FB

FB


Ads

Selasa, 02 Juli 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 110

Tiba-tiba Suling Emas berjongkok di depan anak itu, menatap wajah anak itu penuh perhatian, meraba kepala, meraba alis mata anak itu yang hitam tebal, seperti alis matanya. Hidung dan mata anak itu seperti hidung dan mata Suma Ceng, akan tetapi mulut itu, alis itu, kepala itu! Serentak ia bangkit berdiri lagi, malah kini melangkah maju sehingga ia hanya berdiri dalam jarak tiga langkah dari Suma Ceng.

“Dia.... dia itu....?” suaranya serak dan lirih, “dia itu....?” tak kuasa ia melanjutkan kata-katanya, tercekik di lehernya.

Kini Suma Ceng menangis. Air matanya bercucuran dan ia mengangguk-angguk. Melihat ibunya menangis, anak kecil yang dipondongnya juga ikut menangis. Cepat-cepat hal ini menahan air mata Suma Ceng dan ia mendekap anaknya, mengusapkan mukanya yang basah air mata pada pipi dan baju anak itu. Anaknya terdiam dan agaknya gangguan ini malah meredakan gelora hatinya.

“Betul, Song-koko, dia.... dia anak kita....”

“Ya Tuhan....! Dan kau.... kau diam saja....?”

“Aku tidak tahu akan hal itu sebelum aku menikah dengan suamiku. Andaikata aku tahu sekalipun, apa yang dapat kulakukan, Song-koko? Kau sendiri pun tak berdaya apa-apa.” Ucapan ini penuh sesal. “Andaikata kau dulu selihai sekarang.... ah, untuk apa kita melamunkan yang bukan-bukan? Andaikata aku tahu bahwa bahwa pertemuan di malam terakhir itu.... ah, andaikata aku tahu kau meninggalkan anak ini padaku, apakah yang akan dapat kulakukan? Menolak kehendak ayah dan kakak tak mungkin, paling-paling aku hanya dapat membunuh diri....”

“Ceng Ceng, kau maafkan aku. Memang kau tak bersalah. Akan tetapi.... ah, anak ini dia anakku! Dia harus ikut denganku!”

“Tidak Song-koko. Apakah kau ingin menyiksa anak itu dan menyiksa diriku pula? Kurang hebatkah penderitaan batinku selama ini? Song-koko, demi kebaikan kita berdua, lebih baik kalau kau melupakan aku. Anggap saja kekasihmu Ceng Ceng ini sudah mati, dan kau.... kau kawinlah dengan gadis lain, berbahagialah, aku memuji siang malam, Koko....”

“Ceng Ceng.... Ceng Ceng...., kau tetap berbudi, kau tetap jelita, kau tetap pujaan hatiku....”

Hampir tak kuat Suling Emas, ingin ia memeluk wanita itu, ingin memondongnya, ingin menghiburnya. Namun pandang mata wanita itu kini tidaklah seperti dahulu. Memang, ada perubahan pada diri Ceng Ceng, kekasihnya.

“Heee, siapakah disitu?”

Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan seorang laki-laki yang berpakaian indah berlari-lari mendatangi dengan pedang terhunus di tangan. Ia ini bukan lain adalah Pangeran Kiang! Ketika ia melihat Suling Emas, wajahnya berubah, pandang matanya dingin dan sikapnya mengancam ketika ia menghampiri Suma Ceng.

“Hemmm.... jadi tidak salah omongan Kakak Suma Boan! Ternyata isteriku yang setia ini diam-diam bermain gila dengan laki-laki bekas kekasihnya dahulu! Perempuan tak tahu malu! Sudah punya tiga orang anak masih hendak main gila, berjina dengan laki-laki lain? Keparat!”

“Ooohhh.... tidak...., tidak!” Suma Ceng menjerit tertahan. Tuduhan ini benar-benar merupakan ujung pedang yang menusuk ulu hatinya, “Aku dan dia.... kami tidak berbuat apa-apa yang melanggar kesopanan, jangan kau menuduh yang bukan-bukan!”

“Bagus, ya? Kau masih hendak membelanya? Perempuan hina.... kupukul mukamu yang tak tahu malu....!”

Pangeran itu melangkah lebar menghampiri Suma Ceng dan tangan kirinya melayang, menampar ke arah pipi. Isterinya hanya tunduk dan menangis tersedu-sedu, tidak mempedulikan datangnya tangan yang menampar.

Akan tetapi tangan yang menampar itu terhenti di tengah jalan. Pangeran itu berseru kaget dan heran, juga penasaran. Ketika ia menggerakkan tangannya ke belakang, tidak apa-apa, akan tetapi begitu ia menampar ke depan, tangan itu tiba-tiba berhenti seakan-akan tertahan oleh dinding yang tidak tampak!

“Keparat, hayo mengaku bahwa kau telah berjina dengan.... dengan bangsat ini!” Ia berteriak memaki untuk mengatasi kemarahan dan rasa penasarannya.






“Sesungguhnya, kami tidak berbuat apa-apa.... suamiku dengarlah.... memang betul dia dahulu adalah seorang kenalanku, sebelum aku kawin denganmu, tapi.... tapi.... semenjak itu.... baru ini kami saling bertemu, dan kami tidak berbuat apa-apa yang melanggar susila. Percayalah....!”

“Perempuan rendah! Siapa tidak tahu bahwa dahulu kau berjina dengan kekasihmu? Aku masih berlaku murah dan sabar, akan tetapi siapa kira, sekarang kau mengadakan pertemuan gelap! Terkutuk....!”

Kali ini si pangeran menggerakkan pedangnya menyerang isterinya sendiri. Dua orang anak kecil, yang satu dipondong Suma Ceng, yang seorang memegangi gaunnya dari belakang, menjerit-jerit ketakutan menyaksikan adegan yang tidak mereka mengerti, akan tetapi yang mendatangkan rasa takut pada mereka itu.

Hanya anak yang sulung tidak menangis, memandang dengan mata terbelalak sambil memegangi sulingnya. Adegan ini berkesan amat mendalam di hatinya, akan tetapi tentu saja ia pun tidak mengerti apa artinya semua ini.

Biarpun pedang itu mengancam nyawanya, Suma Ceng tidak bergerak, siap menerima tusukan pedang. Baginya, hidup ini penuh penderitaan batin, dan ia memaafkan kemarahan suaminya yang pada hakekatnya tidaklah menuduh yang bukan-bukan! Memang ia merasa berdosa terhadap suaminya yang sebetulnya amat mencintanya. Kalau ia mau, tentu saja ia dapat mengelak bahkan melawan, karena adik dari Suma Boan ini pun memiliki ilmu kepandaian silat yang lumayan namun jauh lebih tinggi daripada kepandaian suaminya.

Akan tetapi, seperti juga tadi, pedangnya yang meluncur ke depan itu tiba-tiba terhenti di tengah jalan, malah mendadak ia merasa tangan kanannya seperti lumpuh dan pedangnya itu tak dapat ditahannya lagi runtuh terlepas dari tangannya, menimbulkan suara berkerontangan.

Cepat sang pangeran ini membalikkan tubuh memandang. Tak salah dugaannya. Kiranya laki-laki berpakaian serba hitam yang pernah ia dengar namanya sebagai Suling Emas, pendekar yang menggemparkan itu, berdiri tegak dan menggerak-gerakkan tangannya mengirim pukulan atau dorongan jarak jauh yang tadi menahan pukulan-pukulannya dan tusukan pedangnya.

“Manusia berhati binatang!” Pangeran Kiang melompat maju menghadapi Suling Emas. “Orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku tidak takut! Orang lain boleh menyebutmu pendekar, akan tetapi bagiku kau hanyalah seorang laki-laki buaya yang mengganggu isteri orang! Kau seorang laki-laki rendah berjina dengan perempuan ini yang juga hanya seorang isteri berwatak pelacur....!”

“Plakkk!”

Pangeran itu terguling dan bibirnya pecah-pecah berdarah oleh tamparan tangan Suling Emas yang menjadi marah sekali. Muka pendekar ini menjadi agak pucat, matanya memancarkan cahaya berkilat.

“Mulutmu busuk! Kau boleh memaki aku, akan tetapi kau terlalu menghina Ceng Ceng! Biarpun dia sudah menjadi isterimu, namun ia tetap seorang wanita yang agung, yang bersih, yang suci.”

“Dia perempuan jalang, pelacur tak tahu malu....!” Pangeran itu dalam marahnya melompat bangun dan memaki lagi.

“Bukkk!”

Sebuah dorongan membuat ia terjengkang ke belakang, berdebuk keras dan sambil meringis kesakitan pangeran ini merangkak bangun lagi.

“Huh, pendekar macam apa ini? Menjinahi isteri orang, menggunakan kepandaian untuk menghina orang dan merampas isterinya! Cih, yang begini mengaku pendekar? Kau boleh bunuh aku, akan tetapi namamu akan membusuk sampai akhir jaman! Mari kita mengadu nyawa....!”

“Jangan....! Suamiku, jangan.... kau takkan menang....! Bu Song, kau pergilah....!”

Akan tetapi Suling Emas tidak mau pergi, ia maklum bahwa kalau ia pergi begitu saja, tentu Suma Ceng akan celaka, disiksa mungkin dibunuh suaminya.

“Pangeran yang tolol, kau dengarlah. Aku sama sekali tidak melakukan perbuatan yang bukan-bukan dengan isterimu. Dia terlampau suci untuk mengkhianatimu! Memang dulu aku mencintainya, akan tetapi dia sudah menjadi isterimu sekarang.” Ia menarik napas panjang. “Jangan kau memfitnah yang bukan-bukan.”

“Siapa bilang fitnah? Kau datang menjumpainya, sikap kalian.... dan perempuan hina ini membelamu.... hemmm, siapa tidak tahu bahwa kalian masih saling mencinta? Keparat, terkutuk, benar-benar menghina sekali. Hayo kau bunuh aku lebih dulu, baru kau bisa merampas isteriku, keparat!”

Dengan kemarahan meluap karena rasa cemburu, pangeran itu menubruk maju dan memukul. Pukulannya tepat mengenai dada Suling Emas, akan tetapi bukan yang dipukul yang roboh, melainkan pangeran itu sendiri yang terpelanting dan lengan kanannya yang memukul patah tulangnya!

“Kau ingin mati? Apa sukarnya membunuhmu? Hemmm, Ceng Ceng, kalau manusia ini begini menghina kita, mengapa kau lebih senang tinggal menjadi isterinya? Biarpun kau sudah menjadi ibu dari tiga orang anak. Hemmm.... aku masih sanggup melindungimu selamanya dan membunuh tikus busuk bermulut kotor ini!”

Pada saat itu, Pangeran Kiang sudah berdiri lagi dan menyerang dengan tangan kiri. Biarpun rasa nyeri hampir membuat ia pingsan, namun panasnya hati membuat ia sanggup menahan dan terus menerjang lagi. Kaki Suling Emas bergerak dan sebuah tendangan membuat pangeran itu terlempar sampai empat meter jauhnya. Namun kembali ia merangkak bangun untuk menjadi roboh kembali di lain detik oleh tamparan tangan Suling Emas yang kelihatannya sudah marah sekali.

“Kau ingin mampus, ya? Nih, terima! Dan ini! Kalau kau tak mau berlutut minta ampun kepada isterimu, mencabut semua kata-katamu yang kotor, demi Tuhan, kubunuh benar-benar engkau!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar