FB

FB


Ads

Selasa, 11 Juni 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 061

Lin Lin berusaha meronta dan melepaskan belenggu yang mengikat kedua pergelangan tangannya, namun sia-sia belaka. Ia memandang ke arah Lie Bok Liong yang terikat seperti seekor babi di atas sebatang balok melintang, tingginya kurang lebih satu meter dari tanah. Ingin ia menjerit minta tolong, namun sia-sia karena mulutnya ditutup saputangan yang diikatkan erat sekali ke belakang kepalanya sehingga untuk bernapas saja amatlah sukar.

Seperti diketahui, ketika ia dan Suling Emas dikeroyok oleh Tok-sim Lo-tong, Toat-beng Koai-jin, dan banyak lagi orang-orang yang kepandaiannya cukup kuat, ia telah kena ditawan oleh Toat-beng Koai-jin dan dibawa lari pergi dari gelanggang pertandingan. Ia berusaha untuk melepaskan diri atau memukul, akan tetapi tubuhnya lemas semua, kaki tangannya tak dapat digerakkan lagi.

Hampir ia pingsan ketika tubuhnya dipondong oleh kakek liar itu. Karena ia tidak dapat bergerak, terpaksa ia menahan penderitaan luar biasa ketika mukanya terletak di atas punggung yang ada dagingnya menonjol besar (punuk), berkeringatan dan baunya apek bukan buatan itu!

Kalau saja ia tidak tertotok lumpuh, tentu Lin Lin sudah muntah-muntah. Baiknya kakek itu larinya cepat sekali seperti terbang, sebetulnya bukan lari lagi melainkan melayang dari pohon ke pohon seperti seekor binatang yang gesit. Kecepatan ini mempersingkat penderitaannya karena selain angin yang bertiup mengurangi bau kecut, juga tentu akan segera sampai di tempat tujuan.

Mereka memasuki hutan dan tiba-tiba muncul seorang pemuda yang membentak dengan suara nyaring,

“Iblis tua, lepaskan gadis itu!”

Lin Lin girang bukan main ketika mengenal suara ini. Siapa lagi kalau bukan Lie Bok Liong, sahabat baiknya! Akan tetapi kegirangannya tidak berlangsung lama, segera terganti kekhawatiran. Tingkat kepandaian Bok Liong sebanding dengan tingkatnya, mana mampu menghadapi kakek sakti yang seperti ibils ini?

Benar saja dugaannya, biarpun Bok Liong sudah menerjang dengan pedang Goat-kong-kiam yang berhawa dingin, kakek itu enak saja melayaninya dengan tangan kosong, bahkan dengan tubuh Lin Lin tak pernah terlepas dari atas pundaknya!

Seperti juga Lin Lin, pemuda itu tak dapat bertahan lama menghadapi kakek sakti ini. Apalagi karena Bok Liong amat terbatas gerakannya, terbatas oleh kekhawatirannya kalau-kalau ujung pedangnya mengenai tubuh Lin Lin. Tiba-tiba ia berseru keras dan mundur dengan muka pucat. Kakek itu telah menyodorkan tubuh Lin Lin untuk menangkis sambaran pedangnya.

Bok Liong cepat menarik pedangnya dan pada saat itu, tangan kiri Toat-beng Koai-jin bergerak mengirim pukulan jarak jauh yang membuat Bok Liong terjengkang bergulingan. Ketika ia berusaha bangkit kembali, tubuhnya sudah lemas tertotok dan di lain saat, kakek itu sudah menyeretnya di sepanjang jalan, menjambak rambutnya dan menarik sambil memondong tubuh Lin Lin. Kakek itu memasuki hutan sambil tertawa-tawa.

Di bagian hutan yang gelap dan penuh pohon liar, ia melemparkan tubuh Lin Lin ke atas tanah, mengambil akar lemas dari sebatang pohon dan mengikat kaki tangan gadis itu ke belakang. Kemudian ia pun merenggut sehelai saputangan dari baju Bok Liong, menggunakan saputangan ini menutup dan mengikat mulut Lin Lin.

Setelah ini selesai, tangannya bergerak dan terdengar kain robek-robek ketika baju dan celana luar pemuda itu ia renggut secara kasar. Sebentar saja Bok Liong berada dalam keadaan setengah telanjang. Hanya sebuah celana dalam saja yang masih menutupi tubuhnya.

Tentu saja Lin Lin di samping rasa takut dan gelisah, juga menjadi jengah dan tidak berani memandang langsung, hanya mengerling-ngerling untuk melihat apa yang akan dilakukan kakek gila itu.

“Heh-heh-heh, kau masih muda, jejaka tulen, dagingmu tentu masih gurih!”

Kakek ini lalu mematahkan batang pohon dengan kedua lengannya yang kuat, mengikat tubuh Bok Liong pada batang pohon atau balok itu seperti mengikat babi saja, kemudian balok berikut tubuh Bok Liong yang setengah telanjang itu ia palangkan pada dua batang pohon lain sehingga tubuh Bok Liong tergantung.






Kemudian kakek itu mengumpulkan daun dan kayu kering di bawah tubuh Bok Liong dan andaikata mulut Lin Lin tidak diikat, tentu gadis ini sudah menjerit-jerit memanggil Suling Emas karena ia sekarang dapat menduga apa yang hendak dilakukan oleh kakek gila ini. Agaknya kakek gila ini membuat masakan yang paling aneh di dunia ini, bukan panggang bebek, panggang ayam, atau panggang babi, melainkan panggang daging manusia hidup! Bok Liong akan dipanggang hidup-hidup! Tiba-tiba terdengar suara seperti anjing hutan menggonggong dari jauh, kakek itu menyumpah-nyumpah,

“Jahanam, mengganggu saja. Ah, terpaksa ditunda sebentar.” Ia bangkit berdiri, menepuk-nepuk tubuh bagian atas Bok Liong yang tegap dan berdaging, mengecap-ngecapkan mulutnya yang mengeluarkan air liur. “Sayang-sayang...., biar ditunda sebentar, heh-heh!” Tubuhnya berkelebat dan dalam sekejap mata saja kakek itu sudah lenyap dari situ.

Lin Lin takut setengah mati. Takut dan ngeri. Mana bisa ia menjadi penonton? Menonton Bok Liong dipanggang hidup-hidup kemudian dagingnya diganyang kakek liar itu? Ia melirik ke arah Bok Liong. Pemuda ini sama sekali tidak bergerak, tubuhnya tergantung di atas balok seperti telah mati. Agaknya pingsan, Lin Lin kembali berusaha mati-matian untuk membebaskan diri daripada belenggu akar pohon. Akan tetapi ternyata akar pohon itu istimewa kuatnya. Matanya melirik ke sana ke mari, mencari-cari. Ia harus bertindak cepat, harus dapat membebaskan diri sebelum siluman itu kembali, harus dicegah siluman itu memanggang tubuh Bok Liong.

Dengan hati penuh kengerian dan ketegangan, Lin Lin menggulingkan tubuhnya ke arah sebuah batu besar tak jauh dari situ. Ia melihat batu itu mempunyai begian-begian yang tajam. Karena kaki tangannya diikat, ia hanya dapat mencapai batu dengan cara menggulingkan tubuh, lalu sedikit demi sedikit menggeser tubuh mendekatkan kedua pergelangan tangan yang dibelenggu di belakang tubuhnya kepada bagian batu yang tajam.

Ia menggosok-gosokkan akar yang mengikat tangan itu pada batu sambil mengerahkan tenaga. Benar-benar kuat sekali akar itu, ulet bukan main. Kini ia tidak melihat Lie Bok Liong lagi, terhalang batu. Ada seperempat jam ia berusaha mematahkan pengikat tangannya dan ia hampir berhasil. Peluhnya bercucuran dan hatinya makin tegang. Kalau sudah bebas dari belenggu, ia akan membebaskan Bok Liong dan mengajaknya melarikan diri.

Akan tetapi tiba-tiba Lin Lin merasa tubuhnya lemas, tenaganya lenyap sama sekali ketika ia melihat bayangan Toat-beng Koai-jin mendatangi dari jauh! Mata Lin Lin terbelalak, harapannya lenyap bagaikan embun terbakar matahari. Tentu saja ia tidak melanjutkan usahanya, malah dengan tubuh terasa lelah dan lemas ia bersandar kepada batu besar itu, menyerahkan nasib ke tangan Tuhan karena dia sendiri sudah tak berdaya.

Dilihatnya kakek liar itu dengan gerakan cepat mendatangi, di kedua tangannya membawa dua potong kayu kering yang digosok-gosok sampai mengeluarkan api! Setelah api menyala dan kakek itu datang dekat, dilemparkannya kayu berapi itu ke tumpukan daun dan kayu yang berada di bawah tubuh Bok Liong. Sebentar saja daun kering itu terbakar! Lin Lin membuang muka, menengok ke lain jurusan dan matanya tak dapat ditahannya lagi mengucurkan air mata. Kasihan Liong-twako, pikirnya.

“Heh-heh, kau hendak lari kemana?”

Tiba-tiba suara kakek itu terdengar dekat dan Lin Lin merasa pundaknya dicengkeram lalu tubuhnya diangkat dan dilempar kembali ke tempat semula. Kakek itu sendiri menjatuhkan diri duduk di atas batu sambil terkekeh-kekeh berkata.

“Ha-ha, kau mau melarikan diri? Tak mungkin, bocah tolol. Akar yang mengikat kaki tanganmu itu berlumur racun kelabang hijau, sekali melukai kulitmu kau akan mampus! Kau lihat baik-baik sahabatmu ini, lihat betapa kulitnya makin lama merah diciumi api, makin lama makin matang dan baunya gurih. Heh-heh, kalau sudah masak nanti, boleh kau pilih bagian mana yang paling gurih untukmu.... ha-ha!”

Toat-beng Koai-jin memandang ke arah Lin Lin sambil tertawa-tawa dan air liurnya muncrat-mucrat dari mulutnya yang lebar, bibirnya yang tebal dan giginya yang besar-besar.

Dengan hati berdebar penuh kengerian Lin Lin mengerling ke arah Bok Liong dan tiba-tiba matanya terbetalak lebar. Yang terikat seperti babi kebiri hendak dipanggang hidup-hidup itu sama sekali bukan Bok Liong! Tadi memang Bok Liong yang diikat di situ, akan tetapi sekarang sama sekali bukan pemuda itu, biarpun keadaannya juga sama, setengah telanjang. Bukan Bok Liong melainkan seorang kakek yang pringas-pringis (menyeringai) dan matanya meram melek seakan-akan keenakan tiduran di atas nyala api yang hangat!

Agaknya sikap dan wajah Lin Lin yang jelas membayangkan kekagetan dan keheranan ini menarik perhatian Toat-beng Koai-jin, kakek ini segera menengok ke arah “panggangannya” dan alangkah kagetnya ketika ia bertemu dengan muka yang meringis, muka yang berjenggot jarang berkumis panjang, tubuh yang pendek, bukan lain adalah si kakek lucu yang tadi ia jumpai di rumah Ouw-kauwsu!

Kakek yang menggantikan kedudukan Bok Liong di atas api itu terkekeh dan berkata,
“Ahhhhh.... nikmatnya! Hangat dan enak! He, Toat-beng Koai-jin, apakah kau sudah begitu kelaparan sehingga kau doyan dagingku yang alot dan kulitku yang keras? Hati-hati kau, daging tuaku sudah demikian alotnya sehingga kau panggang seratus tahun pun takkan bisa menjadi empuk!”

“Demi Iblis! Siapakah kau ini orang gila?”

Toat-beng Koai-jin sudah melompat berdiri dan siap bertempur. Kakek ini sekarang baru insyaf bahwa orang lucu yang sikapnya gila-gilaan itu sebenarnya memiliki kepandaian hebat. Maka tahulah ia bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh.

“Hua-ha-hah, Toat-beng Koai-jin, kita memang baru tadi saling berjumpa. Tak perlu tanya namaku, tapi kau sudah melakukan dosa besar terhadapku. Kau tua bangka yang tak lama lagi mampus, tidak tahu malu, beraninya hanya mengganggu orang-orang muda yang masih hijau. He, pemakan bangkai, tahukah kau bahwa pemuda yang akan kau panggang hidup-hidup tadi adalah muridku?”

Toat-beng Koai-jin menggereng seperti seekor singa kelaparan.
“Bagus! Mari tua sama tua mengadu kepandaian!”

Serunya sambil menerjang maju, sepuluh buah kuku-kuku yang runcing tajam itu mencengkeram.

“Tak tahu malu!” Empek Gan, kakek lucu itu, berseru.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar