FB

FB


Ads

Kamis, 13 Juni 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 067

Selagi orang-orang mengagumi kakek aneh itu dan lukisannya, tampak seorang pemuda melangkah maju. Dengan sikap angkuh ia memandang kepada Empek Gan, melirik sekilas pandang ke arah lukisan harimau, lalu ia menjura di depan Raja Nan-cao dan Ketua Beng-kauw.

“Hamba Suma Boan mewakili keluarga Suma di An-sui. Mengingat akan hubungan yang amat erat antara Kerajaan Nan-cao dan kerajaan besar Sung di utara, kami keluarga Suma yang masih terhitung keluarga Kaisar di Sung Utara, menghaturkan selamat kepada Agama Beng-kauw, terutama kepada Beng-kauwcu dan kepada Sri Baginda dengan harapan semoga hubungan antara selatan dan utara akan menjadi lebih erat lagi.”

Sampai disini, Suma Boan berhenti sebentar dan banyak kepala para tamu mengangguk-angguk sebagai tanda setuju dan kagum akan kepandaian orang muda itu berpidato.

“Kami sekeluarga Suma di An-sui tidak memiliki sesuatu yang amat mahal harganya, melainkan hanya sebuah lukisan kuno yang selama puluhan tahun ini menjadi penghias rumah kami sebagai barang pusaka, sekarang dengan hati rela kami menghaturkan kepada Beng-kauwcu dan Sri Baginda agar menjadi kenang-kenangan.”

Dengan bangga Suma Boan membuka gulungan lukisan yang tadi dibawanya, memperlihatkan kepada tuan rumah.

“Wah, ini lukisan pelukis besar Yen Li Pun tiga ratus tahun yang lalu!” seru Raja Nan-cao.

Sambil tersenyum Suma Boan berkata,
“Sri Baginda ternyata berpemandangan tajam sekali, dapat mengenal barang pusaka. Hal ini menandakan bahwa Sri Baginda memiliki pengetahuan yang amat tinggi tentang seni lukis. Untuk lukisan ini, hamba mempunyai sajak untuk menerangkannya, mohon supaya lukisan ini digantung di tempat yang layak.”

Kini raja sendiri yang memberi perintah kepada dua orang pengawal untuk menggantungkan lukisan itu dan karena tempat yang paling baik adalah di dinding yang sekarang terhias lukisan harimau buatan Gan-lopek, terpaksa lukisan itu digantung di sebelah lukisan Gan-lopek.

Setelah digantung, barulah para tamu dapat melihat lukisan itu dan semua orang berseru kagum. Lukisan itu melukiskan seekor kuda yang amat indah dan gagah, kuda yang berlari cepat sehingga bulu pada leher dan ekornya melambai-lambai indah sekali. Seakan-akan para tamu melihat keempat kaki kuda itu bergerak lari cepat dan telinga mendengar derap dari jauh!

Ukuran lukisan kuda ini lebih besar daripada lukisan harimau dan biarpun cara melukis harimau itu aneh sekali, akan tetapi dalam hal keindahan, kiranya sukar menandingi lukisan kuda ini yang menggunakan warna asli. Dengan gaya angkuh dan mengejek Suma Boan mengerling ke arah Gan-lopek, lalu ia berkata.

“Perkenankan hamba mengucapkan sajak sebagai timpalan lukisan pusaka itu.”

Raja yang suka akan lukisan dan sajak, segera berseru,
“Silakan, orang muda yang pintar, silakan.”

Suma Boan berdiri tegak, mengangkat dada, mengerling sejenak ke arah Lin Lin dan Sian Eng yang duduk dekat Suling Emas, lalu mengucapkan sajak dengan suara nyaring.

“Kuda sakti, lambang keindahan,
kegagahan, dan kecepatan!
Semoga Nan-cao di bawah bimbingan Beng-kauw,
akan maju secepat larinya kuda sakti!”

“Bagus!”

Raja bertepuk tangan memuji dan banyak di antara para tamu ikut pula memuji sambil bertepuk tangan, membuat Suma Boan makin bangga dan dadanya makin membusung. Ketika tepuk tangan sudah mereda, tiba-tiba terdengar suara keras dan nyaring.

Semua orang menengok ke arah Gan-lopek karena tak salah lagi pendengaran mereka, itu adalah suara.... kentut! Ada yang sampai pucat mukanya mendengar ini, karena perbuatan Gan-lopek kali ini benar-benar merupakan sebuah kekurang-ajaran yang melewati batas! Suma Boan juga sampai pucat mukanya, bukan karena kaget melainkan karena marah. Ia merasa dihina bahwa sajak yang dideklamasikan tadi disambut dengan bunyi kentut oleh Gan-lopek!






“Gan-lopek, apa kau memandang rendah kepada sajakku tadi?” Suma Boan memancing kakek itu yang masih duduk di lantai.

Kakek itu bangkit berdiri dan tersenyum lebar. Pemuda she Suma itu memang cerdik sekali, kata-katanya sengaja ia ucapkan untuk memancing. Sajaknya tadi merupakan pujian terhadap Nan-cao dan Beng-kauw, maka kalau kakek pendek ini berani memandang rendah, berarti Gan-lopek memandang rendah Nan-cao dan Beng-kauw pula dan ia pasti akan mempergunakannya untuk menekan kakek yang menyakitkan hatinya ini.

Gan-lopek tertawa bergelak.
“Bocah, siapa memandang rendah? Kentutku tadi hanya memperingatkan bahwa begitu kau muncul dengan gambarmu, aku lalu dianggap seperti angin saja. Ha-ha-ha, kaulah orangnya yang menghina Nan-cao dan Beng-kauw dengan lukisan itu!” Ia menuding ke arah gambar kuda.

Beng-kauwcu Liu Mo memang sudah maklum bahwa di antara para tamunya terdapat pertentangan-pertentangan, akan tetapi ucapan Gan-lopek kali ini benar-benar membuat ia tidak mengerti.

“Gan-sicu, lukisan ini adalah lukisan asli dari pelukis besar Yen Li Pun, merupakan pemberian yang amat bernilai, sama sekali tidak menghina kami!”

Ketua Beng-kauw biarpun termasuk orang sakti yang aneh, namun sebagai kepala agama, tentu saja ia tidak berandalan dan ugal-ugalan, apalagi dibandingkan dengan Empek Gan yang aneh itu. Tadi mendengar Empek Gan menyambut sajak yang dideklamasikan oleh pemuda itu dengan bunyi kentut, ia merasa tak senang, sekarang mendengar kata-kata Empek Gan yang menuduh pemuda itu menghina Beng-kauw, tentu saja ia tidak setuju.

“Heh-heh-heh, penghinaan tidak langsung, tentu saja Kauwcu tidak tahu.”

“Gan-lopek, jangan menuduh sembarangan! Kau yang membuang kentut di depan orang-orang terhormat, kaulah yang menghina semua orang, bagaimana kau bisa menyebar fitnah kepadaku?” Suma Boan menudingkan telunjuknya.

“Melepas kentut apa salahnya? Ini tandanya jujur! Siapa diantara semua orang yang hadir disini tak pernah kentut? Kalau angin sudah datang, tidak dilepas, bukankah mendatangkan perut kembung dan penyakit? Kalau dilepas perlahan-lahan agar jangan berbunyi dan jangan diketahui orang, itu pura-pura dan palsu namanya. Tidak ada bunyinya, tahu-tahu menyerang hidung orang lain sampai membikin hidung menjadi hijau! Orang kentut bukan menghina karena semua orang juga suka kentut. Tapi lukisanmu itu. Hemmm, Kauwcu, sama sekali bukan berarti bahwa aku memandang rendah lukisan Yen Li Pun. Aku kagum akan lukisannya dan dibandingkan dengan dia, aku bukan apa-apa. Akan tetapi kalau orang sudah menyamakan Nan-cao dan Beng-kauw seperti kuda, benar-benar membikin panas perutku! Kuda itu binatang apakah? Boleh liar ganas dan sakti, akhirnya hanya akan menjadi binatang tunggangan manusia! Dan senjatanya hanya pada kakinya yang dapat berlari cepat. Bukankah itu sifat pengecut yang hanya pandai lari karena tidak berani menentang lawan? Apakah Nan-cao boleh disamakan dengan kuda yang boleh ditunggangi orang lain dan akan lari tunggang-langgang dengan kecepatan kilat kalau diserang musuh?”

Beng-kauwcu Liu Mo tertawa. Para tamu terheran karena tak pernah mengira bahwa wajah yang serius seperti patung itu dapat tertawa.

“Gan-sicu, kau lucu sekali! Lucu dan berbahaya, akan tetapi kami sama sekali tidak menganggap Suma-kongcu ini menghina kami. Kau pandai memutar-balikkan arti sesuatu. Dan bagaimanakah artinya lukisanmu itu, kalau kami boleh mendengar keterangannya?”

“Nan-cao dan Beng-kauw disamakan dengan binatang yang kejam dan ganas!”

Suma Boan berseru, tak dapat menahan kemarahannya akan tetapi hatinya lega, juga mendengar kata-kata ketua Beng-kauw, karena tadinya ia sudah merasa bingung dan kaget mendengar tuduhan Gan-lopek yang hebat.

Kini Gan-lopek yang tersenyum-senyum, lalu berkata nyaring,
“Harimau terkenal sebagai raja di antara sekalian binatang hutan! Terkenal akan keberaniannya, tak pernah mundur menghadapi siapa pun juga. Itulah sifat-sifat yang patut dimiliki oleh Nan-cao, biarpun besar tubuh harimau tidak sebesar kuda, namun kecil-kecil memiliki keberanian yang besar. Harimau siap menerjang lawan jahat di bawah naungan matahari yang terang benderang. Apakah yang lebih terang daripada matahari? Beng-kauw adalah Agama Terang, maka boleh diumpamakan Sang Matahari yang menaungi harimau Nan-cao. Nah, itulah arti lukisanku yang buruk, Kauwcu!”

Tepukan tangan menyambut keterangan ini, dilakukan oleh sementara tamu yang merasa kagum dan suka kepada Empek Gan. Akan tetapi Suma Boan makin mendongkol dan ia berkata mengejek.

“Gan-lopek boleh jadi pandai dalam ilmu silat, boleh jadi pandai dalam hal melukis, akan tetapi tak mungkin ia lebih pandai dari mendiang Yen Li Pun pelukis besar, dan dalam hal sastra dan sajak, aku yang muda berani bertanding dengan dia!”

Inilah sebuah tantangan yang terang-terangan, dilakukan di depan Raja Nan-cao yang suka akan sajak dan di depan Beng-kauwcu pula! Bukan tantangan silat, melainkan tantangan mengadu kepandaian bun (sastra). Tentu saja Suma Boan seorang yang amat cerdik sudah cukup tahu bahwa biarpun pandai melukis, Empek Gan ini bukanlah seorang ahli sastra, apalagi ahli sajak!

Biarpun tantangan Suma Boan itu bukanlah tantangan mengadu ilmu silat, melainkan tantangan mengadu ilmu sastra, namun bahayanya tidak kalah hebat. Malah agaknya lebih hebat karena dalam mengadu ilmu silat, yang kalah mungkin akan tewas! Sebaliknya, dalam mengadu ilmu sastra, biarpun yang kalah tidak akan terluka apalagi mati, namun ia akan menjadi buah tertawaan dan nama besarnya akan dijadikan bahan ejekan.

Akan tetapi, Gan-lopek adalah seorang sakti yang aneh. Memang dalam hal ilmu sastra, biarpun pernah ia mempelajarinya, pengetahuannya tidaklah begitu mendalam seperti pengetahuannya tentang seni lukis. Namun ia memiliki kelebihan yang sering kali menguntungkan dirinya, yaitu di samping ilmu kepandaiannya yang tinggi, ia juga pandai sekali berkelakar dan pandai pula bicara. Dengan tiga ilmunya ini, di samping ilmu-ilmu yang lain, yaitu ilmu silat, ilmu seni lukis dan melawak, biasanya ia dapat menyelamatkan diri daripada ancaman bahaya.

Kini menghadapi tantangan Suma Boan, tidak ada jalan lain baginya selain menerimanya. Menolak berarti kalah dan mengorbankan namanya sebagai pecundang, karena tentu seluruh dunia akan segera mendengar betapa Empek Gan yang terkenal pandai itu sekarang “mati kutu” terhadap Suma Boan!

“Ho-hah, omonganmu lebih jahat dari pada kentut! Terlalu keras dan bau! Bocah macam engkau ini menantang tua bangka macam aku mengadu kepandaian tentang sastra dan sajak? Ho-ho, biar semua gurumu kau panggil kesini, aku tidak takut menghadapi mereka. Kau ini apa? Kutanggung menulis pun belum jelas, apalagi merangkai kata-kata dalam kalimat atau sajak, pasti belum becus. Berani aku mempertaruhkan kepalaku yang lapuk ini kalau kau mampu merangkai empat buah huruf yang kupilih menjadi sebaris kalimat yang mempunyai arti dan mengandung kebenaran. Hayo, berani tidak kau?”

Suma Boan bukanlah seorang pemuda bodoh. Pengertiannya tentang sastra dan sajak, sungguhpun belum boleh dibandingkan dengan sastrawan-sastrawan dan para penyair, namun ia yakin takkan kalah oleh Empek Gan ini. Apalagi merangkai empat buah huruf saja, menjadi sebaris kalimat, apa sukarnya? Empat buah huruf itu kalau diatur bergiliran letaknya, diubah-ubah, dapat menjadi dua puluh empat baris kalimat yang berlainan. Apakah sukarnya memilih di antara dua puluh empat baris kalimat itu yang merupakan kalimat paling berarti dan mengandung kebenaran? Segera ia menjura kepada Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao sambil berkata.

“Mohon maaf sebanyaknya, terpaksa hamba melayani kakek buta huruf yang pura-pura pintar ini.”

Kemudian setelah raja dan ketua Beng-kauw yang juga amat tertarik ingin menyaksikan pertandingan yang lucu dan tidak berbahaya ini mengangguk tanda setuju, Suma Boan lalu menoleh ke arah para tamu dan berkata nyaring.

“Mohon Cu-wi sekalian sudi menjadi saksi. Gan-lopek yang terhormat ini mempertaruhkan kepalanya kalau siauwte dapat merangkai empat buah huruf yang ia pilih menjadi sebaris kalimat yang mempunyai arti dan mengandung kebenaran. Bukankah begitu, Gan-lopek?”

“Betul, betul!” Gan-lopek mengangguk-angguk. “Kalau kau betul dapat dan kalimat itu oleh hadirin dianggap mengandung arti dan kebenaran, aku akan menyerahkan kepalaku agar kau pakai dalam sembahyangan roh leluhurmu!”

“Gan-lopek, mulailah! Keluarkan empat buah hurufmu itu yang merupakan empat buah kata-kata!” Suma Boan menantang.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar