Sian Eng yang lebih mengenal aturan daripada Lin Lin, segera menarik tangan adiknya itu, memberi hormat kepada Raja Nan-cao dan Beng-kauwcu yang diterima oleh mereka dengan sikap manis namun dingin. Lin Lin mengerling ke arah kakek berjubah kuning itu, terpesona oleh mutiara di jidat dan gagang tongkat. Ia melangkah maju, memandang teliti dan bertanya.
“Kauwcu, apakah ini yang disebut orang ya-beng-cu?”
Sian Eng hendak mencegah namun sudah terlambat dan ia memandang khawatir. Suling Emas menundukkan mukanya yang berubah merah, entah marah entah malu. Sejenak Beng-kauwcu Liu Mo tertegun, dan Raja Nan-cao yang duduk di sebelah kirinya menahan gelak tawa. Ketua agama itu yang mengharap agar gadis ini menjadi puas dan segera mengundurkan diri, mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Lin Lin tadi. Akan tetapi ternyata Lin Lin tidak segera mundur, malah menjadi makin berani.
“Kauwcu, bagus sekali ya-beng-cu itu, ya, dan besar, pula terang. Wah, senang ya punya mustika seperti itu? Kalau masuk ke tempat gelap tidak usah membawa lampu!”
Raja Nan-cao tidak dapat menahan ketawanya.
“Ha-ha, berdekatan dengan dara seperti ini, hidup akan lebih panjang. Nona, kalau kau suka berjanji selamanya akan berada disini, kami suka memberi hadiah beberapa butir ya-beng-cu kepadamu.”
Wajah Lin Lin berseri, akan tetapi keningnya lalu berkerut.
“Wah, senang sekali.... tapi, selamanya disini? Tidak mungkin!”
“Lin Lin, jangan kurang ajar. Mundur kau!” Suling Emas membentak lirih.
Lin Lin menengok kepadanya, cemberut dan meruncingkan mulut mengejek, lalu menjura kepada Raja Nan-cao dan Ketua Beng-kauw.
“Terima kasih atas keramahan Ji-wi (Kalian Berdua)!”
Ia lalu melangkah lebar mendekati Suling Emas, duduk di sampingnya dan menghujani dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Bagaimana kau bisa bertemu dengan Enci Eng? Mengapa kau membiarkan saja aku diculik orang? Kau tahu, aku hampir dipanggang hidup-hidup dan dagingku yang setengah matang dimakan, tahu? Hiiihhhhh, hampir aku mengalami bencana paling hebat. Bayangkan saja, dibakar hidup-hidup dan kau enak saja jalan-jalan bersama Enci Eng....”
“Hush, Lin-moi! Omongan apa itu? Kau tidak tahu, aku dan Taihiap sendiri hampir tertimpa bencana. Jangan sembarangan kau menyalahkan orang lain.”
Lin Lin menatap wajah Suling Emas yang tidak menengok kepadanya.
“Betulkah? Ah, kalau begitu maaf, ya? Sri Baginda dan Kauwcu disini amat baik dan aneh. Apakah kau banyak tahu tentang mereka? Ingin aku mendengar cerita tentang Beng-kauw, agama apakah itu?”
“Sssttt, kau lihat. Banyak tamu memandang kita. Bukan waktunya bicara. Kau lihat dia itu, Siang-mou Sin-ni, tapi mana kakakmu Bu Sin?”
Lin Lin teringat akan kakaknya, menengok. Sejenak ia menatap wajah cantik yang namanya amat terkenal sebagai seorang di antara Liok-koai dan ia tercengang. Wanita begitu cantik jelita, rambutnya hitam panjang, biarpun bebas riap-riapan namun harus diakui amat indah, malah menonjolkan kecantikan asli. Wanita seperti itu disebut iblis jahat? Dan diakah yang menahan kakaknya, Bu Sin?
“Aku akan tanya kepadanya!”
Lin Lin sudah bangkit dari kursinya, hendak langsung menghampiri Siang-mou Sin-ni dan bertanya terang-terangan tentang kakaknya.
Melihat ini, Suling Emas menggerakkan tangannya, memberi isyarat kepada Sian Eng. Sian Eng maklum dan cepat ia pun berdiri dan menyambar lengan adiknya, terus ditarik dekat dan diajak duduk di kursi sebelahnya.
“Lin Lin, jangan bikin kacau. Kita ini tamu, malah tamu yang tidak diundang. Kita harus menghormati tuan rumah yang begitu ramah. Kalau kau bikin ribut, kan memalukan sekali? Biarlah kita serahkan kepada Taihiap. Pula, wanita itu lihai bukan main, jangan kau berlaku sembrono.”
Lin Lin dapat dibujuk dan mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing semenjak berpisah. Tentu saja Sian Eng tetap merahasiakan perasaan hatinya terhadap Suma Boan. Ia hanya menceritakan bahwa Suma Boan mengajaknya ke Nan-cao karena di tempat ini tentu akan muncul kakaknya, yaitu Kam Bu Song!
Lin Lin gembira sekali.
“Betulkah itu? Wah, kalau begini hebat! Dia....” ia mengerling ke arah Suling Emas, “dia ini berjanji akan mencarikan musuh besar kita disini. Kalau betul disini kita bisa bertemu dengan Kakak Kam Bu Song, berarti sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat. Apalagi kalau Kakak Bu Sin selamat dan dapat muncul pula. Alangkah baiknya.”
“Karena itu, kita menanti gerakan Taihiap, jangan bertindak sendiri secara sembrono. Jangan-jangan malah akan menggagalkan semuanya.”
Pada saat itu, dari luar terdengar suara orang tertawa dan Kauw Bian Cinjin muncul mengiringkan seorang kakek pendek yang menimbulkan tertawa itu. Kiranya dia ini adalah Gan-lopek, kakek lucu itu. Tidak hanya tingkah lakunya dan sikapnya yang lucu, akan tetapi yang membuat para tamu tertawa adalah benda yang dibawanya. Ia membawa sebuah pigura, akan tetapi bukanlah lukisan yang berada di atas kain putih, melainkan kain putih yang kosong. Akan tetapi mulutnya tiada hentinya mengoceh.
“Aku membawa sumbangan terindah untuk Beng-kauwcu. Lukisan terindah tiada bandingnya di seluruh dunia!”
Sambil berkata demikian ia mengacung-acungkan pigura itu di tangan kanan dan sepoci tinta bak hitam di tangan kiri.
Kauw Bian Cinjin agaknya mengenal tokoh ini, maka biarpun kakek pendek itu kelihatannya malah tidak normal otaknya, ia menyambut penuh kehormatan malah ia antarkan sendiri sampai di ruangan tengah, baru ia tinggalkan keluar pula.
Sambil tertawa ha-hah-he-heh Empek Gan menoleh ke kanan kiri, mengangguk-angguk kepada para tamu seperti tingkahnya seorang pembesar yang memasuki ruangan di mana para hadirin menghormatinya, kemudian ia melangkah langsung ke hadapan Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao.
Akan tetapi ia tidak segera maju memberi hormat, melainkan menengok ke kanan kiri dengan sinar mata mencari-cari. Sikapnya yang seperti orang tolol ini memancing gelak tawa para tamu muda. Akan tetapi Gan-lopek tidak peduli, lalu ia mengomel.
“Dimana sih ditaruhnya meja sembahyang? Paling penting aku harus menghormat abu jenazah Pat-jiu Sin-ong, mendiang orang tua yang hebat itu!”
Mendengar ini, terdengar Liu Mo ketua Beng-kauw berkata lembut,
“Gan-sicu, hari ini sengaja kami merayakan ulang tahun Beng-kauw, untuk penghormatan abu mendiang Pat-jiu Sin-ong baru dilakukan besok di dalam kuil istana.”
“Ohhhhh, begitukah? Tidak apalah. Nah, Beng-kauwcu dan Baginda Raja Nan-cao, perkenankan aku orang she Gan yang bodoh ikut mengucapkan selamat kepada Beng-kauw dan aku orang she Gan yang miskin hanya dapat memberi hadiah lukisan yang akan kubuat sekarang juga.”
“Gan-sicu, keahlianmu melukis terkenal di seluruh jagat. Lukisanmu merupakan hadiah yang tak ternilai harganya. Akan tetapi, kau membikin kami menjadi tidak enak, karena membikin kau repot saja,” kata Beng-kauwcu tanpa mengubah air mukanya.
Akan tetapi Raja Nan-cao, seorang yang amat suka akan kesenian, terutama seni sastra, sajak dan lukis. Dengan wajah berseri segera berkata,
“Silakan.... silakan....”
Empek Gan tanpa banyak sungkan lagi lalu merentang kain putih itu di atas lantai, kemudian ia memasukkan jari-jari tangan kanannya ke dalam poci terisi tinta bak yang hitam kental. Ketika ia mencabut kembali jari tangannya, tentu saja tangan kanan itu hitam semua.
Tiba-tiba ia memasang kuda-kuda dan tubuhnya tergetar semua, matanya tajam memandang ke atas kain putih, makin lama sepasang mata itu makin melotot lebar. Di sana-sini sudah terdengar tamu bergelak tawa dan menganggap sikap kakek pendek itu seperti seorang badut yang miring otaknya.
Akan tetapi mereka yang sudah mendengar nama Gan-lopek sebagai seorang sakti aneh yang pandai melukis, menonton dengan degup jantung berdebar penuh ketegangan karena sekarang mereka mendapat kesempatan menyaksikan orang sakti itu mendemonstrasikan keahliannya melukis.
Empek Gan mengeluarkan suara keras seperti harimau menggereng dan tangan kanannya menyambar ke bawah, ke atas kain putih, kemudian jari-jari tangannya bergerak cepat sekali, coret sana coret sini, melompat mundur dengan mata melotot, menubruk maju lagi dan kembali jari-jari tangannya mencoret sana-sini.
Berkali-kali tangan kanannya masuk ke dalam poci terisi bak hitam, dan berkali-kali ia melompat maju mundur. Maju untuk melukis dengan coretan-coretan jari tangan yang digerakkan dengan tenaga sin-kang sepenuhnya sehingga jari-jari tangan itu menggetar, melompat mundur untuk meneliti dan memandang hasil coretannya dengan penuh perhatian.
Para tamu yang hanya berani menonton dari tempat duduk masing-masing, agak jauh dari situ, tidak dapat melihat jelas. Akan tetapi para tamu yang duduk di golongan tamu agung, lebih dekat dan karenanya mereka dapat menikmati demonstrasi yang memang luar biasa ini.
Mula-mula coretan-coretan itu tidak dapat diduga akan berbentuk apa, akan tetapi lambat laun mulailah tampak bentuk yang amat hidup dan indah luar biasa dari seekor harimau!
Mata harimau yang seakan-akan bergerak hidup, mulut yang seakan-akan gemetar meringis dengan taringnya yang runcing dan lidahnya yang menjulur ke luar. Kulitnya lorek-lorek seakan-akan tampak bulunya. Begitu indah harimau itu, seperti seekor binatang hidup saja, hanya bedanya tidak bernapas. Dan semua itu dibuat hanya dengan dua warna, hitam dan putih saja dan hanya mempergunakan jari-jari tangan. Benar-benar hasil seni yang mendekati penciptaan!
“Bagus.... indah sekali....!”
Raja Nan-cao seorang penggemar lukisan telah berseru girang berkali-kali, menahan diri untuk tidak bangkit mendekati dan memandang lebih jelas.
Gan-lopek tiba-tiba mengangkat poci yang kini tinggal sedikit baknya itu, lalu menuang isinya ke dalam mulutnya seperti seorang pemabuk minum arak yang wangi! Tentu saja hal ini menimbulkan keheranan besar, bahkan raja sendiri sampai memandang bengong dan menahan seruan. Hanya tokoh-tokoh besar yang termasuk orang-orang sakti, juga ketua Beng-kauw, memandang dengan tenang.
Gan-lopek berlutut lagi menghadapi lukisannya dan kini mulutnya menyembur-nyemburkan uap hitam ke arah gambar itu. Memang hebat kakek lucu ini dan cara melukisnya juga istimewa. Semburan uap hitam itu demikian tepatnya menempel pada kain putih di sebelah atas lukisan harimau, membentuk sebuah lingkaran bulat dan biarpun hanya merupakan titik-titik hitam di atas bulatan putih, jelas bahwa semburan itu telah menciptakan sebuah matahari yang gemilang!
Gan-lopek kini bangkit berdiri, wajahnya agak pucat dan napasnya agak memburu, akan tetapi ketika ia tertawa, tak setitik pun warna hitam berada di dalam mulutnya! Ia mengambil lukisan itu dari atas lantai, lalu mempersembahkannya kepada Beng-kauwcu sambil berkata.
“Kauwcu yang baik, terimalah persembahanku yang tidak berharga ini!”
“Terima kasih, Gan-sicu, terima kasih,” kata Beng-kauwcu Liu Mo sambil menerima lukisan itu.
“Indah sekali, harap gantungkan di dinding agar semua orang dapat menikmati keindahannya,” kata Raja Nan-cao dengan wajah berseri.
Beng-kauwcu memberi tanda dengan gerakan mata. Dua orang anak murid segera maju, menerima lukisan pada dinding, agak tinggi sehingga semua orang dapat memandang. Semua mata tertuju ke arah lukisan dan semua mulut mengeluarkan pujian. Bahkan orang-orang yang tadi mentertawai Gan-lopek, kini menjadi keheran-heranan.
Lukisan itu merupakan seekor harimau yang amat besar dan ganas, terbayang kekuatan yang menakutkan dan sepasang mata yang seakan-akan mengandung pengaruh melumpuhkan lawan. Harimau ini dalam keadaan siap menerjang maju, di bawah sinar matahari yang gemilang menyilaukan mata. Sungguh sukar dipercaya lukisan seindah itu dilukiskan hanya dengan coret-coret jari tangan dan semburan mulut saja!
“Kauwcu, apakah ini yang disebut orang ya-beng-cu?”
Sian Eng hendak mencegah namun sudah terlambat dan ia memandang khawatir. Suling Emas menundukkan mukanya yang berubah merah, entah marah entah malu. Sejenak Beng-kauwcu Liu Mo tertegun, dan Raja Nan-cao yang duduk di sebelah kirinya menahan gelak tawa. Ketua agama itu yang mengharap agar gadis ini menjadi puas dan segera mengundurkan diri, mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Lin Lin tadi. Akan tetapi ternyata Lin Lin tidak segera mundur, malah menjadi makin berani.
“Kauwcu, bagus sekali ya-beng-cu itu, ya, dan besar, pula terang. Wah, senang ya punya mustika seperti itu? Kalau masuk ke tempat gelap tidak usah membawa lampu!”
Raja Nan-cao tidak dapat menahan ketawanya.
“Ha-ha, berdekatan dengan dara seperti ini, hidup akan lebih panjang. Nona, kalau kau suka berjanji selamanya akan berada disini, kami suka memberi hadiah beberapa butir ya-beng-cu kepadamu.”
Wajah Lin Lin berseri, akan tetapi keningnya lalu berkerut.
“Wah, senang sekali.... tapi, selamanya disini? Tidak mungkin!”
“Lin Lin, jangan kurang ajar. Mundur kau!” Suling Emas membentak lirih.
Lin Lin menengok kepadanya, cemberut dan meruncingkan mulut mengejek, lalu menjura kepada Raja Nan-cao dan Ketua Beng-kauw.
“Terima kasih atas keramahan Ji-wi (Kalian Berdua)!”
Ia lalu melangkah lebar mendekati Suling Emas, duduk di sampingnya dan menghujani dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Bagaimana kau bisa bertemu dengan Enci Eng? Mengapa kau membiarkan saja aku diculik orang? Kau tahu, aku hampir dipanggang hidup-hidup dan dagingku yang setengah matang dimakan, tahu? Hiiihhhhh, hampir aku mengalami bencana paling hebat. Bayangkan saja, dibakar hidup-hidup dan kau enak saja jalan-jalan bersama Enci Eng....”
“Hush, Lin-moi! Omongan apa itu? Kau tidak tahu, aku dan Taihiap sendiri hampir tertimpa bencana. Jangan sembarangan kau menyalahkan orang lain.”
Lin Lin menatap wajah Suling Emas yang tidak menengok kepadanya.
“Betulkah? Ah, kalau begitu maaf, ya? Sri Baginda dan Kauwcu disini amat baik dan aneh. Apakah kau banyak tahu tentang mereka? Ingin aku mendengar cerita tentang Beng-kauw, agama apakah itu?”
“Sssttt, kau lihat. Banyak tamu memandang kita. Bukan waktunya bicara. Kau lihat dia itu, Siang-mou Sin-ni, tapi mana kakakmu Bu Sin?”
Lin Lin teringat akan kakaknya, menengok. Sejenak ia menatap wajah cantik yang namanya amat terkenal sebagai seorang di antara Liok-koai dan ia tercengang. Wanita begitu cantik jelita, rambutnya hitam panjang, biarpun bebas riap-riapan namun harus diakui amat indah, malah menonjolkan kecantikan asli. Wanita seperti itu disebut iblis jahat? Dan diakah yang menahan kakaknya, Bu Sin?
“Aku akan tanya kepadanya!”
Lin Lin sudah bangkit dari kursinya, hendak langsung menghampiri Siang-mou Sin-ni dan bertanya terang-terangan tentang kakaknya.
Melihat ini, Suling Emas menggerakkan tangannya, memberi isyarat kepada Sian Eng. Sian Eng maklum dan cepat ia pun berdiri dan menyambar lengan adiknya, terus ditarik dekat dan diajak duduk di kursi sebelahnya.
“Lin Lin, jangan bikin kacau. Kita ini tamu, malah tamu yang tidak diundang. Kita harus menghormati tuan rumah yang begitu ramah. Kalau kau bikin ribut, kan memalukan sekali? Biarlah kita serahkan kepada Taihiap. Pula, wanita itu lihai bukan main, jangan kau berlaku sembrono.”
Lin Lin dapat dibujuk dan mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing semenjak berpisah. Tentu saja Sian Eng tetap merahasiakan perasaan hatinya terhadap Suma Boan. Ia hanya menceritakan bahwa Suma Boan mengajaknya ke Nan-cao karena di tempat ini tentu akan muncul kakaknya, yaitu Kam Bu Song!
Lin Lin gembira sekali.
“Betulkah itu? Wah, kalau begini hebat! Dia....” ia mengerling ke arah Suling Emas, “dia ini berjanji akan mencarikan musuh besar kita disini. Kalau betul disini kita bisa bertemu dengan Kakak Kam Bu Song, berarti sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat. Apalagi kalau Kakak Bu Sin selamat dan dapat muncul pula. Alangkah baiknya.”
“Karena itu, kita menanti gerakan Taihiap, jangan bertindak sendiri secara sembrono. Jangan-jangan malah akan menggagalkan semuanya.”
Pada saat itu, dari luar terdengar suara orang tertawa dan Kauw Bian Cinjin muncul mengiringkan seorang kakek pendek yang menimbulkan tertawa itu. Kiranya dia ini adalah Gan-lopek, kakek lucu itu. Tidak hanya tingkah lakunya dan sikapnya yang lucu, akan tetapi yang membuat para tamu tertawa adalah benda yang dibawanya. Ia membawa sebuah pigura, akan tetapi bukanlah lukisan yang berada di atas kain putih, melainkan kain putih yang kosong. Akan tetapi mulutnya tiada hentinya mengoceh.
“Aku membawa sumbangan terindah untuk Beng-kauwcu. Lukisan terindah tiada bandingnya di seluruh dunia!”
Sambil berkata demikian ia mengacung-acungkan pigura itu di tangan kanan dan sepoci tinta bak hitam di tangan kiri.
Kauw Bian Cinjin agaknya mengenal tokoh ini, maka biarpun kakek pendek itu kelihatannya malah tidak normal otaknya, ia menyambut penuh kehormatan malah ia antarkan sendiri sampai di ruangan tengah, baru ia tinggalkan keluar pula.
Sambil tertawa ha-hah-he-heh Empek Gan menoleh ke kanan kiri, mengangguk-angguk kepada para tamu seperti tingkahnya seorang pembesar yang memasuki ruangan di mana para hadirin menghormatinya, kemudian ia melangkah langsung ke hadapan Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao.
Akan tetapi ia tidak segera maju memberi hormat, melainkan menengok ke kanan kiri dengan sinar mata mencari-cari. Sikapnya yang seperti orang tolol ini memancing gelak tawa para tamu muda. Akan tetapi Gan-lopek tidak peduli, lalu ia mengomel.
“Dimana sih ditaruhnya meja sembahyang? Paling penting aku harus menghormat abu jenazah Pat-jiu Sin-ong, mendiang orang tua yang hebat itu!”
Mendengar ini, terdengar Liu Mo ketua Beng-kauw berkata lembut,
“Gan-sicu, hari ini sengaja kami merayakan ulang tahun Beng-kauw, untuk penghormatan abu mendiang Pat-jiu Sin-ong baru dilakukan besok di dalam kuil istana.”
“Ohhhhh, begitukah? Tidak apalah. Nah, Beng-kauwcu dan Baginda Raja Nan-cao, perkenankan aku orang she Gan yang bodoh ikut mengucapkan selamat kepada Beng-kauw dan aku orang she Gan yang miskin hanya dapat memberi hadiah lukisan yang akan kubuat sekarang juga.”
“Gan-sicu, keahlianmu melukis terkenal di seluruh jagat. Lukisanmu merupakan hadiah yang tak ternilai harganya. Akan tetapi, kau membikin kami menjadi tidak enak, karena membikin kau repot saja,” kata Beng-kauwcu tanpa mengubah air mukanya.
Akan tetapi Raja Nan-cao, seorang yang amat suka akan kesenian, terutama seni sastra, sajak dan lukis. Dengan wajah berseri segera berkata,
“Silakan.... silakan....”
Empek Gan tanpa banyak sungkan lagi lalu merentang kain putih itu di atas lantai, kemudian ia memasukkan jari-jari tangan kanannya ke dalam poci terisi tinta bak yang hitam kental. Ketika ia mencabut kembali jari tangannya, tentu saja tangan kanan itu hitam semua.
Tiba-tiba ia memasang kuda-kuda dan tubuhnya tergetar semua, matanya tajam memandang ke atas kain putih, makin lama sepasang mata itu makin melotot lebar. Di sana-sini sudah terdengar tamu bergelak tawa dan menganggap sikap kakek pendek itu seperti seorang badut yang miring otaknya.
Akan tetapi mereka yang sudah mendengar nama Gan-lopek sebagai seorang sakti aneh yang pandai melukis, menonton dengan degup jantung berdebar penuh ketegangan karena sekarang mereka mendapat kesempatan menyaksikan orang sakti itu mendemonstrasikan keahliannya melukis.
Empek Gan mengeluarkan suara keras seperti harimau menggereng dan tangan kanannya menyambar ke bawah, ke atas kain putih, kemudian jari-jari tangannya bergerak cepat sekali, coret sana coret sini, melompat mundur dengan mata melotot, menubruk maju lagi dan kembali jari-jari tangannya mencoret sana-sini.
Berkali-kali tangan kanannya masuk ke dalam poci terisi bak hitam, dan berkali-kali ia melompat maju mundur. Maju untuk melukis dengan coretan-coretan jari tangan yang digerakkan dengan tenaga sin-kang sepenuhnya sehingga jari-jari tangan itu menggetar, melompat mundur untuk meneliti dan memandang hasil coretannya dengan penuh perhatian.
Para tamu yang hanya berani menonton dari tempat duduk masing-masing, agak jauh dari situ, tidak dapat melihat jelas. Akan tetapi para tamu yang duduk di golongan tamu agung, lebih dekat dan karenanya mereka dapat menikmati demonstrasi yang memang luar biasa ini.
Mula-mula coretan-coretan itu tidak dapat diduga akan berbentuk apa, akan tetapi lambat laun mulailah tampak bentuk yang amat hidup dan indah luar biasa dari seekor harimau!
Mata harimau yang seakan-akan bergerak hidup, mulut yang seakan-akan gemetar meringis dengan taringnya yang runcing dan lidahnya yang menjulur ke luar. Kulitnya lorek-lorek seakan-akan tampak bulunya. Begitu indah harimau itu, seperti seekor binatang hidup saja, hanya bedanya tidak bernapas. Dan semua itu dibuat hanya dengan dua warna, hitam dan putih saja dan hanya mempergunakan jari-jari tangan. Benar-benar hasil seni yang mendekati penciptaan!
“Bagus.... indah sekali....!”
Raja Nan-cao seorang penggemar lukisan telah berseru girang berkali-kali, menahan diri untuk tidak bangkit mendekati dan memandang lebih jelas.
Gan-lopek tiba-tiba mengangkat poci yang kini tinggal sedikit baknya itu, lalu menuang isinya ke dalam mulutnya seperti seorang pemabuk minum arak yang wangi! Tentu saja hal ini menimbulkan keheranan besar, bahkan raja sendiri sampai memandang bengong dan menahan seruan. Hanya tokoh-tokoh besar yang termasuk orang-orang sakti, juga ketua Beng-kauw, memandang dengan tenang.
Gan-lopek berlutut lagi menghadapi lukisannya dan kini mulutnya menyembur-nyemburkan uap hitam ke arah gambar itu. Memang hebat kakek lucu ini dan cara melukisnya juga istimewa. Semburan uap hitam itu demikian tepatnya menempel pada kain putih di sebelah atas lukisan harimau, membentuk sebuah lingkaran bulat dan biarpun hanya merupakan titik-titik hitam di atas bulatan putih, jelas bahwa semburan itu telah menciptakan sebuah matahari yang gemilang!
Gan-lopek kini bangkit berdiri, wajahnya agak pucat dan napasnya agak memburu, akan tetapi ketika ia tertawa, tak setitik pun warna hitam berada di dalam mulutnya! Ia mengambil lukisan itu dari atas lantai, lalu mempersembahkannya kepada Beng-kauwcu sambil berkata.
“Kauwcu yang baik, terimalah persembahanku yang tidak berharga ini!”
“Terima kasih, Gan-sicu, terima kasih,” kata Beng-kauwcu Liu Mo sambil menerima lukisan itu.
“Indah sekali, harap gantungkan di dinding agar semua orang dapat menikmati keindahannya,” kata Raja Nan-cao dengan wajah berseri.
Beng-kauwcu memberi tanda dengan gerakan mata. Dua orang anak murid segera maju, menerima lukisan pada dinding, agak tinggi sehingga semua orang dapat memandang. Semua mata tertuju ke arah lukisan dan semua mulut mengeluarkan pujian. Bahkan orang-orang yang tadi mentertawai Gan-lopek, kini menjadi keheran-heranan.
Lukisan itu merupakan seekor harimau yang amat besar dan ganas, terbayang kekuatan yang menakutkan dan sepasang mata yang seakan-akan mengandung pengaruh melumpuhkan lawan. Harimau ini dalam keadaan siap menerjang maju, di bawah sinar matahari yang gemilang menyilaukan mata. Sungguh sukar dipercaya lukisan seindah itu dilukiskan hanya dengan coret-coret jari tangan dan semburan mulut saja!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar