FB

FB


Ads

Kamis, 23 Mei 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 024

“Jangan sentuh dia! Aku sendiri yang akan menghukumnya. Hemm, orang-orang tiada guna, kalau kalian memukuli sampai mati, nyawa kalian gantinya!” Akan tetapi Bu Sin tidak mati, hanya pingsan saja.

Suma Boan menengok ke arah dipan dan alangkah kagetnya ketika melihat dipan itu kosong. Sian Eng si cantik manis yang tadi telah tertotok dan tak mampu bergerak, rebah di atas dipan, kini tidak tampak lagi, lenyap dari tempat itu tanpa bekas!

“Keparat, dimana dia....?”

Suma Boan dengan sekali lompat sudah tiba di dekat dipan dan sepasang matanya melotot, mukanya pucat ketika ia melihat sebuah benda tertancap di atas dipan sebagai ganti gadis cantik itu. Benda ini adalah sebuah bendera kecil, gagangnya dari kayu hitam menancap pada dipan, benderanya berbentuk segitiga berdasar hitam dengan gambar Hek-giam-lo si malaikat maut yang memegang sabit, tersulam dengan benang warna kuning emas!

“Hek-giam-lo....!” bibir Suma Boan berbisik, lalu ia menggertak gigi, “lagi-lagi Hek-giam-lo mengganggu, keparat....!”

Akan tetapi ia maklum bahwa tak mungkin ia dapat mengejar setan itu yang telah menculik tawanannya. Kemarahannya ia tumpahkan kepada Bu Sin.

“Seret ia ke dalam kebun belakang!”

Para pengawal menyeret tubuh Bu Sin yang sudah siuman dari pingsannya tapi tidak berdaya lagi itu ke belakang. Atas perintah Suma Boan, mereka mendirikan dua batang balok yang dipasang menyilang, kemudian mengikat tubuh Bu Sin di atas balok bersilang itu.

Bu Sin sudah siuman, maklum akan bahaya maut yang mengancam nyawanya. Namun ia seorang pemuda gagah perkasa, sedikit pun tidak takut. Dengan pandang mata tajam ia menatap Suma Boan yang berdiri di depannya dan di kanan kiri berdiri para pengawal.

“Orang she Suma!” Kata Bu Sin dengan suara ketus dan nyaring. “Antara kau dan aku tidak ada permusuhan, akan tetapi kau katakan bahwa kakakku Bu Song adalah musuh besarmu. Baik, aku sebagai adiknya siap menerima hukuman apa saja. Sayang kepandaianku terlalu rendah, kalau tidak tentu aku akan mewakili kakakku itu memberi hajaran kepadamu, manusia rendah.”

“Ha-ha, kematian sudah di depan mata dan masih berlagak!” dengus Suma Boan dan sekali ia merogoh saku, ia telah mengeluarkan enam batang anak panah. “Sebentar lagi kau mampus.”

“Siapa takut mati? Seorang gagah sekali-kali tidak berkedip menghadapi kematian, asal saja ia mati dalam kebenaran! Akan tetapi, ceritakan mengapa kakakku memusuhi orang macam kau, agar aku tahu untuk apa aku mati.”

“Bu Song seorang jahanam besar. Ia telah ditolong oleh Ayah, ujiannya diberi angka baik agar ia lulus, kemudian karena tertarik oleh kepintarannya Ayah telah memberinya kedudukan baik sebagai pembantu pribadi. Siapa kira, kakakmu manusia rendah itu tidak tahu akan kedudukannya sebagai hamba, berani main gila dengan adik perempuanku. Dia sudah kuikat seperti kau sekarang ini, mengalami cambukan seratus kali, tapi agaknya tubuhnya yang sudah hampir menjadi bangkai itu dibawa setan, atau mungkin juga dimakan setan sampai habis. Ha-ha-ha, dan sekarang kau adiknya datang untuk melanjutkan hukumannya. Tidak puas hatiku ketika itu, sekarang barulah aku puas. Penghinaan atas diri adikku akan kubalas himpas hemmm.... kalau saja perempuan itu tidak lenyap....”

“Dimana adikku, Sian Eng? Suma-kongcu, kita sama-sama lelaki, kau mau membalas, silakan, aku akan menerima dengan mata melek. Akan tetapi, kau bebaskan adikku. Dia wanita, tidak bertanggung jawab akan perbuatan kakakku.”

“Ha-ha-ha, adikmu akan kurusak, kemudian kuserahkan kepada para pengawal, penghinaan ini harus dibayar sampai habis, berikut bunganya.”

Pucat wajah Bu Sin, akan tetapi ia tidak mau membuka mulut. Ia tahu bahwa percuma saja membujuk orang macam ini, malah akan mendapat penghinaan yang menyakitkan hati. Apapun yang akan dialami oleh Sian Eng, paling hebat tentu kematian dan ia percaya bahwa Sian Eng tentu akan mempergunakan setiap kesempatan untuk meloloskan diri atau untuk membunuh diri dari pada dijamah tangan-tangan kotor itu.






“Pengecut, siapa takut ancamanmu? Mau bunuh lekas buhuh!” bentaknya.

Tangan kiri Suma Boan bergerak dan meluncurlah sebatang anak panah, menancap ke paha kiri Bu Sin. Terasa nyeri dan perih, namun Bu Sin tetap memandang dengan mata marah, berkedip pun tidak pemuda perkasa ini.

“Kalian lihat, semua anak panah ini akan mengenai sasaran tanpa membunuh korbannya. Dan hati-hati, dia harus dibiarkan tersiksa sampai mati kehabisan darah, semua harus bergiliran menjaga malam ini. Aku tidak mau kehilangan dia seperti belasan tahun yang lalu. Besok pagi akan kulihat bangkainya tetap tergantung disini.”

“Baik, Kongcu, hamba sekalian akan menjaganya, harap Kongcu jangan khawatir.” Serempak para pengawal menjawab sambil memberi hormat.

Dengan senyum keji dan mata berapi, Suma Boan lalu berturut-turut melepaskan anak panah dengan kedua tangannya. Cepat anak-anak panah itu meluncur dan dengan tepat menancap di paha kanan, kedua lengan dan di kedua pundak.

Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan Bu Sin. Rasa nyeri pada kaki tangan dan pundaknya masih dapat ia pertahankan dengan menggigit bibir, sedikit pun keluhan tidak ada yang keluar dari mulutnya. Namun penghinaan ini benar-benar amat menyakitkan hatinya, hampir ia tidak kuat menahan hati untuk memaki-maki dan berteriak-teriak. Kalau ia terus dibunuh, itu masih tidak mengapa. Akan tetapi dijadikan sasaran anak panah lalu dibiarkan terpanggang disitu menjadi tontonan, benar-benar menyakitkan hati sekali.

Suma Boan tertawa-tawa mengejek, lalu meludahi muka Bu Sin sebelum pergi meninggalkan tempat itu. Bu Sin hanya membuang muka ke samping, akan tetapi tak dapat mencegah pipi kirinya terkena sambaran ludah. Ia merasa pipi itu panas dan sakit sehingga diam-diam ia harus mengakui kehebatan putera pangeran ini yang memiliki lwee-kang amat kuatnya. Namun sakit di hatinya lebih hebat.

“Jaga baik-baik, awas, jangan sampai ada yang mencuri calon mayat ini,” pesan Suma Boan kepada anak buahnya.

Mereka memberi hormat lagi dengan sikap menjilat-jilat, menyatakan kesanggupan mereka. Setelah kongcu itu pergi, para pengawal yang dua belas orang banyaknya itu duduk mengelilingi balok bersilang dimana tubuh Bu Sin tergantung. Mereka bercakap-cakap dan merasa yakin bahwa penjagaan mereka amat kuat. Pedang dan golok mereka terletak di atas tanah, dekat tangan, siap untuk dipergunakan sewaktu-waktu.

Bu Sin merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit. Bagian yang tertusuk anak panah terasa panas dan kejang. Akan tetapi ia segera melupakan rasa nyeri ini, malah ia tidak mendengarkan percakapan para penjaga. Pikirannya sibuk memikirkan kakaknya. Tahulah ia sekarang mengapa kakaknya lenyap dari kota raja tak dapat ditemukan ayahnya. Kiranya kakaknya itu tadinya diangkat oleh Pangeran Suma menjadi pembantunya, kemudian kakaknya agaknya bermain cinta dengan puteri pangeran, ketahuan dan ditangkap lalu disiksa seperti yang ia alami sekarang. Akan tetapi kakaknya lenyap pada malam hari. Kemana? Benarkah sudah mati? Ah, masa dimakan setan? Ditolong setan juga tak mungkin. Siapakah yang mau menolong kakaknya? Seperti juga dia sendiri sekarang ini, siapa yang mau menolongnya?

Tiba-tiba matanya terbelalak kaget. Ia berusaha mengikuti sinar berkelebatan dengan matanya, namun tetap saja matanya silau dan tak dapat melihat apa yang berkelebatan itu. Tahu-tahu para penjaga yang tadinya duduk bercakap-cakap sudah rebah malang-melintang, tak bergerak lagi, entah mati entah masih hidup. Dan tahu-tahu, seperti main sulap saja, bayangan berkelebat di dekatnya dan dalam sedetik ikatan kaki tangannya terlepas, kemudian anak-anak panah yang enam buah banyaknya itu tercabut. Darah bercucuran keluar dan Bu Sin tidak ingat lagi. Ia pingsan dan tidak tahu apa yang telah terjadi atas dirinya.

Ketika Bu Sin sadar kembali, ia mendapatkan dirinya sudah berada di sebuah hutan, dibaringkan di bawah sebatang pohon besar. Di dekatnya ada sebuah api unggun yang masih bernyala, akan tetapi tidak seorang pun manusia disitu. Bu Sin cepat bangkit duduk, memeriksa luka-lukanya. Kiranya enam buah luka di tubuhnya sudah diobati orang dan dibalut dengan kain putih dan bersih, rasanya nyaman tidak nyeri lagi.

Cepat ia melompat berdiri, dilihatnya pedangnya terletak di dekat api, segera dipungutnya. Ketika memungut pedang inilah pandang matanya bertemu dengan tanah yang dicoret-coret merupakan huruf-huruf.

ADIKMU DIBAWA HEK-GIAM-LO, AKU BERUSAHA MENGEJARNYA.

Bu Sin terduduk kembali. Agaknya orang yang menolongnya ini sejak tadi menjaganya disitu dan melihat ia siuman, baru orang itu pergi sambil meninggalkan tulisan di dekat api dan pedang. Siapa gerangan orang itu? Kepandaiannya hebat, tidak seperti manusia. Setankah dia?

Tiba-tiba ia teringat akan penuturan Suma-kongcu. Apakah setan ini pula yang belasan tahun yang lalu telah menolong kakaknya, Bu Song? Ia merasa menyesal sekali, mengapa penolongnya itu melakukan ini secara bersembunyi sehingga ia sama sekali tidak dapat menduga-duga siapa gerangan penolongnya.

Lebih khawatir lagi hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa Sian Eng dibawa lari Hek-giam-lo. Ia tidak tahu siapa itu Hek-giam-lo. Tiba-tiba ia teringat. Pernah ia mendengar nama ini disebut orang. Ia mengingat-ingat, lalu terbayang dalam benaknya pengalamannya bersama Lin Lin dan Sian Eng ketika mereka bertiga bersembunyi di dalam hutan, diatas pohon besar kemudian mereka terancam oleh It-gan Kai-ong. Betapa kemudian terdengar suara melengking tinggi yang membuat It-gan Kai-ong agaknya lari ketakutan, kemudian orang yang mengeluarkan lengking tinggi tampak punggungnya dan menyebut-nyebut nama Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni, dan Bu Kek Siansu. Dan sekarang Hek-giam-lo yang disebut-sebut itu telah membawa lari Sian Eng! Siapa dan apa itu Hek-giam-lo ia tidak tahu, akan tetapi melihat namanya, Hek-giam-lo berarti Iblis Maut Hitam!

Bu Sin termenung, bingung karena tidak tahu harus berbuat apa. Lin Lin dibawa lari seorang sakti yang bernama Kim-lun Seng-jin, sekarang Sian Eng dibawa lari Hek-giam-lo. Kedua orang adiknya tidak ia ketahui bagaimana nasibnya dan berada dimana sekarang. Mencari kakaknya belum juga bertemu, hanya mendengar nasibnya yang buruk, disiksa hampir mati dan lenyap. Apa yang harus ia lakukan sekarang.

Dengan pikiran bingung dan gelisah sekali Bu Sin terpaksa meninggalkan tempat itu, menyusup-nyusup hutan karena ia maklum bahwa ia tentu dikejar oleh Suma-kongcu dan sekali lagi terjatuh di tangannya berarti akan hilang nyawanya.

**** 024 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar