Ke mana lenyapnya Sian Eng yang tadinya berada dalam keadaan tertotok jalan darahnya, tak dapat bergerak terbaring diatas dipan? Gadis ini biarpun sudah tak dapat bergerak karena jalan darah thian-hu-hiat tertotok membuatnya lemas kehilangan tenaga, namun ingatannya masih berjalan baik dan panca inderanya tidak terpengaruh. Ia berusaha sedapat mungkin untuk mengumpulkan tenaga lwee-kang untuk membebaskan diri daripada totokan, namun usahanya belum juga berhasil. Hatinya gelisah bukan main melihat kakaknya dikeroyok itu.
Tiba-tiba sesosok bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu ia merasa dirinya diterbangkan dari tempat itu. Demikian cepatnya gerakan yang menolongnya sehingga ia tidak dapat melihat orang ataukah setan penolongnya itu. Ia dipondong dan karena masih dalam keadaan tertotok, ia tidak dapat menggerakkan kepala untuk memandang pemondongnya. Pakaian orang ini dari sutera hitam dan ia mengingat-ingat. Tiba-tiba jantungnya berdebar keras.
Orang yang dahulu melengking tinggi mengejar It-gan Kai-ong, yang hanya terlihat punggungnya, juga berpakaian hitam. Orang yang membawa suling dan yang mereka duga adalah Suling Emas, dan juga pembunuh orang tua mereka! Celaka, pikirnya, kalau pembunuh orang tuanya, musuh besar ini yang sekarang menculiknya pergi, tentu tidak bermaksud baik. Ia tidak tahu dibawa ke jurusan mana, cepat sekali larinya seperti terbang saja. Menjelang senja mereka tiba di lereng gunung.
Sian Eng sekarang sudah mampu menggerakkan kepala karena urat lehernya sudah mulai terbebas daripada totokan, jalan darahnya sudah mulai mengalir kembali. Akan tetapi biarpun ia menengok dan memutar leher, tetap saja ia tidak dapat memandang muka pemondongnya yang berjubah hitam, karena kepalanya berada di punggung orang itu.
Ketika ia memandang ke sekitarnya melalui kedua pundak pemondongnya, ia terkejut dan merasa ngeri. Kiranya mereka telah berada di sebuah tempat kuburan kuno yang amat luas. Agaknya kuburan orang besar, karena selain luas, juga amat indah.
Bongpai (batu nisan) besar-besar dan megah berdiri disana, di dalam lingkungan pagar tembok dan di sana sini berdiri patung-patung yang terukir indah. Jalan menuju ke batu nisan itu menanjak. Agaknya penolongnya hendak membawanya ke batu nisan itu. Akan tetapi ternyata tidak.
Ia dibawa memasuki sebuah terowongan melalui sebuah pintu rahasia di balik batu nisan. Terowongan yang gelap sekali. Tak lama kemudian sampailah mereka di sebuah ruangan bawah tanah yang cukup luas dan tidak gelap, agaknya sinar matahari dapat masuk ke ruangan ini. Sian Eng dilempar ke atas sebuah bangku panjang, akan tetapi ia tidak terbanting, melainkan jatuh terduduk. Ini kembali membuktikan bahwa penolong atau penculiknya itu adalah seorang yang amat tinggi kepandaiannya.
Sian Eng yang sudah dapat bergerak lagi cepat menoleh dan.... gadis itu hampir saja menjerit kalau tidak lekas-lekas menutupi mulut dengan kedua tangannya. Ia hanya duduk dengan mata terbelalak lebar memandang ke depan, kepada orang yang memondongnya tadi.
Sehelai demi sehelai bulu di tubuhnya berdiri, dan gadis ini hampir pingsan karena kaget, takut, dan ngeri. Ternyata yang memondongnya tadi bukanlah manusia! Tengkorak hidup! Jubah hitam itu menutup sampai kepalanya, yang tampak hanya muka tengkorak dengan kedua lubang mata yang lebar, lubang hidung yang kecil dan bekas mulut yang amat lebar, masih bergigi. Mengerikan!
Di tempat seperti itu, yakni di bawah tanah, bawah kuburan bertemu dengan mahluk seperti ini, benar-berar membutuhkan syaraf membaja untuk tidak menjerit-jerit ketakutan.
Kemudian mahluk itu yang berdiri tak bergerak seperti patung, mengeluarkan suaranya yang terdengar bergema namun seperti dari jauh datangnya, suara yang tidak pantas menjadi suara manusia hidup,
“Nona datang dari Ting-chun, di kaki Gunung Cin-ling-san puteri Jenderal Kam Si Ek?”
Karena masih dicekam kengerian, Sian Eng belum mampu mengeluarkan suara, hanya mengangguk dan sepasang matanya yang bening itu terbelalak lebar, beberapa kali menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak menjadi kering sekali.
Mendadak terjadi hal yang aneh dalam pandangan Sian Eng. Mahluk itu, yang kini ia dapat menduga tentulah seorang manusia yang memakai topeng tengkorak, tiba-tiba menjatuhkan dirinya berlutut di depan bangku itu, dimana Sian Eng sudah bangkit berdiri!
“Aduhai Sang Puteri.... bertahun-tahun hambamu seluruh rakyat menanti kehadiran Paduka Puteri, bertahun-tahun hamba yang hina mencari dengan susah payah. Akhirnya hamba mendapatkan jejak Jenderal Kam di Ting-chun, akan tetapi Paduka sudah pergi.... ah, siapa duga hamba dapat bertemu dengan Paduka disini. Rakyat telah menanti untuk menjemput Paduka sebagai ratu....” Sampai disini, si kedok tengkorak itu lalu menangis sesenggukan.
Dapat dibayangkan betapa Sian Eng melongo keheranan, bulu tengkuknya berdiri kaku karena ia menganggap bahwa kedok iblis ini tentulah seorang yang miring otaknya! Akan tetapi suara tangisan kedok iblis itu demikian mengharukan hati sehingga dalam takutnya Sian Eng ikut terharu dan tak dapat menahan lagi membanjirnya air matanya. Ia ikut pula menangis!
Kedok iblis itu segera membentur-benturkan jidat tengkoraknya ke atas lantai sambil berkata,
“Wahai, Paduka Puteri junjungan hamba...., betapa bahagianya hati hamba, betapa bahagianya rakyat kita, setelah bertahun-tahun dikuasai raja yang tak berhak. Kini Paduka telah muncul, bagaikan Sang Matahari muncul untuk mengusir awan hitam yang gelap. Jangan Paduka khawatir, ada hamba Hek-giam-lo yang akan membantu Paduka merampas kembali mahkota dan singgasana yang memang menjadi hak Paduka....”
Tentu saja Sian Eng makin tidak mengerti dan menganggap orang yang miring otaknya ini sedang kambuh gilanya maka bicaranya makin tidak karuan. Pada saat itu terdengar suara mirip tangisan yang melengking tinggi menembus sampai ke ruangan di bawah tanah itu. Lapat-lapat terdengar suara memanggil nama Hek-giam-lo disusul maki-makian.
Hek-giam-lo mengangguk-anggukkan kepala tengkoraknya di depan kaki Sian Eng, lalu berkata halus,
“Mohon perkenan Paduka untuk menghalau pengacau yang berada di luar istana.”
Mau tak mau Sian Eng menggigil. Tempat kuburan mengerikan seperti ini dianggap istana dan ia hendak dijadikan ratunya. Celaka! Akan tetapi untuk membantah, ia tidak berani karena maklum bahwa orang gila yang menyeramkan ini memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya. Ia hanya mengangguk dan agar orang gila itu tidak kecewa dan marah ia berkata lirih,
“Pergilah....”
Tampak bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu Hek-giam-lo telah lenyap dari depannya. Sian Eng menggosok-gosok kedua mata dengan punggung tangan. Mimpikah ia? Ataukah semua itu tadi peristiwa yang benar terjadi? Kalau begitu, agaknya bukan manusia si kedok tadi, jangan-jangan memang benar tengkorak hidup. Kalau manusia, masa pandai menghilang seperti itu?
Di sebelah atas, depan bongpai (batu nisan) yag besar dan megah itu, berdiri seorang wanita yang rambutnya panjang riap-riapan sampai ke kaki. Seorang wanita cantik sekali, rambutnya hitam halus dan mengeluarkan keharuman yang mewakili taman bunga, baju luarnya putih bersih dari sutera halus. Seorang wanita cantik namun menyeramkan.
Sukar mengira-ngira usianya. Melihat wajah halus mata jeli bibir merah itu orang akan mengira ia masih amat muda, akan tetapi sikap, gerak-gerik dan pandang matanya membayangkan kematangan lahir batin di samping watak yang mendirikan bulu roma. Siang-mou Sin-ni (Wanita Sakti Rambut Harum)! Telah kita kenal wataknya yang aneh dan kekejamannya yang melewati batas pada permulaan cerita ini. Ia sekarang berdiri di depan batu nisan besar sambil memaki-maki dengan suara nyaring, diseling lengking tinggi seperti orang menangis.
“Hek-giam-lo, tengkorak busuk bau bangkai! Keluarlah jangan sembunyi seperti cacing tanah! Kalau kau tidak lekas keluar, lihat saja kau! Batu nisan yang bagus-bagus ini kubikin remuk. Hendak kulihat apakah kau masih tidak akan muncul!”
Tentu saja ucapan ini membikin marah Hek-giam-lo yang tepat muncul dari sebuah lubang di depan batu nisan setelah membuka penutup lubang itu dari bawah. Orang biasa tentu akan kaget setengah mati dan lari terkencing-kencing ketakutan kalau melihat mahluk seperti Hek-giam-lo tiba-tiba muncul dari lubang di depan batu nisan itu.
Akan tetapi Siang-mou Sin-ni bukanlah orang biasa. Ia segera menyambut munculnya Hek-giam-lo dengan makian sambil menudingkan telunjuk kirinya yang runcing dan tangan kanan bertolak pinggang.
“Hek-giam-lo tengkorak busuk! Hayo lekas kau serahkan padaku surat yang kau curi dari gerombolan It-gan Kai-ong si jembel tua bangka!”
Hek-giam-lo tidak menjawab akan tetapi segera melompat keluar dan menghadapi Siang-mou Sin-ni dengan marah.
“Sin-ni, antara kita sudah terdapat saling pengertian, karena jalan hidup kita tidak bersimpangan. Kau tahu bahwa aku harus membela negaraku, surat itu amat penting bagi negaraku. Kerajaan Sung selalu memusuhi Khitan, dan sekarang setelah aku menemukan kembali Puteri Mahkota calon ratu, surat itu terlebih penting. Dengan memperlihatkannya kepada Kerajaan Sung, tentu mempererat hubungan antara Khitan dan Sung. Mau apa kau pinta surat itu?”
“Tengkorak busuk! Kau kira hanya kau seorang yang mau mengambil peran sebagai patriot pembela bangsa dan negara? Cih, bangsa Khitan, perantau tak tentu tanah airnya, berlagak patriot segala! Surat itu adalah surat persekutuan antara Nan-cao dan Hou-han. Apa sangkut-pautnya dengan Khitan? Dan kau harus tahu bahwa aku adalah pembela Hou-han. Surat itu harus kudapatkan kembali dan kuserahkan kembali kepada yang berhak yaitu Kerajaan Hou-han atau Nan-cao yang wajib menerimanya. Biarpun untuk itu aku harus mengadu ilmu dengan patriot-patriot Khitan, aku tidak akan undur setapak pun!”
“Hemmm, kau perempuan mau main politik segala? Siang-mou Sin-ni, namamu cukup terkenal sebagai seorang di antara Thian-te Liok-koai. Lebih baik kau pertahankan nama itu dan jangan mencampuri urusan negara. Urusan ini adalah bagian laki-laki.”
“Cerewet! Kau ini selamanya pakai kedok tengkorak, siapa tahu kau perempuan atau laki-laki? Hayo kembalikan!”
Siang-mou Sin-ni menggertak dan rambut-rambut hitam panjang di kepalanya itu sudah bergoyang-goyang. Rambutnya merupakan senjatanya yang paling ampuh dan memang rambutnya itulah yang amat ditakuti di dunia kang-ouw.
Bagi wanita biasa, agaknya rambut yang hitam panjang halus dan harum itu akan menjadi kebanggaan dan akan disukai banyak orang, terutama kaum pria. Akan tetapi rambut Siang-mou Sin-ni yang harum ini merupakan cengkeraman-cengkeraman maut yang entah sudah menewaskan nyawa beberapa banyak orang!
“Sin-ni, kau tahu aturan antara kita. Surat ini kudapatkan dengan jalan menggunakan kepandaian, tentu saja tidak mungkin kuberikan kepadamu begini saja.”
Sambil berkata demikian, Hek-giam-lo sudah mengeluarkan sabitnya, juga tangan kirinya mengeluarkan sehelai surat yang ia rampas dari tangan Suma Boan tanpa diketahui orangnya.
Melihat surat itu di tangan Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni mengeluarkan lengking tangis yang menggetarkan kalbu, rambutnya seakan-akan hidup menyambar untuk merampas surat sedangkan sebagian rambutnya yang lain lagi menyambar ke arah jalan darah di dada, leher, pangkal lengan dan pergelangan yang maksudnya selain merobohkan lawan juga merampas sabit!
“Uhhh!”
Hek-giam-lo membentak, surat itu sudah lenyap di saku bajunya lagi dan sabitnya hilang, berubah menjadi sinar putih yang menyilaukan mata, tubuhnya menjadi bayangan hitam yang bergulung-gulung dengan sinar sabitnya.
Pada detik-detik berikutnya, Hek-giam-lo dan Siang-mou Sin-ni sudah saling terjang dengan ganas sehingga terjadilah perkelahian yang luar biasa. Kalau kebetulan ada orang melihat pertempuran ini, tentu mengira bahwa iblis-iblis kuburanlah yang sedang bertanding ini. Kadang-kadang mereka bertanding di atas lantai depan batu nisan, kadang-kadang dengan gerakan ringan dan cepat keduanya berlompatan dan berkejaran di atas bongpai (batu nisan), melayang diantara pohon-pohon untuk kembali ke lantai lagi, melanjutkan pertandingan yang amat hebatnya.
Namun keduanya sama kuat. Pertahanan masing-masing terlampau kokoh dan rapat sehingga sukar bagi mereka untuk mencari lubang dan memasuki serangan mematikan.
“Hi-hik, tengkorak busuk. Mana pelajaranmu dari Bu Kek Siansu? Untuk apa kau rampas setengah kitabnya? Hayo keluarkan, kulihat jurus-jurusmu adalah yang dulu juga, sudah lapuk dan kuno!” ejek Siang-mou Sin-ni.
Hek-giam-lo mendengus dan memutar sabitnya.
“Kau merampas alat tetabuhan khim untuk apa pula? Tidak perlu cerewet, rampaslah suratmu kalau kau memang becus!”
Tiba-tiba sesosok bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu ia merasa dirinya diterbangkan dari tempat itu. Demikian cepatnya gerakan yang menolongnya sehingga ia tidak dapat melihat orang ataukah setan penolongnya itu. Ia dipondong dan karena masih dalam keadaan tertotok, ia tidak dapat menggerakkan kepala untuk memandang pemondongnya. Pakaian orang ini dari sutera hitam dan ia mengingat-ingat. Tiba-tiba jantungnya berdebar keras.
Orang yang dahulu melengking tinggi mengejar It-gan Kai-ong, yang hanya terlihat punggungnya, juga berpakaian hitam. Orang yang membawa suling dan yang mereka duga adalah Suling Emas, dan juga pembunuh orang tua mereka! Celaka, pikirnya, kalau pembunuh orang tuanya, musuh besar ini yang sekarang menculiknya pergi, tentu tidak bermaksud baik. Ia tidak tahu dibawa ke jurusan mana, cepat sekali larinya seperti terbang saja. Menjelang senja mereka tiba di lereng gunung.
Sian Eng sekarang sudah mampu menggerakkan kepala karena urat lehernya sudah mulai terbebas daripada totokan, jalan darahnya sudah mulai mengalir kembali. Akan tetapi biarpun ia menengok dan memutar leher, tetap saja ia tidak dapat memandang muka pemondongnya yang berjubah hitam, karena kepalanya berada di punggung orang itu.
Ketika ia memandang ke sekitarnya melalui kedua pundak pemondongnya, ia terkejut dan merasa ngeri. Kiranya mereka telah berada di sebuah tempat kuburan kuno yang amat luas. Agaknya kuburan orang besar, karena selain luas, juga amat indah.
Bongpai (batu nisan) besar-besar dan megah berdiri disana, di dalam lingkungan pagar tembok dan di sana sini berdiri patung-patung yang terukir indah. Jalan menuju ke batu nisan itu menanjak. Agaknya penolongnya hendak membawanya ke batu nisan itu. Akan tetapi ternyata tidak.
Ia dibawa memasuki sebuah terowongan melalui sebuah pintu rahasia di balik batu nisan. Terowongan yang gelap sekali. Tak lama kemudian sampailah mereka di sebuah ruangan bawah tanah yang cukup luas dan tidak gelap, agaknya sinar matahari dapat masuk ke ruangan ini. Sian Eng dilempar ke atas sebuah bangku panjang, akan tetapi ia tidak terbanting, melainkan jatuh terduduk. Ini kembali membuktikan bahwa penolong atau penculiknya itu adalah seorang yang amat tinggi kepandaiannya.
Sian Eng yang sudah dapat bergerak lagi cepat menoleh dan.... gadis itu hampir saja menjerit kalau tidak lekas-lekas menutupi mulut dengan kedua tangannya. Ia hanya duduk dengan mata terbelalak lebar memandang ke depan, kepada orang yang memondongnya tadi.
Sehelai demi sehelai bulu di tubuhnya berdiri, dan gadis ini hampir pingsan karena kaget, takut, dan ngeri. Ternyata yang memondongnya tadi bukanlah manusia! Tengkorak hidup! Jubah hitam itu menutup sampai kepalanya, yang tampak hanya muka tengkorak dengan kedua lubang mata yang lebar, lubang hidung yang kecil dan bekas mulut yang amat lebar, masih bergigi. Mengerikan!
Di tempat seperti itu, yakni di bawah tanah, bawah kuburan bertemu dengan mahluk seperti ini, benar-berar membutuhkan syaraf membaja untuk tidak menjerit-jerit ketakutan.
Kemudian mahluk itu yang berdiri tak bergerak seperti patung, mengeluarkan suaranya yang terdengar bergema namun seperti dari jauh datangnya, suara yang tidak pantas menjadi suara manusia hidup,
“Nona datang dari Ting-chun, di kaki Gunung Cin-ling-san puteri Jenderal Kam Si Ek?”
Karena masih dicekam kengerian, Sian Eng belum mampu mengeluarkan suara, hanya mengangguk dan sepasang matanya yang bening itu terbelalak lebar, beberapa kali menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak menjadi kering sekali.
Mendadak terjadi hal yang aneh dalam pandangan Sian Eng. Mahluk itu, yang kini ia dapat menduga tentulah seorang manusia yang memakai topeng tengkorak, tiba-tiba menjatuhkan dirinya berlutut di depan bangku itu, dimana Sian Eng sudah bangkit berdiri!
“Aduhai Sang Puteri.... bertahun-tahun hambamu seluruh rakyat menanti kehadiran Paduka Puteri, bertahun-tahun hamba yang hina mencari dengan susah payah. Akhirnya hamba mendapatkan jejak Jenderal Kam di Ting-chun, akan tetapi Paduka sudah pergi.... ah, siapa duga hamba dapat bertemu dengan Paduka disini. Rakyat telah menanti untuk menjemput Paduka sebagai ratu....” Sampai disini, si kedok tengkorak itu lalu menangis sesenggukan.
Dapat dibayangkan betapa Sian Eng melongo keheranan, bulu tengkuknya berdiri kaku karena ia menganggap bahwa kedok iblis ini tentulah seorang yang miring otaknya! Akan tetapi suara tangisan kedok iblis itu demikian mengharukan hati sehingga dalam takutnya Sian Eng ikut terharu dan tak dapat menahan lagi membanjirnya air matanya. Ia ikut pula menangis!
Kedok iblis itu segera membentur-benturkan jidat tengkoraknya ke atas lantai sambil berkata,
“Wahai, Paduka Puteri junjungan hamba...., betapa bahagianya hati hamba, betapa bahagianya rakyat kita, setelah bertahun-tahun dikuasai raja yang tak berhak. Kini Paduka telah muncul, bagaikan Sang Matahari muncul untuk mengusir awan hitam yang gelap. Jangan Paduka khawatir, ada hamba Hek-giam-lo yang akan membantu Paduka merampas kembali mahkota dan singgasana yang memang menjadi hak Paduka....”
Tentu saja Sian Eng makin tidak mengerti dan menganggap orang yang miring otaknya ini sedang kambuh gilanya maka bicaranya makin tidak karuan. Pada saat itu terdengar suara mirip tangisan yang melengking tinggi menembus sampai ke ruangan di bawah tanah itu. Lapat-lapat terdengar suara memanggil nama Hek-giam-lo disusul maki-makian.
Hek-giam-lo mengangguk-anggukkan kepala tengkoraknya di depan kaki Sian Eng, lalu berkata halus,
“Mohon perkenan Paduka untuk menghalau pengacau yang berada di luar istana.”
Mau tak mau Sian Eng menggigil. Tempat kuburan mengerikan seperti ini dianggap istana dan ia hendak dijadikan ratunya. Celaka! Akan tetapi untuk membantah, ia tidak berani karena maklum bahwa orang gila yang menyeramkan ini memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya. Ia hanya mengangguk dan agar orang gila itu tidak kecewa dan marah ia berkata lirih,
“Pergilah....”
Tampak bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu Hek-giam-lo telah lenyap dari depannya. Sian Eng menggosok-gosok kedua mata dengan punggung tangan. Mimpikah ia? Ataukah semua itu tadi peristiwa yang benar terjadi? Kalau begitu, agaknya bukan manusia si kedok tadi, jangan-jangan memang benar tengkorak hidup. Kalau manusia, masa pandai menghilang seperti itu?
Di sebelah atas, depan bongpai (batu nisan) yag besar dan megah itu, berdiri seorang wanita yang rambutnya panjang riap-riapan sampai ke kaki. Seorang wanita cantik sekali, rambutnya hitam halus dan mengeluarkan keharuman yang mewakili taman bunga, baju luarnya putih bersih dari sutera halus. Seorang wanita cantik namun menyeramkan.
Sukar mengira-ngira usianya. Melihat wajah halus mata jeli bibir merah itu orang akan mengira ia masih amat muda, akan tetapi sikap, gerak-gerik dan pandang matanya membayangkan kematangan lahir batin di samping watak yang mendirikan bulu roma. Siang-mou Sin-ni (Wanita Sakti Rambut Harum)! Telah kita kenal wataknya yang aneh dan kekejamannya yang melewati batas pada permulaan cerita ini. Ia sekarang berdiri di depan batu nisan besar sambil memaki-maki dengan suara nyaring, diseling lengking tinggi seperti orang menangis.
“Hek-giam-lo, tengkorak busuk bau bangkai! Keluarlah jangan sembunyi seperti cacing tanah! Kalau kau tidak lekas keluar, lihat saja kau! Batu nisan yang bagus-bagus ini kubikin remuk. Hendak kulihat apakah kau masih tidak akan muncul!”
Tentu saja ucapan ini membikin marah Hek-giam-lo yang tepat muncul dari sebuah lubang di depan batu nisan setelah membuka penutup lubang itu dari bawah. Orang biasa tentu akan kaget setengah mati dan lari terkencing-kencing ketakutan kalau melihat mahluk seperti Hek-giam-lo tiba-tiba muncul dari lubang di depan batu nisan itu.
Akan tetapi Siang-mou Sin-ni bukanlah orang biasa. Ia segera menyambut munculnya Hek-giam-lo dengan makian sambil menudingkan telunjuk kirinya yang runcing dan tangan kanan bertolak pinggang.
“Hek-giam-lo tengkorak busuk! Hayo lekas kau serahkan padaku surat yang kau curi dari gerombolan It-gan Kai-ong si jembel tua bangka!”
Hek-giam-lo tidak menjawab akan tetapi segera melompat keluar dan menghadapi Siang-mou Sin-ni dengan marah.
“Sin-ni, antara kita sudah terdapat saling pengertian, karena jalan hidup kita tidak bersimpangan. Kau tahu bahwa aku harus membela negaraku, surat itu amat penting bagi negaraku. Kerajaan Sung selalu memusuhi Khitan, dan sekarang setelah aku menemukan kembali Puteri Mahkota calon ratu, surat itu terlebih penting. Dengan memperlihatkannya kepada Kerajaan Sung, tentu mempererat hubungan antara Khitan dan Sung. Mau apa kau pinta surat itu?”
“Tengkorak busuk! Kau kira hanya kau seorang yang mau mengambil peran sebagai patriot pembela bangsa dan negara? Cih, bangsa Khitan, perantau tak tentu tanah airnya, berlagak patriot segala! Surat itu adalah surat persekutuan antara Nan-cao dan Hou-han. Apa sangkut-pautnya dengan Khitan? Dan kau harus tahu bahwa aku adalah pembela Hou-han. Surat itu harus kudapatkan kembali dan kuserahkan kembali kepada yang berhak yaitu Kerajaan Hou-han atau Nan-cao yang wajib menerimanya. Biarpun untuk itu aku harus mengadu ilmu dengan patriot-patriot Khitan, aku tidak akan undur setapak pun!”
“Hemmm, kau perempuan mau main politik segala? Siang-mou Sin-ni, namamu cukup terkenal sebagai seorang di antara Thian-te Liok-koai. Lebih baik kau pertahankan nama itu dan jangan mencampuri urusan negara. Urusan ini adalah bagian laki-laki.”
“Cerewet! Kau ini selamanya pakai kedok tengkorak, siapa tahu kau perempuan atau laki-laki? Hayo kembalikan!”
Siang-mou Sin-ni menggertak dan rambut-rambut hitam panjang di kepalanya itu sudah bergoyang-goyang. Rambutnya merupakan senjatanya yang paling ampuh dan memang rambutnya itulah yang amat ditakuti di dunia kang-ouw.
Bagi wanita biasa, agaknya rambut yang hitam panjang halus dan harum itu akan menjadi kebanggaan dan akan disukai banyak orang, terutama kaum pria. Akan tetapi rambut Siang-mou Sin-ni yang harum ini merupakan cengkeraman-cengkeraman maut yang entah sudah menewaskan nyawa beberapa banyak orang!
“Sin-ni, kau tahu aturan antara kita. Surat ini kudapatkan dengan jalan menggunakan kepandaian, tentu saja tidak mungkin kuberikan kepadamu begini saja.”
Sambil berkata demikian, Hek-giam-lo sudah mengeluarkan sabitnya, juga tangan kirinya mengeluarkan sehelai surat yang ia rampas dari tangan Suma Boan tanpa diketahui orangnya.
Melihat surat itu di tangan Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni mengeluarkan lengking tangis yang menggetarkan kalbu, rambutnya seakan-akan hidup menyambar untuk merampas surat sedangkan sebagian rambutnya yang lain lagi menyambar ke arah jalan darah di dada, leher, pangkal lengan dan pergelangan yang maksudnya selain merobohkan lawan juga merampas sabit!
“Uhhh!”
Hek-giam-lo membentak, surat itu sudah lenyap di saku bajunya lagi dan sabitnya hilang, berubah menjadi sinar putih yang menyilaukan mata, tubuhnya menjadi bayangan hitam yang bergulung-gulung dengan sinar sabitnya.
Pada detik-detik berikutnya, Hek-giam-lo dan Siang-mou Sin-ni sudah saling terjang dengan ganas sehingga terjadilah perkelahian yang luar biasa. Kalau kebetulan ada orang melihat pertempuran ini, tentu mengira bahwa iblis-iblis kuburanlah yang sedang bertanding ini. Kadang-kadang mereka bertanding di atas lantai depan batu nisan, kadang-kadang dengan gerakan ringan dan cepat keduanya berlompatan dan berkejaran di atas bongpai (batu nisan), melayang diantara pohon-pohon untuk kembali ke lantai lagi, melanjutkan pertandingan yang amat hebatnya.
Namun keduanya sama kuat. Pertahanan masing-masing terlampau kokoh dan rapat sehingga sukar bagi mereka untuk mencari lubang dan memasuki serangan mematikan.
“Hi-hik, tengkorak busuk. Mana pelajaranmu dari Bu Kek Siansu? Untuk apa kau rampas setengah kitabnya? Hayo keluarkan, kulihat jurus-jurusmu adalah yang dulu juga, sudah lapuk dan kuno!” ejek Siang-mou Sin-ni.
Hek-giam-lo mendengus dan memutar sabitnya.
“Kau merampas alat tetabuhan khim untuk apa pula? Tidak perlu cerewet, rampaslah suratmu kalau kau memang becus!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar