Kurang lebih setengah tahun lamanya Han Han berada di dalam gedung besar di pinggir kota Tiong-kwan, menjadi pelayan dari Setan Botak bersama muridnya Ouwyang Seng. Mengapa Han Han dapat bertahan sampai demikian lamanya menjadi pelayan di situ?
Sesungguhnya hatinya amat tidak senang menjadi pelayan Ouwyang Seng, akan tetapi karena anak ini menemukan hal-hal yang amat menarik hatinya maka ia memaksa diri tidak mau meninggalkan tempat itu. Ia tertarik melihat cara-cara latihan yang diajarkan Setan Botak kepada Ouwyang Seng. Bahkan diam-diam kalau tidak dilihat guru dan murid itu, ia pun mulai melatih kedua lengannya dan merendamnya di dalam air panas bercampur racun!
Mula-mula ia tidak berani, akan tetapi karena tekadnya memang luar biasa, ketika ia diberi tugas menggodok air beracun, ia mencelup kedua tangannya. Dengan kemauan yang amat luar biasa, terdorong oleh sifat aneh yang menguasainya, akhirnya dalam sebulan saja ia sudah mampu menahan kedua lengannya direndam air panas beracun sampai semalam suntuk!
Apa yang dicapai oleh Ouwyang Seng dalam latihan dua tiga tahun, dapat ia peroleh hanya dengan latihan sebulan saja! Dan pada bulan-bulan berikutnya, ia bahkan telah jauh melampaui Ouwyang Seng karena ia sudah dapat bertahan untuk merendam kedua lengannya ke dalam air panas batu bintang! Padahal latihan merendam lengan di air batu bintang ini hanya dilakukan oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat, sedangkan Ouwyang Seng hanya baru mulai dengan latihan yang berat ini!
Guru dan murid yang wataknya aneh dan keras itu ternyata merasa suka kepada Han Han yang juga tidak kalah aneh wataknya. Han Han dapat menjadi seorang anak yang pendiam dan penurut sekali kalau ia kehendaki, dan ia pandai menyimpan rahasia, sehingga guru dan murid itu merasa suka, bahkan akan merasa kehilangan kalau tidak ada Han Han yang mengerjakan segala keperluan mereka berdua itu dengan alat-alat dan keperluan berlatih.
Apalagi Ouwyang Seng, sama sekali tentu saja tidak pernah menduga bahwa kacung itu telah ikut berlatih, bahkan telah melampauinya. Sedangkan gurunya, Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri tidak pernah mimpi bahwa bocah jembel itu ternyata selain melatih diri dengan dasar-dasar ilmu Hwi-yang-sin-ciang, juga sudah berani memasuki daerah terlarang, tempat ia berlatih dan yang merupakan tempat terlarang bagi semua orang! Dan tidak pernah menduga bahwa semua ajaran teori yang ia berikan kepada Ouwyang Seng, diam-diam telah didengar jelas oleh Han Han, bahkan bocah ini segera mempraktekkan ajaran-ajaran itu.
Apabila Kang-thouw-kwi Gak Liat sedang bepergian, dan hal ini sering kali ia lakukan tanpa ada yang mengetahui kemana perginya, Ouwyang Seng yang pada dasarnya malas berlatih dan lebih suka berkuda atau berjalan-jalan keluar kota mengumbar kenakalannya, kesempatan ini dipergunakan sebaiknya oleh Han Han. Setelah ia dapat bertahan merendam kedua lengannya dalam air cairan batu bintang, mulailah ia diam-diam memasuki daerah tertarang!
Mula-mula jantungnya berdebar dan ia merasa ngeri. Di kebun yang liar itu terdapat banyak lubang-lubang dan ketika ia memperhatikan, ia terbelalak memandang ke arah kerangka-kerangka manusia yang berada di dalam lubang-lubang itu. Tahulah ia bahwa kuburan-kuburan yang berada di situ seperti yang pernah diceritakan Ouwyang Seng kepadanya, kini telah dibongkar dan tulang-tulang manusia serta tengkorak-tengkorak berserakan di tempat itu!
Benar-benar bukan merupakan tempat latihan seorang manusia. Lebih tepat dinamakan tempat seekor siluman atau iblis. Teringat pula ia akan cerita Setan Botak kepada Ouwyang Seng bahwa kalau latihan merendam lengan dalam cairan batu bintang sudah mencapai puncaknya, maka latihan dilanjutkan dengan membakar kedua lengan di atas api bernyala!
“Bukan api sembarang api,” demikian ia menangkap pelajaran yang diberikan Setan Botak kepada Ouwyang Seng. “Melainkan api yang menyala dari tulang-tulang manusia yang dibakar. Api dari tulang-tulang itu mengandung sari hawa Yang-kang, sudah merupakan racun Hwi-yang. Dengan latihan itu, sari Hwi-yang akan meresap ke dalam kedua lengan memperkuat tulang lengan. Akan tetapi untuk mencapai tingkat ini, kau harus berlatih dengan tekun sampai sedikitnya sepuluh tahun, Kongcu.” Demikian antara lain penjelasan Setan Botak.
Sesungguhnya hatinya amat tidak senang menjadi pelayan Ouwyang Seng, akan tetapi karena anak ini menemukan hal-hal yang amat menarik hatinya maka ia memaksa diri tidak mau meninggalkan tempat itu. Ia tertarik melihat cara-cara latihan yang diajarkan Setan Botak kepada Ouwyang Seng. Bahkan diam-diam kalau tidak dilihat guru dan murid itu, ia pun mulai melatih kedua lengannya dan merendamnya di dalam air panas bercampur racun!
Mula-mula ia tidak berani, akan tetapi karena tekadnya memang luar biasa, ketika ia diberi tugas menggodok air beracun, ia mencelup kedua tangannya. Dengan kemauan yang amat luar biasa, terdorong oleh sifat aneh yang menguasainya, akhirnya dalam sebulan saja ia sudah mampu menahan kedua lengannya direndam air panas beracun sampai semalam suntuk!
Apa yang dicapai oleh Ouwyang Seng dalam latihan dua tiga tahun, dapat ia peroleh hanya dengan latihan sebulan saja! Dan pada bulan-bulan berikutnya, ia bahkan telah jauh melampaui Ouwyang Seng karena ia sudah dapat bertahan untuk merendam kedua lengannya ke dalam air panas batu bintang! Padahal latihan merendam lengan di air batu bintang ini hanya dilakukan oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat, sedangkan Ouwyang Seng hanya baru mulai dengan latihan yang berat ini!
Guru dan murid yang wataknya aneh dan keras itu ternyata merasa suka kepada Han Han yang juga tidak kalah aneh wataknya. Han Han dapat menjadi seorang anak yang pendiam dan penurut sekali kalau ia kehendaki, dan ia pandai menyimpan rahasia, sehingga guru dan murid itu merasa suka, bahkan akan merasa kehilangan kalau tidak ada Han Han yang mengerjakan segala keperluan mereka berdua itu dengan alat-alat dan keperluan berlatih.
Apalagi Ouwyang Seng, sama sekali tentu saja tidak pernah menduga bahwa kacung itu telah ikut berlatih, bahkan telah melampauinya. Sedangkan gurunya, Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri tidak pernah mimpi bahwa bocah jembel itu ternyata selain melatih diri dengan dasar-dasar ilmu Hwi-yang-sin-ciang, juga sudah berani memasuki daerah terlarang, tempat ia berlatih dan yang merupakan tempat terlarang bagi semua orang! Dan tidak pernah menduga bahwa semua ajaran teori yang ia berikan kepada Ouwyang Seng, diam-diam telah didengar jelas oleh Han Han, bahkan bocah ini segera mempraktekkan ajaran-ajaran itu.
Apabila Kang-thouw-kwi Gak Liat sedang bepergian, dan hal ini sering kali ia lakukan tanpa ada yang mengetahui kemana perginya, Ouwyang Seng yang pada dasarnya malas berlatih dan lebih suka berkuda atau berjalan-jalan keluar kota mengumbar kenakalannya, kesempatan ini dipergunakan sebaiknya oleh Han Han. Setelah ia dapat bertahan merendam kedua lengannya dalam air cairan batu bintang, mulailah ia diam-diam memasuki daerah tertarang!
Mula-mula jantungnya berdebar dan ia merasa ngeri. Di kebun yang liar itu terdapat banyak lubang-lubang dan ketika ia memperhatikan, ia terbelalak memandang ke arah kerangka-kerangka manusia yang berada di dalam lubang-lubang itu. Tahulah ia bahwa kuburan-kuburan yang berada di situ seperti yang pernah diceritakan Ouwyang Seng kepadanya, kini telah dibongkar dan tulang-tulang manusia serta tengkorak-tengkorak berserakan di tempat itu!
Benar-benar bukan merupakan tempat latihan seorang manusia. Lebih tepat dinamakan tempat seekor siluman atau iblis. Teringat pula ia akan cerita Setan Botak kepada Ouwyang Seng bahwa kalau latihan merendam lengan dalam cairan batu bintang sudah mencapai puncaknya, maka latihan dilanjutkan dengan membakar kedua lengan di atas api bernyala!
“Bukan api sembarang api,” demikian ia menangkap pelajaran yang diberikan Setan Botak kepada Ouwyang Seng. “Melainkan api yang menyala dari tulang-tulang manusia yang dibakar. Api dari tulang-tulang itu mengandung sari hawa Yang-kang, sudah merupakan racun Hwi-yang. Dengan latihan itu, sari Hwi-yang akan meresap ke dalam kedua lengan memperkuat tulang lengan. Akan tetapi untuk mencapai tingkat ini, kau harus berlatih dengan tekun sampai sedikitnya sepuluh tahun, Kongcu.” Demikian antara lain penjelasan Setan Botak.
Entah mengapa ia suka mempelajari semua ini, Han Han sendiri tidak akan dapat menjawab. Ia tidak bermaksud mendapatkan kekuatan pada kedua lengannya karena ia tidak suka, bahkan benci berkelahi.
Akan tetapi mungkin sifat aneh pada pelajaran inilah yang menarik hatinya dan yang membuatnya ingin mencoba dan melatih diri! Maka setelah ia mendapat kesempatan memasuki daerah terlarang, ia segera mulai dengan latihan-latihan yang menegangkan hatinya.
Mula-mula ia memanaskan kwali tua yang terisi cairan tulang-tulang tengkorak manusia, merendam kedua lengannya dalam cairan yang menjijikkan itu sebagaimana ia dengar dari penjelasan Setan Botak kepada Ouwyang Seng. Kemudian mulailah ia melatih kedua lengannya di atas api bernyala yang ia buat dengan bahan bakar kayu-kayu dan tulang-tulang kering manusia yang berserakan di tempat itu.
Sampai setengah tahun lebih Han Han melatih diri di daerah terlarang itu. Tentu saja hal ini dilakukannya secara sembunyi-sembunyi, karena ia pun tahu bahwa kalau sampai hal ini diketahui Setan Botak, nyawanya takkan tertolong lagi!
Kini sudah lebih dari setahun ia menjadi pelayan Ouwyang Seng dan gurunya, dan mulailah ia merasa bosan. Memang ia melatih diri selama ini tanpa pamrih apa-apa, hanya karena tertarik dan kini setelah ia dapat bertahan menaruh tangannya di dalam api berkobar sampai api itu mati sendiri kehabisan bahan bakar, ia menjadi bosan dan menganggap bahwa apa yang dicarinya sudah dapat.
Ia mulai bosan setelah mengingat betapa ia telah membuang waktu dengan sia-sia. Kalau ia renungkan dan bertanya sendiri, apakah yang ia dapatkan selama setahun lebih ini? Ia tidak dapat menjawab karena harus ia akui bahwa kedua lengannya yang dapat menahan panasnya api itu sesungguhnya tidak ada guna atau manfaatnya sama sekali!
Sungguh ia tidak tahu bahwa sebetulnya ia telah dapat menguasai dasar-dasar Ilmu Hwi-yang-sin-ciang yang amat hebat! Tidak tahu bahwa bakatnya jauh melampaui Setan Botak sendiri sehingga kalau ia latih terus dan melatih pula ilmu pukulannya, ia akan menjadi seorang ahli Hwi-yang-sin-ciang yang tidak ada tandingannya di dunia ini.
Sayang bahwa Han Han sama sekali tidak tertarik kalau ia melihat Ouwyang Seng berlatih silat, juga tidak mau mendengarkan kalau Setan Botak memberi penjelasan tentang kouw-koat (teori silat) kepada Ouwyang Seng.
Akan tetapi mungkin sifat aneh pada pelajaran inilah yang menarik hatinya dan yang membuatnya ingin mencoba dan melatih diri! Maka setelah ia mendapat kesempatan memasuki daerah terlarang, ia segera mulai dengan latihan-latihan yang menegangkan hatinya.
Mula-mula ia memanaskan kwali tua yang terisi cairan tulang-tulang tengkorak manusia, merendam kedua lengannya dalam cairan yang menjijikkan itu sebagaimana ia dengar dari penjelasan Setan Botak kepada Ouwyang Seng. Kemudian mulailah ia melatih kedua lengannya di atas api bernyala yang ia buat dengan bahan bakar kayu-kayu dan tulang-tulang kering manusia yang berserakan di tempat itu.
Sampai setengah tahun lebih Han Han melatih diri di daerah terlarang itu. Tentu saja hal ini dilakukannya secara sembunyi-sembunyi, karena ia pun tahu bahwa kalau sampai hal ini diketahui Setan Botak, nyawanya takkan tertolong lagi!
Kini sudah lebih dari setahun ia menjadi pelayan Ouwyang Seng dan gurunya, dan mulailah ia merasa bosan. Memang ia melatih diri selama ini tanpa pamrih apa-apa, hanya karena tertarik dan kini setelah ia dapat bertahan menaruh tangannya di dalam api berkobar sampai api itu mati sendiri kehabisan bahan bakar, ia menjadi bosan dan menganggap bahwa apa yang dicarinya sudah dapat.
Ia mulai bosan setelah mengingat betapa ia telah membuang waktu dengan sia-sia. Kalau ia renungkan dan bertanya sendiri, apakah yang ia dapatkan selama setahun lebih ini? Ia tidak dapat menjawab karena harus ia akui bahwa kedua lengannya yang dapat menahan panasnya api itu sesungguhnya tidak ada guna atau manfaatnya sama sekali!
Sungguh ia tidak tahu bahwa sebetulnya ia telah dapat menguasai dasar-dasar Ilmu Hwi-yang-sin-ciang yang amat hebat! Tidak tahu bahwa bakatnya jauh melampaui Setan Botak sendiri sehingga kalau ia latih terus dan melatih pula ilmu pukulannya, ia akan menjadi seorang ahli Hwi-yang-sin-ciang yang tidak ada tandingannya di dunia ini.
Sayang bahwa Han Han sama sekali tidak tertarik kalau ia melihat Ouwyang Seng berlatih silat, juga tidak mau mendengarkan kalau Setan Botak memberi penjelasan tentang kouw-koat (teori silat) kepada Ouwyang Seng.
Sampai saat itu pun Han Han masih belum suka akan ilmu silat, bukan hanya tidak suka, malah membencinya. Apalagi kalau ia terkenang akan pertandingan antara Setan Botak dengan orang-orang Pek-lian Kai-pang, ia menjadi muak dan makin membenci ilmu silat yang dianggapnya hanya merupakan ilmu membunuh manusia lain!
Kalau dipikirkan memang lucu sekali. Anak ini membenci ilmu silat yang dianggapnya ilmu yang keji. Akan tetapi tanpa ia ketahui sama sekali, ia kini telah memiliki dasar Ilmu Hwi-yang-sin-ciang, padahal ilmu ini adalah ilmu golongan hitam atau ilmu sesat yang amat keji! Ilmu meracuni kedua lengan seperti ini, yang sebagian menggunakan tulang-tulang dan tengkorak-tengkorak manusia, tidak akan dipelajari oleh orang gagah di manapun juga kecuali oleh kaum sesat.
Untuk memperkuat kedua lengan tangan, kaum gagah di rimba persilatan biasanya menggembleng lengan dengan pasir panas, pasir besi panas, dan lain-lain yang pada dasarnya hanya untuk memperkuat kedua lengan. Akan tetapi kaum sesat mencampurkan racun dalam latihan ini sehingga tangan mereka menjadi tangan beracun yang sesuai dengan watak mereka. Han Han sama sekali tidak tahu akan hal ini, maka amatlah lucu kalau dipikirkan bahwa dia membenci ilmu silat namun diam-diam menjadi calon ahli Hwi-yang-sin-ciang!
Akan tetapi, kebosanannya melatih diri ini menolongnya. Kalau ia lanjutkan, tentu akhirnya ia akan ketahuan dan hal ini berarti mati baginya. Dan kebetulan sekali sebelum kebosanannya membuat ia berlaku nekat dan minggat dari situ, pada pagi hari itu Setan Botak pulang dan siang harinya ia dipanggil Ouwyang Seng.
“Han Han, lekas berkemas, bungkus pakaian-pakaianku yang terbaik. Kita akan pergi dari sini ke kota raja!”
“Kota raja?” Han Han bengong.
Sebutan kota raja hanya ia dapat dalam kitab-kitabnya saja karena selama hidupnya belum pernah ia melihat kota raja.
“Ya, kota raja di utara! Ha-ha-ha! Engkau akan bengong keheranan kalau melihat kota raja, dan aku sudah rindu kepada orang tuaku, kepada teman-temanku. Lekas berkemas, kalau terlambat, suhu akan marah.”
“Aku.... aku diajak, Kongcu?”
Han Han menyembunyikan debar jantungnya. Kalau ia minggat, ia sendiri tidak tahu akan pergi kemana. Akan tetapi ia akan bebas dan merasa berbahagia. Dia tidak suka untuk menjadi pelayan selamanya. Betapapun juga, kalau diajak ke kota raja, ia akan mengesampingkan dulu ketidak sukaannya menjadi pelayan. Kota raja! Ia harus melihatnya!
“Tentu saja kau kuajak. Bukankah kau pelayanku? Habis, kalau tidak diajak, siapa yang akan mengurus keperluan kami?” bentak Ouwyang Seng marah.
“Siapa saja yang pergi, Kongcu?”
“Siapa lagi kalau bukan suhu, aku dan engkau? Sudahlah, cerewet amat sih! Lekas berkemas dan suruh tukang kuda menyediakan dua ekor kuda untuk suhu dan aku!”
“Dan aku sendiri jalan kaki? Apakah hal itu tidak akan memperlambat perjalanan, Kongcu?” Han Han membantah, penasaran.
“Huh, mana ada pelayan menunggang kuda? Akan tetapi kalau suhu menghendaki perjalanan cepat, boleh membonceng di belakangku. Cuma, jangan lupa. Sebelum berangkat kau mandi yang bersih pula. Nah cukup, lekas berkemas!”
Han Han berkemas dan diam-diam mengomel. Biarpun ia menjadi pelayan, namun tidak pernah ia menerima upah, tidak pernah menerima pakaian, hanya mendapat makan setiap hari. Pakaiannya masih pakaian setahun yang lalu, penuh tambalan.
Namun ia mempunyai satu stel pakaian cadangan, pemberian seorang pelayan di situ yang menaruh kasihan kepadanya. Pakaian ini pun sudah ia tambal-tambal. Dengan adanya cadangan pakaian ini, ia selalu berpakaian bersih, yang satu dipakai, yang satu dicuci. Biarpun penuh tambalan, pakaiannya selalu bersih!
Setelah selesai berkemas, berangkatlah Kang-thouw-kwi Gak Liat, Ouwyang Seng dan Han Han meninggalkan gedung di kota Tiong-kwan. Perjalanan itu amat melelahkan bagi Han Han karena berbeda dengan Kang-thouw-kwi dan muridnya yang masing-masing menunggang kuda, Han Han berjalan kaki.
Akan tetapi biarpun amat melelahkan, perjalanan ini pun mendatangkan kegembiraan di dalam hatinya. Terlalu lama ia terkurung di dalam gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok di Tiong-kwan dan kini ia selalu berada di alam terbuka, menyaksikan keindahan alam dan melalui bermacam kota dan dusun.
Kadang-kadang kalau Kang-thouw-kwi menghendaki perjalanan dipercepat, baru Han Han diperbolehkan membonceng Ouwyang Seng, duduk di punggung kuda di belakang pemuda bangsawan itu. Dan di sepanjang perjalanan ini dia pulalah yang melayani segala keperluan mereka.
Hanya dengan kemauan keras yang dikendalikan kecerdikannya saja membuat Han Han dapat menekan perasaaannya yang panas penuh dendam dan kebencian setiap kali ia memasuki kota-kota besar dan melihat tentara-tentara dan perwira-perwira Mancu berkeliaran dengan lagak sombong.
Melihat tentara penjajah ini, teringatlah ia akan keluarganya yang terbasmi dan terbayang makin jelaslah wajah tujuh orang pembesar Mancu yang dilayani ayahnya ketika mereka berpesta-pora di dalam rumahnya. Terbayanglah wajah dua orang di antara ketujuh perwira itu, wajah yang sudah terukir di hatinya dan yang selamanya takkan pernah dapat ia lupakan, yaitu wajah perwira muka kuning dan perwira muka brewok.
Pada suatu pagi mereka tiba di kaki Pegunungan Tai-hang-san dan Kang-thouw-kwi Gak Liat menyuruh muridnya berhenti.
“Kita berhenti dan mengaso di sini!” kata Setan Botak itu sambil meloncat turun dari kudanya.
Han Han cepat-cepat meloncat turun dari belakang Ouwyang Seng dan menuntun kuda Setan Botak untuk diikat kepada sebatang pohon. Kemudian ia merawat kuda tunggangan Ouwyang Seng Pula.
Sejak pagi-pagi sekali mereka melarikan kuda dan kini kedua ekor kuda itu berpeluh dan terengah-engah. Han Han cepat mengeluarkan kain kuning dari buntalannya yang tergantung di sela kuda, dan menyusuti tubuh kuda yang berpeluh. Dua ekor kuda yang sedang makan rumput itu menggosok-gosokkan telinga dan muka pada Han Han, seolah-olah mereka menyatakan terima kasih.
“Kongcu, lihatlah, puncak di sana itu menjadi tempat tinggal seorang kenalan baik yang daerahnya sama sekali tidak boleh diganggu.”
Ouwyang Seng memandang suhunya dengan heran. Baru sekali ini suhunya memperlihatkan dan memperdengarkan suara yang sifatnya segan kepada seseorang.
“Suhu, siapakah kenalan suhu itu? Dia orang macam apa?”
Kang-thouw-kwi Gak Liat memandang ke arah puncak gunung yang tertutup awan putih itu dengan kening berkerut, termenung sejenak lalu berkata,
“Namanya Siangkoan Lee, julukannya Ma-bin Lo-mo (Iblis Tua Bermuka Kuda)! Semenjak muda dia menjadi sainganku, menjadi lawanku yang paling ulet. Hemmm.... lebih lima tahun aku tidak pernah bertemu dengannya. Entah bagaimana sekarang tingkat ilmunya yang paling diandalkan.”
“Ah, jadi di sanakah tempat tinggal Ma-bin Lo-mo yang amat terkenal itu? Suhu, bukankah dia seorang diantara tokoh-tokoh yang disebut datuk-datuk besar di samping suhu?”
“Benar dialah orangnya....”
Kembali Kang-thouw-kwi tampak melamun, teringat ia akan masa dahulu dimana ia bersama Ma-bin Lo-mo malang-melintang di dunia kang-ouw dan hanya Si Muka Kuda itu sajalah yang merupakan lawan yang paling tangguh.
“Dia bekas seorang menteri di Kerajaan Beng lima puluhan tahun yang lalu, kemudian mengundurkan diri. Entah bagaimana kedudukannya di jaman kerajaan baru ini....”
“Ilmu apakah yang paling ia andalkan, suhu?”
Setan Botak itu menghela napas panjang.
“Dia sengaja memperdalam ilmu untuk menandingi Hwi-yang-sin-ciang! Ilmunya itu disebut Swat-im-sin-ciang (Tangan Sakti Inti Sari Salju). Ah, betapa inginku mengetahui sampai dimana sekarang tingkat ilmunya itu....”
“Suhu, kenapa kita tidak naik ke sana saja kalau suhu ingin mencobanya? Teecu yakin suhu tidak akan kalah!”
“Hemmm, Kongcu. Lupakah engkau akan pelajaranku bahwa kalau kita ingin dapat lama bertahan di dunia kang-ouw, kita harus selalu pandai menilai keadaan lawan? Turun tangan kalau sudah yakin akan menang, dan berhati-hati apabila menghadapi keadaan yang akan dapat merugikan. Itulah syarat utama dan syarat itulah yang kupakai selama puluhan tahun ini sehingga namaku masih menjulang tinggi tak pernah runtuh.”
Ouwyang Seng mengangguk-angguk dan diam-diam ia merasa kagum dan penasaran kepada tokoh yang julukannya Ma-bin Lo-mo itu. Ia tidak mau percaya dan tidak mau mengerti bahwa ada orang yang akan dapat menandingi gurunya.
Adapun Han Han yang menyusuti keringat kuda, ikut mendengarkan semua itu. Tentu saja ia sama sekali tidak setuju dengan pendapat Setan Botak yang dianggapnya pengecut dan sama sekali tidak tepat menjadi watak orang gagah. Orang gagah mendasarkan wataknya kepada yang baik dan jahat. Betapapun kuatnya lawan, kalau jahat harus ditentang, sebaliknya, biarpun lawan lemah, kalau benar tidak semestinya ditentang, bahkan harus dibantu. Akan tetapi dia tidak peduli akan watak guru dan murid itu, hanya merasa kagum dan ingin sekali melihat tokoh yang dijuluki Iblis Tua Muka Kuda itu.
“Han Han, lekas pergi ke dalam hutan di depan itu mencarikan buah-buahan untuk suhu! Jangan kembali kalau belum mendapatkan buah-buahan yang cukup banyak!”
Ouwyang Seng yang melihat bahwa Han Han mendengarkan percakapan mereka tadi memerintah karena betapapun juga ia merasa tidak senang melihat kacungnya itu mendengar betapa suhunya seolah-olah jerih terhadap tokoh yang berjuluk Iblis Tua Muka Kuda itu.
Han Han yang juga merasa lapar, mengangguk lalu meninggalkan tempat itu, memasuki hutan yang berada di sebuah lereng dekat kaki gunung itu. Timbul lagi kegembiraan hatinya. Memasuki hutan liar itu seorang diri saja amat menyenangkan hatinya. Ia merasa seolah-olah menjadi satu dengan hutan itu, bebas lepas seperti burung yang beterbangan diantara pohon-pohon raksasa, seperti seekor diantara kera-kera yang berloncatan, kelinci-kelinci yang berlarian.
Ah, betapa ingin hatinya untuk menggunakan kesempatan itu melarikan diri. Akan tetapi, ia ingin menyaksikan kota raja, dan juga ia tahu bahwa kalau ia melarikan diri, tentu akan mudah dikejar Setan Botak yang amat sakti itu, dan dia tentu akan mengalami hukuman di tangan Ouwyang Seng yang kejam dan suka menyiksa orang. Biarlah kucarikan buah untuk mereka, pikirnya. Belum tiba saatnya bagi dia melarikan diri.
Untung baginya bahwa hutan itu mempunyai banyak pohon berbuah yang sudah matang dan tinggal pilih saja. Akan tetapi selagi ia menengadah mencari buah-buah apa yang akan dipilihnya, tiba-tiba ia mendengar suara bentakan-bentakan halus dan nyaring,
“.... heiiiiit.... siaaat.... heiiiiittt!”
Han Han tertarik dan cepat ia menyelinap di antara pohon-pohon itu ke arah datangnya suara. Ternyata bahwa yang membentak-bentak itu adalah seorang anak perempuan, usianya takkan jauh selisihnya dari usianya sendiri.
Bocah itu sedang berlatih ilmu silat, memukul, menangkis menendang, berloncatan dan sekali-kali mengeluarkan jerit membentak untuk memperkuat pukulan atau tendangan. Anak perempuan berusia sepuluh atau sebelas tahun itu amat cantik dan mungil, gerakannya gesit bukan main, mengingatkan Han Han akan Sin Lian, puteri Lauw-pangcu.
Akan tetapi gadis cilik ini lebih cantik, dan mukanya manis sekali, tidak membayangkan kegalakan dan keliaran seperti yang terbayang pada wajah Sin Lian. Adapun gerakan-gerakannya jauh lebih cepat daripada gerakan Sin Lian, hal ini saja menjadi tanda bahwa tingkat kepandaian ilmu silat anak perempuan ini lebih tinggi daripada puteri Lauw-pangcu.
Selain cepat, juga ilmu silat yang dimainkan gadis cilik itu bagi Han Han kelihatan amat indahnya, seperti menari-nari. Tubuh yang semampai itu berkelebatan, berloncatan dan kadang-kadang membuat gerakan kaki tangan demikian halus dan indah sehingga ia memandang dengan bengong penuh kekaguman.
Ada sepuluh menit anak perempuan itu berlatih, kemudian mengakhiri latihannya dengan tendangan berantai dan tubuhnya mencelat ke atas, ketika kakinya seperti kitiran membuat gerakan menendang secara bertubi-tubi dengan kedua kaki bergantian sampai lima kali, baru tubuhnya berjungkir balik melompat ke belakang. Indah sekali gerakannya.
“Bagus sekali....!” Tak terasa lagi pujian ini keluar dari mulut Han Han.
Anak perempuan itu menengok dan memandang. Han Han terkejut dan tahu bahwa dia telah berlaku lancang. Ia mengira bahwa anak perempuan itu, seperti halnya Sin Lian, tentu akan marah dan memakinya. Setelah ia bergaul dengan Sin Lian, kesannya terhadap anak perempuan adalah mudah marah, mudah memaki, akan tetapi mudah pula tertawa.
Akan tetapi ia kecelik! Anak perempuan itu tidak marah melainkan memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, memperhatikannya dari atas sampai ke bawah, kemudian tersenyum dan melangkah maju menghampirinya. Setelah mereka berdiri saling berhadapan, gadis cilik itu memperhatikan pakaian di tubuh Han Hang membuat Han Han menjadi merah mukanya karena ia merasa betapa pakaiannya sungguh tidak boleh dibanggakan. Penuh tambalan dan tidak begitu bersih lagi karena dia belum sempat berganti pakaian.
Gadis cilik itu tiba-tiba merogoh saku bajunya dan mengeluarkan dua potong uang tembaga, tanpa berkata-kata menjulurkan tangan, memberikan dua potong uang tembaga itu kepada Han Han. Tentu saja Han Han melongo dan tidak mengerti, terpaksa bertanya.
“Untuk apa ini....?”
“Sedekah seadanya untukmu. Engkau tersasar jalan, di daerah ini tidak akan kau temui dusun, akan percuma mencari sumbangan....”
“Aku bukan pengemis!” Han Han membentak dan mundur dua langkah, matanya memandang penasaran.
Gadis cilik itu menatap wajahnya dan agaknya kaget sekali ketika bertemu pandang dengan Han Han, lalu cepat-cepat menyimpan kembali uangnya dan mengalihkan pandangnya, meneliti pakaian tambal-tambalan dan kaki telanjang itu.
Han Han merasa menyesal mengapa ia membentak karena kini ia tahu bahwa gadis cilik itu sama sekali bukan bermaksud menghinanya, melainkan keadaan pakaiannyalah yang membuat anak itu menduga bahwa dia seorang pengemis. Begitu berjumpa, tanpa diminta telah memberi sumbangan, benar-benar hati bocah ini tidak buruk, pikirnya. Cepat-cepat ia berkata dengan suara halus.
“Aku memang miskin, pakaianku tambal-tambalan, akan tetapi aku belum pernah mengemis. Maafkan penolakanku.”
Kembali anak itu mengangkat alis dan memandang dengan heran. Ucapan Han Han begitu halus dan susunan kata-katanya teratur rapi, bukan seperti seorang anak dusun, apalagi pengemis!
“Kau.... siapakah? Dan apakah kehendakmu datang ke tempat ini?”
“Aku bernama Han, she Sie. Aku hanya seorang kacung yang kebetulan mengikuti perjalanan majikanku. Mereka berhenti di kaki gunung dan menyuruh aku mencari buah-buahan di hutan ini. Engkau siapakah? Kalau tadi kau katakan di sini tidak ada dusun, bagaimana engkau bisa berada di sini?”
“Namaku Cu, she Kim. Aku memang penghuni daerah ini, di puncak sana itu. Lebih baik engkau lekas pergi, dan katakan kepada majikanmu agar cepat pergi meninggalkan daerah ini. Daerah ini milik suhuku dan siapapun juga tidak boleh berada di sini. Lekas pergilah bersama majikanmu sebelum terjadi hal-hal yang hebat menimpa kalian.”
“Nona Kim Cu, engkau baik sekali.”
“Eh, baik bagaimana?”
“Aku lancang memuji ilmu silatmu, kau tidak marah. Kini engkau menasehati aku agar tidak sampai tertimpa malapetaka. Benar-benar engkau seorang anak yang amat baik.”
Anak perempuan itu menggeleng kepala.
“Apa sih artinya baik? Engkau ini yang amat aneh. Pakaianmu seperti pengemis akan tetapi engkau tak pernah mengemis. Pekerjaanmu sebagai kacung akan tetapi sikap dan bicaramu seperti seorang anak terpelajar. Dan kau.... agaknya kau pandai ilmu silat, ya?”
Han Han cepat menggeleng kepala.
“Ah, mana aku bisa? Aku tidak bisa ilmu silat....”
“Kalau tidak bisa, bagaimana tadi dapat memuji ilmu silatku?”
“Karena memang bagus dan indah, seperti tarian. Nona Kim Cu, apakah gurumu itu pandai sekali ilmu silatnya? Aku tadi mendengar percakapan majikanku dan muridnya, menyebut-nyebut nama Ma-bin Lo-mo yang tinggal di In-kok-san. Kenalkah engkau dengan dia?”
Tiba-tiba wajah gadis cilik itu berubah agak pucat dan seperti lupa diri, dia memegang lengan Han Han.
“Wahh celaka....! Siapa majikanmu itu, begitu berani mati menyebut-nyebut nama suhu....?”
Melihat gadis cilik yang menimbulkan rasa suka di hatinya ini kelihatan gelisah, Han Han juga memegang tangannya dan berkata menghibur,
“Nona, tidak perlu khawatir. Majikanku juga bukan orang biasa, julukannya Kang-thouw-kwi....”
“Ihhhh....?”
Pada saat itu, terdengar bentakan.
“Han Han! Kau kacung malas! Disuruh mencari buah-buahan malah bermain gila dengan seorang gadis gunung!”
Han Han cepat melepaskan pegangannya pada tangan Kim Cu, menoleh dan memandang kepada Ouwyang Seng dengan penuh kemarahan. Ucapan yang menghina dirinya tidaklah mendatangkan kemarahan, akan tetapi teguran itu sekaligus menghina Kim Cu yang begitu baik. Masa Kim Cu dikatakan gadis gunung dan dituduh bermain gila dengan dia?
“Ouwyang-kongcu, jangan bicara sembarangan....!”
Kim Cu yang sudah melepaskan tangannya dan dengan langkah lebar gadis cilik ini telah menghadapi Ouwyang Seng. Sepasang mata yang tadinya berseri dan bening itu kini kelihatan memancarkan cahaya kilat.
“Sie Han, mengapa manusia macam ini kau sebut Kongcu? Pantasnya engkaulah yang harus dia sebut Kongcu, karena menurut pendapatku, dia ini menjadi kacungmu saja masih belum patut!”
Kalau dipikirkan memang lucu sekali. Anak ini membenci ilmu silat yang dianggapnya ilmu yang keji. Akan tetapi tanpa ia ketahui sama sekali, ia kini telah memiliki dasar Ilmu Hwi-yang-sin-ciang, padahal ilmu ini adalah ilmu golongan hitam atau ilmu sesat yang amat keji! Ilmu meracuni kedua lengan seperti ini, yang sebagian menggunakan tulang-tulang dan tengkorak-tengkorak manusia, tidak akan dipelajari oleh orang gagah di manapun juga kecuali oleh kaum sesat.
Untuk memperkuat kedua lengan tangan, kaum gagah di rimba persilatan biasanya menggembleng lengan dengan pasir panas, pasir besi panas, dan lain-lain yang pada dasarnya hanya untuk memperkuat kedua lengan. Akan tetapi kaum sesat mencampurkan racun dalam latihan ini sehingga tangan mereka menjadi tangan beracun yang sesuai dengan watak mereka. Han Han sama sekali tidak tahu akan hal ini, maka amatlah lucu kalau dipikirkan bahwa dia membenci ilmu silat namun diam-diam menjadi calon ahli Hwi-yang-sin-ciang!
Akan tetapi, kebosanannya melatih diri ini menolongnya. Kalau ia lanjutkan, tentu akhirnya ia akan ketahuan dan hal ini berarti mati baginya. Dan kebetulan sekali sebelum kebosanannya membuat ia berlaku nekat dan minggat dari situ, pada pagi hari itu Setan Botak pulang dan siang harinya ia dipanggil Ouwyang Seng.
“Han Han, lekas berkemas, bungkus pakaian-pakaianku yang terbaik. Kita akan pergi dari sini ke kota raja!”
“Kota raja?” Han Han bengong.
Sebutan kota raja hanya ia dapat dalam kitab-kitabnya saja karena selama hidupnya belum pernah ia melihat kota raja.
“Ya, kota raja di utara! Ha-ha-ha! Engkau akan bengong keheranan kalau melihat kota raja, dan aku sudah rindu kepada orang tuaku, kepada teman-temanku. Lekas berkemas, kalau terlambat, suhu akan marah.”
“Aku.... aku diajak, Kongcu?”
Han Han menyembunyikan debar jantungnya. Kalau ia minggat, ia sendiri tidak tahu akan pergi kemana. Akan tetapi ia akan bebas dan merasa berbahagia. Dia tidak suka untuk menjadi pelayan selamanya. Betapapun juga, kalau diajak ke kota raja, ia akan mengesampingkan dulu ketidak sukaannya menjadi pelayan. Kota raja! Ia harus melihatnya!
“Tentu saja kau kuajak. Bukankah kau pelayanku? Habis, kalau tidak diajak, siapa yang akan mengurus keperluan kami?” bentak Ouwyang Seng marah.
“Siapa saja yang pergi, Kongcu?”
“Siapa lagi kalau bukan suhu, aku dan engkau? Sudahlah, cerewet amat sih! Lekas berkemas dan suruh tukang kuda menyediakan dua ekor kuda untuk suhu dan aku!”
“Dan aku sendiri jalan kaki? Apakah hal itu tidak akan memperlambat perjalanan, Kongcu?” Han Han membantah, penasaran.
“Huh, mana ada pelayan menunggang kuda? Akan tetapi kalau suhu menghendaki perjalanan cepat, boleh membonceng di belakangku. Cuma, jangan lupa. Sebelum berangkat kau mandi yang bersih pula. Nah cukup, lekas berkemas!”
Han Han berkemas dan diam-diam mengomel. Biarpun ia menjadi pelayan, namun tidak pernah ia menerima upah, tidak pernah menerima pakaian, hanya mendapat makan setiap hari. Pakaiannya masih pakaian setahun yang lalu, penuh tambalan.
Namun ia mempunyai satu stel pakaian cadangan, pemberian seorang pelayan di situ yang menaruh kasihan kepadanya. Pakaian ini pun sudah ia tambal-tambal. Dengan adanya cadangan pakaian ini, ia selalu berpakaian bersih, yang satu dipakai, yang satu dicuci. Biarpun penuh tambalan, pakaiannya selalu bersih!
Setelah selesai berkemas, berangkatlah Kang-thouw-kwi Gak Liat, Ouwyang Seng dan Han Han meninggalkan gedung di kota Tiong-kwan. Perjalanan itu amat melelahkan bagi Han Han karena berbeda dengan Kang-thouw-kwi dan muridnya yang masing-masing menunggang kuda, Han Han berjalan kaki.
Akan tetapi biarpun amat melelahkan, perjalanan ini pun mendatangkan kegembiraan di dalam hatinya. Terlalu lama ia terkurung di dalam gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok di Tiong-kwan dan kini ia selalu berada di alam terbuka, menyaksikan keindahan alam dan melalui bermacam kota dan dusun.
Kadang-kadang kalau Kang-thouw-kwi menghendaki perjalanan dipercepat, baru Han Han diperbolehkan membonceng Ouwyang Seng, duduk di punggung kuda di belakang pemuda bangsawan itu. Dan di sepanjang perjalanan ini dia pulalah yang melayani segala keperluan mereka.
Hanya dengan kemauan keras yang dikendalikan kecerdikannya saja membuat Han Han dapat menekan perasaaannya yang panas penuh dendam dan kebencian setiap kali ia memasuki kota-kota besar dan melihat tentara-tentara dan perwira-perwira Mancu berkeliaran dengan lagak sombong.
Melihat tentara penjajah ini, teringatlah ia akan keluarganya yang terbasmi dan terbayang makin jelaslah wajah tujuh orang pembesar Mancu yang dilayani ayahnya ketika mereka berpesta-pora di dalam rumahnya. Terbayanglah wajah dua orang di antara ketujuh perwira itu, wajah yang sudah terukir di hatinya dan yang selamanya takkan pernah dapat ia lupakan, yaitu wajah perwira muka kuning dan perwira muka brewok.
Pada suatu pagi mereka tiba di kaki Pegunungan Tai-hang-san dan Kang-thouw-kwi Gak Liat menyuruh muridnya berhenti.
“Kita berhenti dan mengaso di sini!” kata Setan Botak itu sambil meloncat turun dari kudanya.
Han Han cepat-cepat meloncat turun dari belakang Ouwyang Seng dan menuntun kuda Setan Botak untuk diikat kepada sebatang pohon. Kemudian ia merawat kuda tunggangan Ouwyang Seng Pula.
Sejak pagi-pagi sekali mereka melarikan kuda dan kini kedua ekor kuda itu berpeluh dan terengah-engah. Han Han cepat mengeluarkan kain kuning dari buntalannya yang tergantung di sela kuda, dan menyusuti tubuh kuda yang berpeluh. Dua ekor kuda yang sedang makan rumput itu menggosok-gosokkan telinga dan muka pada Han Han, seolah-olah mereka menyatakan terima kasih.
“Kongcu, lihatlah, puncak di sana itu menjadi tempat tinggal seorang kenalan baik yang daerahnya sama sekali tidak boleh diganggu.”
Ouwyang Seng memandang suhunya dengan heran. Baru sekali ini suhunya memperlihatkan dan memperdengarkan suara yang sifatnya segan kepada seseorang.
“Suhu, siapakah kenalan suhu itu? Dia orang macam apa?”
Kang-thouw-kwi Gak Liat memandang ke arah puncak gunung yang tertutup awan putih itu dengan kening berkerut, termenung sejenak lalu berkata,
“Namanya Siangkoan Lee, julukannya Ma-bin Lo-mo (Iblis Tua Bermuka Kuda)! Semenjak muda dia menjadi sainganku, menjadi lawanku yang paling ulet. Hemmm.... lebih lima tahun aku tidak pernah bertemu dengannya. Entah bagaimana sekarang tingkat ilmunya yang paling diandalkan.”
“Ah, jadi di sanakah tempat tinggal Ma-bin Lo-mo yang amat terkenal itu? Suhu, bukankah dia seorang diantara tokoh-tokoh yang disebut datuk-datuk besar di samping suhu?”
“Benar dialah orangnya....”
Kembali Kang-thouw-kwi tampak melamun, teringat ia akan masa dahulu dimana ia bersama Ma-bin Lo-mo malang-melintang di dunia kang-ouw dan hanya Si Muka Kuda itu sajalah yang merupakan lawan yang paling tangguh.
“Dia bekas seorang menteri di Kerajaan Beng lima puluhan tahun yang lalu, kemudian mengundurkan diri. Entah bagaimana kedudukannya di jaman kerajaan baru ini....”
“Ilmu apakah yang paling ia andalkan, suhu?”
Setan Botak itu menghela napas panjang.
“Dia sengaja memperdalam ilmu untuk menandingi Hwi-yang-sin-ciang! Ilmunya itu disebut Swat-im-sin-ciang (Tangan Sakti Inti Sari Salju). Ah, betapa inginku mengetahui sampai dimana sekarang tingkat ilmunya itu....”
“Suhu, kenapa kita tidak naik ke sana saja kalau suhu ingin mencobanya? Teecu yakin suhu tidak akan kalah!”
“Hemmm, Kongcu. Lupakah engkau akan pelajaranku bahwa kalau kita ingin dapat lama bertahan di dunia kang-ouw, kita harus selalu pandai menilai keadaan lawan? Turun tangan kalau sudah yakin akan menang, dan berhati-hati apabila menghadapi keadaan yang akan dapat merugikan. Itulah syarat utama dan syarat itulah yang kupakai selama puluhan tahun ini sehingga namaku masih menjulang tinggi tak pernah runtuh.”
Ouwyang Seng mengangguk-angguk dan diam-diam ia merasa kagum dan penasaran kepada tokoh yang julukannya Ma-bin Lo-mo itu. Ia tidak mau percaya dan tidak mau mengerti bahwa ada orang yang akan dapat menandingi gurunya.
Adapun Han Han yang menyusuti keringat kuda, ikut mendengarkan semua itu. Tentu saja ia sama sekali tidak setuju dengan pendapat Setan Botak yang dianggapnya pengecut dan sama sekali tidak tepat menjadi watak orang gagah. Orang gagah mendasarkan wataknya kepada yang baik dan jahat. Betapapun kuatnya lawan, kalau jahat harus ditentang, sebaliknya, biarpun lawan lemah, kalau benar tidak semestinya ditentang, bahkan harus dibantu. Akan tetapi dia tidak peduli akan watak guru dan murid itu, hanya merasa kagum dan ingin sekali melihat tokoh yang dijuluki Iblis Tua Muka Kuda itu.
“Han Han, lekas pergi ke dalam hutan di depan itu mencarikan buah-buahan untuk suhu! Jangan kembali kalau belum mendapatkan buah-buahan yang cukup banyak!”
Ouwyang Seng yang melihat bahwa Han Han mendengarkan percakapan mereka tadi memerintah karena betapapun juga ia merasa tidak senang melihat kacungnya itu mendengar betapa suhunya seolah-olah jerih terhadap tokoh yang berjuluk Iblis Tua Muka Kuda itu.
Han Han yang juga merasa lapar, mengangguk lalu meninggalkan tempat itu, memasuki hutan yang berada di sebuah lereng dekat kaki gunung itu. Timbul lagi kegembiraan hatinya. Memasuki hutan liar itu seorang diri saja amat menyenangkan hatinya. Ia merasa seolah-olah menjadi satu dengan hutan itu, bebas lepas seperti burung yang beterbangan diantara pohon-pohon raksasa, seperti seekor diantara kera-kera yang berloncatan, kelinci-kelinci yang berlarian.
Ah, betapa ingin hatinya untuk menggunakan kesempatan itu melarikan diri. Akan tetapi, ia ingin menyaksikan kota raja, dan juga ia tahu bahwa kalau ia melarikan diri, tentu akan mudah dikejar Setan Botak yang amat sakti itu, dan dia tentu akan mengalami hukuman di tangan Ouwyang Seng yang kejam dan suka menyiksa orang. Biarlah kucarikan buah untuk mereka, pikirnya. Belum tiba saatnya bagi dia melarikan diri.
Untung baginya bahwa hutan itu mempunyai banyak pohon berbuah yang sudah matang dan tinggal pilih saja. Akan tetapi selagi ia menengadah mencari buah-buah apa yang akan dipilihnya, tiba-tiba ia mendengar suara bentakan-bentakan halus dan nyaring,
“.... heiiiiit.... siaaat.... heiiiiittt!”
Han Han tertarik dan cepat ia menyelinap di antara pohon-pohon itu ke arah datangnya suara. Ternyata bahwa yang membentak-bentak itu adalah seorang anak perempuan, usianya takkan jauh selisihnya dari usianya sendiri.
Bocah itu sedang berlatih ilmu silat, memukul, menangkis menendang, berloncatan dan sekali-kali mengeluarkan jerit membentak untuk memperkuat pukulan atau tendangan. Anak perempuan berusia sepuluh atau sebelas tahun itu amat cantik dan mungil, gerakannya gesit bukan main, mengingatkan Han Han akan Sin Lian, puteri Lauw-pangcu.
Akan tetapi gadis cilik ini lebih cantik, dan mukanya manis sekali, tidak membayangkan kegalakan dan keliaran seperti yang terbayang pada wajah Sin Lian. Adapun gerakan-gerakannya jauh lebih cepat daripada gerakan Sin Lian, hal ini saja menjadi tanda bahwa tingkat kepandaian ilmu silat anak perempuan ini lebih tinggi daripada puteri Lauw-pangcu.
Selain cepat, juga ilmu silat yang dimainkan gadis cilik itu bagi Han Han kelihatan amat indahnya, seperti menari-nari. Tubuh yang semampai itu berkelebatan, berloncatan dan kadang-kadang membuat gerakan kaki tangan demikian halus dan indah sehingga ia memandang dengan bengong penuh kekaguman.
Ada sepuluh menit anak perempuan itu berlatih, kemudian mengakhiri latihannya dengan tendangan berantai dan tubuhnya mencelat ke atas, ketika kakinya seperti kitiran membuat gerakan menendang secara bertubi-tubi dengan kedua kaki bergantian sampai lima kali, baru tubuhnya berjungkir balik melompat ke belakang. Indah sekali gerakannya.
“Bagus sekali....!” Tak terasa lagi pujian ini keluar dari mulut Han Han.
Anak perempuan itu menengok dan memandang. Han Han terkejut dan tahu bahwa dia telah berlaku lancang. Ia mengira bahwa anak perempuan itu, seperti halnya Sin Lian, tentu akan marah dan memakinya. Setelah ia bergaul dengan Sin Lian, kesannya terhadap anak perempuan adalah mudah marah, mudah memaki, akan tetapi mudah pula tertawa.
Akan tetapi ia kecelik! Anak perempuan itu tidak marah melainkan memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, memperhatikannya dari atas sampai ke bawah, kemudian tersenyum dan melangkah maju menghampirinya. Setelah mereka berdiri saling berhadapan, gadis cilik itu memperhatikan pakaian di tubuh Han Hang membuat Han Han menjadi merah mukanya karena ia merasa betapa pakaiannya sungguh tidak boleh dibanggakan. Penuh tambalan dan tidak begitu bersih lagi karena dia belum sempat berganti pakaian.
Gadis cilik itu tiba-tiba merogoh saku bajunya dan mengeluarkan dua potong uang tembaga, tanpa berkata-kata menjulurkan tangan, memberikan dua potong uang tembaga itu kepada Han Han. Tentu saja Han Han melongo dan tidak mengerti, terpaksa bertanya.
“Untuk apa ini....?”
“Sedekah seadanya untukmu. Engkau tersasar jalan, di daerah ini tidak akan kau temui dusun, akan percuma mencari sumbangan....”
“Aku bukan pengemis!” Han Han membentak dan mundur dua langkah, matanya memandang penasaran.
Gadis cilik itu menatap wajahnya dan agaknya kaget sekali ketika bertemu pandang dengan Han Han, lalu cepat-cepat menyimpan kembali uangnya dan mengalihkan pandangnya, meneliti pakaian tambal-tambalan dan kaki telanjang itu.
Han Han merasa menyesal mengapa ia membentak karena kini ia tahu bahwa gadis cilik itu sama sekali bukan bermaksud menghinanya, melainkan keadaan pakaiannyalah yang membuat anak itu menduga bahwa dia seorang pengemis. Begitu berjumpa, tanpa diminta telah memberi sumbangan, benar-benar hati bocah ini tidak buruk, pikirnya. Cepat-cepat ia berkata dengan suara halus.
“Aku memang miskin, pakaianku tambal-tambalan, akan tetapi aku belum pernah mengemis. Maafkan penolakanku.”
Kembali anak itu mengangkat alis dan memandang dengan heran. Ucapan Han Han begitu halus dan susunan kata-katanya teratur rapi, bukan seperti seorang anak dusun, apalagi pengemis!
“Kau.... siapakah? Dan apakah kehendakmu datang ke tempat ini?”
“Aku bernama Han, she Sie. Aku hanya seorang kacung yang kebetulan mengikuti perjalanan majikanku. Mereka berhenti di kaki gunung dan menyuruh aku mencari buah-buahan di hutan ini. Engkau siapakah? Kalau tadi kau katakan di sini tidak ada dusun, bagaimana engkau bisa berada di sini?”
“Namaku Cu, she Kim. Aku memang penghuni daerah ini, di puncak sana itu. Lebih baik engkau lekas pergi, dan katakan kepada majikanmu agar cepat pergi meninggalkan daerah ini. Daerah ini milik suhuku dan siapapun juga tidak boleh berada di sini. Lekas pergilah bersama majikanmu sebelum terjadi hal-hal yang hebat menimpa kalian.”
“Nona Kim Cu, engkau baik sekali.”
“Eh, baik bagaimana?”
“Aku lancang memuji ilmu silatmu, kau tidak marah. Kini engkau menasehati aku agar tidak sampai tertimpa malapetaka. Benar-benar engkau seorang anak yang amat baik.”
Anak perempuan itu menggeleng kepala.
“Apa sih artinya baik? Engkau ini yang amat aneh. Pakaianmu seperti pengemis akan tetapi engkau tak pernah mengemis. Pekerjaanmu sebagai kacung akan tetapi sikap dan bicaramu seperti seorang anak terpelajar. Dan kau.... agaknya kau pandai ilmu silat, ya?”
Han Han cepat menggeleng kepala.
“Ah, mana aku bisa? Aku tidak bisa ilmu silat....”
“Kalau tidak bisa, bagaimana tadi dapat memuji ilmu silatku?”
“Karena memang bagus dan indah, seperti tarian. Nona Kim Cu, apakah gurumu itu pandai sekali ilmu silatnya? Aku tadi mendengar percakapan majikanku dan muridnya, menyebut-nyebut nama Ma-bin Lo-mo yang tinggal di In-kok-san. Kenalkah engkau dengan dia?”
Tiba-tiba wajah gadis cilik itu berubah agak pucat dan seperti lupa diri, dia memegang lengan Han Han.
“Wahh celaka....! Siapa majikanmu itu, begitu berani mati menyebut-nyebut nama suhu....?”
Melihat gadis cilik yang menimbulkan rasa suka di hatinya ini kelihatan gelisah, Han Han juga memegang tangannya dan berkata menghibur,
“Nona, tidak perlu khawatir. Majikanku juga bukan orang biasa, julukannya Kang-thouw-kwi....”
“Ihhhh....?”
Pada saat itu, terdengar bentakan.
“Han Han! Kau kacung malas! Disuruh mencari buah-buahan malah bermain gila dengan seorang gadis gunung!”
Han Han cepat melepaskan pegangannya pada tangan Kim Cu, menoleh dan memandang kepada Ouwyang Seng dengan penuh kemarahan. Ucapan yang menghina dirinya tidaklah mendatangkan kemarahan, akan tetapi teguran itu sekaligus menghina Kim Cu yang begitu baik. Masa Kim Cu dikatakan gadis gunung dan dituduh bermain gila dengan dia?
“Ouwyang-kongcu, jangan bicara sembarangan....!”
Kim Cu yang sudah melepaskan tangannya dan dengan langkah lebar gadis cilik ini telah menghadapi Ouwyang Seng. Sepasang mata yang tadinya berseri dan bening itu kini kelihatan memancarkan cahaya kilat.
“Sie Han, mengapa manusia macam ini kau sebut Kongcu? Pantasnya engkaulah yang harus dia sebut Kongcu, karena menurut pendapatku, dia ini menjadi kacungmu saja masih belum patut!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar