Terdengar suara orang bicara dan langkah kaki mendatangi. Cepat bagaikan maling konangan (ketahuan orang) Lin Lin sudah melompat dan menerobos ke dalam lubang di atas langit-langit. Kakek itu mengikutinya sambil terkekeh dan sambil mengintai dari atas ia berbisik.
“Ihhh, kenapa kau begini penakut?”
Lin Lin tidak menjawab, mukanya merah. Bukan takut, tapi siapa tidak menjadi malu kalau mencuri makanan ketahuan pemiliknya? Hatinya berdebar-debar gelisah. Selama hidupnya, baru kali ini ia melakukan pencurian. Menjadi maling makanan, alangkah rendahnya dan memalukan! Dengan muka masih merah ia ikut mengintai, hendak melihat siapakah mereka yang memasuki dapur itu. Apakah kaisar sendiri? Ataukah permaisuri? Makin berdebar jantungnya.
Tiga orang memasuki dapur istana itu. Kiranya hanyalah tukang-tukang dapur saja, melihat pakaian mereka. Begitu memasuki dapur, ketiganya berhenti bicara dan memandang ke arah lemari dengan mata terbelalak. Seorang di antara mereka lari mendekati lemari dan terdengarlah ia berseru kaget.
“Celaka, masakan-masakannya ada yang curi! Ada yang makan, lihat nih, ada yang tumpah di lantai!”
“Wah-wah, celaka, tentu ada yang mencuri masuk!”
Tiga orang itu mencari sana-sini, memandang ke seluruh penjuru, lalu berdongak ke atas. Lin Lin makin berdebar jantungnya, merasa seakan-akan tiga orang itu telah mengetahui tempat persembunyiannya.
“Agaknya kucing! Kalau orang, mana berani main gila di dapur istana!”
“Masa kucing bisa mengganyang habis begini banyak masakan?”
“Siapa tahu kucing siluman!”
Ribut-ribut tiga orang tukang masak itu.
“Lekas laporkan kepada penjaga, eh.... ke komandan jaga saja, biar dikerahkan semua pengawal menangkap kucing laknat. Kalau tidak tertangkap yang makan masakan-masakan ini, celaka kita, tentu mendapat hukuman dari Sri Baginda!”
Seorang diantara mereka lari keluar, agaknya hendak melapor. Lin Lin makin gelisah, akan tetapi ia lihat Kim-lun Seng-jin malah tidur mendengkur perlahan di bawah genteng! Agaknya kakek ini kekenyangan dan tertidur, sama sekali tidak tahu akan keributan di dalam dapur.
“Tentu kucing, entah berapa ekor yang masuk dan mencuri masakan,” kata lagi tukang masak yang gendut perutnya. “Hemmm, kalau tertangkap, akan kusembelih dia, kutarik keluar jantungnya, kumasak dengan jahe dan tape ketan. Baik untuk menguatkan jantung menambah darah.”
Pucat muka Lin Lin mendengar ancaman ini dan saking gelisahnya, ketika menggeser lebih dekat ke arah lubang untuk mengintai lebih jelas, kepalanya terantuk genteng mengeluarkan bunyi. Dua tukang masak di bawah mendengar ini dan mereka berdongak memandang penuh curiga.
“Wah, kucingnya diatas sana!” seorang menuding.
“Mana bisa? Tidak ada lubang, dari mana dia masuk?”
“Siapa tahu kucing siluman?”
Si gendut menudingkan telunjuknya ke atas, tepat ke arah Lin Lin, lalu membentak,
“He! Siapa diatas sana? Kucing atau manusia, atau setan?”
Tidak ada jawaban.
“Agaknya pencuri!” kata temannya.
“Lebih baik panggil para pengawal, biar ditangkap dan dihujani anak panah.”
“Nanti dulu, siapa tahu kalau hanya tikus atau kucing.” Kembali ia memandang kearah Lin Lin sambil berseru, “Heee! Siapa sembunyi di atas langit-langit? Kalau setan atau manusia, jangan jawab. Kalau kucing, jawablah!”
Lin Lin mendengarkan penuh perhatian, dengan seluruh perasaan, menegang dan jantung berdebar. Mendengar pertanyaan ini, otomatis mulutnya menjawab, “.... kucing...., eh meeooonggg....!” Ia gugup sekali sehingga jawabannya kacau-balau.
“Lho! Kucing bisa bicara! Wah, celaka.... setan....!”
Dua orang tukang masak itu lari tunggang-langgang dan di ambang pintu mereka bertabrakan sampai jatuh bangun.
“Heh-heh-heh!” Kim-lun Seng-jin tertawa dan menarik tangan Lin Lin, diajak melompat naik ke atas genteng. “Kau lucu sekali, masa kucing bisa berkata seperti manusia!”
Merah muka Lin Lin, mulutnya cemberut.
“Aku tidak sengaja. Habis, aku bingung, kau enak-enak ngorok sih, Kek!”
“Mari kita ke gudang pusaka!”
Gudang pusaka dijaga kuat. Memang gudang ini selalu dijaga, siang malam, karena di dalamnya terdapat simpanan senjata-senjata pusaka dan bendera-bendera milik istana.
“Kau yang masuk, biar aku merobohkan lima orang penjaga itu, dan sementara kau di dalam, aku yang menjaga di luar. Lekas pilih pedang yang kau sukai, tapi hati-hati, banyak jebakan disana. Aku percaya kau mampu menjaga diri.”
Lin Lin mengangguk dan bagaikan dua ekor burung walet, kakek dan dara remaja itu melayang turun. Lima orang penjaga serentak melongo ketika tiba-tiba di depan mereka berdiri seorang kakek gundul yang berjenggot panjang bersama seorang wanita muda secantik bidadari.
Sedetik mereka mengira bahwa mereka dikunjungi sebangsa iblis dan peri, akan tetapi pada detik lain mereka sudah bergerak hendak menangkap. Namun mereka kalah cepat. Kedua tangan kakek itu bergerak dan lima orang itu roboh tertotok, tak berkutik lagi. Dengan dorongan tangannya, Kim-lun Seng-jin berhasil membuka daun pintu yang terkunci.
Lin Lin cepat melompat masuk, akan tetapi baru saja kakinya menginjak lantai di sebelah dalam gedung itu, dari kanan kiri menyambar dua batang anak panah. Baiknya dara ini sudah melatih Khong-in-ban-kin secara tekun sehingga gin-kangnya sudah jauh lebih tinggi daripada dahulu, sudah lipat entah berapa kali.
Anak-anak panah itu cepat sambarannya, namun ia lebih cepat lagi, dengan gerakan gesit ia telah melompat maju diantara sambaran anak panah, terus ke depan sehingga anak-anak panah dari kanan kiri itu meluncur lewat di belakang punggungnya!
Tanpa menghiraukan lagi anak-anak panah itu, kini Lin Lin berdiri kagum memandang senjata-senjata yang dipasang berderet-deret di sepanjang dinding. Bukan main indahnya senjata-senjata itu. Tombak-tombaknya, ruyung, golok, pedang, toya dan banyak sekali macamnya, rata-rata merupakan senjata pilihan, kuno dan terbuat daripada besi aji yang mempunyai cahaya dan hawa yang ampuh.
Akan tetapi pandang mata Lin Lin lekat pada sebatang pedang tipis yang tergantung di dinding sebelah kiri. Pedang ini kecil dan tipis, sarungnya daripada kulit harimau, gagangnya kecil dan dihias ronce-ronce merah.
Seperti dalam mimpi, kedua kakinya bergerak menghampiri dinding sebelah kiri, kemudian ia mengulur tangan kanan, merenggut pedang yang tergantung pada dinding itu. Ringan sekali pedang ini, akan tetapi begitu ia tarik dari dinding, tiba-tiba dari atas melayang turun sebuah benda besar dan berat, meluncur cepat akan menghantam dirinya!
Karena benda itu cepat sekali datangnya, Lin Lin yang sudah memegang pedang di tangan kanan, tak sempat mengelak lagi. Terpaksa ia mengerahkan tenaga Khong-in-ban-kin, tangan kirinya menangkis dan.... terdengar suara keras, batu besar yang meluncur turun itu pecah oleh tangkisan Lin Lin yang disertai tenaga Khong-in-ban-kin! Saking kagetnva karena pecahnya batu itu menerbitkan suara keras dan berisik, Lin Lin cepat melompat keluar lagi dari gudang itu dan dilain detik ia sudah tiba di luar kamar.
“Kek, aku pilih pedang ini....” katanya terengah-engah.
Kim-lun Seng-jin membelalakan kedua matanya.
“Tepat! Kau tahu pedang ini? Inilah Pedang Besi Kuning pedang rampasan dari bangsa Khitan ratusan tahun yang lalu! Wah-wah, kalau ini tidak ajaib namanya, tak tahu lagi aku harus disebut bagaimana.”
Pada saat itu terdengar suara gembreng dipukuli gencar tanda bahaya!
“Hayo kita pergi!”
Kim-lun Seng-jin maklum akan adanya bahaya kalau para jagoan istana keluar, maka ia tidak mau main-main lagi. Tangannya menyambar Pergelangan tangan Lin Lin dan mereka melesat lari secepat terbang menuju ke pagar tembok, melompati pagar tembok dan melayang keluar.
Kiranya di luar sudah berkumpul para penjaga yang melakukan pengepungan. Namun beberapa kali kakek itu menggerakkan tangan, banyak penjaga roboh dan mereka dapat lari menghilang dalam gelap.
Beberapa menit kemudian mereka sudah berada di dalam kuil kuno kembali. Mereka duduk dekat api unggun. Kakek itu menghunus pedang dan tampak sinar kuning menyilaukan mata. Dan mendadak tampak sepasang mata kakek itu berlinang air mata, kemudian ia mencium mata pedang itu. Lin Lin memandang dengan heran.
“Kek, kau pernah mengatakan bahwa aku seperti seorang gadis Khitan. Kau sendiri bilang mempunyai gigi dan hidung bangsa Khitan. Kemudian pedang ini kau katakan dahulu berasal dari bangsa Khitan. Kakek yang baik, apakah artinya ini semua? Bangsa apakah Khitan itu? Apakah kau mengenal pedang ini?”
Kakek itu mengusap dua butir air matanya, lalu memasukkan pedang tipis tadi ke dalam sarung, menyerahkannya kepada Lin Lin.
“Kau simpan baik-baik pedang ini dan sembunyikan di balik jubahmu. Sekarang kau dengarkan ceritaku. Bangsa Khitan adalah bangsa yang gagah perkasa, bangsa yang selalu merantau karena ingin menikmati kebebasan alam, tidak mau terikat oleh apa pun juga. Mereka adalah bangsa besar, hidup bahagia dan tidak mau diperbudak oleh harta dunia dan kemuliaan duniawi. Akan tetapi sayang, betapapun juga, masih saja nafsu setan menguasai hati, dan timbullah perebutan kekuasaan, yang kuat ingin menjadi pemimpin.”
“Dahulu, puteri kepala suku bangsa Khitan adalah muridku. Tayami, ah, anak baik dia, gagah perkasa dan aku tidak kecewa mempunyai murid seperti dia. Dia itu puteri tunggal raja kami yang bijaksana, gagah dan adil, tidak mau tunduk kepada raja-raja lain, memimpin suku bangsanya dengan penuh kasih sayang, membawanya ke daerah-daerah yang subur. Akan tetapi, dia mempunyai banyak saudara, dan para saudaranya inilah yang menaruh iri hati, ingin merebut kekuasaan sehingga selalu terjadi perebutan kekuasaan. Aku sendiri tidak sudi terlibat, tidak suka aku akan pengumbaran nafsu hendak menjadi penguasa dan mencari kemuliaan kedudukan. Pernah kuanjurkan raja yang menjadi ayah muridku itu untuk mengalah saja, memberikan kedudukan pemimpin kepada adiknya yang amat ingin menjadi raja. Akan tetapi, dia tidak mau, malah mencurigaiku.” Sampai di sini kakek itu menarik napas panjang.
“Lalu bagaimana, Kek?”
“Aku masih terhitung paman luarnya, aku tersinggung lalu aku pergi meninggalkan suku bangsaku, merantau seorang diri tidak mau meributkan persoalan dunia ramai lagi. Betapa besar kedukaanku mendengar bahwa bangsaku masih saling gasak, sehingga pertumpahan darah sering kali terjadi antara para penguasa. Akhirnya terjadi perang antara suku bangsa Khitan dengan Kerajaan Sung. Perang besar terjadi di Shan-si. Agaknya adik raja berkhianat, bersekutu dengan musuh dan raja kami gugur, juga puterinya. Tayami, muridku yang tersayang. Kasihan dia, suaminya, seorang gagah perajurit pilihan Khitan, juga gugur. Kabarnya Tayami ikut pula bertempur dengan gagah perkasa, sambil memondong puterinya yang masih kecil. Aku menyesal sekali mengapa kutinggalkan dia, sehingga tahu-tahu aku mendengar dia gugur dan puterinya itu hilang.” Kakek itu memandang wajah Lin Lin dengan sepasang mata tajam penuh selidik.
Meremang bulu tengkuk Lin Lin. Belum pernah kakek itu memandangnya secara begini.
“Ada apa, Kek?”
“Kau....! Kaulah puteri Tayami, tak salah lagi. Wajahmu, suaramu, watakmu, serupa benar dengan muridku. Kau cucu raja kami, kau keturunan langsung.”
Lin Lin meloncat berdiri.
“Tak mungkin, Kek!”
“Siapa bilang tidak mungkin? Kau anak pungut Jenderal Kam, dan pada waktu terjadi perang, justeru Jenderal Kam Si Ek yang menjadi jago dan komandan di Shan-si, yang melakukan perlawanan hebat dan mengalahkan bangsa Khitan. Dia seorang laki-laki yang perkasa pula, siapa tahu dia melihat kau dalam gendongan Ibumu yang berjuang dengan gigih, merasa tertarik, kagum dan kemudian mengambilmu sebagai puterinya. Tak salah lagi, kaulah Yalina, puteri Tayami. Namamu juga Lin Lin, dan wajahmu serupa dia. Juga pedang itu.... bukanlah terlalu kebetulan kalau diantara sekian banyaknya pusaka, kau justeru memilih pusaka Khitan? Lin Lin, tidak salah lagi, kau adalah puteri Tayami yang hilang, yang sampai sekarang dicari-cari oleh para pengikut setia dari Kakekmu mendiang raja Kulukan.”
“Dicari-cari? Untuk apa, Kek?”
“Ihhh, kenapa kau begini penakut?”
Lin Lin tidak menjawab, mukanya merah. Bukan takut, tapi siapa tidak menjadi malu kalau mencuri makanan ketahuan pemiliknya? Hatinya berdebar-debar gelisah. Selama hidupnya, baru kali ini ia melakukan pencurian. Menjadi maling makanan, alangkah rendahnya dan memalukan! Dengan muka masih merah ia ikut mengintai, hendak melihat siapakah mereka yang memasuki dapur itu. Apakah kaisar sendiri? Ataukah permaisuri? Makin berdebar jantungnya.
Tiga orang memasuki dapur istana itu. Kiranya hanyalah tukang-tukang dapur saja, melihat pakaian mereka. Begitu memasuki dapur, ketiganya berhenti bicara dan memandang ke arah lemari dengan mata terbelalak. Seorang di antara mereka lari mendekati lemari dan terdengarlah ia berseru kaget.
“Celaka, masakan-masakannya ada yang curi! Ada yang makan, lihat nih, ada yang tumpah di lantai!”
“Wah-wah, celaka, tentu ada yang mencuri masuk!”
Tiga orang itu mencari sana-sini, memandang ke seluruh penjuru, lalu berdongak ke atas. Lin Lin makin berdebar jantungnya, merasa seakan-akan tiga orang itu telah mengetahui tempat persembunyiannya.
“Agaknya kucing! Kalau orang, mana berani main gila di dapur istana!”
“Masa kucing bisa mengganyang habis begini banyak masakan?”
“Siapa tahu kucing siluman!”
Ribut-ribut tiga orang tukang masak itu.
“Lekas laporkan kepada penjaga, eh.... ke komandan jaga saja, biar dikerahkan semua pengawal menangkap kucing laknat. Kalau tidak tertangkap yang makan masakan-masakan ini, celaka kita, tentu mendapat hukuman dari Sri Baginda!”
Seorang diantara mereka lari keluar, agaknya hendak melapor. Lin Lin makin gelisah, akan tetapi ia lihat Kim-lun Seng-jin malah tidur mendengkur perlahan di bawah genteng! Agaknya kakek ini kekenyangan dan tertidur, sama sekali tidak tahu akan keributan di dalam dapur.
“Tentu kucing, entah berapa ekor yang masuk dan mencuri masakan,” kata lagi tukang masak yang gendut perutnya. “Hemmm, kalau tertangkap, akan kusembelih dia, kutarik keluar jantungnya, kumasak dengan jahe dan tape ketan. Baik untuk menguatkan jantung menambah darah.”
Pucat muka Lin Lin mendengar ancaman ini dan saking gelisahnya, ketika menggeser lebih dekat ke arah lubang untuk mengintai lebih jelas, kepalanya terantuk genteng mengeluarkan bunyi. Dua tukang masak di bawah mendengar ini dan mereka berdongak memandang penuh curiga.
“Wah, kucingnya diatas sana!” seorang menuding.
“Mana bisa? Tidak ada lubang, dari mana dia masuk?”
“Siapa tahu kucing siluman?”
Si gendut menudingkan telunjuknya ke atas, tepat ke arah Lin Lin, lalu membentak,
“He! Siapa diatas sana? Kucing atau manusia, atau setan?”
Tidak ada jawaban.
“Agaknya pencuri!” kata temannya.
“Lebih baik panggil para pengawal, biar ditangkap dan dihujani anak panah.”
“Nanti dulu, siapa tahu kalau hanya tikus atau kucing.” Kembali ia memandang kearah Lin Lin sambil berseru, “Heee! Siapa sembunyi di atas langit-langit? Kalau setan atau manusia, jangan jawab. Kalau kucing, jawablah!”
Lin Lin mendengarkan penuh perhatian, dengan seluruh perasaan, menegang dan jantung berdebar. Mendengar pertanyaan ini, otomatis mulutnya menjawab, “.... kucing...., eh meeooonggg....!” Ia gugup sekali sehingga jawabannya kacau-balau.
“Lho! Kucing bisa bicara! Wah, celaka.... setan....!”
Dua orang tukang masak itu lari tunggang-langgang dan di ambang pintu mereka bertabrakan sampai jatuh bangun.
“Heh-heh-heh!” Kim-lun Seng-jin tertawa dan menarik tangan Lin Lin, diajak melompat naik ke atas genteng. “Kau lucu sekali, masa kucing bisa berkata seperti manusia!”
Merah muka Lin Lin, mulutnya cemberut.
“Aku tidak sengaja. Habis, aku bingung, kau enak-enak ngorok sih, Kek!”
“Mari kita ke gudang pusaka!”
Gudang pusaka dijaga kuat. Memang gudang ini selalu dijaga, siang malam, karena di dalamnya terdapat simpanan senjata-senjata pusaka dan bendera-bendera milik istana.
“Kau yang masuk, biar aku merobohkan lima orang penjaga itu, dan sementara kau di dalam, aku yang menjaga di luar. Lekas pilih pedang yang kau sukai, tapi hati-hati, banyak jebakan disana. Aku percaya kau mampu menjaga diri.”
Lin Lin mengangguk dan bagaikan dua ekor burung walet, kakek dan dara remaja itu melayang turun. Lima orang penjaga serentak melongo ketika tiba-tiba di depan mereka berdiri seorang kakek gundul yang berjenggot panjang bersama seorang wanita muda secantik bidadari.
Sedetik mereka mengira bahwa mereka dikunjungi sebangsa iblis dan peri, akan tetapi pada detik lain mereka sudah bergerak hendak menangkap. Namun mereka kalah cepat. Kedua tangan kakek itu bergerak dan lima orang itu roboh tertotok, tak berkutik lagi. Dengan dorongan tangannya, Kim-lun Seng-jin berhasil membuka daun pintu yang terkunci.
Lin Lin cepat melompat masuk, akan tetapi baru saja kakinya menginjak lantai di sebelah dalam gedung itu, dari kanan kiri menyambar dua batang anak panah. Baiknya dara ini sudah melatih Khong-in-ban-kin secara tekun sehingga gin-kangnya sudah jauh lebih tinggi daripada dahulu, sudah lipat entah berapa kali.
Anak-anak panah itu cepat sambarannya, namun ia lebih cepat lagi, dengan gerakan gesit ia telah melompat maju diantara sambaran anak panah, terus ke depan sehingga anak-anak panah dari kanan kiri itu meluncur lewat di belakang punggungnya!
Tanpa menghiraukan lagi anak-anak panah itu, kini Lin Lin berdiri kagum memandang senjata-senjata yang dipasang berderet-deret di sepanjang dinding. Bukan main indahnya senjata-senjata itu. Tombak-tombaknya, ruyung, golok, pedang, toya dan banyak sekali macamnya, rata-rata merupakan senjata pilihan, kuno dan terbuat daripada besi aji yang mempunyai cahaya dan hawa yang ampuh.
Akan tetapi pandang mata Lin Lin lekat pada sebatang pedang tipis yang tergantung di dinding sebelah kiri. Pedang ini kecil dan tipis, sarungnya daripada kulit harimau, gagangnya kecil dan dihias ronce-ronce merah.
Seperti dalam mimpi, kedua kakinya bergerak menghampiri dinding sebelah kiri, kemudian ia mengulur tangan kanan, merenggut pedang yang tergantung pada dinding itu. Ringan sekali pedang ini, akan tetapi begitu ia tarik dari dinding, tiba-tiba dari atas melayang turun sebuah benda besar dan berat, meluncur cepat akan menghantam dirinya!
Karena benda itu cepat sekali datangnya, Lin Lin yang sudah memegang pedang di tangan kanan, tak sempat mengelak lagi. Terpaksa ia mengerahkan tenaga Khong-in-ban-kin, tangan kirinya menangkis dan.... terdengar suara keras, batu besar yang meluncur turun itu pecah oleh tangkisan Lin Lin yang disertai tenaga Khong-in-ban-kin! Saking kagetnva karena pecahnya batu itu menerbitkan suara keras dan berisik, Lin Lin cepat melompat keluar lagi dari gudang itu dan dilain detik ia sudah tiba di luar kamar.
“Kek, aku pilih pedang ini....” katanya terengah-engah.
Kim-lun Seng-jin membelalakan kedua matanya.
“Tepat! Kau tahu pedang ini? Inilah Pedang Besi Kuning pedang rampasan dari bangsa Khitan ratusan tahun yang lalu! Wah-wah, kalau ini tidak ajaib namanya, tak tahu lagi aku harus disebut bagaimana.”
Pada saat itu terdengar suara gembreng dipukuli gencar tanda bahaya!
“Hayo kita pergi!”
Kim-lun Seng-jin maklum akan adanya bahaya kalau para jagoan istana keluar, maka ia tidak mau main-main lagi. Tangannya menyambar Pergelangan tangan Lin Lin dan mereka melesat lari secepat terbang menuju ke pagar tembok, melompati pagar tembok dan melayang keluar.
Kiranya di luar sudah berkumpul para penjaga yang melakukan pengepungan. Namun beberapa kali kakek itu menggerakkan tangan, banyak penjaga roboh dan mereka dapat lari menghilang dalam gelap.
Beberapa menit kemudian mereka sudah berada di dalam kuil kuno kembali. Mereka duduk dekat api unggun. Kakek itu menghunus pedang dan tampak sinar kuning menyilaukan mata. Dan mendadak tampak sepasang mata kakek itu berlinang air mata, kemudian ia mencium mata pedang itu. Lin Lin memandang dengan heran.
“Kek, kau pernah mengatakan bahwa aku seperti seorang gadis Khitan. Kau sendiri bilang mempunyai gigi dan hidung bangsa Khitan. Kemudian pedang ini kau katakan dahulu berasal dari bangsa Khitan. Kakek yang baik, apakah artinya ini semua? Bangsa apakah Khitan itu? Apakah kau mengenal pedang ini?”
Kakek itu mengusap dua butir air matanya, lalu memasukkan pedang tipis tadi ke dalam sarung, menyerahkannya kepada Lin Lin.
“Kau simpan baik-baik pedang ini dan sembunyikan di balik jubahmu. Sekarang kau dengarkan ceritaku. Bangsa Khitan adalah bangsa yang gagah perkasa, bangsa yang selalu merantau karena ingin menikmati kebebasan alam, tidak mau terikat oleh apa pun juga. Mereka adalah bangsa besar, hidup bahagia dan tidak mau diperbudak oleh harta dunia dan kemuliaan duniawi. Akan tetapi sayang, betapapun juga, masih saja nafsu setan menguasai hati, dan timbullah perebutan kekuasaan, yang kuat ingin menjadi pemimpin.”
“Dahulu, puteri kepala suku bangsa Khitan adalah muridku. Tayami, ah, anak baik dia, gagah perkasa dan aku tidak kecewa mempunyai murid seperti dia. Dia itu puteri tunggal raja kami yang bijaksana, gagah dan adil, tidak mau tunduk kepada raja-raja lain, memimpin suku bangsanya dengan penuh kasih sayang, membawanya ke daerah-daerah yang subur. Akan tetapi, dia mempunyai banyak saudara, dan para saudaranya inilah yang menaruh iri hati, ingin merebut kekuasaan sehingga selalu terjadi perebutan kekuasaan. Aku sendiri tidak sudi terlibat, tidak suka aku akan pengumbaran nafsu hendak menjadi penguasa dan mencari kemuliaan kedudukan. Pernah kuanjurkan raja yang menjadi ayah muridku itu untuk mengalah saja, memberikan kedudukan pemimpin kepada adiknya yang amat ingin menjadi raja. Akan tetapi, dia tidak mau, malah mencurigaiku.” Sampai di sini kakek itu menarik napas panjang.
“Lalu bagaimana, Kek?”
“Aku masih terhitung paman luarnya, aku tersinggung lalu aku pergi meninggalkan suku bangsaku, merantau seorang diri tidak mau meributkan persoalan dunia ramai lagi. Betapa besar kedukaanku mendengar bahwa bangsaku masih saling gasak, sehingga pertumpahan darah sering kali terjadi antara para penguasa. Akhirnya terjadi perang antara suku bangsa Khitan dengan Kerajaan Sung. Perang besar terjadi di Shan-si. Agaknya adik raja berkhianat, bersekutu dengan musuh dan raja kami gugur, juga puterinya. Tayami, muridku yang tersayang. Kasihan dia, suaminya, seorang gagah perajurit pilihan Khitan, juga gugur. Kabarnya Tayami ikut pula bertempur dengan gagah perkasa, sambil memondong puterinya yang masih kecil. Aku menyesal sekali mengapa kutinggalkan dia, sehingga tahu-tahu aku mendengar dia gugur dan puterinya itu hilang.” Kakek itu memandang wajah Lin Lin dengan sepasang mata tajam penuh selidik.
Meremang bulu tengkuk Lin Lin. Belum pernah kakek itu memandangnya secara begini.
“Ada apa, Kek?”
“Kau....! Kaulah puteri Tayami, tak salah lagi. Wajahmu, suaramu, watakmu, serupa benar dengan muridku. Kau cucu raja kami, kau keturunan langsung.”
Lin Lin meloncat berdiri.
“Tak mungkin, Kek!”
“Siapa bilang tidak mungkin? Kau anak pungut Jenderal Kam, dan pada waktu terjadi perang, justeru Jenderal Kam Si Ek yang menjadi jago dan komandan di Shan-si, yang melakukan perlawanan hebat dan mengalahkan bangsa Khitan. Dia seorang laki-laki yang perkasa pula, siapa tahu dia melihat kau dalam gendongan Ibumu yang berjuang dengan gigih, merasa tertarik, kagum dan kemudian mengambilmu sebagai puterinya. Tak salah lagi, kaulah Yalina, puteri Tayami. Namamu juga Lin Lin, dan wajahmu serupa dia. Juga pedang itu.... bukanlah terlalu kebetulan kalau diantara sekian banyaknya pusaka, kau justeru memilih pusaka Khitan? Lin Lin, tidak salah lagi, kau adalah puteri Tayami yang hilang, yang sampai sekarang dicari-cari oleh para pengikut setia dari Kakekmu mendiang raja Kulukan.”
“Dicari-cari? Untuk apa, Kek?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar