Hampir saja Lin Lin tak dapat menahan ketawanya menyaksikan gerakan aneh dan lucu ini. Akan tetapi ia pun terheran-heran karena ke manapun juga pedangnya menyambar, selalu dapat dielakkan atau ditangkis oleh pemuda yang gerak-geriknya aneh ini. Ia sama sekali tidak tahu bahwa pemuda itu banyak mengalah, hanya mempertahankan diri daripada serangan-serangannya yang dahsyat, tidak berusaha membalas sungguh-sungguh. Memang pemuda itu tidak ingin merobohkan Lin Lin, kekagumannya terhadap gadis itu membuat ia mengalah dan hanya ingin menguji kepandaian orang.

“Hebat...., hebat.... kiam-hoat yang luar biasa!” berkali-kali pemuda itu memuji.

Akan tetapi, makin dipuji makin marahlah Lin Lin karena pujian itu ia anggap sebagai ejekan. Mana bisa ilmu pedangnya dipuji kalau sama sekali tidak mampu mendesak lawan?

“Balaslah! Seranglah! Kau kira aku takut? Kalau kau bisa mengalahkan aku, baru kau laki-laki sejati!”

Ia menantang. Ia berbesar hati karena ia memiliki ilmu Khong-in-ban-kin dan dengan ilmu ini ia dapat menggunakan gin-kang yang sempurna sehingga ia tidak khawatir akan termakan pedang lawan.

Seperempat jam sudah mereka bertanding. Kuda tunggangan pemuda itu menjadi gelisah, berkali-kali meringkik ketakutan. Pemuda itu gemas juga. Gadis ini amat menarik hatinya, dan ia tidak tega untuk merobohkan atau mengalahkannya. Akan tetapi kalau tidak “diberi rasa”, tentu tidak tahu akan kelihaiannya, demikian ia pikir, bangkit harga dirinya sebagai seorang laki-laki.

“Baiklah, Nona, lihat pedangku!”

Ia memutar pedangnya cepat sekali dan mengerahkan tenaga untuk mendesak dan menindih gulungan sinar pedang lawan.

Memang hebat pemuda ini. Amat kuat tenaga desakan hawa dan sinar pedangnya, mengejutkan hati Lin Lin. Namun cepat gadis ini menggunakan Khong-in-ban-kin, tubuhnya seakan-akan bayangan, dengan lincahnya ia menyelinap diantara sinar pedang. Sungguhpun harus ia akui bahwa semua serangannya sekarang gagal dan buyar, tidak ada kesempatan lagi, namun ia tetap dapat mempertahankan diri daripada desakan lawan.

Makin keras pemuda itu menekan, makin lincah gerakan Lin Lin sehingga pemuda itu selain kaget juga heran dan bingung. Tahulah ia sekarang bahwa dara lincah ini adalah murid seorang sakti, karena hanya beberapa orang saja di dunia kang-ouw, boleh dihitung dengan jari jumlahnya, yang akan dapat menghindarkan diri daripada tekanan pedangnya seperti ini.

Pada saat itu terdengar bentakan keras,
“Susiok (Paman Guru), inilah iblis betina liar itu!”

“Hemmm, hemmm, agaknya mengandalkan kecantikannya. Lihat pinceng menangkapnya!”

“Mari kita berlumba, Sute, aku pun timbul kegembiraan hendak menangkap gadis liar ini!” sambung suara ke dua.

“Hee, Sicu (Orang Gagah), harap mundur. Biarkan pinceng berdua main-main dengan budak ini!”

Pemuda itu dan Lin Lin biarpun masih saling gempur, otomatis kini mengendurkan gerakan dan melirik. Kiranya yang datang adalah dua orang hwesio muda yang tadi, yang berdiri agak jauh, akan tetapi kini mereka datang bersama dua orang hwesio setengah tua yang bertubuh tinggi besar dan keduanya memegang sebatang tongkat hwesio yang panjang dan terbuat daripada baja. Kedua orang hwesio ini sombong sekali lagaknya dan agaknya mereka memandang rendah kepada pemuda itu dan Lin Lin.

Tanpa memberi kesempatan lagi, dua orang hwesio setengah tua itu menerjang maju dari kanan kiri mengeroyok Lin Lin! Benar-benar tak tahu malu, pikir Lin Lin, suaranya saja hendak berlumba untuk menangkapnya, kiranya mereka itu hanya ingin mengeroyok mengandalkan senjata yang panjang dan berat. Mana ada orang yang hendak “menangkap” menggunakan tongkat yang begitu panjang dan berat?

Akan tetapi ketika ia mengayun pedang dengan putaran lebar, sekaligus menangkis dua batang tongkat itu, terdengar suara keras, bunga api berpijar dan Lin Lin merasa betapa telapak tangannya tergetar. Ia kaget dan diam-diam ia mengeluh. Kiranya di samping kesombongan mereka, dua orang hwesio ini memiliki tenaga lwee-kang yang hebat! Cepat ia menggerakkan tubuh dan dengan mengandalkan kelincahannya, kini ia menghadapi dua orang pengeroyoknya, lupa bahwa lawan lamanya, pemuda itu, kini berdiri menonton dan tidak menyerangnya lagi.

“Tahan senjata! Melihat gerakan, Ji-wi Suhu adalah hwesio-hwesio Siauw-lim. Betulkah?”

Dua orang hwesio setengah tua itu melompat mundur, menahan tongkat mereka lalu memandang pemuda itu. Lin Lin tidak peduli, akan tetapi ia pun tidak sudi menyerang orang yang menarik senjatanya, maka dengan pedang melintang di depan dada, ia hanya memandang, sikapnya gagah.

“Kami memang betul hwesio-hwesio Siauw-lim. Kau siapakah, Sicu, dan apa yang hendak kau katakan kepada kami?”

Pemuda itu mengerutkan keningnya.
“Siauw-lim-pai adalah partai persilatan yang selalu menjunjung kebenaran dan keadilan, yang selalu bersih dan terkenal sebagai pusat orang-orang beribadat yang berilmu tinggi. Akan tetapi mengapa Ji-wi Suhu datang-datang menyerang seorang wanita?”

“Gadis liar ini menghina murid-murid keponakan kami!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar