Benar-benar sepak terjang Toat-beng Koai-jin kali ini amat licik, masa menerjang lawan yang masih terikat dan terpanggang di atas api? Empek Gan cepat menggulingkan dirinya dan kaki tangannya bergerak, kayu-kayu dan daun-daun yang masih terbakar itu kini terbang berhamburan ke arah Toat-beng Koai-jin!
Si kakek liar terkejut bukan main, cepat ia mengibaskan kedua lengannya. Biarpun serangan kakek pendek itu tidak berbahaya, namun api merupakan senjata yang tak terlawan dan sedikit banyak tentu akan melukai kulitnya.
Ketika kayu dan daun yang menyala itu runtuh semua, Empek Gan kini telah berdiri tegak, telah memakai pakaiannya dengan lengkap. Benar-benar kakek yang luar biasa, pikir Lin Lin yang masih duduk sambil menonton dengan hati tertarik. Begitu mendengar bahwa kakek itu adalah guru sahabatnya, guru Lie Bok Liong, hatinya begitu girang sehingga ia lupa akan penderitaannya sendiri.
Kalau orang aneh itu guru Bok Liong, berarti bahwa sahabatnya itu tentu telah tertolong, dan dia sendiri juga ada harapan besar tertolong. Apalagi ketika melihat betapa kakek pendek yang aneh dan lucu itu dapat menyerang lawannya dengan api kemudian dalam sekejap mata saja sudah memakai kembali pakaiannya, ia makin heran dan kagum.
Segera kedua orang kakek sakti itu bertempur hebat. Entah dari mana dapatnya, Gan-lopek atau Empek Gan sudah memegang hek-mou-pit (pensil bulu hitam) di tangan kanan dan pek-mou-pit (pensil bulu putih) di tangan kirinya dan ketika kedua tangannya bergerak, yang tampak hanya dua gulungan sinar putih dan hitam yang kecil panjang dan kuat, saling libat dan kemudian bersama-sama menerjang Toat-beng Koai-jin.
“Ho-ho, tahan dulu! Kiranya kau Ini si badut gila Gan-lopek?” terdengar Toat-beng Koai-jin berseru kaget, akan tetapi ia sendiri tidak menghentikan gerakannya.
“Hi-hi-hik, setan bangkotan pemakan bangkai! Kita sama-sama tua, sama-sama terkenal sebagai tua bangka gila, hayo keluarkan semua kepandaianmu, kerahkan segala kekuatanmu, selagi aku ada kegembiraan untuk melayanimu!”
Sepasang senjatanya, pencil butu hitam dan putih, bergerak secara aneh, seperti orang sedang melukis, akan tetapi nyatanya si kakek liar menjadi sibuk sekali menghindar ke sana ke mari, malah lalu mundur-mundur sampai mepet batu besar. Sinar hitam dan putih terus mengurung dirinya, kakek liar itu mendengus-dengus dan akhirnya menggereng-gereng lalu melarikan diri, atau bertempur sambil berlari, dikejar terus oleh Gan-lopek yang masih terdengar suaranya terkekeh-kekeh.
“Lin-moi, kau mengalami banyak kaget?”
Lin Lin terkejut, cepat menengok dan giranglah hatinya melihat bahwa yang menegurnya itu adalah Lie Bok Liong. Pemuda ini sudah memakai pakaian lagi, akan tetapi masih tampak betapa pakaiannya robek di sana-sini. Cepat Bok Liong membebaskan Lin Lin daripada ikatan kaki tangan dan mulut.
“Berbahaya sekali....” Lin Lin mengeluh, “Twako, siapa menolongmu?”
“Suhu....”
“Wah, Suhumu hebat! Memang badut dia, tapi hebat!”
Muka Bok Liong menjadi merah, ia tersenyum dan menjawab,
“Memang Suhu paling suka main-main. Menurut kata Suhu sendiri, hidup ini adalah main sandiwara, dunia ini panggungnya dan kita manusia anak-anak wayangnya. Bagi Suhu, main sandiwara yang paling menyenangkan adalah menjadi pelawak, hidup satu kali harus pandai tertawa dan mengajak orang lain tertawa, tak perlu mengisinya dengan tangis. Lihat, setelah Suhu menggantikan aku dipanggang, dalam bertempur melawan Toat-beng Koai-jin yang lihai itu pun Suhu masih main-main!”
Dalam kata-katanya ini jelas terdengar bahwa ia merasa bangga sekali akan kelihaian gurunya.
Lin Lin memandang dan ia menjulurkan lidahnya keluar saking kagumnya. Memang hebat Gan-lopek, lawannya demikian sakti, akan tetapi masih ada kesempatan untuk membadut dan memamerkan keahliannya, yaitu melukis! Bagaimana tidak mengagumkan? Di atas batu karang dimana tadi Toat-beng Koai-jin bertempur membelakangi batu, tampak lukisan hitam putih yang amat hidup, yaitu lukisan Toat-beng Koai-jin sendiri! Begitu bagus lukisan ini, persis aslinya, punuknya, gendutnya, air liurnya yang muncrat-muncrat!
“Wah, Suhumu jago menggambar! Kau tentu pandai pula, Twako?”
“Ah, kepandaian Suhu melukis memang tiada bandingnya, akan tetapi ilmu itu tak pernah diturunkannya kepada siapa pun juga. Suhu amat pelit dengan ilmunya melukis ini, katanya, kalau diturunkan kepada murid, tiada artinya malah merugikan. Kalau muridnya menjual hasil gambarannya bukankah itu meremehkan dirinya? Kalau tidak pun apa gunanya?”
“Twako, apakah kau sudah berhasil menemukan Enci Sian Eng?”
Bok Liong mengangguk.
“Baru saja aku mendengar dari Suhu. Kau tahu, setelah kuselidiki, ternyata Nona Sian Eng ikut bersama Suma Boan pergi menuju ke Nan-cao pula, dan....”
“Apa? Bagaimana? Enci Sian Eng ikut Suma Boan? Mana mungkin! Tentu diculik!”
Bok Liong menggeleng kepala.
“Aku pun masih heran, tapi kenyataannya encimu itu melakukan perjalanan bersama Suma Boan. Karena mereka berdua dikawani Tok-sim Lo-tong yang amat lihai, sedangkan kepandaian Suma Boan sendiri pun sudah terlalu tinggi bagiku, maka terpaksa aku lalu mohon bantuan Suhu. Kami mengejar dan sampai disini, Suhu turun tangan mengajak pergi encimu dari samping Suma Boan.”
“Dimana sekarang Enci Sian Eng?”
Lin Lin bertanya, hatinya penuh penasaran dan tak mengerti mengapa encinya bisa melakukan perjalanan bersama putera pangeran itu.
“Baru saja Suhu memberi tahu bahwa Nona Sian Eng kini sudah berada dengan Suling Emas, melakukan perjalanan ke Nan-cao.”
“Kalau begitu mari kita cepat menyusul kesana, Twako. Wah, tadinya kuharapkan kau dapat bertemu dengan Enci Eng dan melakukan perjalanan bersamanya, siapa kira, sekarang malah aku yang melakukan perjalanan bersamamu, sedangkan Enci Eng kembali bersama.... eh, dia!” Diam-diam Lin Lin mendongkol dan teringat akan pedangnya, ia makin gemas. “Celaka, pedangku lenyap ketika bertanding melawan kakek ibils yang gila tadi!”
“Kalau perlu kau boleh pakai pedangku ini, Moi-moi. Mari kita berangkat, siapa tahu kalau kita melakukan perjalanan cepat, akan dapat menyusul mereka.”
Berangkatlah dua orang muda ini, menuju ke Nan-cao yang tidak jauh lagi dari situ. Lin Lin menjadi pendiam kali ini, tidak saja ia masih bingung dan heran memikirkan bagaimana encinya dapat melakukan perjalanan bersama Suma Boan, juga diam-diam ia merasa penasaran karena sikap Suling Emas terhadapnya masih terlalu dingin dan tidak acuh.
Alangkah jauh bedanya antara sikap Suling Emas terhadapnya dan sikap Lie Bok Liong. Kalau saja sikap Suling Emas terhadapnya semanis sikap Bok Liong, ah....! Andaikata begitu, ada apa? Tidak apa-apa, hanya.... alangkah akan senang hatinya!
Si kakek liar terkejut bukan main, cepat ia mengibaskan kedua lengannya. Biarpun serangan kakek pendek itu tidak berbahaya, namun api merupakan senjata yang tak terlawan dan sedikit banyak tentu akan melukai kulitnya.
Ketika kayu dan daun yang menyala itu runtuh semua, Empek Gan kini telah berdiri tegak, telah memakai pakaiannya dengan lengkap. Benar-benar kakek yang luar biasa, pikir Lin Lin yang masih duduk sambil menonton dengan hati tertarik. Begitu mendengar bahwa kakek itu adalah guru sahabatnya, guru Lie Bok Liong, hatinya begitu girang sehingga ia lupa akan penderitaannya sendiri.
Kalau orang aneh itu guru Bok Liong, berarti bahwa sahabatnya itu tentu telah tertolong, dan dia sendiri juga ada harapan besar tertolong. Apalagi ketika melihat betapa kakek pendek yang aneh dan lucu itu dapat menyerang lawannya dengan api kemudian dalam sekejap mata saja sudah memakai kembali pakaiannya, ia makin heran dan kagum.
Segera kedua orang kakek sakti itu bertempur hebat. Entah dari mana dapatnya, Gan-lopek atau Empek Gan sudah memegang hek-mou-pit (pensil bulu hitam) di tangan kanan dan pek-mou-pit (pensil bulu putih) di tangan kirinya dan ketika kedua tangannya bergerak, yang tampak hanya dua gulungan sinar putih dan hitam yang kecil panjang dan kuat, saling libat dan kemudian bersama-sama menerjang Toat-beng Koai-jin.
“Ho-ho, tahan dulu! Kiranya kau Ini si badut gila Gan-lopek?” terdengar Toat-beng Koai-jin berseru kaget, akan tetapi ia sendiri tidak menghentikan gerakannya.
“Hi-hi-hik, setan bangkotan pemakan bangkai! Kita sama-sama tua, sama-sama terkenal sebagai tua bangka gila, hayo keluarkan semua kepandaianmu, kerahkan segala kekuatanmu, selagi aku ada kegembiraan untuk melayanimu!”
Sepasang senjatanya, pencil butu hitam dan putih, bergerak secara aneh, seperti orang sedang melukis, akan tetapi nyatanya si kakek liar menjadi sibuk sekali menghindar ke sana ke mari, malah lalu mundur-mundur sampai mepet batu besar. Sinar hitam dan putih terus mengurung dirinya, kakek liar itu mendengus-dengus dan akhirnya menggereng-gereng lalu melarikan diri, atau bertempur sambil berlari, dikejar terus oleh Gan-lopek yang masih terdengar suaranya terkekeh-kekeh.
“Lin-moi, kau mengalami banyak kaget?”
Lin Lin terkejut, cepat menengok dan giranglah hatinya melihat bahwa yang menegurnya itu adalah Lie Bok Liong. Pemuda ini sudah memakai pakaian lagi, akan tetapi masih tampak betapa pakaiannya robek di sana-sini. Cepat Bok Liong membebaskan Lin Lin daripada ikatan kaki tangan dan mulut.
“Berbahaya sekali....” Lin Lin mengeluh, “Twako, siapa menolongmu?”
“Suhu....”
“Wah, Suhumu hebat! Memang badut dia, tapi hebat!”
Muka Bok Liong menjadi merah, ia tersenyum dan menjawab,
“Memang Suhu paling suka main-main. Menurut kata Suhu sendiri, hidup ini adalah main sandiwara, dunia ini panggungnya dan kita manusia anak-anak wayangnya. Bagi Suhu, main sandiwara yang paling menyenangkan adalah menjadi pelawak, hidup satu kali harus pandai tertawa dan mengajak orang lain tertawa, tak perlu mengisinya dengan tangis. Lihat, setelah Suhu menggantikan aku dipanggang, dalam bertempur melawan Toat-beng Koai-jin yang lihai itu pun Suhu masih main-main!”
Dalam kata-katanya ini jelas terdengar bahwa ia merasa bangga sekali akan kelihaian gurunya.
Lin Lin memandang dan ia menjulurkan lidahnya keluar saking kagumnya. Memang hebat Gan-lopek, lawannya demikian sakti, akan tetapi masih ada kesempatan untuk membadut dan memamerkan keahliannya, yaitu melukis! Bagaimana tidak mengagumkan? Di atas batu karang dimana tadi Toat-beng Koai-jin bertempur membelakangi batu, tampak lukisan hitam putih yang amat hidup, yaitu lukisan Toat-beng Koai-jin sendiri! Begitu bagus lukisan ini, persis aslinya, punuknya, gendutnya, air liurnya yang muncrat-muncrat!
“Wah, Suhumu jago menggambar! Kau tentu pandai pula, Twako?”
“Ah, kepandaian Suhu melukis memang tiada bandingnya, akan tetapi ilmu itu tak pernah diturunkannya kepada siapa pun juga. Suhu amat pelit dengan ilmunya melukis ini, katanya, kalau diturunkan kepada murid, tiada artinya malah merugikan. Kalau muridnya menjual hasil gambarannya bukankah itu meremehkan dirinya? Kalau tidak pun apa gunanya?”
“Twako, apakah kau sudah berhasil menemukan Enci Sian Eng?”
Bok Liong mengangguk.
“Baru saja aku mendengar dari Suhu. Kau tahu, setelah kuselidiki, ternyata Nona Sian Eng ikut bersama Suma Boan pergi menuju ke Nan-cao pula, dan....”
“Apa? Bagaimana? Enci Sian Eng ikut Suma Boan? Mana mungkin! Tentu diculik!”
Bok Liong menggeleng kepala.
“Aku pun masih heran, tapi kenyataannya encimu itu melakukan perjalanan bersama Suma Boan. Karena mereka berdua dikawani Tok-sim Lo-tong yang amat lihai, sedangkan kepandaian Suma Boan sendiri pun sudah terlalu tinggi bagiku, maka terpaksa aku lalu mohon bantuan Suhu. Kami mengejar dan sampai disini, Suhu turun tangan mengajak pergi encimu dari samping Suma Boan.”
“Dimana sekarang Enci Sian Eng?”
Lin Lin bertanya, hatinya penuh penasaran dan tak mengerti mengapa encinya bisa melakukan perjalanan bersama putera pangeran itu.
“Baru saja Suhu memberi tahu bahwa Nona Sian Eng kini sudah berada dengan Suling Emas, melakukan perjalanan ke Nan-cao.”
“Kalau begitu mari kita cepat menyusul kesana, Twako. Wah, tadinya kuharapkan kau dapat bertemu dengan Enci Eng dan melakukan perjalanan bersamanya, siapa kira, sekarang malah aku yang melakukan perjalanan bersamamu, sedangkan Enci Eng kembali bersama.... eh, dia!” Diam-diam Lin Lin mendongkol dan teringat akan pedangnya, ia makin gemas. “Celaka, pedangku lenyap ketika bertanding melawan kakek ibils yang gila tadi!”
“Kalau perlu kau boleh pakai pedangku ini, Moi-moi. Mari kita berangkat, siapa tahu kalau kita melakukan perjalanan cepat, akan dapat menyusul mereka.”
Berangkatlah dua orang muda ini, menuju ke Nan-cao yang tidak jauh lagi dari situ. Lin Lin menjadi pendiam kali ini, tidak saja ia masih bingung dan heran memikirkan bagaimana encinya dapat melakukan perjalanan bersama Suma Boan, juga diam-diam ia merasa penasaran karena sikap Suling Emas terhadapnya masih terlalu dingin dan tidak acuh.
Alangkah jauh bedanya antara sikap Suling Emas terhadapnya dan sikap Lie Bok Liong. Kalau saja sikap Suling Emas terhadapnya semanis sikap Bok Liong, ah....! Andaikata begitu, ada apa? Tidak apa-apa, hanya.... alangkah akan senang hatinya!
**** 062 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar