Suling Emas mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia teringat akan Sian Eng. Selagi ia ragu-ragu, tak tega meninggalkan Sian Eng seorang diri, dari pintu muncullah Tok-sim Lo-tong dan beberapa orang pengeroyoknya tadi.
“Keparat pengecut!” Suling Emas marah sekali. “Jangan anggap aku keterlaluan kalau sekarang aku tidak mau memberi ampun lagi!”
Setelah berkata demikian tangannya bergerak dan tampaklah sinar kuning bergulung-gulung dengan sinar putih. Sinar kuning adalah sinar sulingnya sedangkan yang putih adalah sinar kipasnya. Ia tidak memberi kesempatan lawan-lawannya maju, mendahului menerjang ke pintu dan sekaligus tiga orang pengeroyok roboh binasa sebelum mereka sempat bergerak. Tok-sim Lo-tong hanya tertawa serak, lalu menyelinap pergi. Juga para pengikutnya pergi dengan cepat. Sebentar saja tidak tampak lagi lawan di situ.
“Mari kita kejar kakek liar tadi untuk menolong adikmu!”
Kata Suling Emas, menyambar lengan tangan Sian Eng untuk diajak lari cepat mengejar Toat-beng Koai-jin.
“Nanti dulu, aku tadi melihat kakek itu melemparkan ini....” kata Sian Eng, membungkuk dan hendak mengambil sebuah sampul surat.
Akan tetapi tiba-tiba Suling Emas menggerakkan tangannya dan.... tubuh Sian Eng terdorong mundur sampai terhuyung-huyung.
“Kau.... kau....!” Gadis itu berseru marah.
“Hemmm, lupa lagikah akan pengalaman di Khitan dahulu?” Suling Emas mengomel, lalu membungkuk dan mengambil sampul surat itu.
Sian Eng terkejut dan teringat, mukanya berubah pucat dan ia merasa ngeri sekali ketika melihat jari-jari tangan Suling Emas menjepit hancur leher seekor ular hitam yang keluar dari sampul itu!
Kiranya Suling Emas telah menolong nyawanya, karena kalau dia yang tadi mengambil sampul, tentu ia akan tergigit ular yang ia duga seekor ular berbisa yang amat jahat itu. Setelah melempar bangkai ular dengan tak acuh, Suling Emas menarik keluar sehelai kertas bersurat dari dalam sampul. Alis yang tebal itu bergerak-gerak ketika matanya menari-nari membaca huruf-huruf yang tertulis di atas kertas. Matanya makin berapi-api dan diam-diam Sian Eng menjadi takut. Ia tahu bahwa pendekar itu marah sekali. Kemudian Suling Emas menarik napas panjang dan berkata.
“Tak mungkin mencari dimana adikmu disembunyikan. Akan tetapi sementara ini dia aman. Untuk menolongnya, jalan satu-satunya hanya ke Nan-cao. Mari kita pergi, dan sekarang ceritakan bagaimana kau dapat pergi bersama Suma Boan.” Kata-katanya terdengar ketus dan marah.
Sian Eng mendongkol sekali. Apa pedulimu, bisik hatinya, kau seperti seorang ayah atau kakak saja. Namun ia tidak berani membantah dan sambil berjalan di samping Suling Emas, ia menceritakan betapa Suma Boan mencari Lin Lin dan Lie Bok Liong, kemudian bertemu dengannya. Betapa Suma Boan berjanji kepadanya akan mempertemukan dengan kakaknya, Kam Bu Song, kalau mau pergi bersamanya ke Nan-cao.
“Bagaimana dia bisa tahu bahwa kau akan bertemu dengan kakakmu di Nan-cao?” tanya Suling Emas sambil lalu.
“Dia bilang bahwa Kakak Bu Song mempunyai hubungan dengan Nan-cao, karena itu aku pasti akan dapat bertemu dengannya disana. Maka aku lalu ikut dengan dia sampai disini.”
“Kemudian, mengapa kau bisa muncul bersama kakek lucu itu?”
“Empek Gan itu? Lucu? Aku tidak senang padanya!”
Tiba-tiba Suling Emas berhenti melangkah, memandang dengan mata terbelalak kepada Sian Eng.
“Kau bilang Empek Gan? Dia....? Pantas! Aku sudah heran dan menduga-duga siapa gerangan kakek lucu yang luar biasa lihainya itu.... ah, kiranya Empek Gan. Dia muncul pula disini, aha, akan ramai di Nan-cao.”
Agaknya saking gembira dan herannya mendengar bahwa kakek pendek tadi Empek Gan adanya, Suling Emas tidak mendesak lagi dengan pertanyaan mengapa Sian Eng meninggalkan Suma Boan dan gadis ini menjadi lega hatinya, karena ia pun tidak suka bercerita tentang rahasia asmara itu.
“Kenapa kita tidak jadi mengejar kakek liar tadi? Bukankah Lin Lin telah diculiknya?”
“Tidak, percuma. Mereka sengaja menahan Lin Lin untuk memaksaku....” Suling Emas menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala.
“Mereka? Siapa? Surat itu dari siapakah?”
“Siapa lagi? Dari Suma Boan tentu!”
Wajah Sian Eng terasa panas sekali, kemudian dingin sampai ke ujung hidungnya. Jantungnya berdebar dan hampir ia pingsan kalau saja ia tidak cepat menekan perasaannya. Kiranya Lin Lin diculik atas perintah Suma Boan! Betulkah ini? Tapi.... tapi dia selama dalam perjalanan ini baik sekali terhadapnya, hanya malam tadi....!
“Kau kenapa?”
Sian Eng menggeleng kepala, tidak berani bersuara karena maklum bahwa suaranya tentu akan terdengar gemetaran bercampur isak. Ia hanya mempercepat langkahnya dan agaknya Suling Emas senang melihat ini dan ia pun mempercepat langkahnya sehingga sebentar saja mereka sudah keluar dari kota Ban-sin.
“Keparat pengecut!” Suling Emas marah sekali. “Jangan anggap aku keterlaluan kalau sekarang aku tidak mau memberi ampun lagi!”
Setelah berkata demikian tangannya bergerak dan tampaklah sinar kuning bergulung-gulung dengan sinar putih. Sinar kuning adalah sinar sulingnya sedangkan yang putih adalah sinar kipasnya. Ia tidak memberi kesempatan lawan-lawannya maju, mendahului menerjang ke pintu dan sekaligus tiga orang pengeroyok roboh binasa sebelum mereka sempat bergerak. Tok-sim Lo-tong hanya tertawa serak, lalu menyelinap pergi. Juga para pengikutnya pergi dengan cepat. Sebentar saja tidak tampak lagi lawan di situ.
“Mari kita kejar kakek liar tadi untuk menolong adikmu!”
Kata Suling Emas, menyambar lengan tangan Sian Eng untuk diajak lari cepat mengejar Toat-beng Koai-jin.
“Nanti dulu, aku tadi melihat kakek itu melemparkan ini....” kata Sian Eng, membungkuk dan hendak mengambil sebuah sampul surat.
Akan tetapi tiba-tiba Suling Emas menggerakkan tangannya dan.... tubuh Sian Eng terdorong mundur sampai terhuyung-huyung.
“Kau.... kau....!” Gadis itu berseru marah.
“Hemmm, lupa lagikah akan pengalaman di Khitan dahulu?” Suling Emas mengomel, lalu membungkuk dan mengambil sampul surat itu.
Sian Eng terkejut dan teringat, mukanya berubah pucat dan ia merasa ngeri sekali ketika melihat jari-jari tangan Suling Emas menjepit hancur leher seekor ular hitam yang keluar dari sampul itu!
Kiranya Suling Emas telah menolong nyawanya, karena kalau dia yang tadi mengambil sampul, tentu ia akan tergigit ular yang ia duga seekor ular berbisa yang amat jahat itu. Setelah melempar bangkai ular dengan tak acuh, Suling Emas menarik keluar sehelai kertas bersurat dari dalam sampul. Alis yang tebal itu bergerak-gerak ketika matanya menari-nari membaca huruf-huruf yang tertulis di atas kertas. Matanya makin berapi-api dan diam-diam Sian Eng menjadi takut. Ia tahu bahwa pendekar itu marah sekali. Kemudian Suling Emas menarik napas panjang dan berkata.
“Tak mungkin mencari dimana adikmu disembunyikan. Akan tetapi sementara ini dia aman. Untuk menolongnya, jalan satu-satunya hanya ke Nan-cao. Mari kita pergi, dan sekarang ceritakan bagaimana kau dapat pergi bersama Suma Boan.” Kata-katanya terdengar ketus dan marah.
Sian Eng mendongkol sekali. Apa pedulimu, bisik hatinya, kau seperti seorang ayah atau kakak saja. Namun ia tidak berani membantah dan sambil berjalan di samping Suling Emas, ia menceritakan betapa Suma Boan mencari Lin Lin dan Lie Bok Liong, kemudian bertemu dengannya. Betapa Suma Boan berjanji kepadanya akan mempertemukan dengan kakaknya, Kam Bu Song, kalau mau pergi bersamanya ke Nan-cao.
“Bagaimana dia bisa tahu bahwa kau akan bertemu dengan kakakmu di Nan-cao?” tanya Suling Emas sambil lalu.
“Dia bilang bahwa Kakak Bu Song mempunyai hubungan dengan Nan-cao, karena itu aku pasti akan dapat bertemu dengannya disana. Maka aku lalu ikut dengan dia sampai disini.”
“Kemudian, mengapa kau bisa muncul bersama kakek lucu itu?”
“Empek Gan itu? Lucu? Aku tidak senang padanya!”
Tiba-tiba Suling Emas berhenti melangkah, memandang dengan mata terbelalak kepada Sian Eng.
“Kau bilang Empek Gan? Dia....? Pantas! Aku sudah heran dan menduga-duga siapa gerangan kakek lucu yang luar biasa lihainya itu.... ah, kiranya Empek Gan. Dia muncul pula disini, aha, akan ramai di Nan-cao.”
Agaknya saking gembira dan herannya mendengar bahwa kakek pendek tadi Empek Gan adanya, Suling Emas tidak mendesak lagi dengan pertanyaan mengapa Sian Eng meninggalkan Suma Boan dan gadis ini menjadi lega hatinya, karena ia pun tidak suka bercerita tentang rahasia asmara itu.
“Kenapa kita tidak jadi mengejar kakek liar tadi? Bukankah Lin Lin telah diculiknya?”
“Tidak, percuma. Mereka sengaja menahan Lin Lin untuk memaksaku....” Suling Emas menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala.
“Mereka? Siapa? Surat itu dari siapakah?”
“Siapa lagi? Dari Suma Boan tentu!”
Wajah Sian Eng terasa panas sekali, kemudian dingin sampai ke ujung hidungnya. Jantungnya berdebar dan hampir ia pingsan kalau saja ia tidak cepat menekan perasaannya. Kiranya Lin Lin diculik atas perintah Suma Boan! Betulkah ini? Tapi.... tapi dia selama dalam perjalanan ini baik sekali terhadapnya, hanya malam tadi....!
“Kau kenapa?”
Sian Eng menggeleng kepala, tidak berani bersuara karena maklum bahwa suaranya tentu akan terdengar gemetaran bercampur isak. Ia hanya mempercepat langkahnya dan agaknya Suling Emas senang melihat ini dan ia pun mempercepat langkahnya sehingga sebentar saja mereka sudah keluar dari kota Ban-sin.
**** 060 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar