FB

FB


Ads

Rabu, 26 Juni 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 097

Kita tinggalkan dulu Lie Bok Liong yang dengan sengsara membayangi jejak orang-orang Khitan yang menawan Lin Lin sebagai seorang tawanan terhormat karena gadis ini biarpun hakekatnya amat dibenci oleh Hek-giam-lo, namun sesungguhnya adalah calon ratu yang akan diperisteri oleh Kaisar Khitan. Mari kita mengikuti perjalanan Suling Emas bersama dua orang adiknya, Sian Eng dan Bu Sin.

“Twako, kenapa kau tadi tidak mencegah Lin-moi dibawa pergi orang-orang Khitan? Bagaimana kalau sampai dia mengalami celaka?” Di tengah perjalanan Sian Eng menegur Suling Emas.

Suling Emas diam saja, hanya menarik napas panjang. Mereka bertiga berjalan seenaknya, Suling Emas sebagai petunjuk jalan di depan, di belakangnya berjalan Sian Eng dan Bu Sin berjalan di belakang.

“Eng-moi, bagaimana kau bisa menegur Twako seperti itu? Kau tahu sendiri betapa peristiwa hebat susul-menyusul yang menyedihkan hati Twako,” kata Bu Sin. “Terang bahwa Suling Emas menghadapi hal-hal hebat, pertemuan dengan ibunya yang ternyata seorang iblis betina, kemudian kejadian-kejadian berikutnya yang hebat. Tentu saja Suling Emas kurang memperhatikan keadaan Lin Lin.”

Kembali Suling Emas menarik napas panjang.
“Kalian tidak usah khawatir. Lin Lin berada di tangan suku bangsanya sendiri, takkan diganggu. Melihat gelagatnya, apalagi mengingat akan pengalaman Adik Sian Eng ketika diculik orang-orang Khitan, agaknya Lin Lin adalah Puteri Khitan yang dahulu dipungut ayah kita. Betapapun juga, kita akan pergi ke Khitan, merampas kembali tongkat Beng-kauw, sekalian mencari Lin Lin. Menurut pendapatku, sebaiknya kalian pulang dulu ke Cin-ling-san, biar aku mencari Lin Lin, kalau sudah jumpa, akan kuajak dia menyusul ke Cin-ling-san, tentu saja kalau dia mau.”

“Kalau ia mau? Apa maksudmu, Twako?” tanya Sian Eng heran.

Suling Emas tersenyum.
“Bukankah dia itu Puteri Khitan? Kalau dia sudah kembali kepada bangsanya dan merasa berhak berada di sana dan tidak mau kembali ke Cin-ling-san, tentu saja kita tidak dapat memaksanya bukan?”

“Aku ikut, Twako. Aku akan membujuknya! Tidak boleh dia tinggal bersama suku bangsa liar itu!” seru Sian Eng yang sudah pernah dibawa kepada suku bangsa Khitan itu.

“Betul, Twako. Aku dan Eng-moi akan ikut, sekalian untuk meluaskan pengalaman.”

Kembali Suling Emas menarik napas panjang. Baru saja kedua orang adiknya ini mengetahui rahasia bahwa dia sebenarnya adalah Kam Bu Song, dan baru saja mereka berkumpul. Tidak tegalah hatinya untuk mengusir mereka.

“Baiklah, akan tetapi perjalanan amat sukar dan jauh. Pula aku menghadapi banyak rintangan. Setelah keadaanku diketahui semua tokoh kang-ouw, bahwa mendiang Tok-siauw-kui adalah ibuku, agaknya perjalananku tidak akan aman lagi.”

“Mengapa, Twako?”

Suling Emas menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara mengeluh.
“Mendiang ibuku.... ah tak perlu dibicarakan lagi.”

Ia tidak melanjutkan kata-katanya dan ketika Sian Eng hendak bertanya dari belakang Bu Sin menyentuh lengannya dan memberi tanda supaya adiknya ini tidak banyak bertanya.

“Orang-orang Khitan itu tentu berangkat ke utara melalui jalan sungai. Satu-satunya jalan tercepat ke utara hanya melalui Sungai Kan-kiang. Mereka sudah menang dulu tiga hari. Aku tahu jalan tercepat menuju ke Kan-kiang, melalui anak Bukit Pek-kee-san (Bukit Ayam Putih). Akan tetapi perjalanannya amat sukar dan jalan turunnya sebelah sana hanya dapat ditempuh melalui sebuah jurang. Jurang ini tidak lebar, hanya sepuluh tombak lebih (dua puluh meter kurang lebih), akan tetapi amat dalam. Dahulu aku memasang sehelai tambang untuk penyeberangan di atas jurang itu. Mari kita melalui jalan itu agar dapat melakukan perjalanan cepat.”

Dua orang adiknya menurut dan mulailah mereka mendaki Bukit Pek-kee-san. Memang betul seperti yang dikatakan Suling Emas, perjalanan ini amat sukar. Bukit itu tidak terlalu tinggi, akan tetapi jalan pendakiannya melalui daerah yang sukar sekali. Mereka harus melompati banyak jurang-jurang kecil, melalui daerah batu karang yang tandus dan panas, dengan jalan penuh batu-batu kecil yang bergerak-gerak kalau diinjak, melalui jalan yang licin dan berbahaya.






Akan tetapi, karena mereka bertiga adalah orang-orang muda yang berilmu tinggi, maka mereka dapat melakukan perjalanan cepat. Hanya Sian Eng yang kadang-kadang harus berpegang pada lengan Suling Emas, karena diantara mereka, hanya Sian Eng yang paling rendah tingkat kepandaiannya. Bu Sin telah mendapatkan kemajuan hebat sekali semenjak ia digembleng oleh kakek sakti di air terjun.

Matahari telah condong ke barat ketika mereka bertiga tiba di tepi jurang yang dimaksudkan, jurang satu-satunya yang akan membawa mereka ke tepi Sungai Kan-kiang setelah mereka berhasil menyeberanginya dan tiba di bukit kecil di seberang.

Ngeri keadaan disitu, karena tepi jurang itu membuka lubang menganga seakan-akan tak berdasar di bawah kaki mereka. Akan tetapi bukan hal inilah yang membuat Sian Eng memandang dengan muka pucat dan membuat Bu Sin tertegun. Bahkan Suling Emas sendiri mengerutkan keningnya dan mengeluarkan suara seperti kutukan di dalam tenggorokannya.

Memang tambang besar dan kuat itu masih melintang di atas jurang, menjadi sehelai jembatan yang luar biasa. Akan tetapi “jembatan” ini tidak kosong! Di tengahnya, antara lima tombak dari tepi, tampak seorang kakek tinggi kurus gundul dan buruk menyeramkan berdiri di atas kepalanya di atas tambang! Posisi yang amat sukar dan luar biasa. Bukanlah mudah untuk “berdiri” jungkir-balik dengan kepala di atas tambang, kedua lengan bersedakap dan kedua kaki menjulang ke atas, dan lagi kalau tambang itu melintang di atas jurang yang dalamnya ratusan meter! Tapi kakek itu tampak enak-enak saja melenggut, meram melek dan dari mulutnya yang terbuka dan kelihatan gigi kecil-kecil ompong itu keluar dengkur yang keras.

Suling Emas tampak marah.
“Hemmm, tak kusangka gangguan dimulai sepagi ini!” gumamnya dan dengan kaki kirinya ia menginjak tambang di tepi jurang, lalu bentaknya keras.

“Lo-tong (Anak Tua)! Apakah kehendakmu menghadang aku disini dan menjual kepandaian secara tengik begini? Hayo pergi, kalau tidak, jangan salahkan aku kalau aku menendang tubuhmu yang reyot itu ke dasar jurang!”

Bu Sin dan Sian Eng berdiri di belakang Suling Emas dan memandang penuh kengerian. Kalau terjadi pertandingan di atas tambang antara Suling Emas dan kakek yang bukan lain adalah Tok-sim Lo-tong, seorang diantara Enam Iblis itu, alangkah mengerikan!

Mereka maklum dan percaya penuh akan kesaktian kakak mereka, akan tetapi pertandingan dilakukan di atas tambang yang melintang di atas jurang seperti itu, benar-benar amatlah berbahaya, baik bagi yang kalah maupun bagi yang menang. Sekali saja keseimbangan badan kacau, atau sekali saja kaki terpeleset dan jatuh, jangan harap akan dapat menyelamatkan nyawa, kecuali kalau orang itu mempunyai sayap seperti burung!

“Heh-heh, Kim-siauw-eng (Suling Emas), kiranya kau anak dari si wanita cabul Tok-siauw-kui, heh-heh-heh!”

Merah wajah Suling Emas. Begitu cepatnya cerita itu tersiar, pikirnya.
“Tok-sim Lo-tong tak perlu kau bersusah payah membakar hatiku. Kalau kau berniat menantangku, mari kulayani kau. Untuk apa bertingkah seperti anak-anak padahal kau sudah tua bangka begini?”

“Heh-heh, berani kau melawanku? Di atas tambang ini?”

“Takut apa?” Suling Emas meloncat ke atas tambang dengan gerakan seringan burung walet, lalu menoleh dan berkata kepada kedua orang adiknya, “Jangan kalian menyeberang sebelum aku beri isyarat dari sana.”

Sehabis memberi peringatan kepada adik-adiknya Suling Emas melangkah maju sambil mengeluarkan senjatanya, yaitu sulingnya. Ia maklum bahwa biarpun kelihatan seperti orang tolol, kekanak-kanakan, namun Tok-sim Lo-tong adalah seorang sakti dan jahat sehingga ia dianggap cukup berharga untuk menjadi seorang di antara Thian-te Liok-koai. Maka ia tidak berani memandang rendah dan sengaja ia mengeluarkan sulingnya.

“Heh-heh-heh!”

Tok-sim Lo-tong terkekeh dan tubuhnya bergerak seperti baling-baling berputaran beberapa kali di udara lalu tahu-tahu ia telah berdiri di atas tambang. Hebat sekali demonstrasinya ini, seakan-akan tambang itu merupakan tanah keras biasa baginya. Begitu kedua kakinya yang telanjang itu menginjak tambang, ia lalu lari ke tengah dan tiba-tiba tubuhnya bergoyang-goyang ke kanan kiri. Jari-jari kakinya mencengkeram tambang dan guncangan-guncangan yang dibuat pada tambang itu membuat tubuh Suling Emas bergoyang-goyang pula, makin lama makin hebat sampai tubuh pendekar ini menjadi miring ke kanan kiri.

Bu Sin dan Sian Eng memandang pucat. Kakek sinting itu berbahaya sekali dan karena kedua kakinya telanjang, tentu saja ia lebih leluasa “main-main” di atas tambang daripada Suling Emas yang memakai sepatu kulit dengan sol dipasangi baja Suling Emas dengan sepatunya itu lebih mudah terpeleset, tidak seperti lawannya yang dapat mencengkeram tambang dengan jari-jari kakinya!

“Heh-heh-heh, terjunlah.... terjunlah.... heh-heh!”

Tok-sim Lo-tong terkekeh-kekeh dan guncangannya pada tambang itu makin menghebat sehingga agaknya tak lama lagi Suling Emas takkan dapat menahan dirinya.

Namun Suling Emas bukanlah pendekar sembarangan saja. Biarpun usianya belum tua, namun ia seorang yang selain memiliki kesaktian tinggi juga ia cerdik sekali di samping wataknya yang tenang dan waspada.

Menghadapi akal lawan ini, ia berlaku tenang dan tidak gentar sedikit pun juga. Dengan ilmu lwee-kangnya ia dapat membuat kedua kakinya seakan-akan lengket pada tambang dan biarpun tubuhnya tergucang-guncang dan miring ke kanan kiri sampai hampir roboh, namun ia sama sekali tidak dapat terjatuh dari atas tambang.

“Tua bangka curang, cukup permainanmu ini!”

Tiba-tiba Suling Emas berseru dan tubuhnya melayang ke atas, kedua kakinya terlepas dari tambang!

Hampir Sian Eng berteriak karena hal ini benar-benar berbahaya. Betapapun saktinya, Suling Emas tidak dapat terbang, bagaimana begitu sembrono berani melepaskan tambang? Tubuhnya tentu akan turun lagi dan bagaimana kalau ia tidak dapat menginjak tambang lagi?

“Heh-heh-heh, kau cari mampus!” teriak Tok-sim Lo-tong dengan girang karena ia melihat kesempatan baik.

Guncangan pada tambangnya makin hebat, dan ia rasa tentu kali ini Suling Emas tidak akan mampu turun lagi di atas tambang. Akan tetapi mendadak ia berseru keras dan melompat ke belakang, berjungkir balik dan seperti baling-baling ia berloncatan terus ke belakang karena sinar yang terang menyambar-nyambar bagaikan patuk burung garuda, mengarah jalan darah paling penting di tubuhnya.

Sekali saja ia terkena totokan ujung suling, tentu ia akan menjadi lumpuh dan akibatnya dialah yang akan jatuh ke bawah. Karena Tok-sim Lo-tong sibuk mengelak inilah maka tambang tidak terguncang-guncang lagi dan tentu saja hal ini sudah diperhitungkan oleh Suling Emas yang dengan mudahnya dapat turun lagi di atas tambang. Kini dialah yang menyerang, terus mendesak lawan dengan sulingnya sehingga kakek gundul itu berseru-seru marah, akan tetapi terpaksa mundur terus sambil berjungkir balik makin lama mendekati tepi seberang jurang.

Mendadak Tok-sim Lo-tong memekik dan tubuhnya melayang tinggi dan cepat, tahu-tahu ia sudah berada di seberang dan kedua tangannya yang kurus itu telah mengangkat sebuah batu karang sebesar kerbau, lalu dilontarkannya batu karang itu ke arah Suling Emas yang masih berada di atas tambang!

Serangan hebat dan berbahaya sekali dan sekaligus menyatakan bahwa kakek kurus kering itu benar-benar luar biasa karena dengan mudahnya dapat mengangkat dan melontarkan batu karang yang demikian besarnya.

Namun Suling Emas tidak menjadi gentar atau gugup. Ia merendahkan tubuhnya sampai hampir berjongkok, sulingnya berkelebat dan berhasil menotol dan mendorong batu itu dari bawah. Luncuran batu itu menyeleweng lewat di atas kepalanya, lalu meluncur ke bawah. Sampai lama barulah terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah bawah, akan tetapi Suling Emas sama sekali tidak mempedulikannya, tidak melihat sedikit pun ke bawah, melainkan waspada memandang ke arah lawan sambil melangkah maju.

Di seberang lain, Sian Eng meramkan mata saking ngerinya, juga Bu Sin merasa ngeri sekali. Mereka melihat betapa batu karang sebesar kerbau itu menimpa batu-batu di bawah dan hancur berkeping-keping. Dapat dibayangkan betapa tubuh manusia akan hancur lebur kalau terjatuh dari tempat setinggi ini.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar