Bu Sin dan adiknya, Sian Eng, tak dapat berkutik di atas tanah lembab dalam ruangan bawah tanah. Mereka tiada hentinya berusaha untuk membebaskan diri dari pada totokan, namun totokan Hek-giam-lo ternyata dari aliran lain dan amat luar biasa sehingga biarpun Bu Sin sudah mengerahkan tenaga saktinya tetap saja ia tidak mampu membebaskan diri.
Apalagi Sian Eng yang tingkat tenaganya jauh lebih lemah. Setelah berusaha dengan sia-sia selama beberapa jam, akhirnya mereka menerima nasib. Satu-satunya harapan mereka adalah kakak mereka, Bu Song atau Suling Emas. Hanya Suling Emas yang akan dapat menolong mereka.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar ruangan dalam tanah itu, disusul suara langkah orang berlari-lari. Langkah ini sebetulnya ringan sekali dan andaikata Bu Sin dan Sian Eng tidak sedang rebah miring dengan telinga menempel pada tanah, kiranya jejak kaki ini takkan terdengar mereka.
Sian Eng menjadi girang sekali dan hampir saja ia berteriak memanggil nama kakaknya, karena siapa lagi orang yang memasuki tempat ini selain Suling Emas yang hendak menolong mereka? Akan tetapi segera ditahan niatnya berteriak memanggil demi dilihatnya wajah Bu Sin yang kelihatan kaget dan gelisah. Apalagi pada saat itu terdengar suara yang parau menyakitkan telinga.
“Sin-ni, tak boleh kau mendahului aku, ho-ho-hah!”
“Kai-ong jembel menjemukan!” balas suara seorang wanita yang nyaring.
Bu Sin dan Sian Eng tentu saja menjadi amat kaget karena mengenal suara ini. Suara It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni! Dua orang iblis yang sama jahatnya atau mungkin lebih mengerikan daripada Hek-giam-lo sendiri. Gema suara mereka belum lenyap, akan tetapi bayangan hitam yang bertubuh ramping telah berkelebat ke dalam ruangan itu, dikejar oleh bayangan kakek bertongkat yang agak bongkok. Dalam sekejap mata dua bayangan ini lenyap sudah memasuki terowongan, agaknya mereka itu sedang berlomba mencari sesuatu.
Selenyapnya dua bayangan orang sakti itu, berkelebat bayangan ke tiga dan ternyata orang ini adalah Suma Boan. Sejenak pemuda bangsawan ini mencari-cari dengan pandang matanya, ketika melihat Bu Sin dan Sian Eng rebah di bawah, ia terkejut sekali.
“Dinda Sian Eng.... kau disini....? Ah, kau tertotok! Jangan khawatir, aku akan menolongmu....” Cepat pemuda itu meraih tubuh Sian Eng dan dipondongnya.
Biarpun kaki tangannya lumpuh, namun Sian Eng masih dapat bicara. Suaranya lemah berbisik,
“.... harap kau.... tolong pula Sin-ko keluar dari sini....”
“Ah, tak mungkin aku menolong dua orang sekaligus, Moi-moi. Terowongan terlalu sempit dan.... dan disini berbahaya sekali. Kalau tidak bersama Suhu, aku sendiri tidak berani. Mari kita cepat keluar, biar nanti kakakmu ditolong Suhu.”
Setelah berkata demikian, Suma Boan yang memondong tubuh Sian Eng itu berlari keluar dari tempat itu dengan gerak kaki cepat. Ia memang merasa ngeri karena tahu bahwa tempat ini adalah tempat rahasia persembunyian Hek-giam-lo, apalagi tadi gurunya mengejar Siang-mou Sin-ni dan dengan adanya wanita iblis itu di sini, maka tempat ini menjadi lebih berbahaya lagi.
Hati Bu Sin tidak enak sekali melihat adiknya dipondong Suma Boan. Ia tidak suka dan tidak percaya kepada putera pangeran itu. Akan tetapi apa yang dapat dilakukan? Kaki tangannya masih dalam keadaan lumpuh tertotok, dan ia tidak dapat mencegah perbuatan Suma Boan itu, karena betapapun juga, pemuda putera pangeran itu bermaksud menolong Sian Eng.
Keadaan Sian Eng dan dia berdua memang berbahaya sekali, nyawa mereka terancam bahaya. Setidaknya Suma Boan membebaskan Sian Eng daripada ancaman iblis-iblis jahat yang memasuki terowongan tadi. Dan.... dan agaknya di antara adiknya dan putera pangeran itu terdapat hubungan cinta kasih, sungguhpun ia tidak suka mempunyai seorang adik ipar macam Suma Boan, namun jelas bahwa pemuda itu takkan mengganggu Sian Eng kalau memang mencintanya. Dan jauh lebih baik seorang di antara mereka tertolong daripada keduanya harus mati konyol di tempat mengerikan ini.
Mendadak terdengar angin bertiup dan dua sosok bayangan sudah berkelebat memasuki ruangan itu lagi. Kini dua bayangan itu sudah berdiri berhadapan dan memang mereka adalah Siang-mou Sin-ni dan It-gan Kai-ong, keduanya saling pandang dengan mata penuh kemarahan.
“Kai-ong jembel busuk, kau mengganggu saja kepadaku!”
“Heh-heh, siapa mengganggu? Kita bersama mempunyai tujuan sama, mencari barang pusaka Hek-giam-lo, akan tetapi ternyata kita tak berhasil. Tidak ada apa-apa disini kecuali bocah menjemukan ini!”
“It-gan Kai-ong, kau benar-benar menjengkelkan. Kalau tidak ada kau yang mengganggu, barangkali aku akan berhasil. Kau benar-benar sialan!”
Sambil berkata demikian, Siang-mou Sin-ni menerjang maju dengan kaki tangan dan rambutnya, menyerang dengan hebat. Namun It-gan Kai-ong menggerakkan tongkatnya. Segera mereka bertanding di ruangan itu dengan hebat, ditonton oleh Bu Sin yang masih rebah di atas tanah lembab.
“Tua bangka bosah hidup, lihat ini!”
“Aiiihhhhh.... hebat! Inikah hasilmu dari Bu Kek Siansu?”
Teriak It-gan Kai-ong karena ia memang terdesak hebat ketika Siang-mou Sin-ni mainkan sebuah alat musik khim yang dulu ia rampas dari Bu Kek Siansu.
Hebat sekali senjata istimewa berupa khim ini. Ketika ia menggerakkannya, terdengar suara mengaung dan sejenak It-gan Kai-ong terhuyung ke belakang karena suara yang keluar dari khim itu mengacaukan pemusatan tenaganya. Hampir saja ia kena disabet sambaran rambut lawannya yang menotok tujuh tempat jalan darah yang dapat membawa maut. Siang-mou Sin-ni tertawa-tawa nyaring ketika melihat hasil terjangan senjatanya ini, dan ia melompat maju mendesak lebih hebat.
Akan tetapi tiba-tiba gerakan tongkat It-gan Kai-ong berubah, kini tongkat itu membentuk lingkaran-lingkaran aneh yang mengeluarkan bunyi pula, bunyi menggereng seperti auman singa. Ketika khim bertemu tongkat, keduanya terlempar ke belakang dan terhuyung-huyung.
“Setan alas! Ilmu iblis apa yang kau mainkan tadi?” bentak Siang-mou Sin-ni.
“Sayang hanya setengahnya kudapat....!” It-gan Kai-ong terkekeh. “Kalau keseluruhannya kumiliki, kau tentu akan mampus di tanganku kali ini, Sin-ni!”
Siang-mou Sin-ni berdiri diam, berpikir. Kiranya ilmu hebat itu adalah hasil daripada perampasan kitab dari tangan Bu Kek Siansu dahulu. It-gan Kai-ong hanya berhasil mendapatkan setengah kitab, yang setengah lagi dirampas Hek-giam-lo. Kalau saja ia bisa memiliki kedua potongan kitab itu!
“Kai-ong, sekarang bukan waktunya kita menguji kepandaian. Nanti di puncak Thai-san kita boleh bertempur sampai puas. Kita tunda dulu, bagaimana pendapatmu? Ataukah kau hendak melanjutkan? Aku pun tidak takut kalau kau hendak melanjutkan sampai seorang di antara kita mampus!”
“Heh-heh-heh, Siang-mou Sin-ni iblis betina. Apa artinya dapat menangkan kau dan mengemplang remuk kepalamu yang penuh tipu-tipu muslihat itu kalau tidak ada yang menyaksikannya? Kelak di Thai-san tentu kau roboh di tanganku. Heh-heh, ditunda juga tidak apa.”
Siang-mou Sin-ni menoleh ke arah Bu Sin, suaranya terdengar mengejek ketika ia berkata,
“Bu Sin koko yang tampan, kau nakal sekali, berani dulu kau melarikan diri dari padaku. Hemmm, agaknya memang kau tidak bisa lama-lama berpisah dariku, maka sekarang bertemu kembali disini.”
“Heh-heh, agaknya sudah jodoh, Sin-ni! Hisap saja darahnya sampai habis, tunggu apa lagi? Ataukah kau sudah bosan? Biar kucoba dia dengan ludahku!”
It-gan Kai-ong meludah ke arah Bu Sin. Andaikata tidak ada yang menghalangi, ludah itu tentu akan membuat kepala Bu Sin berlubang dan sekaligus akan mencabut nyawa pemuda itu. Akan tetapi Siang-mou Sin-ni mendengus, rambutnya bergerak dan air ludah itu terpukul ujung rambut, menyambar kembali ke arah It-gan Kai-ong yang miringkan kepala membiarkan air ludahnya sendiri menyambar lewat dan lenyap ke dalam batu karang di belakangnya!
“Jembel busuk, jangan main-main! Dia ini punyaku, tak boleh kau ganggu dia. Nyawanya berada di tanganku, dia mau mati atau hidup, aku yang menentukan!”
“Ho-ho-hah! Enak kau bicara, Siang-mou Sin-ni. Kau mau borong dia, mau memiliki dia sampai kalian mampus, aku peduli apa? Akan tetapi sebelum ia kau bawa pergi, ia harus menceritakan lebih dulu kemana perginya Hek-giam-lo. Kalau tidak, mana aku mau sudah begitu saja? Jangan kau kira aku begitu goblok, membiarkan kau sendiri saja mendengar keterangan dari mulutnya tentang Hek-giam-lo!”
“Keparat tua bangka! Aku mau bawa dia pergi atau tidak, kau mau apa?”
Kembali kedua orang sakti itu sudah saling melotot, siap untuk saling gempur lagi. Bu Sin yang mendengarkan percakapan dan melihat sikap mereka merasa khawatir. Kalau dua orang sakti yang berwatak aneh seperti orang gila ini bertempur karena dia, sembilan puluh prosen ia akan mati.
“Kalian tidak perlu ribut-ribut disini. Baru saja Hek-giam-lo pergi keluar membawa robekan kitab.”
Baru saja Bu Sin bicara sampai disini, It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni sudah berkelebat lenyap dari tempat itu!
Akan tetapi kegembiraan hati Bu Sin melihat ini hanya sebentar karena tahu-tahu Siang-mou Sin-ni sudah berada di tempat itu lagi dan berdiri dekat dengannya sehingga ia dapat mencium bau harum yang sudah amat dikenalnya dan yang selalu membuat ia merasa ngeri dan serem kalau mengingatnya. Tak salah dugaannya bahwa yang datang kembali adalah wanita yang amat ditakuti karena terdengar wanita itu tertawa genit lalu berkata.
“Anak manis, apakah sekarang kau akan dapat melarikan diri dariku lagi?”
Sambil berkata demikian ia meraih dan memondong tubuh Bu Sin, kemudian dibawanya lari keluar dari terowongan itu.
“Perempuan busuk! Perempuan hina! Kau lepaskan aku!” Bentak Bu Sin dengan marah. Hatinya masih sakit sekali kalau ia teringat akan apa yang dilakukan Siang-mou Sin-ni kepadanya dahulu. Akan tetapi Siang-mou Sin-ni hanya tertawa sambil mengejek, “Jembel picak itu benar juga, kalau aku haus, darahmu akan segar juga, hi-hik!”
Bu Sin mengkirik kengerian, akan tetapi apa dayanya? Tak lama kemudian ia melihat sinar terang dan ternyata mereka telah tiba di luar terowongan. Setelah berlari untuk beberapa lamanya, mereka tiba di sebuah hutan dan Siang-mou Sin-ni membebaskan totokan Bu Sin.
Pemuda ini merasa betapa darahnya mengalir kembali seperti biasa, akan tetapi ia belum mampu bergerak. Karena itu, terpaksa ia hanya meramkan mata saja ketika Siang-mou Sin-ni yang tak tahu malu itu membelainya, bahkan menciumnya.
“Kau masih tampan, aku masih sayang kepadamu. Sayang kalau kau kubunuh.” Ia mengusap muka pemuda itu, “Hi-hik, kau mengingatkan aku akan Suling Emas. Bu Sin, kalau kau menuruti semua kehendakku, aku bisa membikin kau menjadi seorang laki-laki gagah perkasa seperti Suling Emas. Aku akan menurunkan kepandaianku kepadamu. Senang kan?”
“Perempuan hina! Pergi!”
Mendadak Bu Sin yang kini jalan darahnya sudah pulih kembali, menghantam sekuatnya.
“Blukkk!”
Siang-mou Sin-ni terlempar dan mengeluarkan seruan kaget. Tadi ketika ia melihat pemuda itu memukulnya, ia menerima dengan senyum di bibir karena ia mengira bahwa Bu Sin masih seperti dulu kepandaiannya sehingga pukulannya tidak berbahaya sama sekali.
Sama sekali ia tidak tahu bahwa semenjak menerima latihan kakek sakti, tenaga sakti di dalam tubuh Bu Sin sudah meningkat beberapa kali lipat kuatnya. Maka kali ini pukulan Bu Sin membuatnya terlempar, sungguhpun tidak mengakibatkan luka dalam karena Siang-mou Sin-ni sudah menjaga diri dengan lwee-kangnya.
“Eh-eh.... dari mana kau mendapatkan tenaga besar itu?” tanyanya, masih setengah heran dan terkejut.
Namun Bu Sin sudah melompat bangun dan menerjangnya dengan sengit sambil memaki-maki. Ia mengerahkan tenaga sin-kang dan mainkan ilmu silatnya yang paling ampuh. Ketika ia sudah berada dekat, kepalan tangan kirinya memukul ke arah kerongkongan wanita itu sedangkan tangan kanan mencengkeram ke arah perut. Dua serangan yang mengandung cengkeraman maut!
Apalagi Sian Eng yang tingkat tenaganya jauh lebih lemah. Setelah berusaha dengan sia-sia selama beberapa jam, akhirnya mereka menerima nasib. Satu-satunya harapan mereka adalah kakak mereka, Bu Song atau Suling Emas. Hanya Suling Emas yang akan dapat menolong mereka.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar ruangan dalam tanah itu, disusul suara langkah orang berlari-lari. Langkah ini sebetulnya ringan sekali dan andaikata Bu Sin dan Sian Eng tidak sedang rebah miring dengan telinga menempel pada tanah, kiranya jejak kaki ini takkan terdengar mereka.
Sian Eng menjadi girang sekali dan hampir saja ia berteriak memanggil nama kakaknya, karena siapa lagi orang yang memasuki tempat ini selain Suling Emas yang hendak menolong mereka? Akan tetapi segera ditahan niatnya berteriak memanggil demi dilihatnya wajah Bu Sin yang kelihatan kaget dan gelisah. Apalagi pada saat itu terdengar suara yang parau menyakitkan telinga.
“Sin-ni, tak boleh kau mendahului aku, ho-ho-hah!”
“Kai-ong jembel menjemukan!” balas suara seorang wanita yang nyaring.
Bu Sin dan Sian Eng tentu saja menjadi amat kaget karena mengenal suara ini. Suara It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni! Dua orang iblis yang sama jahatnya atau mungkin lebih mengerikan daripada Hek-giam-lo sendiri. Gema suara mereka belum lenyap, akan tetapi bayangan hitam yang bertubuh ramping telah berkelebat ke dalam ruangan itu, dikejar oleh bayangan kakek bertongkat yang agak bongkok. Dalam sekejap mata dua bayangan ini lenyap sudah memasuki terowongan, agaknya mereka itu sedang berlomba mencari sesuatu.
Selenyapnya dua bayangan orang sakti itu, berkelebat bayangan ke tiga dan ternyata orang ini adalah Suma Boan. Sejenak pemuda bangsawan ini mencari-cari dengan pandang matanya, ketika melihat Bu Sin dan Sian Eng rebah di bawah, ia terkejut sekali.
“Dinda Sian Eng.... kau disini....? Ah, kau tertotok! Jangan khawatir, aku akan menolongmu....” Cepat pemuda itu meraih tubuh Sian Eng dan dipondongnya.
Biarpun kaki tangannya lumpuh, namun Sian Eng masih dapat bicara. Suaranya lemah berbisik,
“.... harap kau.... tolong pula Sin-ko keluar dari sini....”
“Ah, tak mungkin aku menolong dua orang sekaligus, Moi-moi. Terowongan terlalu sempit dan.... dan disini berbahaya sekali. Kalau tidak bersama Suhu, aku sendiri tidak berani. Mari kita cepat keluar, biar nanti kakakmu ditolong Suhu.”
Setelah berkata demikian, Suma Boan yang memondong tubuh Sian Eng itu berlari keluar dari tempat itu dengan gerak kaki cepat. Ia memang merasa ngeri karena tahu bahwa tempat ini adalah tempat rahasia persembunyian Hek-giam-lo, apalagi tadi gurunya mengejar Siang-mou Sin-ni dan dengan adanya wanita iblis itu di sini, maka tempat ini menjadi lebih berbahaya lagi.
Hati Bu Sin tidak enak sekali melihat adiknya dipondong Suma Boan. Ia tidak suka dan tidak percaya kepada putera pangeran itu. Akan tetapi apa yang dapat dilakukan? Kaki tangannya masih dalam keadaan lumpuh tertotok, dan ia tidak dapat mencegah perbuatan Suma Boan itu, karena betapapun juga, pemuda putera pangeran itu bermaksud menolong Sian Eng.
Keadaan Sian Eng dan dia berdua memang berbahaya sekali, nyawa mereka terancam bahaya. Setidaknya Suma Boan membebaskan Sian Eng daripada ancaman iblis-iblis jahat yang memasuki terowongan tadi. Dan.... dan agaknya di antara adiknya dan putera pangeran itu terdapat hubungan cinta kasih, sungguhpun ia tidak suka mempunyai seorang adik ipar macam Suma Boan, namun jelas bahwa pemuda itu takkan mengganggu Sian Eng kalau memang mencintanya. Dan jauh lebih baik seorang di antara mereka tertolong daripada keduanya harus mati konyol di tempat mengerikan ini.
Mendadak terdengar angin bertiup dan dua sosok bayangan sudah berkelebat memasuki ruangan itu lagi. Kini dua bayangan itu sudah berdiri berhadapan dan memang mereka adalah Siang-mou Sin-ni dan It-gan Kai-ong, keduanya saling pandang dengan mata penuh kemarahan.
“Kai-ong jembel busuk, kau mengganggu saja kepadaku!”
“Heh-heh, siapa mengganggu? Kita bersama mempunyai tujuan sama, mencari barang pusaka Hek-giam-lo, akan tetapi ternyata kita tak berhasil. Tidak ada apa-apa disini kecuali bocah menjemukan ini!”
“It-gan Kai-ong, kau benar-benar menjengkelkan. Kalau tidak ada kau yang mengganggu, barangkali aku akan berhasil. Kau benar-benar sialan!”
Sambil berkata demikian, Siang-mou Sin-ni menerjang maju dengan kaki tangan dan rambutnya, menyerang dengan hebat. Namun It-gan Kai-ong menggerakkan tongkatnya. Segera mereka bertanding di ruangan itu dengan hebat, ditonton oleh Bu Sin yang masih rebah di atas tanah lembab.
“Tua bangka bosah hidup, lihat ini!”
“Aiiihhhhh.... hebat! Inikah hasilmu dari Bu Kek Siansu?”
Teriak It-gan Kai-ong karena ia memang terdesak hebat ketika Siang-mou Sin-ni mainkan sebuah alat musik khim yang dulu ia rampas dari Bu Kek Siansu.
Hebat sekali senjata istimewa berupa khim ini. Ketika ia menggerakkannya, terdengar suara mengaung dan sejenak It-gan Kai-ong terhuyung ke belakang karena suara yang keluar dari khim itu mengacaukan pemusatan tenaganya. Hampir saja ia kena disabet sambaran rambut lawannya yang menotok tujuh tempat jalan darah yang dapat membawa maut. Siang-mou Sin-ni tertawa-tawa nyaring ketika melihat hasil terjangan senjatanya ini, dan ia melompat maju mendesak lebih hebat.
Akan tetapi tiba-tiba gerakan tongkat It-gan Kai-ong berubah, kini tongkat itu membentuk lingkaran-lingkaran aneh yang mengeluarkan bunyi pula, bunyi menggereng seperti auman singa. Ketika khim bertemu tongkat, keduanya terlempar ke belakang dan terhuyung-huyung.
“Setan alas! Ilmu iblis apa yang kau mainkan tadi?” bentak Siang-mou Sin-ni.
“Sayang hanya setengahnya kudapat....!” It-gan Kai-ong terkekeh. “Kalau keseluruhannya kumiliki, kau tentu akan mampus di tanganku kali ini, Sin-ni!”
Siang-mou Sin-ni berdiri diam, berpikir. Kiranya ilmu hebat itu adalah hasil daripada perampasan kitab dari tangan Bu Kek Siansu dahulu. It-gan Kai-ong hanya berhasil mendapatkan setengah kitab, yang setengah lagi dirampas Hek-giam-lo. Kalau saja ia bisa memiliki kedua potongan kitab itu!
“Kai-ong, sekarang bukan waktunya kita menguji kepandaian. Nanti di puncak Thai-san kita boleh bertempur sampai puas. Kita tunda dulu, bagaimana pendapatmu? Ataukah kau hendak melanjutkan? Aku pun tidak takut kalau kau hendak melanjutkan sampai seorang di antara kita mampus!”
“Heh-heh-heh, Siang-mou Sin-ni iblis betina. Apa artinya dapat menangkan kau dan mengemplang remuk kepalamu yang penuh tipu-tipu muslihat itu kalau tidak ada yang menyaksikannya? Kelak di Thai-san tentu kau roboh di tanganku. Heh-heh, ditunda juga tidak apa.”
Siang-mou Sin-ni menoleh ke arah Bu Sin, suaranya terdengar mengejek ketika ia berkata,
“Bu Sin koko yang tampan, kau nakal sekali, berani dulu kau melarikan diri dari padaku. Hemmm, agaknya memang kau tidak bisa lama-lama berpisah dariku, maka sekarang bertemu kembali disini.”
“Heh-heh, agaknya sudah jodoh, Sin-ni! Hisap saja darahnya sampai habis, tunggu apa lagi? Ataukah kau sudah bosan? Biar kucoba dia dengan ludahku!”
It-gan Kai-ong meludah ke arah Bu Sin. Andaikata tidak ada yang menghalangi, ludah itu tentu akan membuat kepala Bu Sin berlubang dan sekaligus akan mencabut nyawa pemuda itu. Akan tetapi Siang-mou Sin-ni mendengus, rambutnya bergerak dan air ludah itu terpukul ujung rambut, menyambar kembali ke arah It-gan Kai-ong yang miringkan kepala membiarkan air ludahnya sendiri menyambar lewat dan lenyap ke dalam batu karang di belakangnya!
“Jembel busuk, jangan main-main! Dia ini punyaku, tak boleh kau ganggu dia. Nyawanya berada di tanganku, dia mau mati atau hidup, aku yang menentukan!”
“Ho-ho-hah! Enak kau bicara, Siang-mou Sin-ni. Kau mau borong dia, mau memiliki dia sampai kalian mampus, aku peduli apa? Akan tetapi sebelum ia kau bawa pergi, ia harus menceritakan lebih dulu kemana perginya Hek-giam-lo. Kalau tidak, mana aku mau sudah begitu saja? Jangan kau kira aku begitu goblok, membiarkan kau sendiri saja mendengar keterangan dari mulutnya tentang Hek-giam-lo!”
“Keparat tua bangka! Aku mau bawa dia pergi atau tidak, kau mau apa?”
Kembali kedua orang sakti itu sudah saling melotot, siap untuk saling gempur lagi. Bu Sin yang mendengarkan percakapan dan melihat sikap mereka merasa khawatir. Kalau dua orang sakti yang berwatak aneh seperti orang gila ini bertempur karena dia, sembilan puluh prosen ia akan mati.
“Kalian tidak perlu ribut-ribut disini. Baru saja Hek-giam-lo pergi keluar membawa robekan kitab.”
Baru saja Bu Sin bicara sampai disini, It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni sudah berkelebat lenyap dari tempat itu!
Akan tetapi kegembiraan hati Bu Sin melihat ini hanya sebentar karena tahu-tahu Siang-mou Sin-ni sudah berada di tempat itu lagi dan berdiri dekat dengannya sehingga ia dapat mencium bau harum yang sudah amat dikenalnya dan yang selalu membuat ia merasa ngeri dan serem kalau mengingatnya. Tak salah dugaannya bahwa yang datang kembali adalah wanita yang amat ditakuti karena terdengar wanita itu tertawa genit lalu berkata.
“Anak manis, apakah sekarang kau akan dapat melarikan diri dariku lagi?”
Sambil berkata demikian ia meraih dan memondong tubuh Bu Sin, kemudian dibawanya lari keluar dari terowongan itu.
“Perempuan busuk! Perempuan hina! Kau lepaskan aku!” Bentak Bu Sin dengan marah. Hatinya masih sakit sekali kalau ia teringat akan apa yang dilakukan Siang-mou Sin-ni kepadanya dahulu. Akan tetapi Siang-mou Sin-ni hanya tertawa sambil mengejek, “Jembel picak itu benar juga, kalau aku haus, darahmu akan segar juga, hi-hik!”
Bu Sin mengkirik kengerian, akan tetapi apa dayanya? Tak lama kemudian ia melihat sinar terang dan ternyata mereka telah tiba di luar terowongan. Setelah berlari untuk beberapa lamanya, mereka tiba di sebuah hutan dan Siang-mou Sin-ni membebaskan totokan Bu Sin.
Pemuda ini merasa betapa darahnya mengalir kembali seperti biasa, akan tetapi ia belum mampu bergerak. Karena itu, terpaksa ia hanya meramkan mata saja ketika Siang-mou Sin-ni yang tak tahu malu itu membelainya, bahkan menciumnya.
“Kau masih tampan, aku masih sayang kepadamu. Sayang kalau kau kubunuh.” Ia mengusap muka pemuda itu, “Hi-hik, kau mengingatkan aku akan Suling Emas. Bu Sin, kalau kau menuruti semua kehendakku, aku bisa membikin kau menjadi seorang laki-laki gagah perkasa seperti Suling Emas. Aku akan menurunkan kepandaianku kepadamu. Senang kan?”
“Perempuan hina! Pergi!”
Mendadak Bu Sin yang kini jalan darahnya sudah pulih kembali, menghantam sekuatnya.
“Blukkk!”
Siang-mou Sin-ni terlempar dan mengeluarkan seruan kaget. Tadi ketika ia melihat pemuda itu memukulnya, ia menerima dengan senyum di bibir karena ia mengira bahwa Bu Sin masih seperti dulu kepandaiannya sehingga pukulannya tidak berbahaya sama sekali.
Sama sekali ia tidak tahu bahwa semenjak menerima latihan kakek sakti, tenaga sakti di dalam tubuh Bu Sin sudah meningkat beberapa kali lipat kuatnya. Maka kali ini pukulan Bu Sin membuatnya terlempar, sungguhpun tidak mengakibatkan luka dalam karena Siang-mou Sin-ni sudah menjaga diri dengan lwee-kangnya.
“Eh-eh.... dari mana kau mendapatkan tenaga besar itu?” tanyanya, masih setengah heran dan terkejut.
Namun Bu Sin sudah melompat bangun dan menerjangnya dengan sengit sambil memaki-maki. Ia mengerahkan tenaga sin-kang dan mainkan ilmu silatnya yang paling ampuh. Ketika ia sudah berada dekat, kepalan tangan kirinya memukul ke arah kerongkongan wanita itu sedangkan tangan kanan mencengkeram ke arah perut. Dua serangan yang mengandung cengkeraman maut!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar