FB

FB


Ads

Senin, 15 Juli 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 140

Suling Emas segera menghampiri dan giranglah hatinya melihat gadis itu sudah sembuh sama sekali, tampak dari wajahnya yang segar.

“Syukur kau telah tertolong, Nona. Akan tetapi kau harus beristirahat disini barang tiga hari menurut pesan Yok-ong Locianpwe. Akan tetapi celaka, hari ini terjadi hal hebat. Dua orang iblis yang tidak terkenal mengamuk dan melukai banyak orang, hanya untuk menguji kepandaian Kim-sim Yok-ong.”

Secara singkat Suling Emas menceritakan keadaan itu, sedangkan Yok-ok sama sekali tidak ambil peduli dan tetap sibuk mengurusi mereka yang luka.

Tan Lian menjadi heran dan terharu menyaksikan kebaikan hati tabib itu.
“Apa? Aku harus beristirahat saja melihat begini banyaknya orang yang perku ditolong? Tidak, Locianpwe, aku siap membantumu!”

Ia meloncat turun dari pembaringan dan biarpun kepalanya masih agak pening, namun gadis ini dengan cekatan lalu mulai membantu dengan masak air dan lain-lain.

Kim-sim Yok-ong mengangguk-angguk dan memandang sebentar.
“Boleh kau boleh membantu. Yang tak boleh kau lakukan hanya pengerahan tenaga dalam. Bagus hari ini aku bersusah-payah menolongmu bukah tiada gunanya. Nona kau ambilkan bungkusan dari atas lemari itu, kemudian kau bakar ujung semua jarum ini sampai terasa panasnya pada ujung gagangnya.”

Demikianlah, tiga orang itu semalam suntuk sibuk menolong orang dan baiknya dua orang iblis tua itu agaknya sudah cukup “menguji kepandaian” Kim-sim Yok-ong, buktinya tidak ada lagi orang terluka mereka antarkan.

Pada keesokan harinya menjelang tengah hari, barulah selesai pekerjaan itu. Sebanyak empat puluh lebih orang telah sembuh dan boleh pulang, akan tetapi ada delapan orang yang tak dapat tertolong dan kini rebah menjadi mayat di dalam pondok.

Kim-sim Yok-ong tampak lelah sekali, jauh lebih lelah dari Tan Lian yang juga bekerja keras dalam keadaan belum pulih tenaganya. Kakek ini tampak duduk di atas bangku, bersila dan wajahnya keruh, keningnya berkerut-kerut dan agak pucat. Ia berkali-kali menarik napas panjang dan memandangi mayat-mayat yang berjajar di situ.

“Locianpwe, harap Locianpwe tidak merasa berduka. Sudah cukup hebat kepandaian Locianpwe dan delapan orang korban ini agaknya memang sudah dikehendaki Thian untuk mati. Apakah yang harus disesalkan? Biarlah saya mengubur mayat-mayat ini!”

Kim-sim Yok-ong menggeleng-geleng kepalanya dan menarik napas panjang,
“Bukan itu yang menyusahkan hatiku, orang muda. Kau tidak mengerti, apa kehendak dua orang aneh itu dengan perbuatan mereka?”

“Apalagi kalau tidak hendak menguji kepandaian Locianpwe? Kalau memang mereka itu orang-orang yang mempunyai sedikit saja prikemanusiaan, tentu mereka akan menyesali perbuatan mereka dan akan mengakui keunggulan Locianpwe dalam hal melawan dan memunahkan akibat pukulan-pukulan beracun mereka!”

“Bukan...., bukan demikian. Ketahuilah, Kim-siauw-eng, mereka itu sengaja melakukan bermacam-macam pukulan dengan penggunaan racun yang berbahaya, tak lain hendak mempelajari caraku memberi obat. Mereka memaksaku mengeluarkan ilmu pengobatan dan agaknya mereka memang sengaja hendak mempelajarinya. Ilmu pengobatan memang amat baik dan boleh saja diketahui semua orang, akan tetapi kurasa bukan dengan niat baik kedua orang itu mempelajarinya, buktinya cara mereka mempelajari sudah cukup ganas dan keji. Aku khawatir sekali....”

“Siapakah iblis-iblis itu?” Tan Lian berseru. “Kalau sudah pulih kembali kesehatanku, akan kucari mereka dan kuajak mereka bertanding. Membasmi mereka atau mati di tangan mereka merupakan tugas seorang yang menjunjung kegagahan!”

Suling Emas memandang kagum dan kakek itu menghela napas.
“Nona, bukan sekali-kali aku memandang rendah kepadamu. Akan tetapi kepandaian dua orang itu, biapun Thian-te Liok-koai sendiri belum tentu dapat menandinginya!”

Suling Emas kaget. Ia harus percaya omongan tabib dewa ini yang tentu dapat menilai kepandaian orang melihat akibat pukulan-pukulannya. Diam-diam ia bergidik dan makin kuat niatnya untuk menggempur dua orang kakek itu.

“Biarlah saya mengubur mayat-mayat ini dan setelah itu, aku akan mencari mereka berdua untuk minta pertanggungan jawab mereka!”






Dengan dibantu oleh Tan Lian, Suling Emas mengubur delapan mayat itu, disaksikan oleh Kim-sim Yok-ong yang merasa prihatin sekali. Baru kali ini selama ia memdapat julukan Raja Obat, ia gagal menyembuhkan delapan orang yang meninggal dunia di depan matanya. Ia merasa terhina sekali.

Setelah delapan buah mayat itu dimasukkan lubang di tanah dan mereka mulai menguruk dengan tanah, tiba-tiba terdengar suara ketawa dari arah barat, suara ketawa kakek merah bersama suara ejekan kakek putih yang sudah dikenal baik oleh Suling Emas.

“Huah-hah-hah, kiranya hanya begini saja kepandaian si Raja Obat!” terdengar suara kakek merah.

“Kau tidak patut dan tidak berhak menggunakan sebutan Yok-ong (Raja Obat) lagi!” seru suara kakek putih.

“Locianpwe, biarkan saya memberi hajaran kepada mereka!”

Suling Emas berseru marah, dan hendak lari ke barat dari mana suara-suara itu datang. Akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang orang. Ia menoleh dan ternyata Tan Lian yang memegang tangannya, wajah gadis itu pucat dan memandang dengan penuh kekhawatiran.

“Ada apa, Nona Tan?” tanya Suling Emas merasa terganggu.

Merah wajah Tan Lian dan gadis ini segera melepaskan pegangannya.
“Tidak apa-apa, hanya.... mereka itu benar-benar sakti, mari kubantu engkau....”

“Terima kasih. Tidak perlu, karena kau sendiri masih belum boleh mengeluarkan tenaga, harus beristirahat sampai sembuh.” Suling Emas lalu berkelebat dan lari untuk mencari dua orang kakek iblis itu.

“Kau.... berhati-hatilah....!”

Seru Tan Lian dan sampai lama gadis ini berdiri bengong memandang ke arah barat, ke arah perginya pendekar yang sudah menundukkan hatinya itu. Sampai lama ia berdiri seperti patung, tidak tahu bahwa pekerjaan menguruk kuburan masih menanti dan juga bahwa si kakek tabib memandanginya dengan tarikan napas panjang.

“Anak yang baik, mayat-mayat itu menunggu untuk diuruk selekasnya!” Tiba-tiba tabib itu berkata.

Sadarlah Tan Lian daripada lamunannya dan segera ia mengerjakan tanah galian untuk menguruk lubang-lubang kuburan itu bersama Kim-sim Yok-ong. Kemudian tabib itu mengajak Tan Lian ke pondok dan mereka membersihkan pondok dari darah yang berceceran. Kim-sim Yok-ong menyiram-nyiramkan obat pemunah hawa beracun dan membakar akar wangi, kemudian ia memanggil gadis itu untuk duduk di depannya.

“Tak usah kau merasa khawatir. Biarpun kedua orang iblis itu lihai sekali, namun Suling Emas biarpun masih muda adalah seorang pendekar yang sakti dan waspada. Kurasa tidak akan mudah mencelakakan Suling Emas,” kata kakek itu dengan suara menghibur.

“Mudah-mudahan begitulah, Locianpwe,” jawab Tan Lian yang kemudian menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu. “Saya berhutang nyawa kepada Locianpwe, apabila dalam hidup ini saya tidak mampu membalas, biarlah dalam penjelmaan lain saya akan menjadi binatang peliharaan Locianpwe untuk membalas budi.” Dan tiba-tiba dengan sedih nona ini menangis.

Kim-sim Yok-ong tertawa, mengelus-elus jenggotnya dan membangunkan gadis itu.
“Jangan begitu, kau duduklah. Jangan kau ikat aku dengan belenggu karma. Semua yang kulakukan bukanlah untuk menanam budi, juga bukan bermaksud menolong, melainkan karena sudah menjadi kewajibanku. Anak yang baik, kalau orang sudah setua aku ini, seharusnya melakukan segala sesuatu tanpa pamrih, hanya berdasarkan kewajiban dan sebagai pujaan kepada kebesaran Thian. Nona, kau telah terpukul oleh seorang yang memiliki pukulan dasar dari ilmu silat Beng-kauw, pukulan yang dahsyat dan yang tadinya kuanggap hanya mampu dilakukan oleh Pat-jiu Sin-ong seorang. Siapakah yang memukulmu dan mengapa? Bagaimana pula Suling Emas yang membawamu ke sini? Kalau kau tidak keberatan, harap kau ceritakan kepadaku karena aku merasa kasihan kepadamu dan ingin memberi sekedar nasihat.”

Makin sedih tangis Tan Lian mendengar pertanyaan ini. Ia hidup sebatangkara, selama ini tidak ada orang lain yang memperhatikan nasibnya kecuali, tentu saja, Thio San. Thio San adalah seorang pemuda, tunangannya sejak kecil. Akan tetapi ia telah menyia-nyiakan pertunangannya dengan Thio San dan selalu menghindari pemuda itu karena besarnya tekad dan cita-citanya selama ini untuk membalas dendam.

Selain ini, di lubuk hatinya, ia pun tidak puas dengan tunangan ini, tunangan yang dipilih ayahnya semenjak ia masih kecil karena Thio San adalah putera sahabat baik ayahnya. Ia tidak puas karena Thio San, sungguhpun merupakan seorang pemuda yang tampan dan baik, dan yang ternyata amat setia dan amat mencintanya pula, hanya seorang pemuda terpelajar yang lebih tekun mempelajari kesusastraan sehingga dalam pandangannya Thio San adalah seorang pemuda lemah yang tidak mengerti ilmu silat. Tidak sesuai dengan keadaannya sendiri sebagai puteri mendiang Hui-kiam-eng Tan Hui yang terkenal sebagai seorang pendekar besar.

“Locianpwe, banyak terima kasih atas perhatian Locianpwe terhadap diri saya yang bernasib malang ini. Sesungguhnya secara terus terang saya mengakui bahwa yang memukul saya adalah adik tiri Suling Emas, sedangkan Suling Emas adalah.... adalah musuh besar saya.”

“Apa? Musuh besarmu? Akan tetapi dengan susah payah dia membawamu kesini!”

“Itulah yang memberatkan hati saya, Locianpwe, dan saya mohon petunjuk. Sebetulnya bukan dia musuh saya, melainkan ibunya, Tok-siauw-kui yang sudah membunuh ayah saya.”

“Siapakah ayahmu?”

“Mendiang ayah adalah Hui-kiam-eng Tan Hui....”

“Ahhh....! Tentu saja aku kenal dia. Lalu bagaimana? Teruskanlah dan jangan ragu-ragu, mendiang ayahmu dahulu adalah sahabat baikku, dia seorang pendekar besar.”

Mendengar ini, makin deras air mata mengucur keluar dari sepasang mata gadis itu. Setelah dapat meredakan tangisnya ia menyambung ceritanya,

“Kematian ayah membuat saya menjadi seorang yang hidup sebatangkara, tidak ada cita-cita lain di hati kecuali mencari Tok-siauw-kui dan membalas dendam. Akan tetapi karena Tok-siauw-kui amat lihai sehingga ayah sendiri kalah olehnya, saya melewatkan waktu sampai belasan tahun untuk memperdalam ilmu silat. Akan tetapi, Locianpwe, alangkah malang nasib saya. Begitu saya merasa bahwa sudah tiba saatnya saya pergi mencari Tok-siauw-kui yang kabarnya berada di Nan-cao, bersembunyi di sana dan saya segera berangkat, di tengah jalan saya mendengar berita bahwa Tok-siauw-kui baru saja tewas!”

“Ah, hancur hati saya karena saya tidak berhasil membalas dendam. Akan tetapi, kemudian saya mendengar dari It-gan Kai-ong bahwa Tok-siauw-kwi adalah ibu dari Suling Emas. Tentu saja saya ikut bersama tokoh-tokoh kang-ouw lain untuk membalaskan sakit hati itu kepada putera musuh besar saya. Kembali saya kecewa, Locianpwe, karena.... karena.... saya tidak mampu mengalahkan Suling Emas, malah.... malah.... ketika saya bersumpah di depan makam ayah untuk membalaskan dendam itu kepada isteri dan anak-anak Suling Emas, saya dipukul roboh oleh adik tirinya dan.... dia malah menolong saya....” Gadis itu kembali menangis sedih.

“Hemmm.... hemmm.... tidak hanya kau kalah oleh Suling Emas, malah hatimu pun roboh oleh asmara. Kau mencinta Suling Emas?”

Seketika berhenti tangis Tan Lian dan ia melonjak kaget, memandang kakek itu dengan muka pucat dan mata terbelalak. Kakek itu tetap tersenyum sabar.

“Bagaimana.... bagaimana.... Locianpwe bisa tahu....?” Akhirnya Tan Lian bertanya dengan suara gagap.

Senyum kakek itu melebar,
“Aku pernah muda, anak baik, dan sudah banyak kusaksikan di dunia ini. Sudah banyak dongeng dan peristiwa terjadi karena cinta. Kalau tidak karena cinta, agaknya tidak akan terjadi urusanmu dengan Suling Emas, tidak akan terjadi permusuhan yang terpendam di hatimu. Ayahmu pun menjadi korban cinta. Karena itu, kau percayalah kepadaku, anak baik, buang jauh-jauh perasaan itu karena kulihat bahwa kau berbakat untuk menjadi muridku. Tadinya aku tidak ada niat memiliki murid, akan tetapi setelah dua iblis itu mengakaliku dan mencuri banyak pengetahuanku, aku harus menurunkan kepandaianku. Kaulah yang cocok untuk menjadi muridku, tidak saja kau berbakat, akan tetapi kau pun anak sahabatku.”

Tan Lian menjatuhkan diri lagi berlutut di depan kakek itu.
“Ohhh, Locianpwe saya merasa seakan-akan bertemu dengan ayah saya. Locianpwe, tolonglah saya. Saya sudah bersumpah hendak membunuh isteri dan anak-anak Suling Emas, akan tetapi.... dia tidak punya isteri dan.... dan memang betul saya jatuh cinta kepadanpa. Locianpwe, sudilah Locianpwe menolong saya, mewakili orang tua saya yang sudah tiada, harap suka usahakan perjodohan saya dengan Suling Emas. Kalau hal ini tidak terjadi, saya merasa sia-sia hidup di dunia, dendam ayah tak terbalas, hasrat hati hendak memunahkan dendam dengan ikatan jodoh tak tercapai....”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar