FB

FB


Ads

Kamis, 23 Mei 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 023

Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang melakukan perjalanan bersama Kim-lun Seng-jin dan mari kita menengok keadaan Bu Sin dan Sian Eng. Kakak beradik ini juga cepat meninggalkan An-sui, menuju ke kota raja untuk mencari kakak mereka yang selamanya belum pernah mereka lihat, seorang yang bernama Kam Bu Song.

Dua orang ini melakukan perjalanan dengan cepat, akan tetapi sekarang jauh berkuranglah kegembiraan mereka di perjalanan setelah Lin Lin tidak berada di dekat mereka. Malah keduanya agak muram wajahnya, karena biarpun Lin Lin hanya seorang adik angkat, namun mereka amat mengasihinya. Terutama sekali Bu Sin selalu berkerut keningnya.

Dia adalah saudara tertua dan dialah yang merasa bertanggung jawab atas keselamatan Lin Lin. Sekarang gadis itu pergi tanpa diketahuinya kemana. Kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak baik, bukankah dia yang bertanggung jawab dan pula dia yang kelak disalahkan, baik oleh kakak tirinya, Kam Bu Song, maupun oleh bibi gurunya yaitu Kui Lan Nikouw. Akan tetapi teringat akan bunyi surat yang ditinggalkan Lin Lin di kamar penginapan, dan mengingat akan pesan suami isteri Hou-han itu yang menyatakan bahwa Kim-lun Seng-jin adalah seorang sakti, hatinya menjadi agak lega.

Kota raja Kerajaan Sung tidak jauh lagi dan dengan melakukan perjalanan cepat, dalam waktu sepekan saja Bu Sin dan Sian Eng sudah memasuki kota raja. Ketika masih tinggal bersama ayahnya di Pegunungan Cin-ling-san di dusun Ting-chun sebelum ayahnya tewas, bekas Jenderal Kam sering kali mendongeng kepada tiga orang anaknya tentang keadaan kota raja yang amat ramai dan indah.

Memang dahulu, Jenderal Kam Si Ek biarpun bertugas di Shan-si, namun ia adalah seorang pejabat pemerintah Kerajaan Sung karena pada masa itu, Kerajaan Hou-han belum bangkit dan wilayah Shan-si masih termasuk wilayah Sung.

Oleh karena pernah mendengar tentang kota raja ini, ketika memasuki kota raja, Bu Sin dan adiknya merasa gembira dan kagum, akan tetapi tidak terheran-heran seperti orang-orang desa yang baru pertama kali selama hidupnya memasuki kota raja yang besar.

Mereka berdua mencari rumah penginapan, kemudian mulailah mereka dengan penyelidikan mereka, bertanya ke sana ke mari, tentang diri seorang pemuda bernama Bu Song, she Liu. Bu Sin dan adiknya masih teringat akan penuturan bibi guru mereka betapa Bu Song pernah menempuh ujian di kota raja ini dengan menggunakan she Liu, yaitu she ibunya.

Orang pertama yang mereka tanyai adalah seorang guru sastra yang membuka sekolah bagi calon-calon pengikut ujian seorang laki-laki yang sudah berusia enam puluh tahun lebih. Memang Bu Sin selalu berhati-hati dan ia amat cerdik dan pandai mencari keterangan. Tidak ada orang yang lebih tepat dimintai keterangan tentang seorang penempuh ujian belasan tahun yang lalu di kota raja selain seorang guru sastra yang sudah tua.

Akan tetapi guru sastra itu menggeleng kepalanya dan mengerutkan kening.
“Sungguh menyesal aku tidak ingat lagi akan semua nama-nama itu. Ada ratusan orang banyaknya she Liu, dan semenjak empat belas tahun sampai sekarang, entah sudah ada berapa ribu orang pelajar yang menempuh ujian.”

Bu Sin dan Sian Eng kelihatan kecewa dan menyesal sekali. Malah Sian Eng hampir menangis kalau ia ingat betapa perjalanan mereka selain sia-sia belaka, juga mereka malah kehilangan Lin Lin. Mencari seorang kakak belum dapat ditemukan, sekarang malah kehilangan seorang adik dan mendengar jawaban guru tua ini, agaknya memang tak mungkin mencari seorang yang berada di kota raja ini dan menjadi penempuh ujian pada empat belas tahun yang lalu!

Pada saat mereka hampir putus asa itu, kakek guru tua tadi berkata menghiburnya,
“Masih ada satu jalan untuk mencari orang itu. Pada empat belas tahun yang lalu, yang menjabat sebagai kepala ujian adalah Pangeran Suma Kong yang sekarang tinggal di kota An-sui. Kalian coba saja menghadap beliau dan mohon pertolongannya, karena kurasa pangeran itu mempunyai catatan tentang para pengikut ujian dan siapa tahu beliau akan dapat memberi keterangan dimana adanya Liu Bu Song itu.”

Wajah kakak beradik itu berubah dan mereka saling lirik ketika mendengar kata-kata ini. Pangeran Suma di An-sui? Itulah keluarga yang gedungnya mereka datangi, dan disana pula Lin Lin lenyap. Di sana malah terdapat It-gan Kai-ong dan pemuda lihai yang mereka dengar disebut Suma-kongcu. Karena pikiran ini membuat mereka merasa bingung dan tegang, Bu Sin segera menghaturkan terima kasih dan minta diri. Setelah keluar dari rumah kakek guru itu, Bu Sin menarik napas panjang.

“Apakah kita harus pergi ke rumah itu? Tempat yang amat berbahaya itu, bagaimana kalau mereka yang berada disana, terutama It-gan Kai-ong, mengenal kita? Bukankah itu sama halnya dengan memasuki gua naga dan harimau?”

“Sin-ko, dengan mereka kita tidak mempunyai permusuhan. Kalau Pangeran Suma orang satu-satunya yang dapat menolong kita, mengapa kita meragu? Lebih baik kita mencoba, siapa tahu pangeran tua itu mengerti dimana adanya Kakak Bu Song. Kalau bukan bertanya dia, siapa lagi? Kakek guru itu saja tidak dapat menolong kita, apalagi orang lain?”






“Dengan keluarga Pangeran Suma memang kita tidak ada permusuhan, akan tetapi kau harus ingat It-gan Kai-ong yang berada disana. Kita pernah ribut dengan para pengemis.”

“Bukankah dia sudah memaafkan kita setelah diberi uang perak oleh Lin Lin? Kalau memang dia berniat jahat, kiranya dia sudah turun tangan sejak dulu.”

Akhirnya Bu Sin mengambil keputusan dan berkata,
“Baiklah, kita ke An-sui, bertanya dan minta tolong kepada Pangeran Suma Kong. Apapun yang akan terjadi, harus kita hadapi karena ini menjadi kewajiban kita memenuhi pesan terakhir dari Ayah untuk mencari Kakak Bu Song. Mari, Eng-moi, kita kembali ke An-sui.”

Hanya semalam mereka di kota raja dan pada keesokan harinya, kembali mereka melakukan perjalanan ke An-sui dengan cepat. Begitu tiba di An-sui beberapa hari kemudian di waktu siang, mereka berdua langsung menuju ke rumah gedung yang pernah mereka kenal di suatu malam itu, memasuki halaman rumah yang luas.

Hati mereka berdebar tegang ketika pelayan yang mereka mintai tolong untuk melaporkan kepada Pangeran Suma bahwa mereka berdua mohon menghadap, memasuki pintu depan yang besar.

Akhirnya pintu terbuka dan alangkah kaget dan tegang hati mereka. Yang muncul keluar bukanlah seorang pangeran tua, melainkan seorang pemuda tinggi tegap dan tampan berhidung bengkok bermata tajam seperti burung hantu. Ini adalah pemuda yang mereka lihat malam itu, Suma-kongcu atau Suma Boan! Lebih-lebih Sian Eng tergetar hatinya ketika melihat sepasang mata pemuda itu memandangmya seakan-akan hendak menelannya bulat-bulat dan mulut yang membayangkan kelicikan itu tersenyum-senyum.

Di belakang pemuda ini keluar pula belasan orang laki-laki tinggi besar dan sekali lihat saja dapat menduga bahwa mereka adalah perajurit-perajurit pengawal karena pakaian mereka seragam. Suma-kongcu memberi isyarat dan belasan orang pengawal itu masuk kembali ke dalam, kemudian pemuda itu membalas penghormatan kedua orang tamunya dengan menjura dan berkata.

“Menurut laporan pelayan, Nona dan saudara hendak menghadap Pangeran Suma. Kebetulan sekali Ayah sedang tidur siang, akan tetapi kalau ada urusan, boleh Ji-wi (Kalian) bicarakan dengan saya, karena semua urusan Ayah telah diwakilkan kepada saya. Apakah keperluan Ji-wi datang menghadap Ayah?”

Karena bagi Bu Sin sama saja, baik Pangeran Suma maupun puteranya asal dapat memberi keterangan tentang kakaknya, maka ia segera berkata dengan hormat.

“Maafkan kalau kami mengganggu waktu yang berharga, Suma-kongcu. Kedatangan kami mohon menghadap Pangeran Suma adalah dengan maksud mohon pertolongan, karena untuk urusan kami ini, kiranya hanya Pangeran Suma yang dapat menolong.”

Wajah Suma Boan berubah ramah, tapi pandang matanya penuh selidik dan seperti tadi, sekilas ia memandang ke arah pedang yang tergantung di pinggang dan punggung kedua orang muda itu.

“Heran sekali, kami tidak pernah mengenal Ji-wi, pertolongan apakah yang kami lakukan?”

“Begini, Kongcu. Kami mencari seorang pengikut ujian yang berada di kota raja dan mengikuti ujian empat belas tahun yang lalu. Karena pada waktu itu kami mendapat keterangan bahwa Pangeran Suma yang menjabat kepala penguji, maka kiranya sudi memberi keterangan kepada kami apakah beliau mengetahui dimana adanya pelajar itu sekarang.”

“Siapakah namanya pelajar itu? Empat belas tahun yang lalu? Hemmm, agaknya dapat dilihat dalam buku catatan tentang pelajar.”

“Pada waktu itu, ia memasukkan namanya sebagai Liu Bu Song....”

“Bu Song....?” Suma-kongcu kelihatan kaget bukan main dan wajahnya seketika berubah merah, matanya terbelalak lebar. “Apamukah dia itu?” pertanyaannya kini tidak halus lagi.

Bu Sin dan Sian Eng kaget melihat perubahan ini, akan tetapi karena tidak dapat menduga apa yang menyebabkan Suma-kongcu berubah demikian, Bu Sin menjawab sejujurnya,

“Dia adalah kakak kami....”

“Bagus....!” Suma-kongcu melompat bangun lalu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha, Bu Song! Kau telah mengirim dua orang adikmu, bagus! Adik laki-laki boleh menggantikan hukumanmu, adik perempuan hemmm.... cukup cantik membayar penghinaanmu. Ha-ha-ha!” Suma-kongcu bertepuk tangan dan belasan orang pengawal muncul dengan cepat sekali. “Tangkap mereka!”

Bukan main kagetnya Bu Sin dan Sian Eng melihat sikap Suma-kongcu dan mendengar perintah ini. Tanpa menanti lebih lama lagi mereka segera meloncat mundur sambil mencabut pedang. Namun gerakan Suma Boan bukan main cepatnya. Bagaikan seekor burung elang menyambar ia telah menerjang Bu Sin dan Sian Eng, kedua tangannya bergerak melakukan serangan.

Bu Sin dan Sian Eng belum sempat menarik pedang, terpaksa mereka menangkis karena serangan ini cepat dan berbahaya sekali. Kedua tangan Suma Boan bertemu dengan tangkisan tangan Bu Sin dan Sian Eng. Akibatnya, Bu Sin terhuyung mundur dan Sian Eng terguling!

Kaget sekali kakak beradik ini. Sian Eng cepat hendak meloncat bangun, namun sebuah totokan dengan dua jari tangan Suma Boan telah mengenai jalan darahnya dengan cepat, membuat ia tidak mampu berkutik lagi! Sambil tertawa-tawa Suma Boan menyambar tubuh Sian Eng dan memondongnya.

“Lepaskan adikku!”

Bu Sin membentak, pedangnya yang sekarang sudah ia cabut menyambar ke arah Suma Boan. Permainan pedang Bu Sin bukanlah lemah. Pedang itu meluncur cepat dan Suma Boan terpaksa menghindarkan diri sambil melompat ke samping. Akan tetapi pedang Bu Sin mengejar terus.

Pada saat itu, para pengawal sudah mengepung Bu Sin sehingga pemuda ini tidak mampu lagi menolong adiknya. Terpaksa dengan kemarahan meluap-luap ia memutar pedangnya melayani belasan orang pengawal itu.

Menghadapi para pengawal ini, biarpun dikeroyok, baru tampak kelihaian ilmu pedang Bu Sin. Sebentar saja tiga orang pengawal roboh terluka. Pengawal-pengawal lainnya menjadi gentar juga. Tak mereka sangka ilmu pedang pemuda ini demikian hebat. Kini mereka tidak berani mendekat rapat. Melihat ini, Suma Boan menjadi habis sabar. Ia merebahkan tubuh Sian Eng ke atas dipan di sudut ruangan, kemudian ia melompat ke medan pertandingan sambil membentak.

“Mundur kalian, orang-orang tiada guna dan lihat bagaimana aku menangkap cacing ini!”

Para pengawal menjadi lega hati mereka. Cepat mereka mundur sambil menolong tiga orang kawan mereka yang terluka. Adapun Bu Sin ketika melihat Suma Boan, segera membentak nyaring dan menerjang maju. Ia bermaksud merobohkan kongcu itu untuk dapat menolong adiknya yang ia lihat masih rebah di atas dipan, tak dapat bergerak.

“Orang jahat she Suma! Apa kesalahan kami maka kau melakukan penangkapan?”

“Ha-ha-ha, Bu Song, kakakmu itu musuh besarku. Menyerahlah!”

“Sebelum mati takkan menyerah. Lihat pedang.”

Suma Boan tetap tertawa sambil mengelak dari sambaran pedang. Di lain saat kedua tangannya sudah bergerak menyodok dan menotok sebagai penyerangan balasan. Putera pangeran ini menghadapi Bu Sin dengan tangan kosong saja. Memang dia seorang ciang-hoat (silat tangan kosong) yang amat lihat, mewarisi ilmu silat tinggi dari It-gan Kai-ong, Bu Sin bukanlah lawannya, karena dibandingkan dengan putera pangeran ini, ilmu kepandaian Bu Sin masih amat rendah, kalah beberapa tingkat!

Tidaklah mengherankan apabila dalam beberapa belas jurus saja, pergelangan tangan kanan Bu Sin kena disabet dengan tangan miring sehingga pedangnya terpental jauh, kemudian sebelum Bu Sin sempat menyelamatkan diri, ia telah tertotok roboh dan segera ditubruk dan diringkus oleh para pengawal.

Beberapa orang pengawal yang marah karena pemuda ini sudah melukai tiga orang kawan mereka, menghujankan pukulan-pukulan. Bu Sin tentu akan tewas kalau saja Suma Boan tidak menghardik orang-orangnya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar