FB

FB


Ads

Selasa, 11 Juni 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 064

Namun tak seorang pun berani menyatakan kekecewaan mereka secara berterang, apalagi menentangnya. Dengan bantuan isterinya yang memiliki kepandaian jauh melebihinya, Kam Si Ek mendapat kemajuan dalam tugasnya. Dalam memukul mundur suku bangsa Khitan, berkali-kali isterinya ini memberikan bantuan. Agaknya kehidupan mereka penuh bahagia, saling mencinta.

Akan tetapi, siapa saja yang mengira bahwa kesenangan atau kesusahan duniawi ini kekal abadi, dia akan kecewa. Susah senang hanyalah permainan perasaan belaka dan semua “permainan” ini tidaklah kekal adanya. Demikian pun dengan hidup. Susah senang tergantung yang menjalani dan yang merasakannya berdasarkan penerimaannya sendiri.

Baik buruknya keadaan rumah tangga, tergantung daripada si suami dan isteri sendiri karena rumah tangga ibarat bangunan yang dibangun oleh suami isteri. Pembangunan yang gawat ini membutuhkan pencurahan segala kemampuan yang ada, membutuhkan pengertian dan kesabaran agar bangunan yang dibangun itu menjadi kokoh kuat, tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan, bagaikan batu karang nan kokoh, kuat menahan hantaman ombak samudera kehidupan.

Sebaliknya, kalau suami isteri membangun benteng rumah tangganya secara “sambil lalu” saja, hanya dengan kegairahan dan semangat pada permulaannya saja, buta oleh nafsu yang selalu dibakar oleh renungan yang muluk-muluk dan indah-indah namun segera padam oleh kenyataan yang kadang-kadang berlawanan dengan renungan muluk, maka rumah tangganya, umpama batu karang, bukanlah batu karang yang kokoh kuat. Rumah tangganya akan mudah pecah, seperti batu karang pasir yang mudah digerogoti air laut sehingga bolong-bolong kemudian pecah, hancur berantakan!

Alangkah bahagianya suami isteri yang membentuk rumah tangganya dengan berhasil tadi. Ada suka dinikmati bersama, ada duka dipikul berdua. Suka dibagi makin bertambah duka dibagi serasa ringan. Suka si isteri suka si suami, duka si suami duka isteri. Kalau sudah begini, barulah rumah tangga bahagia namanya dan dari rumah tangga inilah lahirnya anak-anak yang baik, calon-calon manusia yang jiwanya berlandaskan cinta kasih penuh pengorbanan.

Sayang tidak demikian dengan Jenderal Kam Si Ek dan Liu Lu Sian. Dua orang ini saling mencinta, saling tergila-gila. Hal yang lumrah, Kam Si Ek seorang pemuda tampan dan gagah perkasa, perempuan mana yang takkan tergila-gila? Sebaliknya, Liu Lu Sian terkenal cantik jelita dan lihai, pemuda mana takkan tergila-gila? Inilah yang disebut cinta buta, cinta nafsu, cinta yang berdasarkan kecantikan atau ketampanan muka, berdasarkan nafsu berahi yang timbul di kala orang menyaksikan keindahan muka dan tubuh lain jenis.

Dan cinta yang dibutakan oleh nafsu ini, seperti menjadi sifat nafsu sendiri, dikobar-kobarkan oleh renungan muluk-muluk, kemudian padam kalau sudah menjadi kenyataan. Jika nafsu masih menyala, berkobar-kobar oleh renungan muluk dan indah, yang tampak hanya yang indah-indah saja, seperti api yang berkobar selalu indah dipandang, kalau tangan sudah tersentuh hangus baru sadar bahwa di balik yang indah itu belum tentu menyenangkan!

Dalam buaian cinta nafsu, segala yang tampak pada diri si dia hanya indah semata, segi buruknya tersembunyi atau disembunyikan, tak tampak atau sengaja tidak dilihat. Kalau tujuan cinta nafsu sudah tercapai dalam pernikahan, baru tampak segi-segi buruknya dan kagetlah si perenung, ngerilah si korban cinta nafsu. Inilah yang disebut cinta buta, sebetulnya cinta nafsu yang membuat mata orang menjadi buta!

Bumi langit bedanya dengan cinta murni, cinta dengan mata melek yang melihat kebaikan, juga keburukan daripada yang dicinta, biar baik biar buruk tetap dicinta dan berusaha memperbaiki segala keburukan yang dicinta. Inilah cinta, siap sedia berkorban, demi kebahagiaan yang dicinta, bukan semata cinta karena cantik atau tampan. Melihat setangkai kembang mawar harum, tangan memetik hidung menciumi, membelai-belai, kemudian si kembang layu dan si pemetik membuangnya jijik. Inilah sifat cinta nafsu, cinta buta, cinta berahi!

Setelah Liu Lu Sian melahirkan seorang putera, mulailah cinta kasih di antara mereka melayu, seperti kembang mawar tadi. Timbul percekcokan-percekcokan kecil yang segera berkembang menjadi percekcokan besar. Dan kalau suami isteri sudah cekcok, lenyaplah segala yang indah-indah, hanya yang buruk-buruk saja tampak. Isteri secantik bidadari berubah seperti kuntilanak, suami tampan dan menyenangkan berubah menjadi keledai yang menjijikkan. Lenyaplah cinta, pergi tanpa bekas. Pergi? Bukan, melainkan pian-hoa (malih rupa) menjadi benci! Memang, cinta dan benci saudara kembar, bersifat Im dan Yang!

Memang pada dasarnya, watak kedua orang ini jauh berbeda. Liu Lu Sian terlalu lama, semenjak kanak-kanak, berkecimpung di dunia kang-ouw dan bergaul dengan tokoh-tokoh dunia hitam. Malah ia sendiri memiliki watak liar dan ganas, sampai-sampai mendapat julukan Setan Cilik Beracun. Sebaliknya,

Kam Si Ek adalah seorang berdarah pendekar, berdarah patriot dan semenjak kecil hanya melihat perbuatan-perbuatan gagah perkasa, mendengar hal-hal yang menentang kejahatan. Inilah pokok pangkal pertentangan rumah tangga mereka. Memang sesungguhnyalah, persesuaian watak jadi lebih penting dalam pembangunan rumah tangga daripada cinta nafsu yang membuta.

Percekcokan antara Kam Si Ek dan isterinya, berlarut-larut dan berakhir dengan lolosnya Liu Lu Sian dari rumah suaminya. Wanita ini rela meninggalkan suami dan putera, demi untuk kebebasan dirinya. Wanita yang sebelum menikah hidup bebas lepas seperti seekor kuda liar di lereng bukit itu, merasa seperti diikat hidungnya oleh kendali pernikahan, seperti terkurung oleh kandang sempit berupa rumah tangga.






Sekarang setelah minggat dari rumah suaminya ia bebas lepas seperti seekor kuda liar lagi, terasa bahagia sekali, lupa akan putera tunggalnya yang dikandungnya selama sembilan bulan dan yang ia lahirkan dengan taruhan nyawa.

Seperti telah kita ketahui di bagian depan, putera yang ditinggalkan itu adalah Kam Bu Song yang dicari-cari oleh ketiga orang adiknya sehingga terjadi cerita ini. Dan semenjak itu, orang tidak mendengar lagi nama Liu Lu Sian. Akan tetapi, Kam Si Ek menikah lagi dan seperti yang kita ketahui, dari isteri baru ini mendapat anak Kam Bu Sin dan Kam Sian Eng.

Setelah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan meninggal dunia, tiga tahun yang lalu, maka kedudukan ketua Beng-kauw dan sekaligus Koksu Kerajaan Nan-cao jatuh ke tangan adiknya, Liu Mo yang dalam hal kesaktian hampir menyamai kelihaian kakaknya.

Sesungguhnya, Liu Mo malah lebih tekun daripada kakaknya dalam hal kebatinan dan wataknya tidaklah sekeras dan seaneh mendiang Liu Gan. Kalau Liu Gan di waktu hidupnya seakan-akan tidak peduli lagi kepada puterinya yang telah menikah dengan Kam Si Ek adalah Liu Mo setelah menjadi ketua Beng-kauw, berusaha untuk mencari keponakannya itu.

Demikianlah keadaan para tokoh pimpinan Beng-kauw yang juga merupakan tokoh paling berpengaruh di Nan-cao. Pada waktu itu, seluruh Kota Raja Nan-cao sudah siap menyambut datangnya hari besar untuk merayakan ulang tahun Agama Beng-kauw dan juga sekaligus memperingati seribu hari wafatnya Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.

Bangunan-bangunan besar dan bangunan-bangunan darurat disediakan untuk tempat penginapan para tamu agung dari seluruh pelosok. Kerajaan Nan-cao adalah sebuah kerajaan kecil namun kaya raya dan kuat, sedangkan Agama Beng-kauw adalah agama yang dipimpin oleh tokoh besar dan di situ terdapat banyak ahli-ahli yang ternama di dunia kang-ouw. Maka perayaan ini tentu akan dihadiri oleh utusan-utusan kerajaan lain, juga oleh tokoh-tokoh dunia kang-ouw serta partai-partai persilatan besar.

Di depan pintu gerbang dibangun sebuah gedung penerimaan tamu. Semua tamu dipersilakan memasuki gedung ini untuk diadakan penyambutan kemudian diatur pembagian tempat penginapan di lingkungan istana. Bukan pengawal-pengawal biasa yang ditugaskan untuk melakukan penyambutan ini, melainkan tokoh-tokoh Nan-cao yang cukup penting.

Sebagai kepala rombongan menyambut bagian pria adalah Kauw Bian Cinjin, seorang pendeta Beng-kauw yang tinggi kedudukannya, masih sute sendiri dari ketua Beng-kauw. Pakaian Kauw Bian Cinjin sederhana sekali, dari mori putih yang mangkak, potongannya lebar dan terlalu besar, rambutnya yang panjang digelung ke atas dan diikat dengan tali serat, sepatunya dari rumput, di punggungnya tampak sebuah topi caping lebar yang tergantung dari leher.

Ujung sebatang cambuk tersembul dari bawah caping. Cambuk ini adalah cambuk tukang gembala kerbau, kelihatannya cambuk biasa, akan tetapi sesungguhnya ini adalah sebatang cambuk sakti yang amat ampuh, senjata yang paling diandalkan pendeta Beng-kauw itu, sederhana sekali kelihatannya kakek ini, namun di dalam kesederhanaannya tersembunyi kekuatan dan wibawa yang besar. Dalam tugasnya sebagai penyambut tamu pria, Kam Bian Cinjin dibantu oleh beberapa orang tokoh Beng-kauw lainnya.

Adapun penyambut tamu wanita dilakukan oleh serombongan penyambut wanita yang dikepalai oleh seorang gadis yang cantik dan kelihatan gagah perkasa dengan gerak-gerik gesit sekali. Gadis itu bertubuh langsing padat rambutnya dibungkus saputangan lebar berwarna merah, pakaiannya dari sutera halus akan tetapi ada keanehan pada pakaian gadis cantik ini. Potongan bajunya biasa saja, akan tetapi warna lengan bajunya berbeda, yang kiri hitam yang kanan putih! Juga sepasang sepatunya berlainan warna, satu hitam dan satu putih. Benar-benar warna pakaian yang aneh sekali, dan yang mengherankan orang, warna berlawanan ini sama sekali tidak mendatangkan pemandangan janggal, malah menambah keluwesan gadis itu!

Memang betul kata orang bahwa wanita cantik memakai apa pun juga tetap tampak cantik menarik. Pada pinggang yang kecil ramping itu terlibat tali hitam kecil yang aneh bentuknya, dan di kanan kiri pinggang, pada ujung tali-tali itu, tergantung dua butir bola baja berkembang totol-totol.

Sepintas pandang orang akan menyangka bahwa yang berbelit-belit pada pinggang itu tentulah sebatang ikat pinggang atau hiasan yang aneh. Padahal sebetulnya bukan demikian. Benda itu adalah senjata ampuh dari Si Gadis manis merupakan sepasang cambuk lemas yang ujungnya terdapat bola-bola itu. Dan kalau Si Gadis manis sudah mainkan senjata sepasang ini, jarang ia menemui lawan karena dia bukan lain adalah Liu Hwee, puteri tunggal ketua Beng-kauw!

Banyak sudah tamu-tamu yang datang biarpun pesta itu baru akan dimulai tiga hari kemudian. Setiap orang tamu tentu membawa barang sumbangan berupa tanda mata yang serba indah. Harus diketahui bahwa para undangan itu merupakan tokoh-tokoh besar, malah semua kerajaan di seluruh negara mengirim sumbangan berupa barang-barang indah yang mahal harganya dan jarang terdapat. Semua barang sumbangan ini dikumpulkan dalam sebuah ruangan tersendiri, sehingga bagi para tamu, melihat-lihat barang sumbangan ini saja sudah merupakan kesenangan tersendiri.

Kerajaan Sung di utara yang diwakili oleh seorang panglima tua menyumbang sepeti penuh emas permata. Petinya saja terbuat daripada kayu cendana yang diukir indah, ukiran gambar naga dan burung dewata! Kepala suku bangsa Khitan mengirim sumbangan berupa bulu biruang yang hanya hidup di kutub utara, dibawa oleh seorang pembesar tinggi bangsa Khitan. Tentu saja Hek-giam-lo mengawal utusan ini, hanya saja tokoh hitam ini belum menampakkan diri, agaknya segan ia bertemu dengan orang banyak dan menjadi tontonan!

Kerajaan Wu-yue di pantai mengirim bingkisan berupa mutiara-mutiara laut yang amat indah dan besar-besar, sedangkan Kerajaan Hou-han yang diam-diam mencoba untuk mengadakan persekutuan rahasia dengan Nan-cao guna bersama menentang Sung Utara, mengirim sebuah kendaraan dari emas untuk ketua Beng-kauw! Seperti halnya dengan Kerajaan Khitan, kerajaan-kerajaan lain ini juga diam-diam diperkuat dengan jagoan masing-masing. Wu-yue dikawal oleh It-gan Kai-ong sedangkan Kerajaan Hou-han tentu saja diam-diam dikawal oleh Siang-mou Sin-ni.

Banyak juga di antara para tamu yang membawa hadiah atau sumbangan yang kecil bentuknya dan tidak banyak jumlahnya, menanti sampai hari pesta tiba agar dapat menyerahkan bingkisan di depan Beng-kauwcu (Ketua Beng-kauw) sendiri sambil mengucapkan selamat.

Diantara mereka ini termasuk Lui-kong-sian Suma Boan, putera pangeran dari kota An-sui itu. Biarpun ia termasuk seorang tokoh, seorang putera pangeran Kerajaan Sung Utara, namun ia tidak mewakili kaisar, melainkan datang atas namanya sendiri. Suma Boan seorang tokoh yang populer, banyak hubungannya, maka ia pun kebagian undangan dari Beng-kauw. Di samping Suma Boan, banyak pula tokoh-tokoh besar yang karena miskin, maka mereka ini pun membawa sumbangan “kecil” sehingga belum pula mereka serahkan, menanti saat munculnya Beng-kauwcu sendiri.

Seperti dapat kita ketahui dari pertemuan yang lalu, diantara para tokoh besar persilatan terdapat pertentangan-pertentangan, bukan hanya karena urusan pribadi melainkan juga karena urusan kerajaan yang mereka bela. Akan tetapi sebagai tamu daripada Beng-kauw, mereka ini diperlakukan sama rata dan mereka pun menghormati Beng-kauw dan Kerajaan Nan-cao, maka tidak ada yang memperlihatkan sikap bermusuhan secara berterang satu kepada yang lain agar tidak menjadi pengacau dalam perayaan di negara orang lain.

Betapapun juga, karena memang di dalam hati sudah mengandung kebencian satu kepada yang lain, tak dapat dicegah timbulnya peristiwa-peristiwa menegangkan di kala dua orang atau dua golongan bertemu muka di mana terjadi saling mengejek dan saling menyindir.

Akan tetapi, seperti telah diterangkan tadi, karena mereka memandang muka Beng-kauw dan Kerajaan Nan-cao sebagai tuan rumah, mereka menekan kemarahan dan saling menantang untuk membereskan urusan melalui kepalan tangan nanti setelah keluar dari Nan-cao!

Pada hari yang ditentukan. Ibu Kota Nan-cao sudah dihias dengan amat indahnya. Suasana pesta tidak saja menonjol di istana, yang menjadi pusat perayaan, akan tetapi juga di jalan-jalan yang bersih dan tidak tampak orang bekerja seperti biasa, tampak pada wajah semua penduduk yang terhias senyum, pada pintu-pintu rumah yang ditempeli kertas-kertas berwarna, terutama merah, pada lampu-lampu beraneka ragam yang menjadi lambang Terang, sifat daripada Agama Beng-kauw.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar