FB

FB


Ads

Senin, 15 Juli 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 139

Suling Emas kaget dan melihat lagi. Matanya terbelalak kelika ia melihat batu besar yang disangkanya tidak apa-apa itu, kini mulai bergerak-gerak tak lama kemudian runtuh dan kiranya sudah hancur menjadi debu! Diam-diam ia kaget sekali. Dua orang kakek ini benar-benar merupakan orang-orang yang paling sakti yang pernah ia jumpai atau dengar, kecuali tentu saja Bu Kek Siansu, akan tetapi kakek itu memang boleh disejajarkan dengan manusia biasa.

Cepat ia menjura penuh penghormatan sambil berkata.
“Mohon maaf sebesarnya bahwa karena teecu (murid) tidak mengenal siapa adanya Ji-wi Locianpwe (Dua Kakek Sakti), maka terlambat untuk mengadakan penyambutan. Teecu juga hanya seorang tamu dari tuan rumah Kim-sim Yok-ong yang kini sedang sibuk mengobati orang sakit. Harap Ji-wi (Tuan berdua) sudi menunggu, biarlah teecu menyingkir kalau kehadiran teecu tidak menyenangkan hati Ji-wi.”

Biarpun maklum bahwa dua orang kakek itu sakti luar biasa, akan tetapi tentu saja Suling Emas tidak merasa takut. Ucapannya yang sopan dan mengalah bukanlah bayangan daripada rasa takut, melainkan bayangan daripada sikapnya yang menghormat orang asing yang lebih tua, dan juga karena ia sedang menghadapi tugas penting mewakili ibunya menghadapi anggauta-anggauta Thian-te Liok-koai, maka dia tidak mau mencari perkara lain yang akan mengacaukan tugasnya.

“Huah-hah-hah, orang muda ini boleh juga. Heh, orang muda, kami datang karena mendengar nama besar Kim-sim Yok-ong yang menjulang tinggi sampai ke langit. Akan tetapi kami tidak percaya kalau tidak membuktikan sendiri sampai dimana kepandaiannya. Kata orang, tabib sombong ini dapat menghidupkan lagi orang mati terkena racun!”

Diam-diam Suling Emas mendongkol. Dua orang kakek ini boleh jadi sakti, akan tetapi sikap mereka berandalan.

“Saya rasa berita itu tidak benar, Locianpwe. Sepandai-pandainya orang, bagaimana bisa menghidupkan orang yang sudah mati? Akan tetapi memang benar bahwa Kim-sim Yok-ong pandai sekali mengobati korban-korban segala macam pukulan dan senjata beracun yang bagaimana parah sekalipun!”

“Huh, huh!”

Si kakek putih, berbeda dengan si kakek merah yang selalu tertawa mengejek, kalau bicara selalu bersungut-sungut.

“Siapa mau percaya? Coba dia sembuhkan akibat pukulanku ini!”

Setelah berkata demikian kakek putih ini melemparkan tawanannya ke atas tanah dan tangan kirinya bergerak. Terdengar jerit mengerikan dan tubuh orang gunung itu tidak berkutik lagi, kaku kejang seperti sebatang balok.

“Huah-hah-hah, bagus! Memang tanpa diuji mana mau percaya? Andaikata dia bisa menyembuhkan dia itu, tak mungkin dia bisa menyembuhkan orang ini!”

Ia pun mendorong tawanannya ke depan dan memukul. Kembali terdengar jerit keras dan orang gunung ke dua ini berkelojotan di atas tanah.

Suling Emas kaget dan marah, akan tetapi dua orang kakek itu sudah berkelebat dan lenyap dari situ. Hanya gema suara ketawa kakek merah yang masih terdengar. Ingin Suling Emas mengejar dan menegur kakek itu, bahkan ia pun siap untuk mengadu kepandaian dengan dua orang kakek yang kejam itu.

Akan tetapi karena kedua orang penduduk gunung yang tak berdosa itu berada dalam keadaan luka hebat dan maut mengancam nyawa mereka, Suling Emas membatalkan niatnya mengejar, kemudian cepat ia menghampiri dua orang korban untuk memeriksa keadaannya.

Tercenganglah Suling Emas ketika menyaksikan keadaan dua orang itu. Mereka sama sekali tidak terluka, akan tetapi keadaan mereka sungguh mengerikan. Korban kakek putih masih tetap kaku kejang, seluruh tubuhnya mulai berubah warna menjadi keputih-putihan dan biarpun masih bernapas, namun ketika diraba terasa dingin seperti salju!

Sebaliknya, korban kakek merah berkelojotan, tubuhnya mulai kemerahan-merahan, bahkan dari lubang-lubang tubuhnya mulai keluar asap tipis dan kalau diraba darahnya panas seperti api!

Melihat keadaan mereka ini, cepat-cepat Suling Emas lari memasuki pondok untuk memanggil Kim-sim Yok-ong. Ia maklum bahwa kakek itu sedang mengobati Tan Lian dan biasanya ia pun tidak berani mendesak atau mengganggu si raja obat. Namun karena keadaan memaksa, terdorong rasa kasihan terhadap dua orang penduduk gunung yang tak berdosa ini, Suling Emas segera berseru dari pintu.

“Locianpwe, harap lekas keluar, disini ada dua orang korban yang membutuhkan pertolongan Locianpwe!”






Akan tetapi sebetulnya tidak perlu dia berteriak-teriak karena pada saat itu kebetulan sekali Kim-sim Yok-ong keluar dari dalam ruangan pengobatan sambil tersenyum. Begitu melihat kakek ini, teringatlah Suling Emas akan keadaan Tan Lian maka cepat ia bertanya,

“Bagaimana dengan keadaan nona itu, Locianpwe?”

Lega hati Suling Emas. Setelah mendengar bahwa Tan Lian tertolong, ia teringat kembali kepada dua orang korban di luar.

“Locianpwe, di luar ada dua orang korban yang keadaannya amat berbahaya, harap Locianpwe sudi monolong orang-orang yang tak berdosa itu.”

Tanpa banyak cakap lagi Kim-sim Yok-ong lalu melangkah cepat keluar pondok. Melihat dua orang menggeletak di pekarangan rumahnya, yang seorang berkelojotan dan yang kedua diam tak bergerak kaku, ia cepat menghampiri dan memeriksa. Keningnya berkerut-kerut dan ia menggeleng-gelengkan kepala, kadang-kadang mulutnya mengeluarkan seruan-seruan heran dan kaget.

“Kim-siauw-eng, apakah yang terjadi disini tadi?”

Tanyanya tanpa menoleh kepada Suling Emas sambil memeriksa tubuh korban kakek putih yang makin lama makin dingin tubuhnya itu.

Dengan singkat Suling Emas menuturkan tentang dua orang kakek aneh yang tadi datang. Mendengar ini, tabib sakti itu mengeluarkan seruan aneh, bangkit berdiri dan memandang Suling Emas dengan mata terbelalak.

“Agaknya mereka itu bukan manusia!” serunya kaget. “Kalau mereka manusia, tokoh dari golongan manapun juga, tentu pernah kulihat atau setidaknya kudengar nama dan keadaannya. Akan tetapi selama puluhan tahun aku hidup, belum pernah mendengar tentang seorang kakek putih dan seorang kakek merah. Lebih hebat lagi, aku tidak mengenal pula pukulan-pukulannya terhadap dua orang ini!”

Ia menarik napas panjang.
“Gunung Thai-san ini boleh dibilang tinggi, namun puncaknya masih kalah tinggi oleh awan. Sungguh segala sesuatu di dunia ini tak dapat diukur batasnya. Mereka itu agaknya sengaja menantangku dan hendak menguji. Hemmm, orang-orang sesat, nyawa manusia dibuat main-main! Butakah mereka sehingga tidak melihat bahwa mati hidupnya seseorang bukan sekali-kali tergantung daripada kepandaianku mengobati, melainkan tergantung sepenuhnya pada kehendak Thian? Kim-siauw-eng, bawalah masuk mereka, akan kucoba menolong, sungguhpun aku merasa ragu-ragu untuk dapat menyelamatkan mereka.”

Suling Emas cepat mengempit dua orang itu dan membawanya masuk ke dalam pondok dan atas permintaan tabib sakti itu. Ia membaringkan mereka di atas bangku-bangku kayu yang berada di ruangan belakang. Kemudian seperti yang diminta oleh Kim-sim Yok-ong. Suling Emas menanggalkan pakaian kedua orang itu, pakaian bagian atas sehingga tubuh mereka bagian atas telanjang. Ngeri sekali keadaan mereka. Tubuh mereka itu kini yang seorang sudah berubah putih, yang kedua menjadi merah, persis warna kulit ke dua orang kakek aneh itu.

Sementara itu, Kim-sim Yok-ong sibuk membakar ujung jarum-jarum perak dan emas di atas api lilin. Kemudian ia menghampiri korban kakek putih yang tubuhnya kaku dan berwarna putih itu. Dengan gerakan hati-hati sekali namun tidak ragu-ragu, ia menancapkan jarum-jarum emas pada jalan-jalan darah tertentu di dada, leher dan pusar!

Kemudian ia menggunakan jarum-jarum perak untuk menusuk jalan-jalan darah pada tubuh orang kedua yang menjadi korban kakek merah. Setelah pada masing-masing tubuh kedua orang korban itu tertancap tujuh batang jarum, Kim-sim Yok-ong mengeluarkan sebatang pisau yang tajam lalu melukai kedua telapak tangan mereka dengan ujung pisau.

Aneh! Dari luka di telapak tangan korban kakek putih segera mengucur keluar darah yang keputih-putihan sedangkan dari luka di telapak tangan korban kakek merah mengucur darah yang kehitaman!

Lambat laun, berubahlah warna pada wajah kedua orang itu, kembali menjadi normal dan napas mereka pun mulai tenang. Akhirnya mereka bergerak-gerak mengeluh panjang. Kim-sim Yok-ong menarik napas panjang, kelihatan lega hatinya. Akan tetapi agaknya ia tadi telah mengerahkan tenaga dan mencurahkan seluruh perhatiannya, sehingga ia tampak lelah dan sambil menghapus keringatnya, ia mulai mencabuti jarum-jarum yang menancap di tubuh kedua orang itu.

“Siapapun kedua iblis itu, dia tidak mungkin dapat mengalahkan kekuasaan Thian,” kata Kim-sim Yok-ong perlahan. “Inilah buktinya! Karena agaknya Thian belum menghendaki kedua orang tak bersalah ini tewas, kebetulan sekali aku dapat menyembuhkan luka-luka mereka yang hebat, akibat pukulan aneh yang belum pernah kusaksikan sebelumnya. Betapapun juga, pukulan kakek merah itu mengandung unsur panas sedangkan pukulan kakek putih mengandung pukulan dingin. Di dunia ini, hanya terdapat dua macam unsur tenaga, Im dan Yang, sungguhpun berbeda ragam dan caranya, namun bersumber sama.”

Suling Emas menyaksikan dan mendengarkan dengan hati penuh kekaguman. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa yang sudah amat dikenalnya.

“Huah-hah-hah, Kim-sim Yok-ong! Jangan bergembira dulu dan merasa senang! Cobalah kau punahkan akibat pukulan-pukulan kami ini!”

Bagaikan kilat menyambar, Suling Emas sudah berkelebat keluar pondok, siap untuk menghadapi dua orang iblis asing yang hendak menguji kepandaian Kim-sim Yok-ong dengan cara buas, yaitu melukai orang-orang tak bersalah itu, main-main dengan nyawa orang seakan-akan mereka itu hanya binatang-binatang kelinci saja.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba di pekarangan depan, ia tidak melihat dua orang kakek itu melainkan empat orang dusun lain yang sudah menggeletak tak bergerak di atas tanah.

“Celaka! Keji benar mereka!” serunya sambil membungkuk untuk memeriksa.

“Jangan pegang mereka! Biarkan aku memeriksa lebih dulu!” seru Kim-sim Yok-ong sambil berlari-lari keluar.

Hebat sekali keadaan empat orang itu. Mereka adalah korban baru. Ada yang tulangnya patah-patah sampai menjadi puluhan potong! Ada yang tulangnya remuk-remuk. Ada yang seluruh tubuhnya keluar bintik-bintik merah dan orang ke empat mengeluarkan darah dari semua lubang di tubuhnya!

“Kejam....!” Seru Yok-ong. “Kim-siauw-eng, bantulah aku. Mereka harus cepat-cepat ditolong!”

Maka bekerjalah Suling Emas mengangkat orang-orang itu ke dalam pondok dan ia girang melihat dua orang dusun pertama sudah dapat bangun. Segera Yok-ong menyuruh mereka pulang sanibil membawa obat-obat minum kepada kedua orang itu.

Akan tetapi selanjutnya ia sibuk mengobati empat orang yang menderita luka-luka hebat sekali. Suling Emas hanya membantu, memasakkan obat, mengambilkan daun ini dan akar itu, sambil mengagumi cara tabib sakti itu menolong para korban. Cekatan dan terampil, hati-hati dan tepat sehingga kembali empat orang itu dapat diselamatkan nyawanya.

Akan tetapi, secara berturut-turut pekarangan depan pondok itu kebanjiran para korban dua orang kakek iblis yang aneh itu, yang selalu meninggalkan korban mereka di pekarangan pondok sehingga dalam waktu setengah hari saja di situ berkumpul tiga puluh orang lebih yang terancam nyawanya dengan pelbagai macam luka-luka hebat, dari racun-racun yang paling ganas sampai pukulan-pukulan yang paling keji yang selamanya belum pernah terbayangkan oleh Suling Emas, bahkan yang banyak di antaranya membuat si tabib sakti agak bingung!

Akhirnya si tabib sakti terpaksa mengakui kehebatan dua orang kakek itu karena menjelang senja, sudah ada empat orang yang tewas, karena tak mampu ia menyembuhkannya!

Hebatnya, malam itu masih bertambah lagi jumlah korban sehingga seluruhnya menjadi lima puluh orang korban tangan maut kakek merah dan kakek putih yang luar biasa ini! Suling Emas memuncak kemarahannya, namun ia tidak dapat melakukan pencegahan atau pun pengejaran karena tenaganya amat dibutuhkan untuk membantu Kim-sim Yok-ong.

Baiknya Tan Lian siuman menjelang malam dan keadaannya sedemikian baiknya sehingga gadis ini mampu bangkit duduk dan memandang ke kanan kiri dengan keheran-heranan karena ia melihat seorang kakek tua dibantu oleh Suling Emas sibuk mengurus dan mengobati puluhan orang. Biarpun yang sembuh telah disuruh pulang oleh tabib sakti itu, namun di dalam rumah masih terkumpul tiga puluh orang dan enam orang mayat!

“Ahhh.... apa yagg terjadi? Di mana aku....?” Gadis itu bertanya, penuh kengerian hati.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar