"Bolehkah saya mengetahui nama Locianpwe yang mulia?" akhirnya ia bertanya.
"Ah, aku sendiri tidak tahu siapa namaku, akan tetapi karena kau sudah berada disini menemaniku, biarlah kelak kau yang memilihkan nama untukku. Siapa saja terserah kepadamu."
Kembali nenek itu menutupi mulut menahan suara tawanya, kemudian ia bangkit berdiri, gerakannya ringan dan cekatan,
"Ah, sampai lupa aku. Kau tentu lapar, untung pada musim seperti ini, daun kelabang di bawah Guha Seratus Golok tumbuh dengan suburnya. Daun kelabang merupakan sayur yang selain enak juga dapat mempercepat kembalinya kesehatanmu, dan dimasak dengan ikan ekor putih bukan main lezatnya." Setelah berkata demikian, nenek itu pergi meninggalkannya.
Kwee Seng memandang dengan melongo. Tadi ia berlutut di depan nenek itu yang duduk bersila, mereka berhadapan dalam jarak satu meter sehingga jelas ia dapat mencium keharuman dari tubuh nenek itu. Hal ini tentu saja amat janggal, seorang nenek berbau harum ? Apakah memakai minyak bunga ? Dan mata nenek itu. Bukan main !
Diam-diam meremang bulu tengkuk Kwee Seng, bergidiklah dia. Tak mungkin nenek itu manusia. Ah, masih hidupkah dia ? Ataukah sebetulnya sudah mati dan inikah keadaan neraka dimana ia dihukum dan diharuskan tinggal bersama seorang iblis betina ? Nenek tadi menyebut air itu Arus Maut dan tempat ini disebutnya Neraka Bumi ! Gerak-geriknya memang seperti manusia yang berilmu, akan tetapi suaranya begitu halus, matanya seperti mata... ah, sukar mencari perbandingan, pendeknya begitu jernih, begitu tajam, bagian putihnya tiada cacat, bagian hitamnya berkilau seakan menyinarkan api. Serasa ia mengenal mata ini ! Ah, tak mungkin !
Tiba-tiba nenek itu membalikkan tubuh dan dari jauh ia berkata, suaranya bergema di seluruh ruangan,
"Oya, di ruangan paling kiri terdapat kamar kitab, kalau kau suka kau boleh membaca kitab yang mana saja. Kitab-kitab tua yang sukar sekali dibaca, aku sendiri ogah membacanya!"
Suara ini menyadarkan Kwee Seng daripada lamunannya. Mengapa ia harus merasa ngeri ? Manusia maupun setan, nenek itu telah membuktikan niat baik terhadap dirinya. Telah menolongnya, mengangkatnya dari sungai, merawat lukanya sampai sembuh, dan kini malah bersiap menyediakan makanan untuknya.
Kitab-kitab kuno ? Lebih baik melihat-lihat daripada duduk menanti orang masak, karena teringat akan masakan, perutnya yang perih akan makin terasa. Ia bangkit berdiri, menahan napas dan mengumpulkan kembali kekuatannya.
Kwee Seng merasa betapa lemahnya tubuh, seakan-akan habis semua tenaganya. Hemm, untung nenek itu berniat baik, kalau mengandung niat jahat terhadapnya, dalam keadaan seperti ini, tentu ia takkan mampu mengadakan perlawanan sama sekali. Dengan terhuyung-huyung ia menyeret kedua kakinya menuju ke kiri melalui jalan terowongan mencari kamar kitab-kitab itu.
Ketika memasuki kamar dalam tanah paling kiri, ia berseru heran dan kagum. Dinding kamar itu merupakan rak buku dan di situ berdiri banyak sekali kitab yang berjajar rapi. Sekilas pandang ia menaksir bahwa di situ terdapat tidak kurang dari seratus buah kitab yang tebal !
Sebelum menjadi ahli silat, Kwee Seng adalah seorang kutu buku (penggemar bacaan), apalagi kitab-kitab kuno yang mengandung filsafat-filsafat berat. Kini melihat kitab kuno berderet-deret rapi, ia seperti seorang kelaparan melihat daging segar. Lupa ia akan semua kelemahan tubuhnya, setengah meloncat ia mendekati rak buku batu itu dan jari-jari tangannya gemetar ketika ia memeriksa judul-judul buku. Ternyata kitab-kitab itu adalah kitab-kitab mengenai Agama To, sebagian pula merupakan kitab dongeng-dongeng raja-raja jaman dahulu, kitab berisi syair-syair para pujangga kuno.
Sampai bingung Kwee Seng akan melihat bacaan mana yang akan ia dahulukan. Karena ingin sekali tahu semua kitab itu, ia tidak mau mengambil sebuah diantaranya, melainkan ia membuka lembaran pertama dari semua kitab untuk mengetahui judulnya. Dua buah kitab amat menarik hatinya, yaitu kitab Siulian (Meditasi) dan yang sebuah lagi kitab tentang rahasia letak dan gerakan-gerakan bintang-bintang.
Yang mula-mula ia buka dan baca adalah kitab tentang samadhi itu dan alangkah girang hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kitab kuno itu benar-benar merupakan kitab rahasia yang amat berharga, di mana dijelaskan tentang pelbagai ilmu samadhi, cara-caranya dan segala yang berhubungan dengan samadhi mengenai peredaran jalan darah, pernapasan dan lain-lain. Ia pernah melatih diri bersamadhi untuk melatih lwee-kang dan memperkuat sin-kangnya, akan tetapi pelajaran yang ia dapat dahulu amatlah dangkal dan tak berarti kalau dibandingkan dengan isi kitab ini.
Bagaikan seorang miskin menemukan sebuah batu permata yang tak ternilai harganya, Kwee Seng membawa kitab Samadhi dan Perbintangan itu keluar dari kamar kitab dan kembali ke ruangan tadi. Betapapun juga, ia harus minta ijin dulu dari Si Pemilik Kitab. Mengingat ini, ia tercengang. Ternyata wanita itu bukan sembarang orang ! Dengan memiliki kitab-kitab seperti ini, jelas bahwa nenek itu adalah seorang yang memiliki ilmu yang amat tinggi ! Heran ia memikirkan, siapa gerangan nenek itu yang mengaku tidak punya nama, bahkan minta ia kelak yang memilihkan nama untuknya !
Ia sedang tekun membalik-balik lembaran kitab Samadhi ketika nenek itu yang muncul membawa mangkok-mangkok batu dengan masakan yang masih mengebul dan masih menyiarkan bau yang sedap-sedap aneh. Cepat Kwee Seng menutup kitabnya dan berlutut lagi sambil berkata,
"Mohon maaf sebanyaknya bahwa saya berani lancang mengganggu Locianpwe yang budiman, berani pula memasuki kamar kitab yang terahasia mengambil dua buah kitab ini. Apabila Locianpwe memperkenankan, saya mohon pinjam dua ini untuk saya baca."
Nenek itu tak bergerak kulit mukanya, menaruh mangkok-mangkok masakan di atas meja batu, lalu menghadapi Kwee Seng, memandang ke arah dua kitab itu,
"Hemm, bangkitlah. Tak enak melihat kau sedikit-sedikit berlutut seperti itu. Kita berdua seakan-akan hidup di dunia tersendiri, terpisah dari dunia ramai, mengapa harus memakai banyak tatacara yang palsu? Kwee Seng, duduklah dan mari kita makan. Kau memilih kitab-kitab itu ? Hemm, kitab tentang Samadhi dan kitab Perbintangan ? Ah, justeru dua kitab itu yang aku sendiri paling tidak doyan (tidak suka)! Terlalu ruwet dan kalimat-kalimatnya amat kuno, pengertianku tentang sastra tidak sampai di situ. Kau bacalah, dan boleh memiliki dua kitab itu."
Bukan main girangnya hati Kwee Seng.
"Locianpwe amat mulia, terima kasih atas pemberian...."
"Siapa memberi ? Kitab-kitab itu sudah berada di sini sebelum aku lahir ! Mari kita makan, perutmu kosong dan kita lanjutkan bicara nanti saja."
Untuk menghormati ajakan orang yang demikian manis budi, Kwee Seng tidak banyak cakap lagi, lalu menghadapi hidangan. Ternyata masakan itu adalah masakan ikan yang gemuk bersama sayur-sayuran yang berwarna hitam. Kelihatannya sayur itu menjijikkan, terasa gurih dan sedap. Tanpa malu-malu lagi Kwee Seng makan dengan lahapnya dan mendapat kenyataan bahwa perutnya menjadi hangat dan badannya terasa segar setelah makan hidangan aneh itu.
Sehabis makan Kwee Seng hendak membantu Si Nenek mencuci mangkok batu, akan tetapi cepat-cepat Si Nenek mencegahnya,
"Mencuci mangkok adalah pekerjaan wanita, kalau kau membantu dan canggung sampai membikin pecah mangkok batu, aku harus bersusah payah membuat lagi."
Nenek itu lalu pergi lagi dan ketika Kwee Seng mengikutinya, ternyata Neraka Bumi ini merupakan tempat tinggal yang lengkap juga. Ada air mancur yang jernih, dan disuatu sudut tumbuh bermacam sayuran aneh yang daun-daunnya berwarna hitam kehijauan, ada yang kemerahan. Tidak kekurangan kayu bakar di situ, agaknya dari kayu-kayu dan ranting-ranting yang terbawa aliran Arus Maut, ditampung dan dikeringkan di tempat itu, di mana terdapat sinar matahari menyinar masuk melalui tebing yang tak dapat diperkirakan tingginya.
Jalan lain untuk keluar dari Neraka Bumi ini tidak ada sama sekali ! Mereka telah terkurung hidup-hidup dan agaknya hanya melalui terowongan air itu saja jalan keluar masuk neraka ini ! Untuk memasukinya saja mempertaruhkan nyawa, apalagi keluarnya, harus melawan arus yang begitu deras, agaknya tidak mungkin lagi.
Mendapat kenyataan ini, Kwee Seng lesu dan duka, akan tetapi kalau ia teringat akan derita hidup karena putus cinta, ditolak kasihnya oleh Liu Lu Sian, ia tidak ingin lagi kembali ke dunia ramai.
Tempat itu biarpun menyeramkan dan sederhana, namun cukup enak untuk menjadi tempat tinggal. Makanan cukup, air cukup, sinar matahari pun tidak kurang, dan di situ terdapat seorang nenek yang merawatnya begitu teliti penuh perhatian seperti seorang nenek merawat cucunya sendiri. Masih terdapat ratusan lebih kitab kuno tebal-tebal yang agaknya tak mungkin dapat habis biarpun ia baca setiap hari sampai selama ia hidup. Mau apa lagi ?
Namun ternyata kitab Samadhi itu amat menarik perhatian Kwee Seng. Makin dibaca makin menarik, makin di pelajari makin sulit. Akan tetapi, setiap kali ia mencoba bersamadhi menurut petunjuk-petunjuk isi kitab, Kwee Seng mendapat kenyataan bahwa hasilnya luar biasa. Tenaga dalamnya cepat pulih kembali, bahkan ia merasa betapa dengan latihan menurut kitab itu, tenaganya menjadi makin kuat, pikirannya makin jernih dan tubuhnya terasa nyaman selalu.
Makin tekunlah ia mempelajari isi kitab dan kadang-kadang saja ia membaca kitab ke dua tentang perbintangan. Kitab ini pun menarik hatinya karena setelah membaca tentang pergerakan bintang-bintang ia mendapat pandangan yang luas tentang ilmu silat, apalagi tentang ilmu pedangnya Cap-jit-seng-kiam (Ilmu Pedang Tujuh Belas Bintang) !
Nenek itu jarang sekali bicara, namun dalam sikap diamnya, nenek itu kelihatan amat memperhatikan segala keperluannya. Bahkan pakaiannya yang robek-robek itu telah ditambali oleh Si Nenek. Seringkali Kwee Seng memutar otak untuk menerka siapa gerangan nenek ini yang tak pernah mau mengaku namanya maupun riwayatnya. Ketika Kwee Seng mencoba untuk mendesak, nenek itu bersungut-sungut dan menjawab dengan suara kesal.
"Sudahlah, kau sebut saja aku nenek, habis perkara. Aku tidak suka kau sebut sebut locianpwe segala. Orang macam aku ini ada kepandaian apa sih?"
Tertegun Kwee Seng kadang-kadang menyaksikan sikap nenek ini. Begitu mudah ngambul dan marah, kadang-kadang diam termenung seperti orang menyedihkan sesuatu. Untuk menyenangkan hatinya terpaksa ia menghilangkan panggilan locianpwe dan memanggilnya nenek.
Anehnya kadang nenek itu tertawa menutupi mulutnya mendengar sebutan ini. Dan yang amat membingungkan hati Kwee Seng, setiap kali nenek itu memandangnya dengan mata bening jernih memancarkan semangat bernyala-nyala dan amat tajam, ia merasa seakan-akan pernah melihat mata macam ini. Akan tetapi entah kapan dan di mana, ia tidak dapat ingat lagi karena memang rasanya baru pertama kali ini ia bertemu dengan seorang nenek yang begini aneh.
Dengan mendapat hiburan kitab samadhi itu waktu tidak terasa lagi oleh Kwee Seng. Saking tekunnya ia melatih diri dalam samadhi dan memperdalam ilmu silatnya dari kitab Perbintangan, tak terasa lagi ia telah terkurung di dalam Neraka Bumi itu selama hampir seribu hari !
Tiga tahun lewat tanpa terasa oleh Kwee Seng yang semakin girang menyaksikan kemajuan ilmu silatnya. Tenaga sin-kangnya hebat sekali sehingga ketika ia mencoba kedua tangannya, hawa pukulannya sanggup menahan aliran air yang deras untuk beberapa detik !
Dengan latihan-latihan berdasarkan ilmu perbintangan, ia dapat menggunakan dua buah ranting untuk "mendaki" naik sepanjang dinding tebing yang licin dan keras dengan cara menancap-nancapkan dua ranting itu secara bergantian, merayap seperti seekor kelabang !
Hubungannya dengan nenek itu makin akrab dan selama itu Si Nenek memperlihatkan sikap yang penuh kasih sayang, benar-benar ia merasa seperti dekat dengan seorang nenek sendiri, atau bahkan dengan ibu sendiri ! Tidaklah mengherankan ketika pada suatu hari Kwee Seng menyatakan keinginannya untuk mencari jalan keluar, nenek itu menangis tersedu-sedu !
"Kalau kau pergi... aku... aku mati saja..." Si Nenek berkata dalam tangisnya.
"Nenek, mengapa begitu?" Kwee Seng menghibur. "Percayalah, kalau aku bisa mendapatkan jalan keluar, tentu kau akan kuajak keluar dari neraka ini dan..."
"Tidak...! Tidak...! Mau apa aku mencari derita di dunia ramai ? Aku mau mati di sini!"
Kwee Seng terharu, melangkah maju dan menyentuh pundak nenek itu.
"Harap kau jangan berpendirian begitu, Nek...!"
"Jangan sentuh aku!"
Tiba-tiba nenek itu menggerakkan pundaknya dan Kwee Seng merasa betapa dari pundak itu keluar tenaga dorongan yang cukup hebat. Ia merasa heran. Memang hebat tenaga dorongan pundak yang hanya digerakkan begitu saja, akan tetapi ia harus akui bahwa tenaga itu tidaklah sehebat yang ia sangka. Tenaga murni dari sin-kang nenek ini agaknya tidak akan melebihi tenaga sin-kangnya sendiri. Hal ini amatlah mengherankan.
"Ah, aku sendiri tidak tahu siapa namaku, akan tetapi karena kau sudah berada disini menemaniku, biarlah kelak kau yang memilihkan nama untukku. Siapa saja terserah kepadamu."
Kembali nenek itu menutupi mulut menahan suara tawanya, kemudian ia bangkit berdiri, gerakannya ringan dan cekatan,
"Ah, sampai lupa aku. Kau tentu lapar, untung pada musim seperti ini, daun kelabang di bawah Guha Seratus Golok tumbuh dengan suburnya. Daun kelabang merupakan sayur yang selain enak juga dapat mempercepat kembalinya kesehatanmu, dan dimasak dengan ikan ekor putih bukan main lezatnya." Setelah berkata demikian, nenek itu pergi meninggalkannya.
Kwee Seng memandang dengan melongo. Tadi ia berlutut di depan nenek itu yang duduk bersila, mereka berhadapan dalam jarak satu meter sehingga jelas ia dapat mencium keharuman dari tubuh nenek itu. Hal ini tentu saja amat janggal, seorang nenek berbau harum ? Apakah memakai minyak bunga ? Dan mata nenek itu. Bukan main !
Diam-diam meremang bulu tengkuk Kwee Seng, bergidiklah dia. Tak mungkin nenek itu manusia. Ah, masih hidupkah dia ? Ataukah sebetulnya sudah mati dan inikah keadaan neraka dimana ia dihukum dan diharuskan tinggal bersama seorang iblis betina ? Nenek tadi menyebut air itu Arus Maut dan tempat ini disebutnya Neraka Bumi ! Gerak-geriknya memang seperti manusia yang berilmu, akan tetapi suaranya begitu halus, matanya seperti mata... ah, sukar mencari perbandingan, pendeknya begitu jernih, begitu tajam, bagian putihnya tiada cacat, bagian hitamnya berkilau seakan menyinarkan api. Serasa ia mengenal mata ini ! Ah, tak mungkin !
Tiba-tiba nenek itu membalikkan tubuh dan dari jauh ia berkata, suaranya bergema di seluruh ruangan,
"Oya, di ruangan paling kiri terdapat kamar kitab, kalau kau suka kau boleh membaca kitab yang mana saja. Kitab-kitab tua yang sukar sekali dibaca, aku sendiri ogah membacanya!"
Suara ini menyadarkan Kwee Seng daripada lamunannya. Mengapa ia harus merasa ngeri ? Manusia maupun setan, nenek itu telah membuktikan niat baik terhadap dirinya. Telah menolongnya, mengangkatnya dari sungai, merawat lukanya sampai sembuh, dan kini malah bersiap menyediakan makanan untuknya.
Kitab-kitab kuno ? Lebih baik melihat-lihat daripada duduk menanti orang masak, karena teringat akan masakan, perutnya yang perih akan makin terasa. Ia bangkit berdiri, menahan napas dan mengumpulkan kembali kekuatannya.
Kwee Seng merasa betapa lemahnya tubuh, seakan-akan habis semua tenaganya. Hemm, untung nenek itu berniat baik, kalau mengandung niat jahat terhadapnya, dalam keadaan seperti ini, tentu ia takkan mampu mengadakan perlawanan sama sekali. Dengan terhuyung-huyung ia menyeret kedua kakinya menuju ke kiri melalui jalan terowongan mencari kamar kitab-kitab itu.
Ketika memasuki kamar dalam tanah paling kiri, ia berseru heran dan kagum. Dinding kamar itu merupakan rak buku dan di situ berdiri banyak sekali kitab yang berjajar rapi. Sekilas pandang ia menaksir bahwa di situ terdapat tidak kurang dari seratus buah kitab yang tebal !
Sebelum menjadi ahli silat, Kwee Seng adalah seorang kutu buku (penggemar bacaan), apalagi kitab-kitab kuno yang mengandung filsafat-filsafat berat. Kini melihat kitab kuno berderet-deret rapi, ia seperti seorang kelaparan melihat daging segar. Lupa ia akan semua kelemahan tubuhnya, setengah meloncat ia mendekati rak buku batu itu dan jari-jari tangannya gemetar ketika ia memeriksa judul-judul buku. Ternyata kitab-kitab itu adalah kitab-kitab mengenai Agama To, sebagian pula merupakan kitab dongeng-dongeng raja-raja jaman dahulu, kitab berisi syair-syair para pujangga kuno.
Sampai bingung Kwee Seng akan melihat bacaan mana yang akan ia dahulukan. Karena ingin sekali tahu semua kitab itu, ia tidak mau mengambil sebuah diantaranya, melainkan ia membuka lembaran pertama dari semua kitab untuk mengetahui judulnya. Dua buah kitab amat menarik hatinya, yaitu kitab Siulian (Meditasi) dan yang sebuah lagi kitab tentang rahasia letak dan gerakan-gerakan bintang-bintang.
Yang mula-mula ia buka dan baca adalah kitab tentang samadhi itu dan alangkah girang hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kitab kuno itu benar-benar merupakan kitab rahasia yang amat berharga, di mana dijelaskan tentang pelbagai ilmu samadhi, cara-caranya dan segala yang berhubungan dengan samadhi mengenai peredaran jalan darah, pernapasan dan lain-lain. Ia pernah melatih diri bersamadhi untuk melatih lwee-kang dan memperkuat sin-kangnya, akan tetapi pelajaran yang ia dapat dahulu amatlah dangkal dan tak berarti kalau dibandingkan dengan isi kitab ini.
Bagaikan seorang miskin menemukan sebuah batu permata yang tak ternilai harganya, Kwee Seng membawa kitab Samadhi dan Perbintangan itu keluar dari kamar kitab dan kembali ke ruangan tadi. Betapapun juga, ia harus minta ijin dulu dari Si Pemilik Kitab. Mengingat ini, ia tercengang. Ternyata wanita itu bukan sembarang orang ! Dengan memiliki kitab-kitab seperti ini, jelas bahwa nenek itu adalah seorang yang memiliki ilmu yang amat tinggi ! Heran ia memikirkan, siapa gerangan nenek itu yang mengaku tidak punya nama, bahkan minta ia kelak yang memilihkan nama untuknya !
Ia sedang tekun membalik-balik lembaran kitab Samadhi ketika nenek itu yang muncul membawa mangkok-mangkok batu dengan masakan yang masih mengebul dan masih menyiarkan bau yang sedap-sedap aneh. Cepat Kwee Seng menutup kitabnya dan berlutut lagi sambil berkata,
"Mohon maaf sebanyaknya bahwa saya berani lancang mengganggu Locianpwe yang budiman, berani pula memasuki kamar kitab yang terahasia mengambil dua buah kitab ini. Apabila Locianpwe memperkenankan, saya mohon pinjam dua ini untuk saya baca."
Nenek itu tak bergerak kulit mukanya, menaruh mangkok-mangkok masakan di atas meja batu, lalu menghadapi Kwee Seng, memandang ke arah dua kitab itu,
"Hemm, bangkitlah. Tak enak melihat kau sedikit-sedikit berlutut seperti itu. Kita berdua seakan-akan hidup di dunia tersendiri, terpisah dari dunia ramai, mengapa harus memakai banyak tatacara yang palsu? Kwee Seng, duduklah dan mari kita makan. Kau memilih kitab-kitab itu ? Hemm, kitab tentang Samadhi dan kitab Perbintangan ? Ah, justeru dua kitab itu yang aku sendiri paling tidak doyan (tidak suka)! Terlalu ruwet dan kalimat-kalimatnya amat kuno, pengertianku tentang sastra tidak sampai di situ. Kau bacalah, dan boleh memiliki dua kitab itu."
Bukan main girangnya hati Kwee Seng.
"Locianpwe amat mulia, terima kasih atas pemberian...."
"Siapa memberi ? Kitab-kitab itu sudah berada di sini sebelum aku lahir ! Mari kita makan, perutmu kosong dan kita lanjutkan bicara nanti saja."
Untuk menghormati ajakan orang yang demikian manis budi, Kwee Seng tidak banyak cakap lagi, lalu menghadapi hidangan. Ternyata masakan itu adalah masakan ikan yang gemuk bersama sayur-sayuran yang berwarna hitam. Kelihatannya sayur itu menjijikkan, terasa gurih dan sedap. Tanpa malu-malu lagi Kwee Seng makan dengan lahapnya dan mendapat kenyataan bahwa perutnya menjadi hangat dan badannya terasa segar setelah makan hidangan aneh itu.
Sehabis makan Kwee Seng hendak membantu Si Nenek mencuci mangkok batu, akan tetapi cepat-cepat Si Nenek mencegahnya,
"Mencuci mangkok adalah pekerjaan wanita, kalau kau membantu dan canggung sampai membikin pecah mangkok batu, aku harus bersusah payah membuat lagi."
Nenek itu lalu pergi lagi dan ketika Kwee Seng mengikutinya, ternyata Neraka Bumi ini merupakan tempat tinggal yang lengkap juga. Ada air mancur yang jernih, dan disuatu sudut tumbuh bermacam sayuran aneh yang daun-daunnya berwarna hitam kehijauan, ada yang kemerahan. Tidak kekurangan kayu bakar di situ, agaknya dari kayu-kayu dan ranting-ranting yang terbawa aliran Arus Maut, ditampung dan dikeringkan di tempat itu, di mana terdapat sinar matahari menyinar masuk melalui tebing yang tak dapat diperkirakan tingginya.
Jalan lain untuk keluar dari Neraka Bumi ini tidak ada sama sekali ! Mereka telah terkurung hidup-hidup dan agaknya hanya melalui terowongan air itu saja jalan keluar masuk neraka ini ! Untuk memasukinya saja mempertaruhkan nyawa, apalagi keluarnya, harus melawan arus yang begitu deras, agaknya tidak mungkin lagi.
Mendapat kenyataan ini, Kwee Seng lesu dan duka, akan tetapi kalau ia teringat akan derita hidup karena putus cinta, ditolak kasihnya oleh Liu Lu Sian, ia tidak ingin lagi kembali ke dunia ramai.
Tempat itu biarpun menyeramkan dan sederhana, namun cukup enak untuk menjadi tempat tinggal. Makanan cukup, air cukup, sinar matahari pun tidak kurang, dan di situ terdapat seorang nenek yang merawatnya begitu teliti penuh perhatian seperti seorang nenek merawat cucunya sendiri. Masih terdapat ratusan lebih kitab kuno tebal-tebal yang agaknya tak mungkin dapat habis biarpun ia baca setiap hari sampai selama ia hidup. Mau apa lagi ?
Namun ternyata kitab Samadhi itu amat menarik perhatian Kwee Seng. Makin dibaca makin menarik, makin di pelajari makin sulit. Akan tetapi, setiap kali ia mencoba bersamadhi menurut petunjuk-petunjuk isi kitab, Kwee Seng mendapat kenyataan bahwa hasilnya luar biasa. Tenaga dalamnya cepat pulih kembali, bahkan ia merasa betapa dengan latihan menurut kitab itu, tenaganya menjadi makin kuat, pikirannya makin jernih dan tubuhnya terasa nyaman selalu.
Makin tekunlah ia mempelajari isi kitab dan kadang-kadang saja ia membaca kitab ke dua tentang perbintangan. Kitab ini pun menarik hatinya karena setelah membaca tentang pergerakan bintang-bintang ia mendapat pandangan yang luas tentang ilmu silat, apalagi tentang ilmu pedangnya Cap-jit-seng-kiam (Ilmu Pedang Tujuh Belas Bintang) !
Nenek itu jarang sekali bicara, namun dalam sikap diamnya, nenek itu kelihatan amat memperhatikan segala keperluannya. Bahkan pakaiannya yang robek-robek itu telah ditambali oleh Si Nenek. Seringkali Kwee Seng memutar otak untuk menerka siapa gerangan nenek ini yang tak pernah mau mengaku namanya maupun riwayatnya. Ketika Kwee Seng mencoba untuk mendesak, nenek itu bersungut-sungut dan menjawab dengan suara kesal.
"Sudahlah, kau sebut saja aku nenek, habis perkara. Aku tidak suka kau sebut sebut locianpwe segala. Orang macam aku ini ada kepandaian apa sih?"
Tertegun Kwee Seng kadang-kadang menyaksikan sikap nenek ini. Begitu mudah ngambul dan marah, kadang-kadang diam termenung seperti orang menyedihkan sesuatu. Untuk menyenangkan hatinya terpaksa ia menghilangkan panggilan locianpwe dan memanggilnya nenek.
Anehnya kadang nenek itu tertawa menutupi mulutnya mendengar sebutan ini. Dan yang amat membingungkan hati Kwee Seng, setiap kali nenek itu memandangnya dengan mata bening jernih memancarkan semangat bernyala-nyala dan amat tajam, ia merasa seakan-akan pernah melihat mata macam ini. Akan tetapi entah kapan dan di mana, ia tidak dapat ingat lagi karena memang rasanya baru pertama kali ini ia bertemu dengan seorang nenek yang begini aneh.
Dengan mendapat hiburan kitab samadhi itu waktu tidak terasa lagi oleh Kwee Seng. Saking tekunnya ia melatih diri dalam samadhi dan memperdalam ilmu silatnya dari kitab Perbintangan, tak terasa lagi ia telah terkurung di dalam Neraka Bumi itu selama hampir seribu hari !
Tiga tahun lewat tanpa terasa oleh Kwee Seng yang semakin girang menyaksikan kemajuan ilmu silatnya. Tenaga sin-kangnya hebat sekali sehingga ketika ia mencoba kedua tangannya, hawa pukulannya sanggup menahan aliran air yang deras untuk beberapa detik !
Dengan latihan-latihan berdasarkan ilmu perbintangan, ia dapat menggunakan dua buah ranting untuk "mendaki" naik sepanjang dinding tebing yang licin dan keras dengan cara menancap-nancapkan dua ranting itu secara bergantian, merayap seperti seekor kelabang !
Hubungannya dengan nenek itu makin akrab dan selama itu Si Nenek memperlihatkan sikap yang penuh kasih sayang, benar-benar ia merasa seperti dekat dengan seorang nenek sendiri, atau bahkan dengan ibu sendiri ! Tidaklah mengherankan ketika pada suatu hari Kwee Seng menyatakan keinginannya untuk mencari jalan keluar, nenek itu menangis tersedu-sedu !
"Kalau kau pergi... aku... aku mati saja..." Si Nenek berkata dalam tangisnya.
"Nenek, mengapa begitu?" Kwee Seng menghibur. "Percayalah, kalau aku bisa mendapatkan jalan keluar, tentu kau akan kuajak keluar dari neraka ini dan..."
"Tidak...! Tidak...! Mau apa aku mencari derita di dunia ramai ? Aku mau mati di sini!"
Kwee Seng terharu, melangkah maju dan menyentuh pundak nenek itu.
"Harap kau jangan berpendirian begitu, Nek...!"
"Jangan sentuh aku!"
Tiba-tiba nenek itu menggerakkan pundaknya dan Kwee Seng merasa betapa dari pundak itu keluar tenaga dorongan yang cukup hebat. Ia merasa heran. Memang hebat tenaga dorongan pundak yang hanya digerakkan begitu saja, akan tetapi ia harus akui bahwa tenaga itu tidaklah sehebat yang ia sangka. Tenaga murni dari sin-kang nenek ini agaknya tidak akan melebihi tenaga sin-kangnya sendiri. Hal ini amatlah mengherankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar