FB

FB


Ads

Selasa, 11 Juni 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 063

Tiongkok pada masa itu masih dalam keadaan terpecah-pecah menjadi banyak sekali kerajaan-kerajaan kecil di samping beberapa buah kerajaan besar. Kerajaan Sung setelah dapat mempersatukan Lima Dinasti yang batasnya dari utara sampai ke tembok besar, dari selatan sampai ke Sungai Yang-ce-kiang, dari barat sampai ke Propinsi Kan-su dan ke timur sampai ke laut, merupakan kerajaan terbesar.

Seperti diketahui, pendiri Kerajaan Sung Cau Kwan Yin, hanya berhasil menyatukan lima kerajaan utara itu. Akan tetapi kerajaan-kerajaan kecil di selatan Sungai Yang-ce-kiang, masih amat banyak. Di luar tembok besar sebelah utara terus ke timur masih dalam kekuasaan bangsa Khitan yang amat kuat.

Di Se-cuan terdapat Kerajaan Shu, di sebelah timurnya ada kerajaan kecil yang disebut Nan-ping sebelah timur lagi Kerajaan Nan-tang, lalu disambung Kerajaan Wu-yueh di pantai timur. Di sebelah selatan Kerajaan Nan-ping dan Kerajaan Shu inilah terdapat Kerajaan Nan-cao, di sebelah selatan lagi Kerajaan Nan-han dan Kerajaan Min.

Cao Kwan Yin atau setelah menjadi kaisar berjuluk Kaisar Sung Thai Cu, tidak berhasil menundukkan kerajaan-kerajaan di selatan ini dan biarpun Kerajaan Sung tidak lagi melakukan perang secara terbuka, akan tetapi sering kali terjadi bentrok dan diantara mereka terjadilah “perang dingin”.

Akan tetapi kaisar pertama dari Kerajaan Sung ini adalah seorang yang amat bijaksana. Pada tahun pertama dari pemerintahannya, ia pada suatu pagi yang cerah mengumpulkan semua jenderal-jenderalnya yang telah berjasa dalam membantunya mendirikan Kerajaan Sung, berkatalah Sang Kaisar ini!

“Para panglimaku, setiap malam aku tidak dapat tidur nyenyak.”

Tentu saja para panglima itu terheran dan bertanya apa yang menyebabkan demikian.

“Jelas sekali sebabnya,” jawab Kaisar Sung Thai Cu. “Siapakah diantara kalian yang tidak merindukan singgasana dan mahkotaku?”

Para panglima itu berlutut dan membantah. Seorang diantara mereka yang tertua mewakili teman-temannya,

“Duhai Sri Baginda yang mulia. Tuhan telah menentukan Paduka menjadi Kaisar, bagaimana Paduka masih menyangsikan hal ini? Siapakah di antara hamba sahaya yang berani menentang dan memiliki hati khianat?”

“Aku percaya akan kesetiaan hati kalian, para panglimaku yang gagah. Akan tetapi, andaikata pada suatu pagi yang buruk, seorang di antara kalian dibangunkan dari tidur dan dipaksa mengenakan pakaian kuning (pakaian raja), betapapun tidak setuju hatimu bagaimana kamu akan dapat menghindarkan pemberontakan?”

Sibuklah para panglima itu menghibur dan menjamin bahwa tak seorang pun di antara mereka memiliki hati seperti itu, juga tidak ada di antara mereka yang cukup berharga untuk menjadi kaisar. Kemudian yang tertua berkata dengan sembah.

“Ampun, Sri Baginda yang mulia. Apabila hal itu mengganggu ketenteraman hati Paduka, mohon Paduka mengambil langkah-langkah yang Paduka anggap terbaik untuk mencegah terjadinya kemungkinan itu. Hamba sekalian akan taat dan tetap setia kepada Paduka yang mulia.”

Kaisar Sung Thai Cu tersenyum, mengelus-elus jenggotnya yang hitam lalu bersabda, suaranya nyaring dan kata-katanya lancar karena memang hal ini sudah direncanakan lebih dahulu.

“Hidup di dunia ini amatlah pendek. Yang disebut bahagia adalah memiliki harta dan kesempatan untuk menikmati hidup, kemudian meninggalkan kemuliaan itu kepada anak cucu. Karena itu, para panglimaku yang setia, pilihlah jalan ke arah kebahagiaan ini. Kalian kuperkenankan melepas pakaian panglima, mengundurkan diri ke daerah pedalaman, disana memilih tempat tinggal yang paling menyenangkan, menikmati hidup di hari tua penuh ketenteraman. Bukankah ini jauh lebih baik daripada hidup tak berketentuan nasibnya dan selalu di lingkungan bahaya? Dengan demikian, diantara kita tidaklah terdapat bayangan kecurigaan, tidak akan ada fitnah-memfitnah, curiga mencurigai. Kita akan saling mengikat dengan pernikahan-pernikahan antara keturunan kita sehingga antara raja dan pembantunya terdapat persababatan dan persatuan yang kokoh kuat.”

Mendengar ini, para jenderal dan panglima segera tentu saja, menyatakan persetujuan mereka dan pada hari-hari berikutnya, mereka mengajukan surat permohonan pengunduran diri. Kaisar menerima semua permohonan ini, membagi-bagi tanah dan jasa kehormatan berupa hadiah-hadiah dan titel.

Demikian, dengan cara yang cerdik dan halus ini Sung Thai Cu membersihkan istana daripada kemungkinan-kemungkinan terjadi perebutan kekuasaan dan pemberontakan-pemberontakan. Dan agaknya siasat yang dijalankan kaisar pertama Kerajaaan Sung ini menarik dan menundukkan pula hati raja-raja kecil yang berkuasa di luar daerah yang dikuasai Kerajaan Sung. Mereka merasa suka dan memperlihatkan sikap damai, kecuali Kerajaan Khitan, Nan-cao, dan Wu-yueh yang agaknya merasa bahwa mereka terlampau kuat untuk bersikap mengalah terhadap Kerajaan Sung!






Sungguhpun Sung Thai Cu memiliki banyak keturunan, di antaranya adalah putera-putera, namun mereka itu masih kecil-kecil. Karena itulah, mentaati perintah yang dipesankan ibu suri menjelang kematiannya, yang diangkat menjadi pangeran mahkota, yaitu calon pengganti kaisar, adalah adik kaisar sendiri yang kelak terkenal dengan sebutan Sun Thai Cung, kaisar ke dua. Ahala Sung.

Peristiwa ini pun tercatat dalam sejarah, merupakan pelajaran yang amat baik bagi para kaisar khususnya dan para pemimpin negara pada umumnya dan dianggap sebagai kebijaksanaan ibu suri. Beginilah kurang lebih percakapan yang terjadi di dalam kamar ibu suri ketika ibunda kaisar ini berada di ambang kematian karena usia tua.

“Puteraku Baginda, apakah yang menyebabkan puteranda berhasil menduduki tahta kerajaan?”

Sebagai seorang anak berbakti yang selalu menjunjung tinggi nama baik dan nama besar leluhurnya, Kaisar Sung Thai Cu menjawab,

“Ibunda yang mulia, ananda menerima anugerah Tuhan dengan kemuliaan ini semata-mata mengandalkan kebijaksanaan dan budi kebaikan yang sudah ditanam oleh para leluhur kita, terutama sekali karena kebijaksanaan Ibunda.”

Senang juga hati nenek yang sudah lemah jasmaninya namun masih amat kuat ingatannya itu.

“Anak baik, selalu berusaha mengangkat tinggi orang tua....! Puteranda sayang, bukan.... bukan aku, bukan pula leluhurmu yang memungkinkan puteranda berhasil menduduki tahta kerajaan. Satu-satunya sebab yang memungkinkan puteranda hari ini menjadi Kaisar Kerajaan Sung Utara, bukan lain adalah karena kebodohan kaisar terakhir dari Kerajaan Cao! Puteranda harus dapat belajar dari sejarah, harus dapat mengenal kelemahan bekas lawan agar diri sendiri jangan sampai mengulangi kebodohan dan kelemahan bekas lawan itu. Kaisar terakhir dari Cou telah begitu bodoh untuk menyerahkan tahta kerajaan kepada puteranya yang masih kecil untuk menggantikan kedudukannya. Kebodohan itulah yang memungkinkan puteranda berhasil menduduki tahta kerajaan. Tak mungkin sekarang puteranda akan mengulangi kebodohan seperti itu.”

Inilah ucapan ibu suri yang sudah berada di ambang kematian itu. Kaisar tertegun dan termenung. Terbayanglah ia akan sejarah Lima Wangsa yang telah lalu. Setelah Kerajaan Tang roboh oleh pemberontak, lahirlah Kerajaan Liang yang hanya bertahan selama tujuh belas tahun. Segera digulingkan oleh seorang panglima perang lain yang mendirikan Kerajaan Tang Muda yang lebih pendek lagi umurnya, hanya empat belas tahun. Kemudian diganti oleh Kerajaan Cin Muda, hanya dua belas tahun umurnya. Kerajaan ke empat yang menggantikannya adalah Kerajaan Han Muda, kerajaan ini malah hanya empat tahun umurnya dan kemudian sekali, lahirlah Kerajaan Cao yang bertahan hanya sepuluh tahun lamanya.

Demikianlah sedikit sejarah tentang Lima Wangsa yang terbayang di dalam ingatan Kaisar Sung Thai Cu. Semua kaisar dari Lima Wangsa itu adalah panglima-panglima perang belaka, yang memperebutkan kedudukan dan saling menggulingkan.

Memang tepat ucapan ibunya. Kaisar terakhir dari Kerajaan Cao telah menyerahkan kedudukannya kepada puteranya yang masih kecil, di bawah pimpinan ibu tiri. Itulah yang memungkinkan dia, dahulu masih Jenderal Cao Kwan Yin, melakukan pemberontakan dan merampas singgasana. Pengalamannya ini pula yang membuat Cao Kwan Yin setelah menjadi Kaisar Sung Thai Cu, selalu gelisah dan menyindirkan keadaannya kepada para panglimanya.

Karena sesungguhnya, pemberontakan itu terjadi karena dia “terpaksa” pula. Pada pagi hari, para panglima membangunkannya dari tidur dan “memaksanya” mengenakan pakaian kuning, pakaian raja. Dia diangkat sebagai raja atau kaisar baru dan terjadilah pemberontakan melawan Kerajaan Cao yang dirajai seorang anak-anak itu.

Dan ini sebabnya mengapa pangeran mahkota dari Kerajaan Sung bukan putera kaisar, melainkan adiknya. Dan ini pula yang membuat kaisar pertama Kerajaan Sung ini dikenal sebagai seorang kaisar bijaksana, tidak mementingkan diri atau keturunan sendiri.

Cukup kiranya sekelumit tentang keadaan Kerajaan Sung Utara yang mempunyai ibu kota atau kota raja di Kai-teng (sebuah kota di Propinsi Ho-nan), dan marilah kita meninjau keadaan Kota Raja Nan-cao di sebelah selatan yang sedang menghadapi perayaan besar itu.

Kerajaan kecil yang wilayahnya meliputi satu propinsi ini keadaannya lebih tenteram daripada kerajaan-kerajaan lain yang berada di seluruh negeri. Rakyatnya tunduk kepada pimpinan dan jarang terjadi kejahatan-kejahatan yang menyolok. Hal ini sesungguhnya adalah berkat pengaruh Agama Beng-kauw yang boleh dibilang menguasai pimpinan kerajaan.

Raja sendiri bukan hanya pemeluk Agama Beng-kauw, akan tetapi lebih daripada itu, malah terhitung keponakan dari ketua Beng-kauw dan juga amat tekun serta aktip dalam memajukan agama ini. Ketua Beng-kauw sendiri atau disebut kauwcu (ketua agama) mempunyai kedudukan tinggi di dalam istana karena dia menjadi koksu (guru atau penasehat negara).

Ketua Beng-kauw bernama Liu Mo, adik dari mendiang Pat-jiu Sin-ong (Raja Sakti Lengan Delapan) Liu Gan yang sudah meninggal dunia seribu hari yang lalu dan yang akan diperingati kematiannya tak lama lagi. Seperti juga mendiang kakaknya, Liu Mo ini memiliki kesaktian dan boleh dibilang untuk waktu itu, ia adalah tokoh nomor satu di Nan-cao, dihormati oleh raja sendiri dan ditakuti oleh semua orang.

Usia Liu Mo sudah amat tua, tak seorang pun di Nan-cao dapat mengetahui berapa tuanya, akan tetapi tubuhnya masih kelihatan sehat dan wajahnya masih segar dan penuh semangat, biarpun ia terkenal sebagai seorang yang pendiam dan hanya bicara seperlunya saja.

Ada yang mengatakan bahwa usianya tentu lebih dari seratus tahun. Tak seorang pun dapat membuktikan kebenaran atau kebohongan kata-kata ini. Akan tetapi Liu Mo tidak peduli akan usianya dan buktinya, ia mempunyai empat orang isteri yang cantik-cantik! Hanya seorang di antara isteri-isterinya, yang paling tua, mempunyai anak seorang, Liu Hwee, anak perempuan tunggal ini telah menjadi seorang gadis remaja yang cantik jelita dan mewarisi kepandaian ayahnya. Selain terkenal akan kecantikan dan kelihaiannya, juga Lie Hwee ini tidak kalah semangatnya.

Untuk memperkuat kedudukan ayahnya dan juga menjaga keamanan di istana, Liu Hwee telah membentuk sepasukan pengawal wanita yang terdiri daripada seratus orang gadis-gadis muda dan cantik, yang kesemuanya telah ia latih ilmu silat, ilmu pedang, ilmu panah dan menunggang kuda!

Kerajaan-kerajaan tetangga juga tidak ada yang berani mengganggu Nan-cao. Puluhan tahun yang lalu, beberapa buah negara kerajaan tetangga pernah mencoba untuk memusuhi kerajaan kecil ini, namun mereka kena gigit buah masam. Nan-cao yang ketika itu dipimpin oleh Pat-jiu Sin-ong Liu Gan sebagai ketua Beng-kauw dan koksu, melakukan perlawanan dan para penyerbu itu dipukul hancur. Semenjak itu, tidak ada yang berani mencoba-coba lagi dan Nan-cao di bawah sinar gemilang Agama Beng-kauw dipandang sebagai negara kecil yang kuat.

Mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan sebetulnya adalah tokoh pertama yang membawa masuk Agama Beng-kauw ini dari daerah barat. Dia memang keluarga kerajaan, seorang pangeran yang lebih suka mengejar ilmu daripada mengejar kemuliaan dan kedudukan. Puluhan tahun ia menghilang ke barat dan setelah kembali, ia telah menjadi seorang pendeta atau ahli Agama Beng-kauw dan memasukkan agama ini ke dalam negerinya.

Tentu saja pada permulaannya ia ditentang, akan tetapi segera para penentangnya itu roboh seorang demi seorang oleh kesaktiannya yang hebat. Akhirnya ia terkenal sebagai tokoh paling sakti di Nan-cao dan agamanya diterima, ia menjadi kauwcu (ketua agama) dan sekaligus diangkat menjadi koksu oleh raja yang masih keponakannya sendiri.

Pernah diceritakan sedikit dalam cerita ini tentang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Seperti juga adiknya, mendiang Liu Gan ini hanya mempunyai seorang anak perempuan yang juga amat sakti dan terkenal dengan julukannya, Tok-siauw-kui (Setan Cilik Beracun). Namanya Liu Lu Sian, cantik jelita, liar dan ganas. Hampir tiga puluh tahun yang lalu, ketika Tok-siauw-kui Lio Lu Sian masih seorang gadis remaja berusia dua puluh tahun, cantik jelita dan lihai, ia terlibat dalam cinta asmara dengan Kam Si Ek, seorang panglima yang muda dan gagah perkasa dan yang bertugas di Shan-si.

Mula-mula Pat-jiu Sin-ong Liu Gan tidak setuju akan pilihan puterinya, karena ia selalu bermimpikan seorang mantu raja. Akan tetapi karena Liu Lu Sian keras hati dan nekat, akhirnya ayahnya mengalah dan menikahlah Liu Lu Sian dengan Kam Si Ek. Tentu saja hal ini menggegerkan dunia kang-ouw. Nama Tok-siauw-kui amat terkenal, banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang tergila-gila kepadanya. Bagaimana sekarang memilih suami seorang seperti Kam Si Ek, seorang jenderal yang kepandaiannya tidak banyak artinya?






Tidak ada komentar:

Posting Komentar