Di istana sendiri, para tamu sudah keluar pagi-pagi dari pesanggrahan atau gedung penginapan para tamu, berkumpul di ruangan besar di depan istana yang dapat menampung ribuan orang tamu. Raja Nan-cao sendiri bersama para pengiringnya telah hadir, duduk di tempat kehormatan, wajah raja yang sudah berusia lima puluh tahun ini berseri-seri, tampak bangga sekali karena memang patut dibanggakan Kerajaan Nan-cao yang kecil itu ternyata menerima banyak wakil negara lain yang membuktikan bahwa Nan-cao adalah sebuah kerajaan yang terpandang tinggi.
Di sebelah kanan raja ini duduklah seorang kakek yang tinggi tegap, wajahnya tampan terhias keriput-keriput yang dalam, akan tetapi sepasang matanya masih tajam dan berpengaruh, sikapnya ketika duduk tampak agung, tidak kalah oleh raja yang duduk di sampingnya, duduknya tegak dan wajahnya yang agak tersenyum itu jarang bergerak, tidak menoleh ke kanan kiri seperti wajah patung dewa. Pakaiannya serba kuning sederhana, tangan kirinya memegang sebatang tongkat yang pada gagangnya nampak sebuah bola putih yang mengeluarkan sinar, di depan jidatnya yang terbungkus ikat kepala pendeta itu terdapat sebuah mutiara yang bersinar-sinar seperti menyala.
Bagi yang mengenal benda-benda bersinar ini tentu tahu bahwa itu adalah sebangsa ya-beng-cu (batu mustika yang bersinar di waktu malam) yang amat besar dan tak ternilai harganya. Dua perhiasan pada jidat dan gagang tongkat ini sama sekali bukan tanda kemewahan, melainkan sebagai tanda bahwa dia itu adalah ketua Beng-kauw, atau Agama Terang. Kakek inilah Beng-kauwcu Liu Mo yang tak pernah muncul di dunia kang-ouw dan jarang dapat ditemui orang, namun yang namanya cukup terkenal karena kakek ini adalah adik Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang amat sakti.
Ruangan tamu telah penuh tamu, akan tetapi di bagian tamu kehormatan, masih terdapat banyak kursi kosong. Di bagian tamu kehormatan ini tampak wakil-wakil dari Kun-lun-pai, Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Go-bi-pai dan beberapa perkumpulan persilatan besar lainnya.
Akan tetapi di antara Thian-te Liok-koai si Enam Iblis dari Dunia, hanya kelihatan Tok-sim Lo-tong, Siang-mou Sin-ni, dan It-gan Kai-ong saja. Yang tiga lagi belum kelihatan batang hidungnya sehingga semua tokoh di situ dengan hati berdebar-debar menanti untuk dapat menyaksikan bagaimana macamnya iblis-iblis dunia yang jahat dan terkenal itu selengkapnya. Banyak di antara mereka yang sudah pernah melihat Toat-beng Koai-jin, akan tetapi jarang yang sudah melihat Hek-giam-lo dan lebih jarang lagi yang pernah bertemu dengan Cui-beng-kui si Setan Pengejar Roh!
Biarpun kini diantara yang enam itu baru hadir tiga tokoh iblis, namun cukup mendatangkan rasa ngeri di hati para tamu. Tok-sim Lo-tong cukup mengerikan dengan tubuhnya yang tinggi kurus hampir telanjang, It-gan Kai-ong lebih menjijikkan lagi mukanya sedangkan Siang-mou Sin-ni biarpun cantik manis dan sedap dipandang, namun sinar matanya, tarikan senyum manis bibirnya, dan sikapnya membuat para tamu meremang bulu tengkuknya, apalagi kalau diingat betapa bibir yang merah basah dan manis itu kabarnya entah sudah berapa banyak menyedot darah dari leher seorang korban sampai korban itu mati lemas kehabisan darah!
Seakan-akan tiada habisnya para tamu berantri menyerahkan sumbangan mereka di depan ketua Beng-kauw dan Raja Nan-cao sehingga barang sumbangan yang sudah bertumpuk-tumpuk itu menjadi makin banyak saja. Juga para tamu yang baru tiba membanjiri ruangan itu, diterima oleh Kauw Bian Cinjin dan Liu Hwee yang membagi-bagi tempat duduk sesuai dengan tingkat dan kedudukan mereka.
Liu Hwee yang bertugas menerima tamu wanita, memandang kagum kepada Lin Lin yang datang bersama Lie Bok Liong. Bok Liong disambut oleh Kauw Bian Cinjin sedangkan Lin Lin disambut oleh Liu Hwee dengan ramah. Karena Lie Hwee belum mengenal Lin Lin, maka ia bingung untuk memberi tempat duduk golongan mana kepada dara muda yang kelihatan gagah ini. Akan tetapi sambil tertawa Lin Lin berkata,
“Enci yang baik, tak usah repot-repot, aku bukanlah tamu undangan. Kedatanganku ini hanya untuk mencari saudara-saudaraku dan....” tiba-tiba matanya memandang ke dalam dan wajahnya berseri-seri, lalu disambungnya kata-kata yang terputus tadi, “Nah, itu dia.... merekalah yang kucari....”
Tanpa mempedulikan para penyambut lagi, juga tidak peduli lagi kepada Bok Liong, Lin Lin terus saja menerobos masuk dan dengan langkah lebar ia menuju ke deretan kursi tamu kehormatan di mana terdapat Suling Emas dan Sian Eng!
Tentu saja sikap Lin Lin yang lancang dan “blusukan” tanpa aturan ini menarik perhatian para tamu. Bahkan Beng-kauwcu Liu Mo sendiri menoleh kepada Suling Emas yang duduk tak jauh dari situ. Tampak Suling Emas menggerak-gerakkan bibir seperti berbisik-bisik kepada ketua Beng-kauw itu. Sementara itu, Sian Eng sudah menyambut adiknya dan mereka berpelukan sambil bercakap-cakap. Kemudian Suling Emas berkata lirih.
“Lin Lin, harap tahu aturan sedikit. Beri hormat kepada Sri Baginda dan Ketua Beng-kauw!”
Di sebelah kanan raja ini duduklah seorang kakek yang tinggi tegap, wajahnya tampan terhias keriput-keriput yang dalam, akan tetapi sepasang matanya masih tajam dan berpengaruh, sikapnya ketika duduk tampak agung, tidak kalah oleh raja yang duduk di sampingnya, duduknya tegak dan wajahnya yang agak tersenyum itu jarang bergerak, tidak menoleh ke kanan kiri seperti wajah patung dewa. Pakaiannya serba kuning sederhana, tangan kirinya memegang sebatang tongkat yang pada gagangnya nampak sebuah bola putih yang mengeluarkan sinar, di depan jidatnya yang terbungkus ikat kepala pendeta itu terdapat sebuah mutiara yang bersinar-sinar seperti menyala.
Bagi yang mengenal benda-benda bersinar ini tentu tahu bahwa itu adalah sebangsa ya-beng-cu (batu mustika yang bersinar di waktu malam) yang amat besar dan tak ternilai harganya. Dua perhiasan pada jidat dan gagang tongkat ini sama sekali bukan tanda kemewahan, melainkan sebagai tanda bahwa dia itu adalah ketua Beng-kauw, atau Agama Terang. Kakek inilah Beng-kauwcu Liu Mo yang tak pernah muncul di dunia kang-ouw dan jarang dapat ditemui orang, namun yang namanya cukup terkenal karena kakek ini adalah adik Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang amat sakti.
Ruangan tamu telah penuh tamu, akan tetapi di bagian tamu kehormatan, masih terdapat banyak kursi kosong. Di bagian tamu kehormatan ini tampak wakil-wakil dari Kun-lun-pai, Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Go-bi-pai dan beberapa perkumpulan persilatan besar lainnya.
Akan tetapi di antara Thian-te Liok-koai si Enam Iblis dari Dunia, hanya kelihatan Tok-sim Lo-tong, Siang-mou Sin-ni, dan It-gan Kai-ong saja. Yang tiga lagi belum kelihatan batang hidungnya sehingga semua tokoh di situ dengan hati berdebar-debar menanti untuk dapat menyaksikan bagaimana macamnya iblis-iblis dunia yang jahat dan terkenal itu selengkapnya. Banyak di antara mereka yang sudah pernah melihat Toat-beng Koai-jin, akan tetapi jarang yang sudah melihat Hek-giam-lo dan lebih jarang lagi yang pernah bertemu dengan Cui-beng-kui si Setan Pengejar Roh!
Biarpun kini diantara yang enam itu baru hadir tiga tokoh iblis, namun cukup mendatangkan rasa ngeri di hati para tamu. Tok-sim Lo-tong cukup mengerikan dengan tubuhnya yang tinggi kurus hampir telanjang, It-gan Kai-ong lebih menjijikkan lagi mukanya sedangkan Siang-mou Sin-ni biarpun cantik manis dan sedap dipandang, namun sinar matanya, tarikan senyum manis bibirnya, dan sikapnya membuat para tamu meremang bulu tengkuknya, apalagi kalau diingat betapa bibir yang merah basah dan manis itu kabarnya entah sudah berapa banyak menyedot darah dari leher seorang korban sampai korban itu mati lemas kehabisan darah!
Seakan-akan tiada habisnya para tamu berantri menyerahkan sumbangan mereka di depan ketua Beng-kauw dan Raja Nan-cao sehingga barang sumbangan yang sudah bertumpuk-tumpuk itu menjadi makin banyak saja. Juga para tamu yang baru tiba membanjiri ruangan itu, diterima oleh Kauw Bian Cinjin dan Liu Hwee yang membagi-bagi tempat duduk sesuai dengan tingkat dan kedudukan mereka.
Liu Hwee yang bertugas menerima tamu wanita, memandang kagum kepada Lin Lin yang datang bersama Lie Bok Liong. Bok Liong disambut oleh Kauw Bian Cinjin sedangkan Lin Lin disambut oleh Liu Hwee dengan ramah. Karena Lie Hwee belum mengenal Lin Lin, maka ia bingung untuk memberi tempat duduk golongan mana kepada dara muda yang kelihatan gagah ini. Akan tetapi sambil tertawa Lin Lin berkata,
“Enci yang baik, tak usah repot-repot, aku bukanlah tamu undangan. Kedatanganku ini hanya untuk mencari saudara-saudaraku dan....” tiba-tiba matanya memandang ke dalam dan wajahnya berseri-seri, lalu disambungnya kata-kata yang terputus tadi, “Nah, itu dia.... merekalah yang kucari....”
Tanpa mempedulikan para penyambut lagi, juga tidak peduli lagi kepada Bok Liong, Lin Lin terus saja menerobos masuk dan dengan langkah lebar ia menuju ke deretan kursi tamu kehormatan di mana terdapat Suling Emas dan Sian Eng!
Tentu saja sikap Lin Lin yang lancang dan “blusukan” tanpa aturan ini menarik perhatian para tamu. Bahkan Beng-kauwcu Liu Mo sendiri menoleh kepada Suling Emas yang duduk tak jauh dari situ. Tampak Suling Emas menggerak-gerakkan bibir seperti berbisik-bisik kepada ketua Beng-kauw itu. Sementara itu, Sian Eng sudah menyambut adiknya dan mereka berpelukan sambil bercakap-cakap. Kemudian Suling Emas berkata lirih.
“Lin Lin, harap tahu aturan sedikit. Beri hormat kepada Sri Baginda dan Ketua Beng-kauw!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar