FB

FB


Ads

Selasa, 14 Mei 2019

Suling Emas Jilid 170 (tamat)

Wajah kakek itu sebentar pucat sebentar merah dan tiba-tiba ia mengeluarkan suara menggereng keras, tubuhnya menerjang maju mengirim pukulan maut ke arah dada Suling Emas.

"Sute (Adik Seperguruan)! Mundur dan tahan amarahmu!"

Suara ini terdengar berpengaruh sekali sehingga tubuh kakek itu seakan-akan tertahan dan otomatis ia membatalkan niatnya menyerang, melainkan balas menjura dan menerima pecutnya dari tangan Suling Emas. Ia lalu melangkah mundur dengan muka tunduk, namun sepasang mata yang memandang dari bawah caping itu berapi-api.

Suling Emas menengok ke kanan dan terkejutlah ia melihat seorang kakek lain yang sikapnya amat berwibawa. Kakek inipun bukan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, akan tetapi mempunyai wajah yang ada persamaan dengan ketua Beng-kauw itu. Seorang kakek tua yang mukanya keren, sinar mata tajam, tubuhnya tegap dan tegak berdirinya, memegang sebatang tongkat. Sekali pandang saja timbullah segan dan hormat dalam hati Suling Emas. Cepat ia melangkah maju dan menjura dengan hormat sambil berkata,

"Saya yang muda mohon maaf sebesar-besarnya telah menimbulkan keributan yang sesungguhnya tidak saya kehendaki disini. Mohon Locianpwe suka memberi maaf."

Kakek itu mengangguk, lalu menggerak-gerakkan tongkatnya.
"Orang muda, kau tentu yang bernama Suling Emas. Apa hubunganmu dengan Kim-mo Taisu?"

Suling Emas kaget dan ia merasa lega bahwa ia tadi tidak bersikap sembrono. Ternyata kakek ini benar-benar hebat, sekali pandang dapat mengenal gerakannya yang ia warisi dari gurunya. Sambil bersikap hormat ia menjawab,

"Mendiang Kim-mo Taisu adalah guru saya, Locianpwe."

"Aaahh…? Mendiang, katamu..?"

"Suhu telah meninggal dunia beberapa Tahun lalu, kurang lebih lima tahun."

"Pantas kau lihai, kiranya murid Kim-mo Taisu. Orang muda, Kim-mo Taisu adalah sahabat Beng-kauw. Engkau sebagai muridnya, mengapa datang hendak menimbulkan keributan dengan Beng-kauw? Apa kehendakmu?"

Merah wajah Suling Emas dan cepat ia menjawab,
"Tidak sekali-kali, Locianpwe. Tidak sekali-kali saya berani mencari keributan dengan Beng-kauw. Sesungguhnya, baru saja saya memasuki kota raja ini, kemudian dihadang dan hendak ditangkap. Saya tidak mempunyai niat buruk…."

"Kalau begitu, apa yang kau kehendaki dengan kedatanganmu disini?"

"Saya….saya mohon berjumpa dengan …Pat-jiu Sin-ong, ketua Beng-kauw yang terhormat."

Kakek itu megelus-elus jenggotnya dan tersenyum.
"Orang muda, tidak mudah orang luar hendak menghadap Beng-kauwcu. Semua urusan dapat kau sampaikan kepada aku. Aku adalah Ji-kauwcu Liu Mo…"

"Aaahh, jadi Locianpwe ini masih saudara kandung Beng-kauwcu…?"

"Aku adik kandungnya," jawab kakek itu tersenyum. "Atau dapat kau sampaikan kepada puteriku Liu Hwee yang bertugas sebagai pimpinan penjaga keamanan."

Ia menuding ke arah gadis muda tadi sehingga kembali Suling Emas kaget. Dengan mata terbelalak ia memandang gadis muda yang cantik tadi, yang ternyata adalah… bibinya! Kalau Ji-kauwcu Liu Mo ini adik Beng-kauwcu kakeknya, berarti anak kakek bertongkat ini, yaitu si gadis muda yang menyerangnya tadi adalah bibinya.

"Juga dapat kau sampaikan urusanmu kepada suteku itu, yang bernama Kauw Bian Cinjin. Nah, sekarang telah kuperkenalkan semua pihak yang tadi saling bentrok, yang mudah-mudahan tidak dilanjutkan lagi. Suling Emas, katakanlah apa yang hendak kau sampaikan kepada Twa-kauwcu."

Tiba-tiba Suling Emas menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek yang bernama Liu Mo itu. Tanpa ragu-ragu ia berlutut. Bukankah kakek ini juga kakek mudanya, paman dari ibunya?

"Mohon beribu ampun, Locianpwe, akan tetapi…saya hanya dapat bicara di depan…Beng-kauwcu sendiri…"





Diam-diam Liu Mo terheran, dan memandang dengan mata penuh selidik. Ia tahu bahwa orang muda ini amat sakti. Dari pertempuran melawan sutenya tadi ia mengerti bahwa ia sendiri pun belum tentu akan dapat mengalahkan Suling Emas. Akan tetapi mengapa pendekar muda ini begitu merendahkan diri, berlutut di depannya? Dan semua itu dilakukan dengan sungguh-sungguh, sedikitpun tidak membayangkan kepura-puraan atau kepalsuan. Setelah saling bertukar pandang dengan Kauw Bian Cinjin, ia menjawab singkat,

"Suling Emas, tentu ada sebab yang amat penting maka kau memaksa hendak menghadap Beng-kauwcu. Marilah, kau ikut dengan kami."

Dengan hati berdebar Suling Emas mengikuti kakek itu. Di belakangnya berjalan Kauw Bian Cinjin bersama Liu Hwee, kemudian diikuti pula oleh para anak buah. Akan tetapi setelah tiba di depan sebuah gedung besar yang angker dan megah, pasukan itu berhenti dan bersatu dengan para penjaga yang berdiri berbaris di kanan kiri pintu gerbang terus sampai ke pendopo dengan sikap angker dan dalam barisan yang rapi. Barisan yang terdepan segera berlutut dengan sebelah kaki. Namun sikap mereka masih tegak dan dalam keadaan siap.

Barisan penjaga berganti-ganti dan bertingkat-tingkat dari depan sampai ke dalam, kemudian paling dalam terdapat barisan pasukan wanita yang berpedang dan sikap mereka keren dan gagah. Di sepanjang dinding ruangan yang mereka lalui terdapat lukisan-lukisan dan huruf-huruf hias yang amat indah, tidak kalah indah oleh ruangan-ruangan di dalam istana Raja Sung! Dan akhirnya mereka memasuki sebuah kamar besar yang daun pintunya bercat merah.

Ketika memasuki kamar ini, Liu Mo dan Kauw Bian Cinjin segera berdiri di pinggir dengan sikap menghormat setelah membongkokkan tubuh. Adapun Liu Hwee segera menjatuhkan diri berlutut. Suling Emas memandang ke depan, ke arah seorang kakek tua yang duduk sendirian di atas kursi besar, kakek yang dikenalnya sebagai Pat-jiu Sin-ong yang bertemu dengan suhunya belasan tahun lalu.

Pat-jiu Sin-ong Liu Gan Sudah tua sekali, mukanya penuh keriput dan sinar matanya yang acuh tak acuh itu tampak diliputi awan dan murung. Ia menyapu yang datang dengan sinar matanya, kemudian dengan kening berkerut ia mendengarkan laporan Liu Mo tentang Suling Emas yang dengan sikap penuh hormat minta menghadap Beng-kauwcu.

"Kau Suling Emas?"

Suara ketua ini mengguntur dan menggema dalam ruangan besar itu. Suling Emas merasa amat terharu setelah bertemu muka dengan ayah dari ibunya. Keharuan ini mencekik lehernya dan atas pertanyaan itu ia hanya mampu mengangguk tanpa mengeluarkan suara.

"Kamu murid Kim-mo Taisu?"

Kembali Suling Emas hanya mengangguk.

"Suheng, Kim-mo Taisu telah tewas lima tahun lalu menurut penuturan orang muda ini," kata Liu Mo.

Pat-jiu Sin-ong mengerutkan alisnya yang tebal dan sudah bercampur warna putih.
"Hemm, selama hidup Kwee Seng tak pernah mau kalah terhadap aku. Apakah setelah ia mati ia menyuruh nuridnya melanjutkan wataknya yang keras kepala itu? Heh, orang muda, kau terima ini!"

Tangan kanan Pat-jiu Sin-ong meraih cangkir arak di atas meja lalu ia melontarkan cawan itu ke atas. Cawan arak itu berputaran di atas, lalu meluncur turun ke arah Suling Emas!

Suling Emas cukup waspada dan ia maklum bahwa penyerang yang seluruhnya mengandalkan sin-kang ini amatlah hebat. Biarpun kakek ini adalah ayah dari ibunya, namun ia pun harus menjaga nama besar gurunya. Dibandingkan dengan kakeknya ini, agaknya gurunya jauh lebih berjasa dan lebih baik terhadapnya. Ia pun cepat memasang kuda-kuda, mengerahkan sin-kang dan mendorongkan kedua tangannya ke depan, menyambut cawan itu.

Cawan yang meluncur dan berada dalam jarak tengah-tengah antara kedua orang itu, kini terhenti di udara, tertahan oleh hawa pukulan tangan Suling Emas. Mereka masing-masing mengerahkan tenaga, Pat-jiu Sin-ong dengan lengan kanan lurus ke depan, sedangkan Suling Emas dengan kedua tangan lurus ke depan pula, mempertahankan diri.

Liu Mo, Kauw Bian Cinjin, dan Liu Hwee memandang penuh perhatian dan kekhawatiran. Mereka sudah maklum akan kehebatan tenaga Ketua Beng-kauw itu, dan setelah tahu bahwa orang muda ini bukan musuh, mengapa harus dicelakakan? Akan tetapi alangkah heran dan kagum hati mereka ketika cawan itu sama sekali tidak dapat maju lagi sejengkalpun juga, tetap tergantung di udara, tidak maju tidak mundur.

"Prakkk!"

Tiba-tiba cawan itu hancur berkeping-keping dan Suling Emas melangkah mundur tiga langkah dengan napas agak terengah. Adapun Pat-jiu Sin-ong dengan muka penuh keringat tertawa bergelak, lalu menampar meja sehingga terdengar suara keras.

"Kwee Seng! Sungguh engkau keras kepala! Engkau telah menurunkan semua ilmumu kepada bocah ini, agaknya untuk membuktikan bahwa kau masih belum juga mau kalah terhadap aku! Ah, setan keras kepala. Kalau saja kau dahulu mau menjadi mantuku, tentu kau belum mampus sekarang dan aku tidak akan begini kesepian! Kwee Seng….Lu Sian…kalian mengecewakan hatiku!"

Kakek itu menutup muka dengan kedua tangannya dan dengan muka pucat Suling Emas melihat betapa dari celah-celah jari tangan itu mengalir air mata! Pat-jiu Sin-ong menangis! Pat-jiu Sin-ong menyesal mengapa ibunya, Liu Lu Sian dahulu tidak menjadi istreri suhunya! Suling Emas tak dapat menahan keharuan hatinya dan ia maju berlutut di depan kedua kaki Pat-Jiu Sin-ong lalu berkata,

"Kong-kong, aku adalah cucumu…, aku adalah Kam Bu Song…putera tunggal ibu Liu Lu Sian…"

Pat-jiu Sin-ong perlahan-lahan menurunkan kedua tangannya. Matanya terbelalak memandang wajah Suling Emas yang menengadah, lalu perlahan-lahan kedua tangannya bergerak ke depan, menangkap wajah itu diantara kedua tangannya, bibirnya bergerak-gerak dan berbisik,

"Kau… kau puteranya..? Benar! Ini… ini matanya, mulutnya…! Kau…cucuku….!"

"Kong-kong…!"

Bu Song menahan air matanya dan dengan singkat ia menceritakan kedaan orang tuanya dan betapa semenjak kecil ia telah hidup seorang diri sehingga akhirnya menjadi murid Kim-mo Taisu. Mendengar penuturan itu, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan lalu merangkulnya, kemudian menarik bangun Suling Emas, menepuk-nepuk pundaknya dengan penuh kebanggaan.

"Wah, kau benar hebat! Kau cucuku! Ha-ha-ha, tidak kecewa aku mempunyai cucu seperti ini! Terima kasih, Kwee Seng! Ha-ha-ha!"

Suling Emas sebagai orang muda yang tahu sopan santun dan aturan, segera menghadap Liu Mo dan berlutut pula.

"Mohon semua kelakuan saya yang lancang tadi diampuni."

Liu Mo mengangkatnya, juga Kauw Bian Cinjin. Kedua orang tua ini tertawa pula bergelak saking gembira hati mereka. Kemudian Suling Emas menjura ke arah Liu Hwee dan berkata,

"Mohon Bibi juga sudi memberi ampun kepadaku."

Muka yang cantik itu seketika menjadi merah sekali. Akan tetapi dasar Liu Hwee berwatak riang, ia tertawa dan pura-pura marah,

"Wah, mana bisa aku mendadak mempunyai seorang keponakan yang begini besar? Hayo, kau keponakan yang nakal, kau harus berlutut tujuh kali di depan bibimu, baru aku suka memberi ampun!"

Suling Emas bingung, akhirnya ia benar-benar hendak berlutut tujuh kali di depan bibinya yang galak, akan tetapi Liu Mo mencegah dan kakek ini membentak anaknya,

"Hwee-ji (anah Hwee), jangan main gila!" Semua orang lalu tertawa.

"Satu hal saya mohon kepada Kong-kong, kedua Paman Kakek dan Bibi, yaitu saya ingin tinggal menjadi Suling Emas. Saya sudah menghapus nama Bu Song dari dalam hati dan ingatan. Biarlah saya tinggal disebut Suling Emas dan jangan ada yang mengetahui asal-usul saya."

Pat-jiu Sin-ong Liu Gan mengerutkan kening dan menatap tajam wajah cucunya, kemudian ia menarik napas panjang.

"Semuda ini sudah sepahit itu. Agaknya dosa-dosa orang tua menimpa kepadamu. Baiklah, Suling Emas."

Semenjak hari itu, Suling Emas hidup berkumpul dengan keluarga ibunya. Kakeknya amat sayang kepadanya, juga Liu Mo, Kauw Bian Cinjin, dan Liu Hwee. Kakeknya yang amat sayang kepadanya, menurunkan pula ilmu-ilmu kesaktian yang tinggi kepadanya sehingga selama tinggal di Nan-cao, Suling Emas menjadi makin matang dan makin sakti.

Akan tetapi ia tidak pula melupakan Kerajaan Sung. Seringkali dalam perantauannya, ia singgah di kerajaan ini, memasuki istana dan langsung memasuki perpustakaan untuk memuaskan nafsunya membaca kitab-kitab kuno. Ia menjaga sedemikian rupa agar ia jangan sampai bertemu dengan bekas kekasihnya, yaitu Suma Ceng. Kalau tidak tekun membaca kitab sampai berbulan-bulan di dalam gedung perpustakaan Kerajaan Sung, tentu Suling Emas mengembara dan selalu menurunkan perbuatan gagah perkasa, membela mereka yang tertindas, menghajar mereka yang sewenang-wenang, berdasarkan kebenaran dan keadilan.

Nama Suling Emas menjadi makin terkenal di segenap penjuru. Hanya satu hal yang masih mengecewakan hati yang mulai terhibur oleh pelaksanaan tugas sebagai pendekar budiman itu, yakni bahwa selama itu belum juga ia tahu akan keadaan ibu kandungnya!

Bersama berkembangnya nama Suling Emas sebagai pendekar budiman yang sakti, di dunia kang-ouw muncul nama enam orang manusia iblis yang sakti dan buas, sehingga mereka itu diberi julukan Thian-te Liok-koai (Enam Iblis Dunia).

Mereka itu adalah It-gan Kai-ong seorang jembel tua bermata satu yang bukan lain adalah Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong, ke dua adalah Siang-mou Sin-ni, seorang wanita cantik jelita berambut panjang yang bukan lain adalah Coa Kim Bwee selir Kaisar Hou-han, ke tiga adalah Hek-giam-lo si tokoh Khitan yang bukan lain adalah Bayisan. Ke empat adalah Cui-beng-kui Si Setan Pengejar Roh yang dahulunya adalah Ma Thai Kun, sute dari Pat-jiu Sin-ong. Ke lima dan ke enam adalah Toat-beng Koai-jin yang dahulunya bernama Bhe Kiu dan Tok-sim Lo-tong yang dahulunya bernama Bhe Ciu, dua orang murid Kong Lo Sengjin.

Sampai disini selesailah cerita Suling Emas ini dan bagi pembaca yang sudah membaca cerita Cinta Bernoda Darah tentu telah berjumpa pula dengan Suling Emas yang menjadi lawan ke enam manusia iblis itu. Pengarang menutup cerita ini dengan harapan semoga pembaca puas dengan cerita Suling Emas. Apabila masih belum cukup puas, dipersilakan untuk menanti cerita silat yang berjudul "Mutiara Hitam" di mana pembaca akan dibawa terbang melayang ke alam khayal dan mengikuti perjalanan Suling Emas dan murid-murid serta keturunanya, karena cerita Mutiara Hitam merupakan lanjutan cerita Cinta Bernoda Darah. Sampai jumpa dalam Mutiara Hitam !

TAMAT
Surakarta, jawa tengah Mei 1969








Tidak ada komentar:

Posting Komentar