FB

FB


Ads

Rabu, 17 Juli 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 141

Kakek itu termenung sejenak.
“Suling Emas termasuk seorang di antara tokoh-tokoh aneh di dunia ini. Aku khawatir kalau-kalau maksud hatimu akan gagal, Nak. Mengapa tidak kau batalkan saja dan hidup mencapai kebahagiaan penuh damai daripada kesunyian seperti aku? Aku tanggung bahwa kebahagiaan itu akan jauh lebih sempurna daripada kebahagiaan duniawi.”

“Cobalah dulu, Locianpwe. Belum tentu dia tidak setuju, agaknya.... agaknya dia pun bukan tak suka kepada saya....”

Akhirnya kakek itu mengangguk-angguk dan menghela napas.
“Baiklah.... baiklah, akan tetapi jangan kau lalu membunuh diri kalau dia menolak. Berjanjilah dulu, tanpa janjimu aku takkan mau menerima permintaanmu.”

“Saya berjanji takkan membunuh diri kalau.... dia menolak.”

“Dan akan suka menjadi muridku,” sambung kakek itu.

“.... dan akan suka menjadi murid Locianpwe....”

“Bagus!” Kakek itu tampak girang, “Nah, kau beristirahatlah, kita menanti sampai dia kembali.”

Akan tetapi pada saat itu, di luar pondok terdengar langkah kaki orang. Tergopoh-gopoh Tan Lian berlari ketuar, hatinya sudah tak sabar lagi untuk menyambut kedatangan Suling Emas. Ia harus cepat melihat dengan mata sendiri bahwa pendekar itu kembali dalam keadaan selamat.

Ketika ia melangkah keluar dari pintu pondok, tiba-tiba ia tercengang dan berdiri seperti patung, memandang laki-laki muda yang berdiri di pekarangan rumah itu dengan mata terbelalak. Pemuda itu, yang berpakaian sederhana seperti seorang pelajar, kelihatan lelah sekali, berwajah tampan dan keningnya lebar, juga memandang kepadanya, mata yang sayu kelelahan itu bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri.

“Lian-moi (Adik Lian)....!” Akhirnya ia berseru dan tersaruk-saruk ia melangkah maju.

“Kau....? Kenapa kau datang kesini?”

“Kenapa? Lian-moi, tentu saja hendak mencarimu, menyusulmu! Lian-moi, hampir gila aku mencarimu, mengikuti jejakmu. Lian-moi, mengapa kau disini dan dengan siapakah kau....”

Orang muda yang bukan lain adalah Thio San itu tiba-tiba berhenti karena melihat munculnya seorang kakek yang bersikap tenang dan bermata tajam muncul di pintu, di belakang tunangannya.

“Thio San! Sudah berapa kali kujelaskan kepadamu bahwa di antara kita sudah tidak ada ikatan dan tidak ada urusan apa-apa lagi. Kenapa kau begini tak tahu malu dan masih berani menyusulku dan mengikutiku selalu? Pergilah!”

“Tapi....”

“Pergilah, sebelum aku habis sabar dan terpaksa bertindak kasar!”

“Tapi, Lian-moi, kita bertunangan....”

“Hemmm, kalau tidak ingat akan hubungan itu, sudah dulu-dulu aku mengenyahkanmu dengan kekerasan. Thio San, sejak dua belas tahun yang lalu, di depan engkau dan orang tuamu, bukankah aku sudah menyatakan pembatalan ikatan itu? Bukankah sudah kujelaskan secara terang-terangan apa yang menjadi sebabnya? Thio San, antara kita sudah tidak ada apa-apa lagi. Nah, cukup, kau pergilah!”

Karena hampir tidak kuat menahan air matanya, Tan Lian lalu membalikkan tubuhnya dan lari memasuki pondok.

Pemuda itu berdiri dengan muka pucat, sinar matanya menjadi makin sayu, wajahnya makin muram, tubuhnya bergoyang-goyang seperti sebatang pohon terlanda angin, agaknya ia mengerahkan seluruh tenaganya agar tidak roboh.

“Orang muda,” Kim-sim Yok-ong berkata, suaranya halus menghibur. “Aku tidak berhak mencampuri urusanmu, akan tetapi biarlah kuperingatkan kau bahwa perjodohan yang dipaksakan oleh sefihak takkan membentuk rumah tangga yang berbahagia. Syarat utama perjodohan adalah kesediaan, kerelaan dan cinta kasih kedua fihak. Karena itu, seorang laki-laki harus dapat menguatkan hati dan rela berkorban perasaan demi mencegah dirinya sendiri terperosok ke dalam neraka rumah tangga yang tidak bahagia.”

Suara orang lain yang memasuki telinganya menyadarkan pemuda itu dari keadaan yang memelas (menimbulkan iba) itu. Ia mengangkat dadanya dan menegakkan kepalanya, memandang tajam kepada kakek itu ketika menjawab.

“Orang tua, aku tidak mengenal siapakah engkau, akan tetapi karena ucapanmu bermaksud baik, aku berterima kasih sekali kepadamu. Namun, kalau aku harus membenarkan pendapatmu itu, lalu kemana nanti perginya kesetiaan dan kebaktian? Jodoh yang sudah dipilihkan orang tua semenjak kecil, harus diterima dengan rela, itu bakti namanya! Satu kali orang bertunangan, harus ditunggu sampai mati, itu setia namanya! Betapapun juga, kau betul, orang tua. Dia tidak suka kepadaku dan aku tidak dapat memaksanya. Dia seorang ahli silat yang lihai, hatinya penuh dendam yang belum terbalaskan, hidupnya bagaikan seekor naga yang melayang-layang di angkasa dengan bebas beterbangan di antara awan dan petir! Sedangkan aku.... aku....”

“Dan kau seorang muda yang penuh filsafat, yang mabuk akan ujar-ujar kuno, yang hidup menurunkan garis-garis dalam kitab, yang buta akan kenyataan bahwa betapapun mengecewakannya, manusia yang belum mau melepaskan diri daripada kehidupan ramai, berarti belum mungkin terlepas daripada nafsu-nafsu duniawi! Kau tidak mau mengerti bahwa orang seperti Tan Lian hanya tunduk kepada nafsu yang menguasai hatinya, sebaliknya kau hanya tunduk kepada peraturan tanpa mau menjenguk keadaan orang lain. Orang muda, aku kasihan kepadamu. Kau seorang yang baik, berbakti dan setia, akan tetapi kau lemah! Bukan lemah jasmani saja, juga lemah batinmu karena kau malu akan kenyataan bahwa juga engkau telah dikuasai nafsu yang mendorong cinta nafsumu terhadap Tan Lian, akan tetapi kau tidak berterus terang, malah kau hendak menutupi cintamu dengan dalih setia dan berbakti! Sayang....”

Tiba-tiba dua titik air mata membasahi pipi pemuda itu yang menundukkan mukanya dan berkata,

“Orang tua, kau betul. Aku cinta padanya, tapi dia menolakku. Namun, aku akan menanti dengan sabar, seperti yang sudah kulakukan belasan tahun lamanya, karena kulihat dia masih sendiri. Kalau dia sudah bersuamikan orang lain, barulah aku akan mundur. Maafkan aku, orang tua,”

Setelah berkata demikian, pemuda itu menjura dan membalikkan tubuh, lalu berjalan dengan langkah-langkah gontai meninggalkan pondok.

Sampai lama Kim-sim Yok-ong berdiri memandang dari depan pintu pondoknya sambil menggoyang-goyang kepala dan menghela napas.

“Sampai sekarang, entah sudah berapa juta orang muda menjadi korban penyakit asmara ini. Sungguh memalukan, aku yang berjuluk Yok-ong belum juga dapat menemukan obatnya!”

Sambil menggeleng-geleng kepala ia memasuki pondoknya dan melihat Tan Lian menangis terisak-isak sambil menutupi muka dengan kedua tangan, kakek ini tidak mau bertanya-tanya lagi. Ia maklum bahwa gadis ini tentu merasa menyesal, berduka, dan malu karena urusan pribadinya telah terdengar orang lain.

“Locianpwe...., aku.... aku malu sekali. Ah, Locianpwe tentu akan memandang rendah kepadaku.... seorang gadis yang sudah ditunangkan sejak kecil akan tetapi berani minta tolong kepada Locianpwe untuk menguruskam perjodohan dengan pria lain....! Kalau Locianpwe merasa bahwa aku terlalu hina dan rendah, biarlah aku pergi dari sini dan tidak berani mengganggumu lagi....”

“Hemmm, aku tahu keadaan hatimu, Nak, dan tidak biasanya aku mencampuri urusan pribadi orang lain. Aku tidak memandang rendah dan aku tetap akan memegang janjiku.” Mendengar ucapan ini, Tan Lian berlutut dan merangkul kaki Yok-ong sambil menangis.

**** 141 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar