Suling Emas menghajar terus sampai pangeran itu babak-belur, mukanya berdarah dan bengkak-bengkak.
“Tahan! Suling Emas, kau berani memukuli suamiku seperti ini? Laki-laki kejam! Kau boleh bunuh dia melalui mayatku!”
Tiba-tiba Suma Ceng yang sudah menurunkan anaknya dari pondongan dan telah memungut pedang suaminya, menerjang maju bagaikan seekor harimau betina. Pedangnya menusuk ke arah dada Suling Emas.
“Ceng Ceng....!” Suling Emas terbelalak heran dan kaget.
“Ceppp!”
Ujung pedang itu menusuk dadanya. Untung ia dapat mengatasi heran dan kagetnya lalu cepat mengerahkan tenaga sehingga pedang yang sudah menancap itu tidak maju terus, menancap dan meleset ke atas sehingga pedang itu menancap dan menembus daging dan kulit dada dan pundak, akan tetapi tidak memasuki rongga dada. Karena pengerahan sin-kang dari Suling Emas hebat dan kuat sekali, Suma Ceng merasakan telapak tangannya panas dan lumpuh sehingga pedang itu dilepasnya dan masih menancap pada dada Suling Emas.
“Berani kau hendak membunuh suamiku? Ahhh.... dia suamiku, ayah anak-anakku, aku akan membelanya dengan nyawa!” Suma Ceng berseru lagi dan kembali menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat.
“Ceng Ceng...., aahhhhh....!” Dengan jantung serasa ditarik-tarik Suling Emas berkelebat dan lenyap dari tempat itu.
Suma Ceng menubruk suaminya, merangkul dan menangis. Pangeran Kiang yang mukanya bengkak-bengkak itu tersenyum.
“Isteriku.... akhirnya aku mendapat bukti nyata, kau memang mencinta aku seorang! Ha-ha-ha, tidak sia-sia pengorbananku, tidak sia-sia pembelaanku...., kau isteriku yang setia.... maafkan semua tuduhanku tadi.”
“Diamlah.... diamlah.... kau terluka. Tentu saja aku isterimu dan setia kepadamu....”
Suma Ceng mengusap air matanya dan mengerling ke arah perginya Suling Emas, hatinya mengeluh penuh rasa nelangsa. Memang sebaiknya begini, pikirnya. Hanya itulah jalan satu-satunya untuk mengusir Suling Emas, untuk mencegah suaminya cemburu dan mungkin sekali untuk mengobati hati kekasihnya yang terluka.
Kalau melihat dia bersedia bersetia dan mencinta suaminya, mungkin Suling Emas akan lebih mudah untuk melupakannya. Dengan muka pucat ia lalu membantu suaminya meninggalkan taman, sedangkan anak-anaknya segera dipondong oleh pelayan-pelayan yang datang dengan muka ketakutan.
Adapun Suling Emas melarikan diri dengan pengerahan tenaga sekuatnya sehingga tubuhnya tak tampak, hanya bayangannya saja berkelebatan dan dalam waktu sebentar saja ia sudah keluar dari kota raja, terus ia berlari seperti orang gila, masuk keluar hutan.
Menjelang tengah hari, setelah berlari-larian berjam-jam lamanya, akhirnya ia menjatuhkan dirinya di bawah sebatang pohon besar dalam sebuah hutan. Ia jatuh tertelungkup di atas rumput, tak bergerak, kedua tangannya menutupi mukanya. Hanya terdengar ia mengeluh dan mengerang perlahan seperti orang menderita nyeri yang amat sangat.
Darah masih membasahi bajunya, darah yang keluar dari luka di dada dan pundaknya. Pedang yang tadi menancap kini tidak tampak lagi. Luka-luka inikah yang membuat dia mengerang? Tak mungkin. Luka itu hanyalah luka daging dan kulit belaka, dan bagi seorang pendekar sakti seperti Suling Emas, luka macam itu tidaklah ada artinya. Namun luka yang berada di dalam rongga dadanya, luka pada hatinya itulah yang amat sakit rasanya. Jantungnya serasa perih seperti disayat-sayat. Ceng Ceng tidak cinta lagi padanya. Ceng Ceng mencinta suaminya, dan bahkan membenci dia yang dibuktikan dengan tusukan pedang tadi!
Suling Emas mengeluh dan ketika ia bergerak dan bangun duduk di atas tanah berumput, wajahnya nampak pucat bukan main. Warna bulat kuning pada bajunya yang hitam, yaitu bagian dada, telah menjadi merah karena darahnya. Paduan warna hitam baju dan merah darah itu membuat mukanya kelihatan lebih pucat lagi. Agaknya peristiwa yang hanya beberapa jam lamanya itu membuat kerut-merut di antara kedua matanya makin mendalam, dan membuat sinar sepasang matanya menjadi redup sayu.
Tanpa disadarinya, tangannya meraih ke pinggang dan di lain saat ia telah meniup sulingnya. Suara yang keluar dari sulingnya melengking tinggi, mengalun panjang dan menyuarakan lagu sedih yang penuh kepiluan hati. Bagi orang yang mendengar suara suling ini, tentu akan menyatakan bahwa suara itu memilukan dan menyedihkan.
Namun sesungguhnya Suling Emas telah mempergunakan ilmunya Kim-kong Sin-im yang belum lama ini ia latih bersama Bu Kek Siansu. Dengan ilmu ini, perlahan-lahan kesedihannya lenyap dan setelah suara suling berhenti, wajahnya tidak sepucat tadi. Namun ia masih duduk melamun dan sengaja mempergunakan kesempatan ini untuk mengolah semua peristiwa yang menimpa dirinya, seperti biasa ia hendak memetik buah bermanfaat, menarik pelajaran dari setiap pengalaman hidupnya.
Kini pikirannya dapat bekerja baik, tidak lagi diselimuti perasaan hati yang pilu dan sayu. Suma Ceng telah mencinta suaminya dan membencinya. Hal ini sama artinya dengan kematian kekasihnya itu. Bukan orangnya yang mati, melainkan cinta kasih terhadap dirinya. Tidak ada lagi manusia yang boleh diharapkan di dunia ini. Ibu kandungnya telah meninggal, juga Ceng Ceng telah mati! Mengapa ia harus merasa berduka? Mengapa hatinya begini sakit? Mengapa ia membenci Pangeran Kiang?
Suling Emas mengumpulkan ingatannya dan terngiang kembali di telinganya segala petuah, pelajaran dan nasihat yang pernah ia dengar dari mendiang gurunya, Kimmo Taisu, dan si kakek sakti Bu Kek Siansu.
Apakah artinya cinta? Pernah mendiang gurunya menguraikan tentang cinta ini. Cinta yang paling murni diantara manusia adalah cinta yang tidak dikotori oleh nafsu menyenangkan diri sendiri, yakni cinta yang tulus ikhlas dan rela, yang berlandaskan pengorbanan demi untuk kesenangan dan kebaikan dia yang dicinta.
Contohnya kasih sayang seorang ibu terhadap anak kandungnya ikhlas dan rela, satu-satunya idaman hati seorang ibu hanyalah melihat anaknya senang, rela berkorban, rela bersusah payah, tanpa mengharapkan upah karena melihat anak itu senang merupakan upah yang paling berharga.
Sebaliknya cinta kasih yang berlandaskan nafsu, selalu menghendaki agar orang yang dicinta itu hidup berbahagia BERSAMA DIA SENDIRI. Menghendaki agar orang yang dicinta itu menjadi miliknya yang mutlak, selama hidup berada di sampingnya untuk dipuja, untuk dicinta, untuk pelepas dahaga, cinta ini penuh dengan harapan, penuh dengan pamrih dan karenanya penuh dengan racun yang dapat duka nestapa dan sengsara mendatangi.
Suling Emas termenung. Dia manusia biasa. Tentu saja cintanya termasuk golongan kedua itulah. Ia mencinta Ceng Ceng karena wanita itu jelita, karena halus budinya, karena keramahannya, karena kecocokan hatinya dan karena.... agaknya lebih daripada itu karena dahulu membalas cintanya!
Sekarang wanita itu sudah menjadi isteri orang lain, sudah mengalihkan cinta kasihnya kepada suaminya itu, mengapa ia harus bersikeras melanjutkan cinta kasihnya? Bukankah itu akan sia-sia belaka? Menyiksa diri sendiri dan menyiksa Ceng Ceng, merusak pula hati Pangeran Kiang? Ia harus melupakan Ceng Ceng! Tapi anak laki-laki itu, putera sulung Suma Ceng adalah anaknya!
Kembali Suling Emas merenung, gelisah dan bingung. Tentu saja mudah baginya menggunakan kepandaiannya untuk merampas bocah itu. Akan tetapi apa artinya? Apa gunanya? Bocah itu belum tentu berbahagia bersamanya dan Ceng Ceng tentu akan hancur hatinya. Pangeran Kiang yang agaknya tidak menduga akan hal itu tentu akan sakit hati kepadanya. Ah, akibatnya hanya merugikan semua fihak.
“Aku harus melupakan dia! Harus....! Mengapa aku begini lemah? Heeee, Bu Song, apakah kau bukan laki-laki?”
Tiba-tiba Suling Emas melompat bangun, tertawa bergelak. Suara ketawa ini bergema di dalam hutan, mengagetkan burung-burung. Kemudian pendekar ini mainkan sulingnya sedemikian cepatnya sehingga terdengar angin menderu-deru dan yang tampak hanyalah sinar bergulung-gulung yang kadang-kadang mengeluarkan kilatan cahaya kuning emas!
Ketika beberapa menit kemudian pendekar ini berkelebat pergi dari situ, keadaan sunyi di situ, yang tampak hanyalah rumput yang kini penuh dengan daun-daun pohon yang telah menjadi gundul, rontok semua daunnya karena sambaran hawa pukulan yang berkelebatan dari suling emas tadi!
“Tahan! Suling Emas, kau berani memukuli suamiku seperti ini? Laki-laki kejam! Kau boleh bunuh dia melalui mayatku!”
Tiba-tiba Suma Ceng yang sudah menurunkan anaknya dari pondongan dan telah memungut pedang suaminya, menerjang maju bagaikan seekor harimau betina. Pedangnya menusuk ke arah dada Suling Emas.
“Ceng Ceng....!” Suling Emas terbelalak heran dan kaget.
“Ceppp!”
Ujung pedang itu menusuk dadanya. Untung ia dapat mengatasi heran dan kagetnya lalu cepat mengerahkan tenaga sehingga pedang yang sudah menancap itu tidak maju terus, menancap dan meleset ke atas sehingga pedang itu menancap dan menembus daging dan kulit dada dan pundak, akan tetapi tidak memasuki rongga dada. Karena pengerahan sin-kang dari Suling Emas hebat dan kuat sekali, Suma Ceng merasakan telapak tangannya panas dan lumpuh sehingga pedang itu dilepasnya dan masih menancap pada dada Suling Emas.
“Berani kau hendak membunuh suamiku? Ahhh.... dia suamiku, ayah anak-anakku, aku akan membelanya dengan nyawa!” Suma Ceng berseru lagi dan kembali menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat.
“Ceng Ceng...., aahhhhh....!” Dengan jantung serasa ditarik-tarik Suling Emas berkelebat dan lenyap dari tempat itu.
Suma Ceng menubruk suaminya, merangkul dan menangis. Pangeran Kiang yang mukanya bengkak-bengkak itu tersenyum.
“Isteriku.... akhirnya aku mendapat bukti nyata, kau memang mencinta aku seorang! Ha-ha-ha, tidak sia-sia pengorbananku, tidak sia-sia pembelaanku...., kau isteriku yang setia.... maafkan semua tuduhanku tadi.”
“Diamlah.... diamlah.... kau terluka. Tentu saja aku isterimu dan setia kepadamu....”
Suma Ceng mengusap air matanya dan mengerling ke arah perginya Suling Emas, hatinya mengeluh penuh rasa nelangsa. Memang sebaiknya begini, pikirnya. Hanya itulah jalan satu-satunya untuk mengusir Suling Emas, untuk mencegah suaminya cemburu dan mungkin sekali untuk mengobati hati kekasihnya yang terluka.
Kalau melihat dia bersedia bersetia dan mencinta suaminya, mungkin Suling Emas akan lebih mudah untuk melupakannya. Dengan muka pucat ia lalu membantu suaminya meninggalkan taman, sedangkan anak-anaknya segera dipondong oleh pelayan-pelayan yang datang dengan muka ketakutan.
Adapun Suling Emas melarikan diri dengan pengerahan tenaga sekuatnya sehingga tubuhnya tak tampak, hanya bayangannya saja berkelebatan dan dalam waktu sebentar saja ia sudah keluar dari kota raja, terus ia berlari seperti orang gila, masuk keluar hutan.
Menjelang tengah hari, setelah berlari-larian berjam-jam lamanya, akhirnya ia menjatuhkan dirinya di bawah sebatang pohon besar dalam sebuah hutan. Ia jatuh tertelungkup di atas rumput, tak bergerak, kedua tangannya menutupi mukanya. Hanya terdengar ia mengeluh dan mengerang perlahan seperti orang menderita nyeri yang amat sangat.
Darah masih membasahi bajunya, darah yang keluar dari luka di dada dan pundaknya. Pedang yang tadi menancap kini tidak tampak lagi. Luka-luka inikah yang membuat dia mengerang? Tak mungkin. Luka itu hanyalah luka daging dan kulit belaka, dan bagi seorang pendekar sakti seperti Suling Emas, luka macam itu tidaklah ada artinya. Namun luka yang berada di dalam rongga dadanya, luka pada hatinya itulah yang amat sakit rasanya. Jantungnya serasa perih seperti disayat-sayat. Ceng Ceng tidak cinta lagi padanya. Ceng Ceng mencinta suaminya, dan bahkan membenci dia yang dibuktikan dengan tusukan pedang tadi!
Suling Emas mengeluh dan ketika ia bergerak dan bangun duduk di atas tanah berumput, wajahnya nampak pucat bukan main. Warna bulat kuning pada bajunya yang hitam, yaitu bagian dada, telah menjadi merah karena darahnya. Paduan warna hitam baju dan merah darah itu membuat mukanya kelihatan lebih pucat lagi. Agaknya peristiwa yang hanya beberapa jam lamanya itu membuat kerut-merut di antara kedua matanya makin mendalam, dan membuat sinar sepasang matanya menjadi redup sayu.
Tanpa disadarinya, tangannya meraih ke pinggang dan di lain saat ia telah meniup sulingnya. Suara yang keluar dari sulingnya melengking tinggi, mengalun panjang dan menyuarakan lagu sedih yang penuh kepiluan hati. Bagi orang yang mendengar suara suling ini, tentu akan menyatakan bahwa suara itu memilukan dan menyedihkan.
Namun sesungguhnya Suling Emas telah mempergunakan ilmunya Kim-kong Sin-im yang belum lama ini ia latih bersama Bu Kek Siansu. Dengan ilmu ini, perlahan-lahan kesedihannya lenyap dan setelah suara suling berhenti, wajahnya tidak sepucat tadi. Namun ia masih duduk melamun dan sengaja mempergunakan kesempatan ini untuk mengolah semua peristiwa yang menimpa dirinya, seperti biasa ia hendak memetik buah bermanfaat, menarik pelajaran dari setiap pengalaman hidupnya.
Kini pikirannya dapat bekerja baik, tidak lagi diselimuti perasaan hati yang pilu dan sayu. Suma Ceng telah mencinta suaminya dan membencinya. Hal ini sama artinya dengan kematian kekasihnya itu. Bukan orangnya yang mati, melainkan cinta kasih terhadap dirinya. Tidak ada lagi manusia yang boleh diharapkan di dunia ini. Ibu kandungnya telah meninggal, juga Ceng Ceng telah mati! Mengapa ia harus merasa berduka? Mengapa hatinya begini sakit? Mengapa ia membenci Pangeran Kiang?
Suling Emas mengumpulkan ingatannya dan terngiang kembali di telinganya segala petuah, pelajaran dan nasihat yang pernah ia dengar dari mendiang gurunya, Kimmo Taisu, dan si kakek sakti Bu Kek Siansu.
Apakah artinya cinta? Pernah mendiang gurunya menguraikan tentang cinta ini. Cinta yang paling murni diantara manusia adalah cinta yang tidak dikotori oleh nafsu menyenangkan diri sendiri, yakni cinta yang tulus ikhlas dan rela, yang berlandaskan pengorbanan demi untuk kesenangan dan kebaikan dia yang dicinta.
Contohnya kasih sayang seorang ibu terhadap anak kandungnya ikhlas dan rela, satu-satunya idaman hati seorang ibu hanyalah melihat anaknya senang, rela berkorban, rela bersusah payah, tanpa mengharapkan upah karena melihat anak itu senang merupakan upah yang paling berharga.
Sebaliknya cinta kasih yang berlandaskan nafsu, selalu menghendaki agar orang yang dicinta itu hidup berbahagia BERSAMA DIA SENDIRI. Menghendaki agar orang yang dicinta itu menjadi miliknya yang mutlak, selama hidup berada di sampingnya untuk dipuja, untuk dicinta, untuk pelepas dahaga, cinta ini penuh dengan harapan, penuh dengan pamrih dan karenanya penuh dengan racun yang dapat duka nestapa dan sengsara mendatangi.
Suling Emas termenung. Dia manusia biasa. Tentu saja cintanya termasuk golongan kedua itulah. Ia mencinta Ceng Ceng karena wanita itu jelita, karena halus budinya, karena keramahannya, karena kecocokan hatinya dan karena.... agaknya lebih daripada itu karena dahulu membalas cintanya!
Sekarang wanita itu sudah menjadi isteri orang lain, sudah mengalihkan cinta kasihnya kepada suaminya itu, mengapa ia harus bersikeras melanjutkan cinta kasihnya? Bukankah itu akan sia-sia belaka? Menyiksa diri sendiri dan menyiksa Ceng Ceng, merusak pula hati Pangeran Kiang? Ia harus melupakan Ceng Ceng! Tapi anak laki-laki itu, putera sulung Suma Ceng adalah anaknya!
Kembali Suling Emas merenung, gelisah dan bingung. Tentu saja mudah baginya menggunakan kepandaiannya untuk merampas bocah itu. Akan tetapi apa artinya? Apa gunanya? Bocah itu belum tentu berbahagia bersamanya dan Ceng Ceng tentu akan hancur hatinya. Pangeran Kiang yang agaknya tidak menduga akan hal itu tentu akan sakit hati kepadanya. Ah, akibatnya hanya merugikan semua fihak.
“Aku harus melupakan dia! Harus....! Mengapa aku begini lemah? Heeee, Bu Song, apakah kau bukan laki-laki?”
Tiba-tiba Suling Emas melompat bangun, tertawa bergelak. Suara ketawa ini bergema di dalam hutan, mengagetkan burung-burung. Kemudian pendekar ini mainkan sulingnya sedemikian cepatnya sehingga terdengar angin menderu-deru dan yang tampak hanyalah sinar bergulung-gulung yang kadang-kadang mengeluarkan kilatan cahaya kuning emas!
Ketika beberapa menit kemudian pendekar ini berkelebat pergi dari situ, keadaan sunyi di situ, yang tampak hanyalah rumput yang kini penuh dengan daun-daun pohon yang telah menjadi gundul, rontok semua daunnya karena sambaran hawa pukulan yang berkelebatan dari suling emas tadi!
**** 111 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar