FB

FB


Ads

Sabtu, 25 Mei 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 029

Kim-lun Seng-jin tertawa dan menggelengkan kepalanya.
“Memang aneh mereka itu terlalu kukuh. Karena kekukuhan mereka, terjadilah hal-hal yang menyedihkan, perebutan kursi, saling mendukung pilihan mereka. Itulah sebabnya mengapa aku menjauhkan diri Lin Lin, kau dicari oleh mereka yang tidak suka kepada raja sekarang, untuk mengangkatmu sebagai ratu dan melawan raja yang sekarang berkuasa, yaitu Pamanmu, Kubakan, Raja Khitan yang sekarang.”

“Apa....?” Lin Lin terbelalak memandang Kim-lun Seng-jin, kemudian ia membantah, “Aku masih tidak percaya, Kek. Tak mungkin aku seorang puteri bangsa Khitan karena sepatah katapun bahasa Khitan tidak kumengerti. Ah, kau hanya mengkhayal, Kek. Hal ini harus ada buktinya. Ahhhhh.... satu-satunya orang yang akan dapat memberi keterangan tentu dia!”

“Dia siapa?”

“Putera sulung Ayah angkatku, Kam Bu Song. Kek, kau bantulah aku mencari Kakak Kam Bu Song, tidak saja hal ini untuk memenuhi pesan terakhir Ayah angkatku, juga kalau dapat bertemu dengan dia kiranya dia akan dapat bercerita, anak siapa sebenarnya aku ini.”

Lin Lin lalu menceritakan pesan terakhir dari Jenderal Kam. Kim-lun Seng-jin mengangguk-angguk.

“Mungkin Kam Bu Song itu dapat bercerita. Akan tetapi, Lin Lin, jangan kau kira bahwa andaikata kau benar Puteri Khitan seperti persangkaanku, aku menghendaki kau tidak benar-benar menjadi ratu dan memerangi Pamanmu sendiri. Aku lebih senang melihat kau bebas seperti sekarang ini, menikmati kebahagiaan hidup tanpa ikatan sesuatu yang hanya akan menimbulkan pertumpahan darah diantara saudara dan bangsa sendiri.”

“Kalau aku betul keturunan Raja Khitan, tentu saja akan kujungkalkan pengkhianat yang telah merampas tahta Kerajaan Khitan, Kek!”

Jawaban tiba-tiba ini mengejutkan Kim-lun Seng-jin sehingga ia duduk melongo memandang Lin Lin. Akan tetapi Lin Lin segera tertawa.

“Jangan kau gelisah, Kek. Aku bukanlah puteri raja, aku orang biasa. Setelah mencari Suling Emas tidak bertemu, aku akan mencari Kakak Kam Bu Song sambil menanti datangnya kedua orang kakakku, Sin-ko dan Enci Eng.”

Mendadak kakek itu meloncat dan menyambar tangan Lin Lin.
“Hayo kita lari keluar kota raja. Berbahaya disini!”

Lin Lin kaget dan hendak membantah. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan-bayangan yang amat gesit, lalu terdengar bentakan,

“Maling keparat, kembalikan pedang pusaka!”

Mendengar ini, maklumlah Lin Lin bahwa mereka telah dikejar pengawal-pengawal istana yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi mengapa harus melarikan diri?

“Kek, kita lawan saja....!” serunya sambil berusaha melepaskan tangannya.

Akan tetapi Kim-lun Seng-jin malah menariknya untuk diajak lari cepat sekali menuju ke pinggir kota raja. Lin Lin tidak dapat melepaskan diri. Dengan gerakan yang luar biasa, Kim-lun Seng-jin sudah membawa Lin Lin melompati dinding tembok yang mengelilingi kota raja dan para pengejar tadi makin tertinggal jauh.

“Kek, kenapa kita mesti lari-lari seperti dua ekor tikus dikejar kucing? Memalukan sekali!”

Lin Lin mencela ketika mereka sudah turun di luar tembok kota raja dan tangannya dilepaskan oleh Kim-lun Seng-jin. Kakek itu tertawa.

“Bukan takut, melainkan aku tidak mau menyeretmu ke dalam kesulitan. Kau masih muda, Lin Lin, dan kau keturunan Raja Khitan. Kalau mereka mengetahui akan hal ini, kau akan dikejar-kejar terus dan selanjutnya kau takkan dapat hidup dengan tenteram. Pergilah, lanjutkan usahamu mencari kakakmu. Kita berpisah disini. Latih baik-baik Khong-in-ban-kin dan Khong-in-liu-san, dan kau takkan kecewa kelak. Tentang Suling Emas jangan khawatir. Kalau aku kebetulan bertemu dengannya, akan kutanyai dia apakah betul dia membunuh orang tua angkatmu. Kalau betul, percayalah, dia akan kuajak bertempur sampai sepuluh ribu jurus! Sekarang cepat kau pergi, mereka sudah datang!”

“Dan tinggalkan kau seorang diri menghadapi anjing-anjing dari istana itu, Kek? Tidak nanti!” Lin Lin berdiri tegak, malah segera mencabut pedangnya.






“Wah, keras kepala, seperti Tayami!”

Kakek itu bersungut-sungut, tiba-tiba tangannya bergerak dan tahu-tahu ia telah menotok pundak kiri Lin Lin. Karena dara ini sama sekali tidak pernah menduga bahwa kakek itu akan menyerangnya tentu saja ia tidak dapat menghindarkan diri dan seketika ia merasa tubuhnya lemas sekali. Kakek itu tertawa bergelak, lalu tubuhnya melesat ke depan, menyambut datangnya para pengejar.

Lin Lin tidak berdaya. Ingin ia lari membantu tapi tubuhnya lemas dan ia maklum dalam keadaan seperti ini, kalau bertempur, baru sejurus saja melawan orang biasa, tentu ia akan roboh. Karena itu, ia hanya berdiri diam saja dan mendengar betapa kakek itu dikepung dan dikeroyok oleh para musuh yang berteriak-teriak.

Agaknya, kakek itu sengaja mempermainkan mereka, karena ia berlari-lari, membiarkan dirinya dikejar-kejar dan akhirnya Lin Lin tidak mendengar suara apa-apa lagi. Sunyi di sekelilingnya. Kakek itu sengaja memancing para musuhnya untuk mengejarnya, menjauhi Lin Lin. Dara itu maklum akan hal ini dan ia menarik napas panjang. Baru sekarang ia merasa betapa baiknya Kim-lun Seng-jin terhadapnya. Kalau dekat dengan kakek itu, mereka sering kali cekcok dan berbantahan akan tetapi setelah berpisah, tak dapat Lin Lin menahan dua air matanya menitik turun.

Tak sampai seperempat jam, totokan pada pundaknya itu buyar dengan sendirinya. Lin Lin lalu menggerakkan pedang curian, mainkan Ilmu Silat Khong-in-liu-san. Pedang itu mengeluarkan suara bercuitan dan sinar kuning bergulung-gulung di malam buta. Ia merasa puas sekali karena pedang yang tipis dan kecil ringan itu terasa amat enak dimainkan. Amat cocok dengan ilmu pedang yang ia warisi dari Kim-lun Seng-jin. Ia baru berhenti bermain silat setelah fajar berada di ambang pintu langit timur. Kegelapan malam sudah terusir, terganti cuaca remang-remang berkabut, berwarna kelabu, ia memandang pedangnya. Pedang yang amat indah, terbuat daripada logam yang kekuning-kuningan, akan tetapi bukan emas.

“Hemmm, Pedang Besi Kuning, pusaka Khitan?” Lin Lin berpikir sambil memandangi pedangnya. “Dan aku Puteri Khitan? Seperti dongeng saja!”

Melihat bahwa yang aneh pada pedang itu hanyalah ronce-ronce merah yang panjang itu, Lin Lin segera melepas kedua ronce merah itu dan menyimpannya dalam saku jubahnya. Betapapun juga, pedang ini adalah pedang curian, pikirnya. Kalau terlalu menyolok mata dan dilihat orang, tentu sepanjang jalan hanya akan menimbulkan keributan belaka.

Dengan hati bungah (senang) ia lalu berjalan menjauhi kota raja. Ia ingin menanti munculnya kedua orang kakaknya, yang tentu akan menuju ke kota raja pula. Untuk kembali ke kota raja sekarang terlalu berbahaya. Memang, tidak ada seorang pun yang melihat dia memasuki istana, akan tetapi keadaan di kota raja tentu sedang kacau, penjagaan diperkuat dan orang-orang yang datang dari luar tentu dicurigai. Jangan-jangan pedangnya akan dikenal dan ia akan mengalami kesukaran kalau masuk kota raja. Lebih baik menanti munculnya kedua orang kakaknya itu di luar kota.

Di sebelah barat kota raja terdapat sebuah hutan yang kecil tapi amat indah. Pohon-pohon disitu tampak subur dan seakan-akan teratur. Memang hutan ini adalah hutan tempat para anggauta istana menghibur diri kalau keluar kota. Lin Lin tidak tahu akan hal ini dan girang hatinya ketika memasuki hutan ini. Ia berjalan seenaknya memasuki hutan, mendengarkan kicau burung yang menyambut datangnya pagi.

Lin Lin memang memiliki watak periang. Melihat suasana indah dan mendengar kicau burung yang berloncatan di cabang-cabang dan ranting-ranting pohon, kegembiraannya timbul. Kadang-kadang ia terkekeh ketawa melihat seekor kelinci muncul dari belukar, menggerak-gerakkan sepasang telinga yang panjang dan mainkan bola mata yang bening lebar. Ada kalanya ia berloncatan gembira meniru burung kecil yang berloncatan di daun-daun sambil berkicau.

Tiba-tiba Lin Lin terkejut mendengar suara orang tertawa. Karena ia amat gembira dan memperhatikan burung-burung di atas pohon, tidak diketahuinya bahwa sejak tadi ada dua orang laki-laki memperhatikannya.

Dua orang laki-laki itu kini menghadang di depannya sambil tertawa. Ketika Lin Lin memandang, kiranya mereka adalah dua orang pendeta yang berkepala gundul. Dua orang hwesio yang masih muda, pakaian pendetanya bersih, gundul kepalanya kurang bersih, karena sudah mulai ditumbuhi rambut baru, sikap mereka riang dan wajah mereka berseri gembira, sama sekali tidak patut menjadi wajah pendeta yang biasanya serius dan alim. Melihat bahwa yang tertawa adalah dua orang pendeta, Lin Lin tersenyum. Pendeta-pendeta tidak perlu ditakuti dan kegembiraannya timbul kembali.

“Selamat pagi, Ji-wi Suhu (Bapak Pendeta Berdua)!” serunya riang. “Pagi yang indah sekali, bukan?”

Dua orang hwesio itu saling pandang, dan tertawa lebar. Seorang diantara mereka, yang alis matanya tebal, maju selangkah.

“Selamat pagi. Memang pagi yang indah sekali, agaknya karena ada Nona yang cantik manis maka suasana begini menyenangkan. Siapakah nama Nona? Kami berdua senang sekali dapat berkenalan dengan Nona cantik jelita. Bukankah begitu, Suheng (Kakak Seperguruan)?”

Hwesio kedua mengangguk-angguk dan mulutnya menyeringai, memperlihatkan gigi besar-besar berwarna kuning.

“Memang betul, dan hari ini kita tidak perlu tergesa-gesa kembali ke kelenteng, lebih senang main-main dengan Nona ini disini.”

Seketika keriangan Lin Lin lenyap, terganti oleh kemarahan yang membuat kedua pipinya menjadi merah, sepasang matanya yang bening seakan-akan mengeluarkan sinar berapi.

“Ihhh, kalian ini dua orang bajingan yang menyamar sebagai pendeta, ataukah pendeta-pendeta yang kemasukan iblis? Bagaimana dua orang gundul berpakaian pendeta begini kurang ajar? Minggir, biarkan aku lewat, aku tidak sudi bicara dengan kalian lagi!”

“Ho-ho-hooo, nanti dulu, Manis!” Si Alis Tebal cepat membentangkan kedua lengannya menghadang di tengah jalan. “Bukan kebetulan kita saling bertemu disini, agaknya memang antara kita bertiga sudah ada jodoh! Kalau tergesa-gesa mau pergi juga, harus memberi ciuman dulu kepada kami, seorang tiga kali. Bukankah begitu, Suheng?”

“Ya-ya, betul itu! Di tempat sunyi begini, tak usah malu-malu, Nona!” kata Si Gigi Kuning.

“Jahanam bermulut busuk!”

Lin Lin membentak, tubuhnya berkelebat dan sekali kedua tangannya mendorong dengan jurus dari ilmu silatnya Khong-in-liu-san, dua orang hwesio itu terjengkang roboh ke kanan kiri. Kini Lin Lin yang mendapat giliran tertawa nyaring bernada penuh ejekan.

“Hi-hik, kiranya kalian hanyalah dua ekor monyet gundul yang hanya pandai pentang mulut menghina wanita!”

Dua orang hwesio muda itu kaget sekali, sama sekali tidak pernah mengira bahwa dara remaja itu dapat melakukan penyerangan yang sedemikian dahsyat dan tiba-tiba. Mereka marah sekali dan lenyaplah keinginan hati mereka untuk mempermainkan Lin Lin, kini dengan mata merah mereka meloncat bangun, penuh nafsu menyakiti gadis ini. Gerakan mereka cepat dan tahu-tahu mereka telah melolos sebatang cambuk dari ikat pinggang. Cambuk hitam yang panjang dan melihat gerakan cambuk di tangan, dapat diduga bahwa mereka adalah ahli-ahli bermain cambuk yang mahir sekali.

“Bocah setan, berani kau main gila terhadap pinceng (aku)?” seru Si Alis Tebal.

“Sute, kita cambuki pakaiannya sampai ia telanjang bulat!” kata Si Gigi Kuning dengan nada gemas.

“Tar-tar-tar-tar!”

Dari depan dan belakang, dua batang cambuk itu mengeluarkan bunyi dan menyambar-nyambar di atas kepala Lin Lin. Namun seujung rambut pun gadis ini tidak menjadi gentar. Malah kemarahannya memuncak.

“Hemmm, monyet-monyet gundul tak tahu diri. Hajaran tadi masih belum cukup bagi kalian, ya? Manusia-manusia berwatak kotor macam kalian kalau tidak dibasmi, hanya akan mengotorkan dunia dan mengganggu wanita saja!”

Setelah berkata demikian, Lin Lin menggerakkan tangan kanan dan “srattt!” tampak sinar kuning menyilaukan mata karena Pedang Besi Kuning sudah berada di tangannya.

“Bagus, kau berani melawan? Rasakan cambuk ini!”

Cambuk dari depan menyambar, disusul cambuk dari belakang dan di lain saat tubuh Lin Lin sudah terkurung dua batang cambuk yang menyambar-nyambar bagaikan dua ekor ular hidup.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar