Dengan gerakan yang cepat sekali, bagaikan terbang saja terlihat dari jauh, pendekar sakti Suling Emas lari mendaki puncak Thai-san. Ia sengaja mencari tempat-tempat tinggi, bahkan kadang-kadang ia meloncat naik ke atas pohon untuk melihat keadaan sekitar pegunungan itu dalam usahanya mencari jejak dua orang iblis tua yang telah mengacau pondok Kim-sim Yok-ong.
Namun sudah sehari semalam ia mencari, hasilnya sia-sia belaka. Pada hari ke dua, pagi-pagi sekali ia sudah tiba di puncak paling tinggi dan selagi ia meneliti keadaan sekelilingnya, tiba-tiba ia mendengar tetabuhan khim yang nyaring, merdu dan halus.
Sejenak kagetlah Suling Emas karena ingatannya melayang-layang, mengira bahwa Bu Kek Siansu berada di tempat ini. Akan tetapi ketika ia memperhatikan, ia segera mengerutkan keningnya. Suara alat musik yang-khim yang ditabuh ini, sungguhpun cukup nyaring dan merdu, namun memiliki gaya yang liar dan iramanya merangsang. Betapapun juga, harus ia akui bahwa tenaga yang keluar dari suara khim ini cukup hebat, menimbulkan rangsang yang mendebarkan jantung dan bagi orang yang kurang kuat tenaga batinnya, tentu akan roboh di bawah pengaruh suara itu.
Kemudian Suling Emas tersenyum dan teringatlah ia akan Siang-mou Sin-ni, seorang diantara Thian-te Liok-koai, yang dapat mainkan yang-khim seganas ini? Ia ingat bahwa dahulu wanita iblis ini telah merampas alat musik yang-khim dari tangan Bu Kek Siansu dan agaknya ia telah mempelajari alat musik itu, disesuaikan dengan ilmu untuk menyerang orang, baik melalui suara yang-khim maupun dengan cara mempergunakan alat musik itu sebagai senjata.
Diam-diam Suling Emas menghitung-hitung dan memang hari itu sudah tiba saatnya perjanjian para anggauta Thian-te Liok-koai mengadakan pertemuan untuk mengadu ilmu di puncak Thai-san. Karena suara yang-khim dari Siang-mou Sin-ni itu merupakan panggilan atau tantangan, untuk sementara Suling Emas menunda urusannya mencari dua orang asing dan kini ia mencabut sulingnya, meniup dan melagukannya sambil melangkah lebar ke arah datangnya suara.
Sungguh ajaib suara yang terdengar dihutan Gunung Thai-san pada saat itu. Kalau ada orang mendengar suara ini tentu akan mengira bahwa suara itu bukan sewajarnya, mungkin para iblis hutan sedang berpesta.
Suara suling mengalun, bergelombang turun naik mengelus perasaan, menyegarkan akan tetapi juga memabukkan karena memiliki daya seret yang menghanyutkan. Suara ini mengiringi atau diiringi suara berkencringnya yang-khim yang diseling dengan “melody” yang jelas satu-satu dan nyaring, namun bukan main hebatnya suara ini karena setiap bunyi “ting!” dari sehelai kawat yang disentil jari, cukup kuat daya serangnya untuk membuat jantung lawan putus! Perpaduan suara musik yang aneh dan bergema di seluruh hutan, menari-nari di puncak pohon, bahkan menembus dasar jurang yang paling dalam.
Pertandingan jarak jauh yang dilakukan dengan “suara” itu benar-benar amat menarik. Kini Suling Emas tidak melangkah lagi, melainkan berhenti dan berdiri tegak. Mukanya agak merah dan dari belakang kepalanya tampak uap putih tipis. Ini menandakan bahwa Siang-mou Sin-ni sudah memperoleh kemajuan pesat sehingga untuk menghadapi suara yang-khim itu, Suling Emas tak boleh bersikap sembarangan dan harus pula mencurahkan perhatian dan mengerahkan tenaga sin-kang.
Akan tetapi, begitu pendekar sakti ini memusatkan tenaganya, suara yang-khim makin menjadi lemah seakan-akan terdesak suara suling yang makin melengking tinggi itu. Anehnya, daun-daun pohon yang masih hijau segar, yang tumbuh di atas kepala dan di dekat Suling Emas meniup sulingnya, tiba-tiba rontok satu demi satu, melayang-layang ke bawah dengan gerakan aneh dan lucu seakan-akan daun-daun itu menari-nari mengikuti bunyi irama suling!
Akhirnya suara yang-khim itu berhenti dan terdengar keluhan, lalu disusul suara Siang-mou Sin-i dari jauh. Suara itu terdengar lamat-lamat akan tetapi cukup jelas.
“Suling Emas, saat mengadu kepandaian adalah malam nanti kalau bulan sudah muncul. Aku hanya main-main, kenapa kau sungguh-sungguh?”
Suling Emas juga menghentikan tiupan sulingnya dan ia menarik napas panjang lalu tersenyum. Kata-kata itu tak perlu dia menjawabnya. Ia tahu bahwa untuk menghadapi malam pertemuan bulan lima tanggal lima belas, yaitu malam nanti dimana akan diadakan pertandingan untuk menentukan tingkat masing-masing, Siang-mou Sin-ni berusaha untuk “mengukur keadaannya” dengan suara yang-khim tadi.
Dan menurut pendapatnya bahwa biarpun ia tidak kalah oleh Siang-mou Sin-ni dalam penggunaan sin-kang di dalam suara, namun kemajuan wanita iblis itu tak boleh dipandang ringan begitu saja dan malam nanti akan merupakan lawan yang tangguh.
Setelah Siang-mou Sin-ni pergi, Suling Emas teringat kembali akan dua orang kakek yang dicarinya. Ia lalu melanjutkan usahanya mencari jejak kedua orang itu.
“Dua Locianpwe yang muncul di pondok Kim-sim Yok-ong, silakan keluar, saya mau bicara!”
Demikianlah berkali-kali ia berteriak dengan pengerahan khi-kangnya sehingga suaranya bergema sampai jauh. Namun hasilnya sia-sia, tidak ada jawaban kecuali gema suaranya sendiri. Ia melangkah terus dan tiba di sebuah puncak lain. Di sini ia pun berdiri dan meneriakkan panggilannya seperti tadi.
Oleh karena suaranya memang keras, apalagi dengan pengerahan khi-kang, suara itu bergema dan burung-burung yang tadinya enak-enak hinggap dan mengaso di atas cabang-cabang pohon, berlindung dari panasnya matahari di antara daun-daun, menjadi kaget dan beterbangan sambil bercuwit-cuwit, sekelompok burung yang kebetulan berada di pohon dekat Suling Emas berdiri, kaget dan kelepak sayapnya terdengar gaduh. Suling Emas mengangkat muka memandang sambil tertawa.
Akan tetapi suara ketawanya terhenti ketika ia melihat sinar hitam seperti asap menyambar ke atas dan burung-burung itu yang jumlahnya belasan ekor runtuh ke bawah dan berjatuhan di depan kaki Suling Emas. Ketika ia memandang teliti, ternyata burung itu semua telah mati dan kulit mereka berubah menjadi hitam sedangkan bulu-bulunya rontok! Tahulah ia bahwa bukan hanya Siang-mou Sin-ni saja yang sudah hadir di Thai-san, dan agaknya para anggauta Thian-te Liok-koai mulai mendemonstrasikan kelihaiannya.
“Hek-giam-lo iblis keji. Tak perlu kau memperlihatkan kekejamanmu di hadapanku, kalau kau mau mulai bertanding, keluarlah!”
Tidak ada jawaban kecuali suara dengus mengejek yang disusul oleh sambaran sinar hitam yang cepat bagaikan kilat gerakannya. Diam-diam Suling Emas kagum dan mengerti bahwa kepandaian Hek-giam-lo dalam hal melepas senjata rahasia Hek-in-tok-ciam (Jarum Beracun Awan Hitam) telah maju dan jauh lebih berbahaya daripada dahulu dalam pertandingan di puncak Thai-san ini.
Karena ini Suling Emas tidak mau memandang rendah. Cepat tangannya sudah mencabut keluar kipas birunya dan dengan gerakan yang diisi lwee-kang sepenuhnya ia mengibas ke depan. Runtuhlah jarum-jarum hitam itu, semua lenyap ke dalam tanah. Akan tetapi sinar hitam ke dua menyusul, malah lebih besar dan lebih kuat.
Ketika Suling Emas mengibaskan kipasnya lagi, sinar itu membalik, tapi hanya kurang lebih dua meter, lalu terdorong maju lagi, mendesak terus, bahkan kini mulai berpencar menjadi tiga bagian yang menerjang tubuh Suling Emas dari atas, tengah, dan bawah!
Suling Emas terkejut karena pada saat itu, di belakang sinar hitam yang sudah pecah menjadi tiga bagian, tampak belasan sinar berkilauan menyambar pula ke depan. Itulah barisan hui-to (golok terbang), senjata rahasia dari Hek-giam-lo yang ampuh sekali di samping senjata rahasia jarum-jarum beracunnya. Dengan cara luar biasa sekali, iblis hitam itu dapat menyambitkan tiga belas batang golok kecil (belati) sekaligus dan tiga belas batang pisau terbang itu secara tepat mengancam tiga belas bagian tubuh yang kesemuanya mematikan!
“Hek-giam-lo, terlalu kau!” seru Suling Emas dengan marah.
Tangan kanannya sudah mencabut sulingnya dan bagaikan terbang tubuhnya sudah mencelat ke atas. Ketika sinar-sinar hitam itu mengejar, ia mengibaskan kipasnya dan berbareng ia memutar sulingnya merupakan lingkaran besar di depan tubuhnya. Ketika belasan pisau terbang itu tiba, pisau-pisau itu “tertangkap” oleh lingkaran sinar suling, terus ikut berputar-putar merupakan bundaran sinar berkilauan yang indah sekali.
“Terimalah kembali!”
Bentak Suling Emas yang sudah turun ke bawah. Sulingnya digerakkan seperti mendorong dan tiga betas batang pisau terbang yang tadinya beterbangan memutar-mutar di depan Suling Emas, kini seperti belasan ekor burung terbang kembali ke sarangnya!
Seperti juga Siang-mou Sin-ni, tahu-tahu terdengar suara Hek-giam-lo dari jauh,
“Malam nanti kita bertanding!”
Suling Emas mendongkol sekali akan tetapi ia tidak mau mengejar karena memang saat yang dijanjikan adalah malam nanti kalau bulan purnama sudah muncul menyinari bumi. Ia berjalan terus mencari dua orang kakek sakti yang aneh dan kejam. Diam-diam ia merasa khawatir juga.
Dari peristiwa tadi ia mendapat kenyataan bahwa Siang-mou Sin-ni dan Hek-giam-lo sudah memperoleh kemajuan pesat dan jauh lebih berbahaya daripada dahulu. Tentu iblis-iblis yang lain, It-gan Kai-ong dan kakak beradik Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong juga telah memperdalam ilmu-ilmu mereka. Dia tidak gentar menghadapi mereka, akan tetapi siapa tahu, kalau dua orang kakek asing yang baru muncul mengacau di pondok Kim-sim Yok-ong itu membantu para iblis, sukarlah untuk mencapai kemenangan.
“Aku harus menghadapi dua orang kakek itu lebih dulu sebelum bertanding dengan Thian-te Liok-koai,” pikirnya dan kembali ia melanjutkan usahanya mencari.
Hari telah menjelang senja ketika ia makin mendekati puncak dimana pertandingan antara Thian-te Liok-koai akan diadakan.
Makin tinggi orang mendaki gunung, makin dinginlah hawa udara. Suling Emas juga sudah mulai merasa dingin, apalagi menjelang senja itu, puncak Thai-san diliputi halimun yang cukup tebal. Ketika ia memasuki sebuah hutan pohon cemara tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan banyak pohon tumbang, malah ia lalu terpaksa berloncatan ke sana ke mari untuk menghindarkan dirinya tertimpa batang-batang pohon yang beterbangan ke arahnya!
Suling Emas cepat menyelinap sambil meloncat ke sana-sini, kemudian tahulah ia bahwa yang “main-main” dengan batang-batang pohon adalah Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong! Agaknya mereka berdua juga melihatnya, karena kini mereka tertawa-tawa dan semua batang pohon dan batu-batu besar yang mereka permainkan itu kini menimpa ke arah Suling Emas! Pendekar ini memperlihatkan ketangkasan dan kegesitannya.
Biarpun ada “hujan” pohon dan batu-batu besar, bagaikan seekor kera ia menyelinap dan mengelak ke sana-sini. Demikian cepat dan ringan gerakannya sehingga bajunya saja tak pernah tergores cabang pohon yang menimpanya bertubi-tubi.
“Dua iblis liar, beginikah cara kalian menandingiku?” Suling Emas membentak dan sudah siap untuk balas menyerang.
Akan tetapi sambil tertawa-tawa dua orang iblis itu melarikan diri, dan Suling Emas tidak mau mengejar mereka. Ia melanjutkan perjalanannya, sementara itu cuaca mulai menjadi remang-remang dan hawa udara makin dingin.
Puncak tertinggi sudah tampak menjulang tinggi di depan matanya. Ia sudah mulai putus asa untuk bisa mendapatkan dua orang kakek aneh itu, karena ia sudah tidak ada waktu lagi untuk mencari mereka. Ia harus pergi ke puncak untuk menemui dan menandingi iblis-iblis yang berkumpul, untuk mewakili ibu kandungnya yang dulu ditantang oleh It-gan Kai-ong. Akan tetapi tiba-tiba ketika ia membelok, ia melihat pemandangan aneh sekali di pinggir anak sungai yang mengalir deras dari sumbernya.
Dua orang kakek yang dicari-carinya selama sehari semalam itu ternyata tanpa diduga-duga kini berada di depannya! Si kakek putih duduk bersila di tengah sungai, tenggelam sampai sebatas lehernya. Bukan main! Hawa udara begitu dinginnya menyusup tulang, dan air sungai itu pun dinginnya melebihi salju, akan tetapi kakek ini duduk bersila merendam diri, kelihatannya enak-enak tidur ataukah sedang samadhi dengan tenangnya! Akan tetapi bukan, ia bukan sedang tidur atau bersamadhi karena mulutnya mengomel panjang pendek,
“Wah, panasnya, tak enak, sialan benar!” Hawa udara begitu dingin, berendam di air gunung lagi, masih mengeluh kepanasan!
Adapun kakek merah tidak kalah anehnya. Kakek ini duduk di pinggir sungai, bersila di atas tanah, dikelilingi api unggun yang menyala besar. Jarak antara tubuh kakek itu dengan api yang mengelilinginya kurang dari satu meter, seluruh tubuhnya yang sudah merah itu menjadi makin merah. Di depannya terdapat sebuah periuk terisi air yang digodok di atas api, air yang mendidih.
Dapat dibayangkan betapa panasnya dikurung api besar sedekat itu, akan tetapi kakek ini malah menggigil kedinginan dan kedua tangannya berganti-ganti ia masukkan ke dalam periuk penuh air mendidih itu, lalu menyiram-nyiramkan air panas itu ke mukanya.
“Waduh dinginnya, tak tertahankan, hu-hu-huuu.... dingin....!”
Alangkah sombongnya mereka ini, pikir Suling Emas. Ia maklum bahwa kedua orang kakek ini memang sengaja berdemonstrasi seperti itu untuk memamerkan kepandaian mereka. Memang harus diakui bahwa demonstrasi ini jelas membuktikan kehebatan sin-kang mereka yang dapat membuat tubuh menjadi kebal akan rasa panas maupun dingin.
Namun sudah sehari semalam ia mencari, hasilnya sia-sia belaka. Pada hari ke dua, pagi-pagi sekali ia sudah tiba di puncak paling tinggi dan selagi ia meneliti keadaan sekelilingnya, tiba-tiba ia mendengar tetabuhan khim yang nyaring, merdu dan halus.
Sejenak kagetlah Suling Emas karena ingatannya melayang-layang, mengira bahwa Bu Kek Siansu berada di tempat ini. Akan tetapi ketika ia memperhatikan, ia segera mengerutkan keningnya. Suara alat musik yang-khim yang ditabuh ini, sungguhpun cukup nyaring dan merdu, namun memiliki gaya yang liar dan iramanya merangsang. Betapapun juga, harus ia akui bahwa tenaga yang keluar dari suara khim ini cukup hebat, menimbulkan rangsang yang mendebarkan jantung dan bagi orang yang kurang kuat tenaga batinnya, tentu akan roboh di bawah pengaruh suara itu.
Kemudian Suling Emas tersenyum dan teringatlah ia akan Siang-mou Sin-ni, seorang diantara Thian-te Liok-koai, yang dapat mainkan yang-khim seganas ini? Ia ingat bahwa dahulu wanita iblis ini telah merampas alat musik yang-khim dari tangan Bu Kek Siansu dan agaknya ia telah mempelajari alat musik itu, disesuaikan dengan ilmu untuk menyerang orang, baik melalui suara yang-khim maupun dengan cara mempergunakan alat musik itu sebagai senjata.
Diam-diam Suling Emas menghitung-hitung dan memang hari itu sudah tiba saatnya perjanjian para anggauta Thian-te Liok-koai mengadakan pertemuan untuk mengadu ilmu di puncak Thai-san. Karena suara yang-khim dari Siang-mou Sin-ni itu merupakan panggilan atau tantangan, untuk sementara Suling Emas menunda urusannya mencari dua orang asing dan kini ia mencabut sulingnya, meniup dan melagukannya sambil melangkah lebar ke arah datangnya suara.
Sungguh ajaib suara yang terdengar dihutan Gunung Thai-san pada saat itu. Kalau ada orang mendengar suara ini tentu akan mengira bahwa suara itu bukan sewajarnya, mungkin para iblis hutan sedang berpesta.
Suara suling mengalun, bergelombang turun naik mengelus perasaan, menyegarkan akan tetapi juga memabukkan karena memiliki daya seret yang menghanyutkan. Suara ini mengiringi atau diiringi suara berkencringnya yang-khim yang diseling dengan “melody” yang jelas satu-satu dan nyaring, namun bukan main hebatnya suara ini karena setiap bunyi “ting!” dari sehelai kawat yang disentil jari, cukup kuat daya serangnya untuk membuat jantung lawan putus! Perpaduan suara musik yang aneh dan bergema di seluruh hutan, menari-nari di puncak pohon, bahkan menembus dasar jurang yang paling dalam.
Pertandingan jarak jauh yang dilakukan dengan “suara” itu benar-benar amat menarik. Kini Suling Emas tidak melangkah lagi, melainkan berhenti dan berdiri tegak. Mukanya agak merah dan dari belakang kepalanya tampak uap putih tipis. Ini menandakan bahwa Siang-mou Sin-ni sudah memperoleh kemajuan pesat sehingga untuk menghadapi suara yang-khim itu, Suling Emas tak boleh bersikap sembarangan dan harus pula mencurahkan perhatian dan mengerahkan tenaga sin-kang.
Akan tetapi, begitu pendekar sakti ini memusatkan tenaganya, suara yang-khim makin menjadi lemah seakan-akan terdesak suara suling yang makin melengking tinggi itu. Anehnya, daun-daun pohon yang masih hijau segar, yang tumbuh di atas kepala dan di dekat Suling Emas meniup sulingnya, tiba-tiba rontok satu demi satu, melayang-layang ke bawah dengan gerakan aneh dan lucu seakan-akan daun-daun itu menari-nari mengikuti bunyi irama suling!
Akhirnya suara yang-khim itu berhenti dan terdengar keluhan, lalu disusul suara Siang-mou Sin-i dari jauh. Suara itu terdengar lamat-lamat akan tetapi cukup jelas.
“Suling Emas, saat mengadu kepandaian adalah malam nanti kalau bulan sudah muncul. Aku hanya main-main, kenapa kau sungguh-sungguh?”
Suling Emas juga menghentikan tiupan sulingnya dan ia menarik napas panjang lalu tersenyum. Kata-kata itu tak perlu dia menjawabnya. Ia tahu bahwa untuk menghadapi malam pertemuan bulan lima tanggal lima belas, yaitu malam nanti dimana akan diadakan pertandingan untuk menentukan tingkat masing-masing, Siang-mou Sin-ni berusaha untuk “mengukur keadaannya” dengan suara yang-khim tadi.
Dan menurut pendapatnya bahwa biarpun ia tidak kalah oleh Siang-mou Sin-ni dalam penggunaan sin-kang di dalam suara, namun kemajuan wanita iblis itu tak boleh dipandang ringan begitu saja dan malam nanti akan merupakan lawan yang tangguh.
Setelah Siang-mou Sin-ni pergi, Suling Emas teringat kembali akan dua orang kakek yang dicarinya. Ia lalu melanjutkan usahanya mencari jejak kedua orang itu.
“Dua Locianpwe yang muncul di pondok Kim-sim Yok-ong, silakan keluar, saya mau bicara!”
Demikianlah berkali-kali ia berteriak dengan pengerahan khi-kangnya sehingga suaranya bergema sampai jauh. Namun hasilnya sia-sia, tidak ada jawaban kecuali gema suaranya sendiri. Ia melangkah terus dan tiba di sebuah puncak lain. Di sini ia pun berdiri dan meneriakkan panggilannya seperti tadi.
Oleh karena suaranya memang keras, apalagi dengan pengerahan khi-kang, suara itu bergema dan burung-burung yang tadinya enak-enak hinggap dan mengaso di atas cabang-cabang pohon, berlindung dari panasnya matahari di antara daun-daun, menjadi kaget dan beterbangan sambil bercuwit-cuwit, sekelompok burung yang kebetulan berada di pohon dekat Suling Emas berdiri, kaget dan kelepak sayapnya terdengar gaduh. Suling Emas mengangkat muka memandang sambil tertawa.
Akan tetapi suara ketawanya terhenti ketika ia melihat sinar hitam seperti asap menyambar ke atas dan burung-burung itu yang jumlahnya belasan ekor runtuh ke bawah dan berjatuhan di depan kaki Suling Emas. Ketika ia memandang teliti, ternyata burung itu semua telah mati dan kulit mereka berubah menjadi hitam sedangkan bulu-bulunya rontok! Tahulah ia bahwa bukan hanya Siang-mou Sin-ni saja yang sudah hadir di Thai-san, dan agaknya para anggauta Thian-te Liok-koai mulai mendemonstrasikan kelihaiannya.
“Hek-giam-lo iblis keji. Tak perlu kau memperlihatkan kekejamanmu di hadapanku, kalau kau mau mulai bertanding, keluarlah!”
Tidak ada jawaban kecuali suara dengus mengejek yang disusul oleh sambaran sinar hitam yang cepat bagaikan kilat gerakannya. Diam-diam Suling Emas kagum dan mengerti bahwa kepandaian Hek-giam-lo dalam hal melepas senjata rahasia Hek-in-tok-ciam (Jarum Beracun Awan Hitam) telah maju dan jauh lebih berbahaya daripada dahulu dalam pertandingan di puncak Thai-san ini.
Karena ini Suling Emas tidak mau memandang rendah. Cepat tangannya sudah mencabut keluar kipas birunya dan dengan gerakan yang diisi lwee-kang sepenuhnya ia mengibas ke depan. Runtuhlah jarum-jarum hitam itu, semua lenyap ke dalam tanah. Akan tetapi sinar hitam ke dua menyusul, malah lebih besar dan lebih kuat.
Ketika Suling Emas mengibaskan kipasnya lagi, sinar itu membalik, tapi hanya kurang lebih dua meter, lalu terdorong maju lagi, mendesak terus, bahkan kini mulai berpencar menjadi tiga bagian yang menerjang tubuh Suling Emas dari atas, tengah, dan bawah!
Suling Emas terkejut karena pada saat itu, di belakang sinar hitam yang sudah pecah menjadi tiga bagian, tampak belasan sinar berkilauan menyambar pula ke depan. Itulah barisan hui-to (golok terbang), senjata rahasia dari Hek-giam-lo yang ampuh sekali di samping senjata rahasia jarum-jarum beracunnya. Dengan cara luar biasa sekali, iblis hitam itu dapat menyambitkan tiga belas batang golok kecil (belati) sekaligus dan tiga belas batang pisau terbang itu secara tepat mengancam tiga belas bagian tubuh yang kesemuanya mematikan!
“Hek-giam-lo, terlalu kau!” seru Suling Emas dengan marah.
Tangan kanannya sudah mencabut sulingnya dan bagaikan terbang tubuhnya sudah mencelat ke atas. Ketika sinar-sinar hitam itu mengejar, ia mengibaskan kipasnya dan berbareng ia memutar sulingnya merupakan lingkaran besar di depan tubuhnya. Ketika belasan pisau terbang itu tiba, pisau-pisau itu “tertangkap” oleh lingkaran sinar suling, terus ikut berputar-putar merupakan bundaran sinar berkilauan yang indah sekali.
“Terimalah kembali!”
Bentak Suling Emas yang sudah turun ke bawah. Sulingnya digerakkan seperti mendorong dan tiga betas batang pisau terbang yang tadinya beterbangan memutar-mutar di depan Suling Emas, kini seperti belasan ekor burung terbang kembali ke sarangnya!
Seperti juga Siang-mou Sin-ni, tahu-tahu terdengar suara Hek-giam-lo dari jauh,
“Malam nanti kita bertanding!”
Suling Emas mendongkol sekali akan tetapi ia tidak mau mengejar karena memang saat yang dijanjikan adalah malam nanti kalau bulan purnama sudah muncul menyinari bumi. Ia berjalan terus mencari dua orang kakek sakti yang aneh dan kejam. Diam-diam ia merasa khawatir juga.
Dari peristiwa tadi ia mendapat kenyataan bahwa Siang-mou Sin-ni dan Hek-giam-lo sudah memperoleh kemajuan pesat dan jauh lebih berbahaya daripada dahulu. Tentu iblis-iblis yang lain, It-gan Kai-ong dan kakak beradik Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong juga telah memperdalam ilmu-ilmu mereka. Dia tidak gentar menghadapi mereka, akan tetapi siapa tahu, kalau dua orang kakek asing yang baru muncul mengacau di pondok Kim-sim Yok-ong itu membantu para iblis, sukarlah untuk mencapai kemenangan.
“Aku harus menghadapi dua orang kakek itu lebih dulu sebelum bertanding dengan Thian-te Liok-koai,” pikirnya dan kembali ia melanjutkan usahanya mencari.
Hari telah menjelang senja ketika ia makin mendekati puncak dimana pertandingan antara Thian-te Liok-koai akan diadakan.
Makin tinggi orang mendaki gunung, makin dinginlah hawa udara. Suling Emas juga sudah mulai merasa dingin, apalagi menjelang senja itu, puncak Thai-san diliputi halimun yang cukup tebal. Ketika ia memasuki sebuah hutan pohon cemara tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan banyak pohon tumbang, malah ia lalu terpaksa berloncatan ke sana ke mari untuk menghindarkan dirinya tertimpa batang-batang pohon yang beterbangan ke arahnya!
Suling Emas cepat menyelinap sambil meloncat ke sana-sini, kemudian tahulah ia bahwa yang “main-main” dengan batang-batang pohon adalah Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong! Agaknya mereka berdua juga melihatnya, karena kini mereka tertawa-tawa dan semua batang pohon dan batu-batu besar yang mereka permainkan itu kini menimpa ke arah Suling Emas! Pendekar ini memperlihatkan ketangkasan dan kegesitannya.
Biarpun ada “hujan” pohon dan batu-batu besar, bagaikan seekor kera ia menyelinap dan mengelak ke sana-sini. Demikian cepat dan ringan gerakannya sehingga bajunya saja tak pernah tergores cabang pohon yang menimpanya bertubi-tubi.
“Dua iblis liar, beginikah cara kalian menandingiku?” Suling Emas membentak dan sudah siap untuk balas menyerang.
Akan tetapi sambil tertawa-tawa dua orang iblis itu melarikan diri, dan Suling Emas tidak mau mengejar mereka. Ia melanjutkan perjalanannya, sementara itu cuaca mulai menjadi remang-remang dan hawa udara makin dingin.
Puncak tertinggi sudah tampak menjulang tinggi di depan matanya. Ia sudah mulai putus asa untuk bisa mendapatkan dua orang kakek aneh itu, karena ia sudah tidak ada waktu lagi untuk mencari mereka. Ia harus pergi ke puncak untuk menemui dan menandingi iblis-iblis yang berkumpul, untuk mewakili ibu kandungnya yang dulu ditantang oleh It-gan Kai-ong. Akan tetapi tiba-tiba ketika ia membelok, ia melihat pemandangan aneh sekali di pinggir anak sungai yang mengalir deras dari sumbernya.
Dua orang kakek yang dicari-carinya selama sehari semalam itu ternyata tanpa diduga-duga kini berada di depannya! Si kakek putih duduk bersila di tengah sungai, tenggelam sampai sebatas lehernya. Bukan main! Hawa udara begitu dinginnya menyusup tulang, dan air sungai itu pun dinginnya melebihi salju, akan tetapi kakek ini duduk bersila merendam diri, kelihatannya enak-enak tidur ataukah sedang samadhi dengan tenangnya! Akan tetapi bukan, ia bukan sedang tidur atau bersamadhi karena mulutnya mengomel panjang pendek,
“Wah, panasnya, tak enak, sialan benar!” Hawa udara begitu dingin, berendam di air gunung lagi, masih mengeluh kepanasan!
Adapun kakek merah tidak kalah anehnya. Kakek ini duduk di pinggir sungai, bersila di atas tanah, dikelilingi api unggun yang menyala besar. Jarak antara tubuh kakek itu dengan api yang mengelilinginya kurang dari satu meter, seluruh tubuhnya yang sudah merah itu menjadi makin merah. Di depannya terdapat sebuah periuk terisi air yang digodok di atas api, air yang mendidih.
Dapat dibayangkan betapa panasnya dikurung api besar sedekat itu, akan tetapi kakek ini malah menggigil kedinginan dan kedua tangannya berganti-ganti ia masukkan ke dalam periuk penuh air mendidih itu, lalu menyiram-nyiramkan air panas itu ke mukanya.
“Waduh dinginnya, tak tertahankan, hu-hu-huuu.... dingin....!”
Alangkah sombongnya mereka ini, pikir Suling Emas. Ia maklum bahwa kedua orang kakek ini memang sengaja berdemonstrasi seperti itu untuk memamerkan kepandaian mereka. Memang harus diakui bahwa demonstrasi ini jelas membuktikan kehebatan sin-kang mereka yang dapat membuat tubuh menjadi kebal akan rasa panas maupun dingin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar