Lin Lin membanting-banting kedua kakinya seperti anak kecil tidak dituruti permintaannya.
“Kek, kau membohongi aku! Kau bilang dia berada di kota raja, mana dia sekarang? Hayo katakan, mana dia? Sudah sepekan kita berada disini, setiap malam berkeliaran semalam suntuk, kalau siang tidur di kuil tua, persis seperti kelelawar, malam berkeliaran, siang tidur. Dan Suling Emas belum juga tampak batang hidungnya!”
Kakek gundul pelontos itu, Kim-lun Seng-jin, duduk di atas lantai kuil tua yang kotor, bersandar dinding yang sudah retak-retak, tertawa lebar memperlihatkan giginya yang putih dan mengkilap tertimpa sinar api unggun yang dibuatnya, sehingga keadaan dalam kuil yang gelap itu menjadi terang.
“Heh-heh-heh, Lin Lin, sudah kukatakan kepadamu bahwa orang macam Suling Emas itu sukar dipegang buntutnya.”
“Apa dia bukan manusia, Kek?”
“Heh? Manusia tapi seperti iblis. Ya, dia manusia seperti kita.”
Melihat dara remaja itu mengajukan pertanyaan dengan muka sungguh-sungguh, meledak ketawa Kim-lun Seng-jin.
“Uuhh, kau benar-benar masih hijau. Masa tidak mengerti apa yang kumaksudkan? Sukar dipegang buntutnya berarti sukar diikuti kemana perginya.”
“Wah, kalau begitu, sia-sia saja kita berkeliaran di kota raja ini, Kek?” Lin Lin kembali timbul marahnya dan membanting kaki.
“Tidak ada yang sia-sia di dunia ini, semuanya berguna dan ada manfaatnya, asal saja kita tahu bagaimana mempergunakannya dan memetik manfaatnya. Kita sudah berada di kota raja, bukalah matamu baik-baik. Bukankah kau menemui keadaan yang baru bagimu? Tidakkah kau ingin melihat istana raja dari dalam? Aku selalu singgah di istana kalau datang kesini dan tak pernah lupa menjenguk dapurnya. Heh-heh, sudah lama tidak kunikmati masakan istana.”
Seketika kemurungan hati Lin Lin lenyap. Wajahnya yang jelita berseri, matanya berkilat dan seketika itu juga perutnya mendadak menjadi lapar sekali.
“Wah, mari kita kesana, Kek, ada masakan apa saja disana? Aduh perutku lapar sekali!”
Kakek itu tertawa terpingkal-pingkal agaknya senang sekali melihat watak yang mudah berubah dan aneh dari gadis remaja itu.
“Heh-heh-heh, serupa benar kau, serupa benar.”
“Serupa siapa, Kek?”
“Serupa dengan orang yang sudah tidak ada. Lin Lin, kau boleh ikut aku ke istana dan menikmati masakan dapur yang selama hidupmu belum pernah kau makan atau lihat. Akan tetapi amat berbahaya, banyak penjaganya yang pandai.”
“Aku tidak takut!”
“Bukan soal berani atau takut, melainkan kepandaianmu yang kuragukan.”
“Eh, eh, kau mencela aku sama dengan mencela dirimu sendiri, Kek. Bukankah kau sudah memberi pelajaran serba kosong itu?” cela Lin Lin.
Kakek itu tersenyum masam. Cara gadis itu menyebut ilmu yang ia ajarkan benar-benar amat memandang rendah. Disebutnya “serba kosong”, memang nama ilmu yang ia turunkan adalah Khong-in (Mega Kosong).
“Biarpun kau sudah menerima pelajaran dariku, akan tetapi aku belum yakin apakah kau sudah berlatih sampai matang betul.”
Marah Lin Lin. Kepalanya dikedikkan, dadanya dibusungkan.
“Pagi siang sore malam kau suruh aku berlatih, tak pernah membiarkan aku mengaso, sampai lupa makan lupa tidur lupa tempat, masih kau bilang aku belum berlatih matang, Kek? Kau benar-benar seorang yang kurang terima kasih sekali. Wah, celaka, dapat seorang teman satu kali saja begini tak ingat budi dan jerih payah orang!”
“Huah-ha-ha-ha!” Kakek itu terpingkal-pingkal. Benar-benar gila. Dia yang mengajar ilmu kesaktian, eh, bocah ini malah memarahinya dan seakan-akan bocah ini yang memberi sesuatu kepadanya karena sudah rajin berlatih. Benar-benar pintar memutarbalikkan kenyataan. “Ya sudahlah, aku setuju kau berlatih keras selama ini. Akan tetapi, untuk dapat menyelinap masuk ke dapur istana, harus benar-benar mahir Khong-in-ban-kin. Coba kau perlihatkan padaku sekali lagi ilmu Khong-in-liu-san yang kau pelajari sambil mengerahkan tenaga dan gin-kang. Kalau kurasa sudah cukup, sekarang juga kita pergi ke istana, makan besar, pesta-pora tanpa bayar!”
Lin Lin girang sekali, lalu mencabut pedangnya dan besilat penuh semangat. Akan tetapi pada jurus ke tujuh, ia terlalu keras menggunakan tenaga sin-kang dan “krakkk!” pedang yang diayunnya patah menjadi tiga potong! Gadis itu terkejut dan berdiri tertegun, kecewa dan menyesal melihat tangan kanannya hanya memegang gagang pedang sedangkan pedangnya sudah runtuh ke bawah.
Akan tetapi Kim-lun Seng-jin bersorak dan bertepuk tangan sambil menari-nari kegirangan. Lin Lin mengerutkan kening, mulutnya cemberut, matanya merah, mengira bahwa kakek itu mengejeknya.
“Bagus, bagus....! Kau lihat sendiri, cucuku, dengan tenaga Khong-in-ban-kin, pedangmu yang buruk itu patah menjadi tiga potong. Ha-ha-ha, sudah hebat tenagamu, hanya belum mampu kau mengendalikan sehingga membikin rusak senjata sendiri. Cukup dan marilah ikut ke istana, tidak hanya pesta besar kita, juga kau akan bisa memilih sendiri sebatang pedang pusaka dalam kamar pusaka.”
Seketika lenyap kemarahan Lin Lin seperti awan tipis disapu angin. Ia meloncat dekat kakek itu merangkul pundaknya.
“Betulkah, Kek? Hayo, lekas kita berangkat kalau begitu!”
Sambil tertawa riang keduanya lalu berkelebat lenyap dalam kegelapan malam. Kim-lun Seng-jin tidak membual ketika ia menyatakan bahwa setiap kali datang ke kota raja ia pasti mampir ke istana dan memasuki dapur istana. Memang, kesukaan kakek ini hanya makan, makan enak, apalagi masakan-masakan lezat mahal di dapur istana yang dapat dipilihnya tanpa bayar!
Kakek itu membuktikan omongannya dengan pengetahuannya yang luas tentang seluk-beluk istana. Hafal betul ia akan jalan menuju ke istana, malah ia dapat memilih dinding pagar mana yang tidak begitu keras penjagaannya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa ia memang sudah menjadi “langganan” tempat terlarang itu.
Dari sebelah selatan, tembok yang mengurung kompleks istana memang amat sunyi. Pintu gerbang sudah tertutup dan beberapa orang penjaga bercakap-cakap di dalam gubuk penjagaan. Ada pula yang meronda pagar tembok, membawa tombak dan pedang.
Jengkel juga Kim-lun Seng-jin melihat para penjaga itu terus-menerus meronda pagar tembok yang dipilihnya untuk melompat masuk. Pagar tembok itu amat tinggi, tidak kurang dari tujuh meter tingginya. Akan tetapi yang ia pilih itu adalah tempat dimana tumbuh sebatang pohon tidak jauh dari tembok, hanya dua meter jaraknya dari cabang terdekat dengan tembok. Kalau saja ia tidak pergi bersama Lin Lin, tentu saja ia bisa memilih tembok yang mana saja.
Diambilnya sebuah batu dan disambitnya ke arah kiri. Terdengar suara orang mengaduh di sebelah kiri. Ternyata seorang penjaga yang sedang berdiri tegak di dekat pintu gerbang, terkena sambitan batu itu, tepat pada tulang keringnya di kaki, membuat ia meloncat-loncat dan mengaduh-aduh sambil memegangi tulang kering yang dicium batu.
Teman-temannya segera lari menghampiri, termasuk mereka yang meronda. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kim-lun Seng-jin, memberi isyarat kepada Lin Lin untuk melompat dan mengikutinya. Mula-mula kakek itu melompat ke atas cabang pohon terdekat dengan tembok, ia melompat ke atas tembok. Lin Lin agak ngeri juga melihat dari tempat yang tinggi itu.
Akan tetapi ia mengeraskan hati dan melompat bagaikan seekor walet. Ia heran mendapat kenyataan bahwa lompatannya amat ringan dan mudah. Mengertilah ia sekarang bahwa ini adalah hasil latihan Ilmu Khong-in-ban-kin, maka diam-diam ia amat berterima kasih kepada kakek itu.
Dengan mudah mereka melompat ke sebelah dalam dari atas tembok dan tibalah mereka di daerah istana.
“Siapa tahu disini kita akan bertemu dengan Suling Emas, Kek,” kata Lin Lin, mengagumi bangunan-bangunan besar yang dihias lampu-lampu beraneka warna.
“Boleh jadi, boleh jadi....” Kakek itu mengangguk-angguk. “Orang macam dia itu bisa berada di manapun juga.”
“Apa dia itu hebat sekali, Kek? Apakah kau pernah bertempur dengan dia?”
Kakek itu menggeleng kepala.
“Belum pernah, bertemu pun belum. Akan tetapi dalam beberapa tahun ini, ia telah membuat nama besar, jauh melebihi aku yang sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia kang-ouw. Aku.... aku tidak suka membuat nama besar, bikin repot saja. Nah, itu disana dapurnya, mari!”
Kim-lun Seng-jin memegang tangan Lin Lin dan keduanya melompat naik ke atas genteng. Tanpa mengeluarkan suara seperti dua ekor kucing saja, kakek dan dara remaja itu berloncatan di atas genteng.
Kakek itu mengajak berhenti di atas genteng yang agak rendah, membuka genteng, mematahkan kayu penyangga genteng, lalu menyusup ke dalam, diikuti oleh Lin Lin. Mereka telah berada di atas langit-langit dapur. Dengan gerakan perlahan, Kim-lun Seng-jin membuka langit-langit di pojok yang agaknya memang sudah lama terbuka.
“Ini pintu rahasiaku, kubuat belasan tahun yang lalu,” bisiknya sambil tersenyum lebar.
Lin Lin menjadi geli juga hatinya. Kakek ini benar-benar seperti seekor kucing hendak mencari daging, pikirnya. Dari lubang itu mereka mengintip ke bawah dan bau yang sedap masuk melalui lubang itu menyambut hidung mereka.
“Ehhhmmmm, waaahhhhh, sedapnya....!” Kim-lun Seng-jin menyedot-nyedot dengan hidungnya. Juga Lin Lin merasa amat lapar sekarang. “Di bawah tidak ada orang, sisa-sisa hidangan Kaisar sudah dipanaskan lagi, mari!” Ia membuka lubang itu dan melayang ke bawah, diikuti oleh Lin Lin.
Dapur itu tidak menyerupai dapur bagi Lin Lin. Terlalu bersih, terlalu mewah. Lebih bersih daripada kamar tidurnya di rumah orang tuanya sana. Yang begini disebut dapur? Lantainya mengkilap, dindingnya dari batu marmer putih, lemari-lemarinya yang indah berdiri berjajar di sudut, penuh dengan panci-panci dan mangkok-mangkok besar. Tempat perapian untuk masak berada di sebelah kiri. Betul kata kakek itu, panci dan mangkok-mangkok itu masih nampak mengebulkan uap, tampak bahwa isinya masih panas.
Kakek itu sudah tidak mau memper¬hatikan atau mempedulikan Lin Lin lagi karena ia sudah sibuk membuka dan memeriksa isi panci dan mangkok. Di tangannya sudah terdapat sepasang sumpit gading yang ia ambil dari sebuah lemari. Sekarang tangan yang memegang sumpit ini kewalahan melayani mulutnya yang melalap dan cepat menghabiskan segala yang dimasukkannya.
Nyumpit sana, nyumpit sini, lari ke lemari sana, kemudian ke lemari sini, kakek itu benar-benar berpesta-pora! Tangan kirinya menyambar guci arak yang berada di atas lemari terciumlah bau arak wangi ketika ia mendorong makanan di mulutnya itu dengan arak. Mulutnya mengeluarkan bunyi seperti babi makan ketika mengunyah makanan, bibirnya mengecap-ngecap penuh nikmat.
Lin Lin juga ikut berpesta-pora sungguhpun tidak selahap kakek itu. Namun ia pun gembira bukan main karena banyak sekali macamnya masakan yang luar biasa disitu. Karena ia tidak mengenal masakan-masakan itu, ia menyumpit masakan yang disebut oleh kakek itu sebagai masakan istimewa.
“Ini sop sarang burung, ini tim lidah harimau, ini sop hiu masak kecap, dan ini.... wah, ini panggang ikan lele!”
Tiada hentinya ia menyebut nama-nama masakan dan Lin Lin harus akui bahwa yang disebut oleh kakek itu memang benar nikmat dan lezat. Saking gembiranya, Lin Lip juga ikut-ikutan minum arak merah yang tidak begitu keras, namun hangat di perut.
Tanpa mereka sadari perut mereka menjadi penuh dan sang perut yang tak sanggup mengikuti selera lidah. Lin Lin yang minta ampun lebih dulu duduk terhenyak di atas kursi, terengah kekenyangan. Dasar dara remaja yang masih kekanakan, tanpa malu-malu ia membelakangi kakek itu untuk mengendurkan tali pinggang dalam dan luar!
“Heh-heh-heh, puas sekali ini. Wah, Kaisar amat royal hari ini, ada apa gerangan? Dasar rejekimu besar, Lin Lin!” Kakek itupun tak mampu lagi mengisi perutnya.
Agaknya makanan sudah memenuhi perutnya sampai ke leher sehingga tiada ruangan kosong lagi untuk menampung masakan. Ia menjatuhkan diri di lantai, bersandar dinding dan minum arak keras sedikit demi sedikit sambil mengecap-ngecapkan bibirnya.
“Kek, kau membohongi aku! Kau bilang dia berada di kota raja, mana dia sekarang? Hayo katakan, mana dia? Sudah sepekan kita berada disini, setiap malam berkeliaran semalam suntuk, kalau siang tidur di kuil tua, persis seperti kelelawar, malam berkeliaran, siang tidur. Dan Suling Emas belum juga tampak batang hidungnya!”
Kakek gundul pelontos itu, Kim-lun Seng-jin, duduk di atas lantai kuil tua yang kotor, bersandar dinding yang sudah retak-retak, tertawa lebar memperlihatkan giginya yang putih dan mengkilap tertimpa sinar api unggun yang dibuatnya, sehingga keadaan dalam kuil yang gelap itu menjadi terang.
“Heh-heh-heh, Lin Lin, sudah kukatakan kepadamu bahwa orang macam Suling Emas itu sukar dipegang buntutnya.”
“Apa dia bukan manusia, Kek?”
“Heh? Manusia tapi seperti iblis. Ya, dia manusia seperti kita.”
Melihat dara remaja itu mengajukan pertanyaan dengan muka sungguh-sungguh, meledak ketawa Kim-lun Seng-jin.
“Uuhh, kau benar-benar masih hijau. Masa tidak mengerti apa yang kumaksudkan? Sukar dipegang buntutnya berarti sukar diikuti kemana perginya.”
“Wah, kalau begitu, sia-sia saja kita berkeliaran di kota raja ini, Kek?” Lin Lin kembali timbul marahnya dan membanting kaki.
“Tidak ada yang sia-sia di dunia ini, semuanya berguna dan ada manfaatnya, asal saja kita tahu bagaimana mempergunakannya dan memetik manfaatnya. Kita sudah berada di kota raja, bukalah matamu baik-baik. Bukankah kau menemui keadaan yang baru bagimu? Tidakkah kau ingin melihat istana raja dari dalam? Aku selalu singgah di istana kalau datang kesini dan tak pernah lupa menjenguk dapurnya. Heh-heh, sudah lama tidak kunikmati masakan istana.”
Seketika kemurungan hati Lin Lin lenyap. Wajahnya yang jelita berseri, matanya berkilat dan seketika itu juga perutnya mendadak menjadi lapar sekali.
“Wah, mari kita kesana, Kek, ada masakan apa saja disana? Aduh perutku lapar sekali!”
Kakek itu tertawa terpingkal-pingkal agaknya senang sekali melihat watak yang mudah berubah dan aneh dari gadis remaja itu.
“Heh-heh-heh, serupa benar kau, serupa benar.”
“Serupa siapa, Kek?”
“Serupa dengan orang yang sudah tidak ada. Lin Lin, kau boleh ikut aku ke istana dan menikmati masakan dapur yang selama hidupmu belum pernah kau makan atau lihat. Akan tetapi amat berbahaya, banyak penjaganya yang pandai.”
“Aku tidak takut!”
“Bukan soal berani atau takut, melainkan kepandaianmu yang kuragukan.”
“Eh, eh, kau mencela aku sama dengan mencela dirimu sendiri, Kek. Bukankah kau sudah memberi pelajaran serba kosong itu?” cela Lin Lin.
Kakek itu tersenyum masam. Cara gadis itu menyebut ilmu yang ia ajarkan benar-benar amat memandang rendah. Disebutnya “serba kosong”, memang nama ilmu yang ia turunkan adalah Khong-in (Mega Kosong).
“Biarpun kau sudah menerima pelajaran dariku, akan tetapi aku belum yakin apakah kau sudah berlatih sampai matang betul.”
Marah Lin Lin. Kepalanya dikedikkan, dadanya dibusungkan.
“Pagi siang sore malam kau suruh aku berlatih, tak pernah membiarkan aku mengaso, sampai lupa makan lupa tidur lupa tempat, masih kau bilang aku belum berlatih matang, Kek? Kau benar-benar seorang yang kurang terima kasih sekali. Wah, celaka, dapat seorang teman satu kali saja begini tak ingat budi dan jerih payah orang!”
“Huah-ha-ha-ha!” Kakek itu terpingkal-pingkal. Benar-benar gila. Dia yang mengajar ilmu kesaktian, eh, bocah ini malah memarahinya dan seakan-akan bocah ini yang memberi sesuatu kepadanya karena sudah rajin berlatih. Benar-benar pintar memutarbalikkan kenyataan. “Ya sudahlah, aku setuju kau berlatih keras selama ini. Akan tetapi, untuk dapat menyelinap masuk ke dapur istana, harus benar-benar mahir Khong-in-ban-kin. Coba kau perlihatkan padaku sekali lagi ilmu Khong-in-liu-san yang kau pelajari sambil mengerahkan tenaga dan gin-kang. Kalau kurasa sudah cukup, sekarang juga kita pergi ke istana, makan besar, pesta-pora tanpa bayar!”
Lin Lin girang sekali, lalu mencabut pedangnya dan besilat penuh semangat. Akan tetapi pada jurus ke tujuh, ia terlalu keras menggunakan tenaga sin-kang dan “krakkk!” pedang yang diayunnya patah menjadi tiga potong! Gadis itu terkejut dan berdiri tertegun, kecewa dan menyesal melihat tangan kanannya hanya memegang gagang pedang sedangkan pedangnya sudah runtuh ke bawah.
Akan tetapi Kim-lun Seng-jin bersorak dan bertepuk tangan sambil menari-nari kegirangan. Lin Lin mengerutkan kening, mulutnya cemberut, matanya merah, mengira bahwa kakek itu mengejeknya.
“Bagus, bagus....! Kau lihat sendiri, cucuku, dengan tenaga Khong-in-ban-kin, pedangmu yang buruk itu patah menjadi tiga potong. Ha-ha-ha, sudah hebat tenagamu, hanya belum mampu kau mengendalikan sehingga membikin rusak senjata sendiri. Cukup dan marilah ikut ke istana, tidak hanya pesta besar kita, juga kau akan bisa memilih sendiri sebatang pedang pusaka dalam kamar pusaka.”
Seketika lenyap kemarahan Lin Lin seperti awan tipis disapu angin. Ia meloncat dekat kakek itu merangkul pundaknya.
“Betulkah, Kek? Hayo, lekas kita berangkat kalau begitu!”
Sambil tertawa riang keduanya lalu berkelebat lenyap dalam kegelapan malam. Kim-lun Seng-jin tidak membual ketika ia menyatakan bahwa setiap kali datang ke kota raja ia pasti mampir ke istana dan memasuki dapur istana. Memang, kesukaan kakek ini hanya makan, makan enak, apalagi masakan-masakan lezat mahal di dapur istana yang dapat dipilihnya tanpa bayar!
Kakek itu membuktikan omongannya dengan pengetahuannya yang luas tentang seluk-beluk istana. Hafal betul ia akan jalan menuju ke istana, malah ia dapat memilih dinding pagar mana yang tidak begitu keras penjagaannya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa ia memang sudah menjadi “langganan” tempat terlarang itu.
Dari sebelah selatan, tembok yang mengurung kompleks istana memang amat sunyi. Pintu gerbang sudah tertutup dan beberapa orang penjaga bercakap-cakap di dalam gubuk penjagaan. Ada pula yang meronda pagar tembok, membawa tombak dan pedang.
Jengkel juga Kim-lun Seng-jin melihat para penjaga itu terus-menerus meronda pagar tembok yang dipilihnya untuk melompat masuk. Pagar tembok itu amat tinggi, tidak kurang dari tujuh meter tingginya. Akan tetapi yang ia pilih itu adalah tempat dimana tumbuh sebatang pohon tidak jauh dari tembok, hanya dua meter jaraknya dari cabang terdekat dengan tembok. Kalau saja ia tidak pergi bersama Lin Lin, tentu saja ia bisa memilih tembok yang mana saja.
Diambilnya sebuah batu dan disambitnya ke arah kiri. Terdengar suara orang mengaduh di sebelah kiri. Ternyata seorang penjaga yang sedang berdiri tegak di dekat pintu gerbang, terkena sambitan batu itu, tepat pada tulang keringnya di kaki, membuat ia meloncat-loncat dan mengaduh-aduh sambil memegangi tulang kering yang dicium batu.
Teman-temannya segera lari menghampiri, termasuk mereka yang meronda. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kim-lun Seng-jin, memberi isyarat kepada Lin Lin untuk melompat dan mengikutinya. Mula-mula kakek itu melompat ke atas cabang pohon terdekat dengan tembok, ia melompat ke atas tembok. Lin Lin agak ngeri juga melihat dari tempat yang tinggi itu.
Akan tetapi ia mengeraskan hati dan melompat bagaikan seekor walet. Ia heran mendapat kenyataan bahwa lompatannya amat ringan dan mudah. Mengertilah ia sekarang bahwa ini adalah hasil latihan Ilmu Khong-in-ban-kin, maka diam-diam ia amat berterima kasih kepada kakek itu.
Dengan mudah mereka melompat ke sebelah dalam dari atas tembok dan tibalah mereka di daerah istana.
“Siapa tahu disini kita akan bertemu dengan Suling Emas, Kek,” kata Lin Lin, mengagumi bangunan-bangunan besar yang dihias lampu-lampu beraneka warna.
“Boleh jadi, boleh jadi....” Kakek itu mengangguk-angguk. “Orang macam dia itu bisa berada di manapun juga.”
“Apa dia itu hebat sekali, Kek? Apakah kau pernah bertempur dengan dia?”
Kakek itu menggeleng kepala.
“Belum pernah, bertemu pun belum. Akan tetapi dalam beberapa tahun ini, ia telah membuat nama besar, jauh melebihi aku yang sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia kang-ouw. Aku.... aku tidak suka membuat nama besar, bikin repot saja. Nah, itu disana dapurnya, mari!”
Kim-lun Seng-jin memegang tangan Lin Lin dan keduanya melompat naik ke atas genteng. Tanpa mengeluarkan suara seperti dua ekor kucing saja, kakek dan dara remaja itu berloncatan di atas genteng.
Kakek itu mengajak berhenti di atas genteng yang agak rendah, membuka genteng, mematahkan kayu penyangga genteng, lalu menyusup ke dalam, diikuti oleh Lin Lin. Mereka telah berada di atas langit-langit dapur. Dengan gerakan perlahan, Kim-lun Seng-jin membuka langit-langit di pojok yang agaknya memang sudah lama terbuka.
“Ini pintu rahasiaku, kubuat belasan tahun yang lalu,” bisiknya sambil tersenyum lebar.
Lin Lin menjadi geli juga hatinya. Kakek ini benar-benar seperti seekor kucing hendak mencari daging, pikirnya. Dari lubang itu mereka mengintip ke bawah dan bau yang sedap masuk melalui lubang itu menyambut hidung mereka.
“Ehhhmmmm, waaahhhhh, sedapnya....!” Kim-lun Seng-jin menyedot-nyedot dengan hidungnya. Juga Lin Lin merasa amat lapar sekarang. “Di bawah tidak ada orang, sisa-sisa hidangan Kaisar sudah dipanaskan lagi, mari!” Ia membuka lubang itu dan melayang ke bawah, diikuti oleh Lin Lin.
Dapur itu tidak menyerupai dapur bagi Lin Lin. Terlalu bersih, terlalu mewah. Lebih bersih daripada kamar tidurnya di rumah orang tuanya sana. Yang begini disebut dapur? Lantainya mengkilap, dindingnya dari batu marmer putih, lemari-lemarinya yang indah berdiri berjajar di sudut, penuh dengan panci-panci dan mangkok-mangkok besar. Tempat perapian untuk masak berada di sebelah kiri. Betul kata kakek itu, panci dan mangkok-mangkok itu masih nampak mengebulkan uap, tampak bahwa isinya masih panas.
Kakek itu sudah tidak mau memper¬hatikan atau mempedulikan Lin Lin lagi karena ia sudah sibuk membuka dan memeriksa isi panci dan mangkok. Di tangannya sudah terdapat sepasang sumpit gading yang ia ambil dari sebuah lemari. Sekarang tangan yang memegang sumpit ini kewalahan melayani mulutnya yang melalap dan cepat menghabiskan segala yang dimasukkannya.
Nyumpit sana, nyumpit sini, lari ke lemari sana, kemudian ke lemari sini, kakek itu benar-benar berpesta-pora! Tangan kirinya menyambar guci arak yang berada di atas lemari terciumlah bau arak wangi ketika ia mendorong makanan di mulutnya itu dengan arak. Mulutnya mengeluarkan bunyi seperti babi makan ketika mengunyah makanan, bibirnya mengecap-ngecap penuh nikmat.
Lin Lin juga ikut berpesta-pora sungguhpun tidak selahap kakek itu. Namun ia pun gembira bukan main karena banyak sekali macamnya masakan yang luar biasa disitu. Karena ia tidak mengenal masakan-masakan itu, ia menyumpit masakan yang disebut oleh kakek itu sebagai masakan istimewa.
“Ini sop sarang burung, ini tim lidah harimau, ini sop hiu masak kecap, dan ini.... wah, ini panggang ikan lele!”
Tiada hentinya ia menyebut nama-nama masakan dan Lin Lin harus akui bahwa yang disebut oleh kakek itu memang benar nikmat dan lezat. Saking gembiranya, Lin Lip juga ikut-ikutan minum arak merah yang tidak begitu keras, namun hangat di perut.
Tanpa mereka sadari perut mereka menjadi penuh dan sang perut yang tak sanggup mengikuti selera lidah. Lin Lin yang minta ampun lebih dulu duduk terhenyak di atas kursi, terengah kekenyangan. Dasar dara remaja yang masih kekanakan, tanpa malu-malu ia membelakangi kakek itu untuk mengendurkan tali pinggang dalam dan luar!
“Heh-heh-heh, puas sekali ini. Wah, Kaisar amat royal hari ini, ada apa gerangan? Dasar rejekimu besar, Lin Lin!” Kakek itupun tak mampu lagi mengisi perutnya.
Agaknya makanan sudah memenuhi perutnya sampai ke leher sehingga tiada ruangan kosong lagi untuk menampung masakan. Ia menjatuhkan diri di lantai, bersandar dinding dan minum arak keras sedikit demi sedikit sambil mengecap-ngecapkan bibirnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar