Seperti telah dituturkan di bagian depan, dengan hati seperti disayat-sayat Gak Bun Beng terpaksa meninggalkan istana Milana, bekas kekasihnya dan yang masih merupakan satu-satunya wanita yang dicintanya di dunia ini.
Perih sekali hatinya ketika dia melihat kenyataan bahwa Milana juga masih mencinta dia! Bahwa wanita yang dicintanya itu ternyata hidup merana, hidup sengsara di samping suaminya itu, karena Milana tidak pernah dapat melupakan dia. Betapa akan mudahnya untuk membiarkan diri terbenam dalam kebahagiaan bersama Milana, menuruti suara hati dan dorongan keinginan yang ditekan-tekannya selama belasan tahun ini.
Akan tetapi kalau dia menuruti hati dan menerima uluran kasih sayang Milana, akan menjadi orang macam apakah dia? Tidak! Ayahnya dahulu terkenal sebagai seorang datuk sesat, berjuluk Kang-thouw-kwi Gak Liat, dan kelahiran dirinya pun adalah akibat perbuatan terkutuk ayahnya itu atas pemerkosaannya terhadap ibunya.
Biar ayahnya seorang manusia iblis, dia harus menebus semua penyelewengan ayahnya itu dengan perbuatan benar! Dan kalau dia kini menuruti nafsu hatinya, merebut seorang wanita seperti Milana yang masih bersuami, berarti dia sama tersesatnya dengan ayahnya. Tidak, biar hancur hatinya, biar remuk hidupnya, dia tidak sudi melakukan hal ini dan dia telah melarikan diri dari Milana!
Akan tetapi, cintanya terhadap Milana demikian besarnya, mengalahkan segala-galanya. Dahulu, selama belasan tahun dia telah mampu menekan perasaannya ini, menekan hasrat hatinya untuk bersanding dengan wanita kekasihnya. Akan tetapi, setelah kini bertemu dengan Milana, duduk berdekatan, mendengar suaranya, bahkan mendengar pernyataan cinta kasih wanita itu yang masih sebesar dahulu terhadap dirinya, mana dia mampu berjauhan?
Dia tidak kuat untuk berjauhan lagi. Maka seperti seorang yang sinting Gak Bun Beng tak pernah jauh meninggalkan kota raja, bahkan kadang-kadang dia mencuri masuk, menggunakan kepandaiannya hanya untuk menjenguk dan melihat wajah kekasihnya.
Dia cukup puas hanya dengan melihat sepintas wajah yang tak pernah meninggalkan lubuk hatinya itu, lalu pergi lagi, akan tetapi tidak jauh, hanya dekat di luar kota raja, bersembunyi. Gak Bun Beng adalah seorang laki-laki yang sudah berusia tiga puluh sembilan tahun, hampir empat puluh tahun dan selama hidupnya baru dengan Milana saja dia berdekatan dengan wanita.
Dia adalah seorang perjaka, bahkan setelah dia berpisah dengan Milana belasan tahun yang lalu, dia tidak pernah mau memandang wanita lainnya dan seolah-olah sudah menutupkan pintu hatinya terhadap cinta asmara antara pria dan wanita.
Segala macam bentuk nafsu keinginan lahir dari pikiran. Daya tarik yang terkandung, dalam keindahan bentuk tubuh dan kecantikan serta kelembutan seorang wanita terhadap pandang mata seorang pria memang sudah sewajarnya, akan tetapi dalam daya tarik itu tidak terkandung nafsu berahi. Kalau kita kaum pria melihat seorang wanita dan kita kagum akan kecantikannya, kelembutan dan keluwesannya, maka hal itu hanya habis pada tingkat kekaguman saja.
Akan tetapi begitu sang pikiran masuk mencampuri, pikiran membayangkan hal yang bukan-bukan, kenangan-kenangan yang pernah dirasakannya atau pernah didengarnya, pernah dilihatnya, maka sang pikiran ini lalu membayangkan betapa akan senang dan nikmatnya kalau kita dapat memiliki wanita itu menjadi kawan bermain cinta dan sebagainya, maka lahirlah nafsu berahi yang pada dasarnya hanyalah keinginan untuk menyenangkan diri pribadi. Pikiran adalah diri pribadi, maka segala yang direncanakan dan diperbuat oleh pikiran selalu berpusat pada kesenangan untuk diri pribadi.
Dengan kekuatan batinnya yang memang amat kokoh kuat, Gak Bun Beng berhasil menjauhkan diri dari nafsu berahi dan tidak merasa terganggu. Akan tetapi tiba-tiba muncul Syanti Dewi dalam kehidupannya, dan sifat-sifat dara yang amat baik ini dengan kekuatan mujijat membuka lagi pintu hatinya. Kalau saja dia tidak mempunyai kesetiaan sampai mati kepada Milana, agaknya dengan amat mudahnya dia menerima uluran tangan Syanti Dewi yang jatuh cinta kepadanya karena terdorong oleh hutang budi dan kekaguman yang berlebihan.
Dia menolak Syanti Dewi dengan bijaksana, mengingat usia mereka, mengingat hubungan hatinya dengan Milana. Akan tetapi penolakan ini membuka lebar-lebar kembali luka di dalam hatinya. Semua ini ditambah lagi dengan perjumpaannya dengan Milana, lalu lebih-lebih lagi dengan pernyataan Milana betapa wanita itu masih selalu mencintanya, betapa wanita itu merana hidupnya karena dia!
Kini Gak Bun Beng tersiksa hebat, jauh lebih hebat daripada dahulu kerena kini setiap detik dia digerogoti perasaan dendam rindu kepada Milana! Inilah yang membuat dia tidak mampu lagi terpisah jauh-jauh dari wanita yang dicintanya itu, dan penderitaan ini hendak diperingan dengan setiap kali menjenguk wajah orang yang dicintanya. Dia tidak tahu bahwa perbuatan itu sebenarnya bahkan memperhebat penderitaannya, seperti seorang yang kehausan diperlihatkan air yang tidak boleh diminumnya!
Betapa terkejutnya ketika dia mendengar akan geger yang terjadi di kota raja, yaitu tentang tewasnya Pangeran Liong Bin Ong yang kabarnya dibunuh oleh perwira Han Wi Kong dan tentang tewasnya perwira itu pula, kemudian tentang mengamuknya Puteri Milana dan lenyapnya Puteri Syanti Dewi dari istana Kaisar!
Tentu saja dia cepat memasuki kota raja dan melakukan penyelidikan. Dengan muka pucat dia menghadap Perdana Menteri Su dan mendengar semua penuturan perdana menteri itu bahwa suami Milana tewas, kemudian betapa Milana menculik Puteri Syanti Dewi dan melarikan diri dari kota raja setelah membunuh para pengawal Liong Bin Ong yang menewaskan suaminya!
Gak Bun Beng terkejut dan juga berduka sekali. Kekasihnya tertimpa malapetaka yang demikian hebat tanpa dia mampu menolongnya! Dia merasa menyesal sekali. Andaikata dia tidak meninggalkan istana puteri itu, kiranya belum tentu suami puteri ini akan tewas dan membawa akibat sedemikian hebatnya sehingga kini Puteri Milana menjadi seorang pelarian dari istana!
Setelah menghaturkan terima kasih kepada Perdana Menteri Su, dia lalu berpamit dan cepat mencari Milana yang dia duga tentu hendak mengantarkan Syanti Dewi kembali ke Bhutan.
Sementara itu, seperti telah diceritakan di bagian depan, Milana yang membawa lari Syanti Dewi bertemu dengan Ang Siok Bi, kemudian bertemu dengan Jenderal Kao Liang dan menyerahkan Syanti Dewi kepada dua losin pengawal jenderal itu yang dipimpin oleh kepala pengawal Can Siok untuk dikawal sampai ke Bhutan. Puteri Milana sendiri lalu berpisah dari Jenderal Kao Liang untuk kembali ke utara karena dia ingin pergi ke orang tuanya, yaitu di Pulau Es.
Lemas rasanya seluruh sendi tulangnya ketika Puteri Milana berjalan perlahan memasuki hutan itu. Berkali-kali dia menghela napas panjang, menyesali dirinya sendiri karena dia merasa telah melakukan dosa yang amat besar. Dia merasa seolah-olah dialah yang telah membunuh Han Wi Kong. Dia tahu bahwa suaminya itu seperti membunuh diri, sungguhpun pembunuhan diri yang amat terhormat dan berjasa besar bagi negara. Dan yang menjadi sebab adalah dia.
Perih sekali hatinya ketika dia melihat kenyataan bahwa Milana juga masih mencinta dia! Bahwa wanita yang dicintanya itu ternyata hidup merana, hidup sengsara di samping suaminya itu, karena Milana tidak pernah dapat melupakan dia. Betapa akan mudahnya untuk membiarkan diri terbenam dalam kebahagiaan bersama Milana, menuruti suara hati dan dorongan keinginan yang ditekan-tekannya selama belasan tahun ini.
Akan tetapi kalau dia menuruti hati dan menerima uluran kasih sayang Milana, akan menjadi orang macam apakah dia? Tidak! Ayahnya dahulu terkenal sebagai seorang datuk sesat, berjuluk Kang-thouw-kwi Gak Liat, dan kelahiran dirinya pun adalah akibat perbuatan terkutuk ayahnya itu atas pemerkosaannya terhadap ibunya.
Biar ayahnya seorang manusia iblis, dia harus menebus semua penyelewengan ayahnya itu dengan perbuatan benar! Dan kalau dia kini menuruti nafsu hatinya, merebut seorang wanita seperti Milana yang masih bersuami, berarti dia sama tersesatnya dengan ayahnya. Tidak, biar hancur hatinya, biar remuk hidupnya, dia tidak sudi melakukan hal ini dan dia telah melarikan diri dari Milana!
Akan tetapi, cintanya terhadap Milana demikian besarnya, mengalahkan segala-galanya. Dahulu, selama belasan tahun dia telah mampu menekan perasaannya ini, menekan hasrat hatinya untuk bersanding dengan wanita kekasihnya. Akan tetapi, setelah kini bertemu dengan Milana, duduk berdekatan, mendengar suaranya, bahkan mendengar pernyataan cinta kasih wanita itu yang masih sebesar dahulu terhadap dirinya, mana dia mampu berjauhan?
Dia tidak kuat untuk berjauhan lagi. Maka seperti seorang yang sinting Gak Bun Beng tak pernah jauh meninggalkan kota raja, bahkan kadang-kadang dia mencuri masuk, menggunakan kepandaiannya hanya untuk menjenguk dan melihat wajah kekasihnya.
Dia cukup puas hanya dengan melihat sepintas wajah yang tak pernah meninggalkan lubuk hatinya itu, lalu pergi lagi, akan tetapi tidak jauh, hanya dekat di luar kota raja, bersembunyi. Gak Bun Beng adalah seorang laki-laki yang sudah berusia tiga puluh sembilan tahun, hampir empat puluh tahun dan selama hidupnya baru dengan Milana saja dia berdekatan dengan wanita.
Dia adalah seorang perjaka, bahkan setelah dia berpisah dengan Milana belasan tahun yang lalu, dia tidak pernah mau memandang wanita lainnya dan seolah-olah sudah menutupkan pintu hatinya terhadap cinta asmara antara pria dan wanita.
Segala macam bentuk nafsu keinginan lahir dari pikiran. Daya tarik yang terkandung, dalam keindahan bentuk tubuh dan kecantikan serta kelembutan seorang wanita terhadap pandang mata seorang pria memang sudah sewajarnya, akan tetapi dalam daya tarik itu tidak terkandung nafsu berahi. Kalau kita kaum pria melihat seorang wanita dan kita kagum akan kecantikannya, kelembutan dan keluwesannya, maka hal itu hanya habis pada tingkat kekaguman saja.
Akan tetapi begitu sang pikiran masuk mencampuri, pikiran membayangkan hal yang bukan-bukan, kenangan-kenangan yang pernah dirasakannya atau pernah didengarnya, pernah dilihatnya, maka sang pikiran ini lalu membayangkan betapa akan senang dan nikmatnya kalau kita dapat memiliki wanita itu menjadi kawan bermain cinta dan sebagainya, maka lahirlah nafsu berahi yang pada dasarnya hanyalah keinginan untuk menyenangkan diri pribadi. Pikiran adalah diri pribadi, maka segala yang direncanakan dan diperbuat oleh pikiran selalu berpusat pada kesenangan untuk diri pribadi.
Dengan kekuatan batinnya yang memang amat kokoh kuat, Gak Bun Beng berhasil menjauhkan diri dari nafsu berahi dan tidak merasa terganggu. Akan tetapi tiba-tiba muncul Syanti Dewi dalam kehidupannya, dan sifat-sifat dara yang amat baik ini dengan kekuatan mujijat membuka lagi pintu hatinya. Kalau saja dia tidak mempunyai kesetiaan sampai mati kepada Milana, agaknya dengan amat mudahnya dia menerima uluran tangan Syanti Dewi yang jatuh cinta kepadanya karena terdorong oleh hutang budi dan kekaguman yang berlebihan.
Dia menolak Syanti Dewi dengan bijaksana, mengingat usia mereka, mengingat hubungan hatinya dengan Milana. Akan tetapi penolakan ini membuka lebar-lebar kembali luka di dalam hatinya. Semua ini ditambah lagi dengan perjumpaannya dengan Milana, lalu lebih-lebih lagi dengan pernyataan Milana betapa wanita itu masih selalu mencintanya, betapa wanita itu merana hidupnya karena dia!
Kini Gak Bun Beng tersiksa hebat, jauh lebih hebat daripada dahulu kerena kini setiap detik dia digerogoti perasaan dendam rindu kepada Milana! Inilah yang membuat dia tidak mampu lagi terpisah jauh-jauh dari wanita yang dicintanya itu, dan penderitaan ini hendak diperingan dengan setiap kali menjenguk wajah orang yang dicintanya. Dia tidak tahu bahwa perbuatan itu sebenarnya bahkan memperhebat penderitaannya, seperti seorang yang kehausan diperlihatkan air yang tidak boleh diminumnya!
Betapa terkejutnya ketika dia mendengar akan geger yang terjadi di kota raja, yaitu tentang tewasnya Pangeran Liong Bin Ong yang kabarnya dibunuh oleh perwira Han Wi Kong dan tentang tewasnya perwira itu pula, kemudian tentang mengamuknya Puteri Milana dan lenyapnya Puteri Syanti Dewi dari istana Kaisar!
Tentu saja dia cepat memasuki kota raja dan melakukan penyelidikan. Dengan muka pucat dia menghadap Perdana Menteri Su dan mendengar semua penuturan perdana menteri itu bahwa suami Milana tewas, kemudian betapa Milana menculik Puteri Syanti Dewi dan melarikan diri dari kota raja setelah membunuh para pengawal Liong Bin Ong yang menewaskan suaminya!
Gak Bun Beng terkejut dan juga berduka sekali. Kekasihnya tertimpa malapetaka yang demikian hebat tanpa dia mampu menolongnya! Dia merasa menyesal sekali. Andaikata dia tidak meninggalkan istana puteri itu, kiranya belum tentu suami puteri ini akan tewas dan membawa akibat sedemikian hebatnya sehingga kini Puteri Milana menjadi seorang pelarian dari istana!
Setelah menghaturkan terima kasih kepada Perdana Menteri Su, dia lalu berpamit dan cepat mencari Milana yang dia duga tentu hendak mengantarkan Syanti Dewi kembali ke Bhutan.
Sementara itu, seperti telah diceritakan di bagian depan, Milana yang membawa lari Syanti Dewi bertemu dengan Ang Siok Bi, kemudian bertemu dengan Jenderal Kao Liang dan menyerahkan Syanti Dewi kepada dua losin pengawal jenderal itu yang dipimpin oleh kepala pengawal Can Siok untuk dikawal sampai ke Bhutan. Puteri Milana sendiri lalu berpisah dari Jenderal Kao Liang untuk kembali ke utara karena dia ingin pergi ke orang tuanya, yaitu di Pulau Es.
Lemas rasanya seluruh sendi tulangnya ketika Puteri Milana berjalan perlahan memasuki hutan itu. Berkali-kali dia menghela napas panjang, menyesali dirinya sendiri karena dia merasa telah melakukan dosa yang amat besar. Dia merasa seolah-olah dialah yang telah membunuh Han Wi Kong. Dia tahu bahwa suaminya itu seperti membunuh diri, sungguhpun pembunuhan diri yang amat terhormat dan berjasa besar bagi negara. Dan yang menjadi sebab adalah dia.
Suaminya menderita hebat sejak menikah dengan dia karena suaminya itu benar-benar mencintanya dan dapat dibayangkan betapa perih hatinya dan sengsara hidupnya karena semenjak menikah, sampai belasan tahun lamanya, dia hanya menjadi isteri dalam nama saja, tidak pernah menjadi isteri dalam arti yang sesungguhnya.
“Salahkah aku? Berdosakah aku?” Berkali-kali dia bertanya kepada diri sendiri.
Dia dahulu diharuskan menikah oleh Kaisar dan terpaksa dia harus memilih seorang diantara mereka. Pilihannya jatuh kepada Han Wi Kong, akan tetapi bagaimana dia bisa mencinta orang lain kalau hatinya sudah diserahkan sebulatnya kepada Gak Bun Beng? Han Wi Kong “membunuh diri” karena ingin membahagiakannya, ingin membebaskannya agar dia dapat berkumpul dengan Gak Bun Beng. Kalau sampai tujuan terakhir suaminya itu tidak terpenuhi, sama artinya dengan membiarkan suaminya itu mati konyol, mati dengan sia-sia.
Akan tetapi Gak Bun Beng.... Milana menarik napas panjang ketika teringat pria yang dicintanya itu, teringat akan pendiriannya, akan keangkuhannya. Teringat betapa Gak Bun Beng berkeras meninggalkannya, kembali dia menarik napas panjang dan bibirnya terdengar mengeluh lirih seperti rintihan,
“Gak-suheng....”
“Sumoi....!”
Suara ini memasuki telinganya seperti halilintar dan membuat seluruh tubuhnya tergetar. Wajah Milana menjadi pucat sekali dan cepat dia membalikkan tubuhnya. Ketika melihat orang yang sedang dikenangnya itu kini berdiri di depannya, Gak Bun Beng yang berwajah pucat dan bermata sayu, Milana menggosok kedua matanya.
“Sumoi.... Milana, aku di sini....”
Gak Bun Beng berkata dengan suara terharu ketika melihat wanita itu seperti tak percaya akan kehadirannya, wanita yang dicintanya, yang berpakaian kusut dan berambut awut-awutan, berwajah pucat sekali akan tetapi yang kecantikannya baginya tak pernah berkurang semenjak mereka masih remaja dahulu.
“Suheng.... Gak-suheng....”
Milana tak dapat lagi menahan hatinya. Wanita yang terkenal sebagai seorang pendekar besar, seorang pahlawan dan seorang panglima yang amat gagah perkasa, yang mampu menghadapi segala macam bahaya dengan mata tidak berkedip, yang tidak pernah meruntuhkan air mata dan yang terkenal sebagai seorang wanita gagah berhati baja, kini tidak lebih hanya seorang wanita yang lembut dan tangisnya mengguguk, air matanya jatuh berderai-derai. Seperti seorang anak kecil dia berdiri sambil menangis, tubuhnya berguncang dan kedua punggung tangannya menggosok-gosok matanya.
“Sumoi.... tenangkan hatimu, Sumoi....”
Dengan suara gemetar Gak Bun Beng mencoba menghibur, melangkah maju dan dengan hati-hati menyentuh kedua pundak wanita itu dengan ujung-ujung jari tangannya. Sentuhan ini sudah cukup untuk membuka bendungan itu.
“Gak-suheng.... aihhh, Gak-suheng....!” Milana lalu memeluk dan mendekap dada pria itu dengan mukanya, menangis sejadi-jadinya.
“Sumoi....”
Suara Bun Beng juga mengandung isak dan dia menengadah, memejamkan kedua matanya mencegah keluarnya air mata, dan tangan kanannya mengusap-usap rambut yang awut-awutan dan halus lemas itu.
Sampai lama sekali mereka hanya berdiri saling peluk. Milana menangis terisak-isak, makin lama makin mereda dan Gan Bun Beng memeluk pundaknya dan membelai rambutnya. Setelah tangis wanita itu agak mereda, tinggal terisak-isak saja, Bun Beng lalu dengan halus melepaskan pelukannya, menjauhkan dirinya sambil berkata lembut,
“Sumoi, aku telah mendengar semua apa yang terjadi di kota raja. Aku menyesal sekali.... tidak dapat membantumu sama sekali....”
Milana masih belum mampu menjawab hanya terisak-isak dan menghapus sisa air mata dengan sehelai saputangan sutera.
“Mari kita duduk di bawah pohon itu dan bicara, Sumoi.”
Bun Beng mengajaknya dan dia mengangguk, keduanya lalu duduk di atas akar-akar pohon yang menonjol di atas tanah. Milana menundukkan mukanya yang menjadi agak kemerahan, mungkin karena tangisnya, isaknya masih ada akan tetapi hanya kadang-kadang dan air matanya sudah berhenti mengucur. Wanita perkasa ini sudah dapat menguasai dirinya lagi.
“Sumoi, aku sudah bertemu dengan Perdana Menteri Su dan mendengar dari beliau akan semua peristiwa. Suamimu telah membunuh Pangeran Liong Bin Ong dan dalam usaha itu dia berhasil akan tetapi dia juga terbunuh oleh para pengawal tokoh pemberontak itu. Dan kau telah melarikan Syanti Dewi.... eh, di mana sekarang?”
“Dia telah dikawal oleh para pengawal Jenderal Kao, kembali ke Bhutan.” Milana lalu menceritakan dengan singkat pertemuannya dengan Jenderal Kao. Kemudian dia menceritakan juga tentang pertemuannya dengan Ang Siok Bi, dan menambahkan, “Ternyata benar bahwa Ang Tek Hoat itu adalah puteranya, dan dia.... dia mencari-carimu sebagai seorang musuh besar, Suheng.”
“Biarlah....” Gak Bun Beng menarik napas panjang, sikapnya tidak peduli. “Sekarang engkau hendak.... ke manakah, Sumoi?”
Suaranya penuh perasaan iba dan hal ini terasa sekali oleh Milana sehingga kembali wanita ini menggigit bibir menahan tangisnya.
“Tadinya aku hendak mencarimu, Suheng, akan tetapi karena tidak tahu engkau berada dimana, setelah Syanti Dewi diantar para pengawal, aku lalu hendak pergi ke Pulau Es saja. Syukur bahwa kita dapat bertemu disini, Suheng.”
“Kau.... kau mencariku, Sumoi?” Gak Bun Beng memandang dengan jantung berdebar tegang. “Mengapa.... engkau mencariku?”
Wajah yang masih agak pucat itu menjadi merah dan jari-jari tangannya gemetar ketika Milana mencari-cari ke balik bajunya, kemudian mengeluarkan sebuah sampul surat.
“Aku mencarimu untuk menyampaikan ini, Suheng. Aku menemukan surat peninggalan suamiku ini di dalam kamarnya dan surat ini untukmu.”
Gak Bun Beng menerima surat itu dan membaca tulisan pada sampulnya. Memang ditujukan kepadanya, ditulis oleh tangan Han Wi Kong dengan gaya tulisan yang kuat dan indah. Jantungnya berdebar tegang penuh kekhawatiran dan penyesalan. Apakah yang akan dia baca dan temukan di dalam surat ini? Apakah kata-kata kutukan dan penyesalan dari perwira gagah itu? Karena dia dan isterinya mempunyai hubungan cinta kasih? Apakah perwira itu menderita kesengsaraan batin karena dia? Karena isterinya mencinta dia? Hampir dia tidak berani membuka surat itu dan dia memandang kepada Milana. Akan tetapi wanita itu pun merunduk saja, agaknya menanti dengan penuh ketegangan.
“Sumoi, katakanlah, mengapa suamimu melakukan perbuatan nekat itu? Seorang diri menyerbu istana dan membunuh Pangeran Liong Bin Ong, bukankah hal itu sama artinya dengan membunuh diri?”
Ucapan itu terasa oleh Milana seperti tusukan pada jantungnya dan tak dapat dicegahnya lagi beberapa butir air mata mengalir turun dan karena dia menunduk, air mata itu berkumpul di ujung hidungnya seperti sebutir mutiara besar. Milana menggeleng kepala dan mutiara itu jatuh dari ujung hidungnya.
“Aku.... aku tidak tahu....” Dia merasa lehernya seperti dicekik, tidak mampu lagi mengeluarkan kata-kata.
Gak Bun Beng menarik napas, memandang sampul surat itu lalu memberanikan hatinya, membuka sampul itu dengan jari-jari tangan gemetar dan mengeluarkan suratnya. Dia sudah siap untuk menerima berita yang paling buruk, siap untuk menerima celaan dan kutuk orang yang sudah mati itu. Lalu dibacanya surat itu,
Gak Bun Beng Taihiap,
Kalau taihiap membaca surat ini, saya tentu sudah mati. Kematian yang tidak sia-sia karena saya tentu telah berhasil membunuh dalang pemberontak Liong Bin Ong. Terutama sekali, dengan kematian saya, Puteri Milana menjadi bebas untuk hidup bersama satu-satunya pria yang dicintanya, yaitu Taihiap sendiri. Percayalah, sejak dahulu sampai saat ini Puteri Milana hanya mencinta Taihiap seorang, dan dia menjadi isteri saya hanya namanya saja, bukan isteri dalam arti sesungguhnya. Sampai saat ini Puteri Milana masih seorang gadis yang selalu menanti pinangan Taihiap!
Semoga bahagia,
Han Wi Kong.
Surat itu terlepas dari jari-jari tangan Gak Bun Beng yang gemetar karena jantungnya berdebar dengan keras.
“Ohhh....” demikian keluhnya.
Mendengar keluhan ini, Milana mengangkat mukanya memandang. Gak Bun Beng lalu menyambar kertas itu dan menyerahkan kepada Milana sambil berkata, suaranya gemetar,
“Benarkah ini....? Benarkah ini....?”
Milana menerima surat itu dan membacanya, dipandang dengan tajam oleh Gak Bun Beng. Perlahan-lahan kedua pipi wanita itu berubah menjadi merah sekali dan surat itu pun terlepas dari tangannya yang menggigil.
“Benarkah, Milana....?” tanya Bun Beng, suaranya lirih seperti berbisik.
Milana mengangkat muka memandang. Dua pasang mata saling bertemu dan akhirnya Milana hanya mengangguk penuh kepastian.
Bun Beng meloncat berdiri.
“Akan tetapi mengapa?” teriaknya. “Milana? Engkau adalah isterinya! Mengapa engkau menyiksanya sedemikian rupa? Belasan tahun menjadi isterinya.... hanya dalam nama saja....? Betapa kejamnya engkau....”
Mendengar ucapan ini, Milana juga meloncat berdiri dan memandang Bun Beng dengan mata bersinar-sinar.
“Mengapa? Tentu saja aku tidak bisa menyerahkan diri kepada lain pria! Setelah aku menyerahkan cinta kasih dan hatiku kepadamu, suheng, bagaimana mungkin aku dapat menyerahkan tubuhku kepada pria lain?”
“Ahh.... tapi... kalau begitu, mengapa engkau menikah dengan dia?”
“Karena Kaisar memaksaku.”
“Kau bisa saja pergi dari istana dan mencari aku, Milana....”
“Suheng, bukankah engkau yang telah meninggalkan aku, pergi dariku? Aku telah merasa berdosa kepadamu dahulu, telah tidak mempercayaimu (dalam cerita Sepasang Pedang Iblis)...., akan tetapi aku tidak mungkin bisa menyerahkan diri kepada pria lain....”
“Milana.... sumoi, begitu besar cintamu kepadaku....”
“Dan kau tadinya kuanggap telah melupakan aku, Suheng. Kiranya engkau pun rela hidup merana, tak pernah menikah, karena cintamu kepadaku....”
“Milana.... aku cinta padamu, sejak dahulu sampai detik ini.... aku hanya merasa diriku tidak berharga untukmu. Dan ternyata engkau.... engkau begitu setia kepadaku.... ternyata aku yang telah menyiksa hidupmu, Milana....”
“Suheng....!”
Milana mengeluh dan mereka saling tubruk, saling rangkul karena sekarang keduanya yakin akan cinta kasih mereka masing-masing.
“Sumoi.... Milana.... ah, Milana.... betapa aku rindu padamu.”
“Aku pun rindu padamu, Suheng....”
Sejenak kedua orang itu lupa diri. Milana terlena dalam pelukan Bun Beng, air matanya mengalir turun dari kedua mata yang dipejamkan. Bun Beng mendekapnya, menciumnya, mencium lehernya, dagunya, bibirnya, hidung dan matanya, menghisap air mata itu, air mata yang seolah-olah menjadi air embun yang menyiram kembang di dalam hatinya yang kehausan dan yang hampir melayu, sehingga kembang itu menjadi segar kembali.
Pada saat itu dicurahkanlah segala kerinduannya, segala cinta kasihnya sehingga setiap bulu di tubuhnya seolah-olah bangkit dan membelai wanita itu. Milana memejamkan matanya, merasa terayun di angkasa dengan nikmatnya.
Wanita manakah yang tidak akan merasa berbahagia bahwa dia telah menundukkan hati pria yang dicintanya, merasa dibutuhkan, dicinta dan dipuja? Bisikan halus yang keluar dari bibir Bun Beng di dekat telinga, bisikan yang berkali-kali menyatakan cinta kasih yang mendalam, membuat hati Milana bangga dan bisikan itu lebih merdu daripada nyanyian surga!
Akan tetapi tiba-tiba Milana melepaskan dirinya dengan halus, kini dia memandang kekasihnya dengan bibir tersenyum dan mata masih basah, dengan kedua pipi kemerahan seperti wajah seorang dara remaja yang baru pertama kali menerima ciuman seorang pria. Bun Beng memandang dengan terpesona.
“Jangan.... Suheng, jangan dulu...., kita harus menghormati Han Wi Kong.... dialah yang sesungguhnya mempertemukan kita kembali. Kita.... kita harus sabar menanti.... biarkan aku berkabung selama setahun untuknya, Suheng.”
Gak Bun Beng tersenyum, senyum penuh kecerahan yang baru pertama kali ini nampak di wajahnya, seolah-olah wajahnya bersinar kembali dengan cahaya kehidupan. Dia mengangguk dan matanya memandang penuh kelembutan, penuh kemesraan dan penuh pengertian.
“Memang sebaiknya begitu, Sumoi. Sebaiknya begitu...., betapapun juga, secara lahiriah dia adalah suamimu dan sahabat kita yang amat baik. Setelah menanti belasan tahun lamanya, apa artinya setahun bagi kita?”
Milana melangkah maju lagi dan memegang kedua tangan kekasihnya.
“Aku tahu bahwa engkaulah satu-satunya manusia yang bijaksana dan mulia di dunia ini. Mulai saat ini aku merasa seolah-olah baru hidup, suheng....”
Gak Bun Beng balas menggenggam jari-jari tangan yang halus itu.
“Bukan baru hidup melainkan hidup baru, Sumoi. Sekarang, apakah engkau hendak melanjutkan perjalananmu ke Pulau Es?”
“Aku.... aku.... terserah kepadamu, Suheng. Sejak saat ini, aku hanya menurut apa yang kau katakan dan kau tentukan. Aku takut kalau-kalau keputusanku sendiri akan mengakibatkan kesalahan hebat seperti yang telah kita alami bersama dahulu. Aku menyerahkan segalanya kepadamu, Suheng.”
Bukan main girangnya hati Gak Bun Beng.
“Kiranya lebih baik kalau kelak setahun kemudian kita bersama pergi menghadap ke Pulau Es untuk minta doa restu dari orang-orang tua. Sekarang, lebih baik kita mengejar perjalanan Syanti Dewi. Hatiku merasa tidak tenang kalau sampai anak itu hanya dikawal oleh pasukan biasa. Sebaiknya waktu yang satu tahun itu kita pergunakan untuk mengawalnya ke Bhutan.”
Milana mengangguk, lalu berkata,
“Dia.... Syanti Dewi amat mencintamu, Gak-suheng....”
“Eh, bagaimana kau tahu?”
“Anak yang baik itu menceritakan segalanya kepadaku. Dan tahukah engkau betapa dia marah-marah kepadaku dan menuntut agar aku membahagiakan engkau. Tidakkah aneh sekali itu? Seorang anak belasan tahun mengajarkan aku tentang cinta kasih! Dia benar-benar cinta kepadamu sehingga aku merasa heran mengapa engkau tidak menyambut uluran hati seorang dara secantik dia?”
“Sumoi, perlukah kau tanyakan lagi hal itu? Dengan adanya engkau, betapa mungkin aku mencinta wanita lain? Aku tahu akan kebaikan hatinya, karena itu dia kuanggap sebagai keponakan atau anak sendiri, dan karena itu pula kita sudah sepatutnya mengantarkan dia kembali kepada orang tuanya di Bhutan.”
Milana tersenyum manja.
“Terima kasih, Suheng. Pernyataanmu itu makin meyakinkan hatiku betapa besar cintamu kepadaku, dan amat membahagiakan hatiku.”
“Hemm, tidak kalah besarnya dengan kebahagiaanku memperoleh kenyataan bahwa selama ini engkau tetap mencintaku, Sumoi. Mari kita berangkat, aku khawatir terjadi hal-hal yang tidak baik terhadap diri Syanti Dewi.”
Maka berangkatlah kedua orang kekasih yang baru saling menemukan kembali setelah cinta kasih mereka terpisah selama belasan tahun itu. Patut dikagumi Gak Bun Beng dan Milana. Keduanya masih perawan dan perjaka, biarpun usia mereka telah mendekati empat puluh tahun, dan mereka selama belasan tahun menekan kerinduan hati masing-masing.
Kini, setelah mereka berdua memperoleh kebebasan dan tidak ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk saling memiliki, seolah-olah kenikmatan itu merupakan setangkai bunga di depan mata, tinggal mengulur tangan memetiknya saja, dan keduanya sudah saling mencinta dan sudah saling percaya, tidak ada halangannya untuk saling menyerahkan diri lahir batin, mereka masih mampu mengatasi dorongan nafsu mereka dan melihat kenyataan bahwa hal itu kurang baik dan bahwa sudah sepatutnya kalau mereka menanti saja sudah menjadi bukti betapa teguh dan kokoh kuat dasar batin kedua orang gagah ini, yang tidak mudah dimabok oleh nafsu berahi!
Sambil bergandeng tangan mereka pergi meninggalkan hutan itu dan dengan kecepatan luar biasa mereka menggunakan ilmu berlari cepat mereka menuju ke barat untuk menyusul rombongan Syanti Dewi yang dikawal oleh dua losin orang pasukan pengawal Jenderal Kao Liang.
Ketika mereka tiba di dekat dusun yang dijadikan markas sementara oleh Hek-tiauw Lo-mo, di tengah jalan mereka bertemu dengan Suma Kian Bu yang memimpin sepasukan yang terdiri dari belasan orang, yaitu pasukan yang didapatnya dari Perdana Menteri.
Pemuda ini setelah behasil membantu Tek Hoat membakar ruangan dan membiarkan Tek Hoat menolong Ceng Ceng, lalu melarikan diri ke kota raja dan dia pun pergi menemui Perdana Menteri Su, menceritakan dan minta bantuan untuk menolong Ceng Ceng dan Topeng Setan.
Perdana Menteri Su dengan singkat menceritakan bahwa Syanti Dewi telah ditolong Tek Hoat dan karena semua perbuatannya itu adalah di luar tahu istana, maka perdana menteri yang bijaksana ini hanya dapat menyuruh pengawal-pengawal pribadinya yang berjumlah lima belas orang untuk membantu Suma Kian Bu menolong Ceng Ceng dan Topeng Setan.
Demikianlah, di tengah jalan mereka saling bertemu.
“Enci Milana! Gak-suheng!”
Kian Bu berseru dengan girang bukan main dan dia memegangi kedua tangan suheng dan encinya itu.
“Hemmm, kemana saja engkau selama ini, Kian Bu?” Milana bertanya.
Ditanya demikian, Kian Bu menundukkan muka menyembunyikan perasaan jengah dan malunya. Tentu saja tidak mungkin dia menceritakan pengalamannya dengan Hong Kui.
“Aku hanya merantau saja, Enci, akan tetapi ada hal yang lebih penting untuk kalian ketahui dan kebetulan sekali aku bertemu dengan kalian. Marilah kita pergi menolong Ceng Ceng dan Topeng Setan dan di perjalanan nanti kuceritakan semua kepada Ji-wi (Kalian Berdua).”
Tentu saja Gak Bun Beng dan Milana terkejut dan segera mengikuti adik itu melanjutkan perjalanan menuju ke dusun yang dijadikan tempat tinggal Tambolon. Kian Bu telah mendengar penuturan dari Perdana Menteri Su betapa Ceng Ceng masih ditawan oleh Tambolon menurut cerita Tek Hoat dan Syanti Dewi, dan bahwa Tek Hoat sedang pergi untuk menolongnya. Sedangkan Topeng Setan ditawan Hek-tiauw Lo-mo di dusun Nam-lim.
Dengan singkat namun jelas Kian Bu menceritakan betapa dia bertemu dengan Tek Hoat dan dia membantu Tek Hoat untuk membebaskan Ceng Ceng, kemudian dia pergi ke kota raja untuk minta bantuan.
“Salahkah aku? Berdosakah aku?” Berkali-kali dia bertanya kepada diri sendiri.
Dia dahulu diharuskan menikah oleh Kaisar dan terpaksa dia harus memilih seorang diantara mereka. Pilihannya jatuh kepada Han Wi Kong, akan tetapi bagaimana dia bisa mencinta orang lain kalau hatinya sudah diserahkan sebulatnya kepada Gak Bun Beng? Han Wi Kong “membunuh diri” karena ingin membahagiakannya, ingin membebaskannya agar dia dapat berkumpul dengan Gak Bun Beng. Kalau sampai tujuan terakhir suaminya itu tidak terpenuhi, sama artinya dengan membiarkan suaminya itu mati konyol, mati dengan sia-sia.
Akan tetapi Gak Bun Beng.... Milana menarik napas panjang ketika teringat pria yang dicintanya itu, teringat akan pendiriannya, akan keangkuhannya. Teringat betapa Gak Bun Beng berkeras meninggalkannya, kembali dia menarik napas panjang dan bibirnya terdengar mengeluh lirih seperti rintihan,
“Gak-suheng....”
“Sumoi....!”
Suara ini memasuki telinganya seperti halilintar dan membuat seluruh tubuhnya tergetar. Wajah Milana menjadi pucat sekali dan cepat dia membalikkan tubuhnya. Ketika melihat orang yang sedang dikenangnya itu kini berdiri di depannya, Gak Bun Beng yang berwajah pucat dan bermata sayu, Milana menggosok kedua matanya.
“Sumoi.... Milana, aku di sini....”
Gak Bun Beng berkata dengan suara terharu ketika melihat wanita itu seperti tak percaya akan kehadirannya, wanita yang dicintanya, yang berpakaian kusut dan berambut awut-awutan, berwajah pucat sekali akan tetapi yang kecantikannya baginya tak pernah berkurang semenjak mereka masih remaja dahulu.
“Suheng.... Gak-suheng....”
Milana tak dapat lagi menahan hatinya. Wanita yang terkenal sebagai seorang pendekar besar, seorang pahlawan dan seorang panglima yang amat gagah perkasa, yang mampu menghadapi segala macam bahaya dengan mata tidak berkedip, yang tidak pernah meruntuhkan air mata dan yang terkenal sebagai seorang wanita gagah berhati baja, kini tidak lebih hanya seorang wanita yang lembut dan tangisnya mengguguk, air matanya jatuh berderai-derai. Seperti seorang anak kecil dia berdiri sambil menangis, tubuhnya berguncang dan kedua punggung tangannya menggosok-gosok matanya.
“Sumoi.... tenangkan hatimu, Sumoi....”
Dengan suara gemetar Gak Bun Beng mencoba menghibur, melangkah maju dan dengan hati-hati menyentuh kedua pundak wanita itu dengan ujung-ujung jari tangannya. Sentuhan ini sudah cukup untuk membuka bendungan itu.
“Gak-suheng.... aihhh, Gak-suheng....!” Milana lalu memeluk dan mendekap dada pria itu dengan mukanya, menangis sejadi-jadinya.
“Sumoi....”
Suara Bun Beng juga mengandung isak dan dia menengadah, memejamkan kedua matanya mencegah keluarnya air mata, dan tangan kanannya mengusap-usap rambut yang awut-awutan dan halus lemas itu.
Sampai lama sekali mereka hanya berdiri saling peluk. Milana menangis terisak-isak, makin lama makin mereda dan Gan Bun Beng memeluk pundaknya dan membelai rambutnya. Setelah tangis wanita itu agak mereda, tinggal terisak-isak saja, Bun Beng lalu dengan halus melepaskan pelukannya, menjauhkan dirinya sambil berkata lembut,
“Sumoi, aku telah mendengar semua apa yang terjadi di kota raja. Aku menyesal sekali.... tidak dapat membantumu sama sekali....”
Milana masih belum mampu menjawab hanya terisak-isak dan menghapus sisa air mata dengan sehelai saputangan sutera.
“Mari kita duduk di bawah pohon itu dan bicara, Sumoi.”
Bun Beng mengajaknya dan dia mengangguk, keduanya lalu duduk di atas akar-akar pohon yang menonjol di atas tanah. Milana menundukkan mukanya yang menjadi agak kemerahan, mungkin karena tangisnya, isaknya masih ada akan tetapi hanya kadang-kadang dan air matanya sudah berhenti mengucur. Wanita perkasa ini sudah dapat menguasai dirinya lagi.
“Sumoi, aku sudah bertemu dengan Perdana Menteri Su dan mendengar dari beliau akan semua peristiwa. Suamimu telah membunuh Pangeran Liong Bin Ong dan dalam usaha itu dia berhasil akan tetapi dia juga terbunuh oleh para pengawal tokoh pemberontak itu. Dan kau telah melarikan Syanti Dewi.... eh, di mana sekarang?”
“Dia telah dikawal oleh para pengawal Jenderal Kao, kembali ke Bhutan.” Milana lalu menceritakan dengan singkat pertemuannya dengan Jenderal Kao. Kemudian dia menceritakan juga tentang pertemuannya dengan Ang Siok Bi, dan menambahkan, “Ternyata benar bahwa Ang Tek Hoat itu adalah puteranya, dan dia.... dia mencari-carimu sebagai seorang musuh besar, Suheng.”
“Biarlah....” Gak Bun Beng menarik napas panjang, sikapnya tidak peduli. “Sekarang engkau hendak.... ke manakah, Sumoi?”
Suaranya penuh perasaan iba dan hal ini terasa sekali oleh Milana sehingga kembali wanita ini menggigit bibir menahan tangisnya.
“Tadinya aku hendak mencarimu, Suheng, akan tetapi karena tidak tahu engkau berada dimana, setelah Syanti Dewi diantar para pengawal, aku lalu hendak pergi ke Pulau Es saja. Syukur bahwa kita dapat bertemu disini, Suheng.”
“Kau.... kau mencariku, Sumoi?” Gak Bun Beng memandang dengan jantung berdebar tegang. “Mengapa.... engkau mencariku?”
Wajah yang masih agak pucat itu menjadi merah dan jari-jari tangannya gemetar ketika Milana mencari-cari ke balik bajunya, kemudian mengeluarkan sebuah sampul surat.
“Aku mencarimu untuk menyampaikan ini, Suheng. Aku menemukan surat peninggalan suamiku ini di dalam kamarnya dan surat ini untukmu.”
Gak Bun Beng menerima surat itu dan membaca tulisan pada sampulnya. Memang ditujukan kepadanya, ditulis oleh tangan Han Wi Kong dengan gaya tulisan yang kuat dan indah. Jantungnya berdebar tegang penuh kekhawatiran dan penyesalan. Apakah yang akan dia baca dan temukan di dalam surat ini? Apakah kata-kata kutukan dan penyesalan dari perwira gagah itu? Karena dia dan isterinya mempunyai hubungan cinta kasih? Apakah perwira itu menderita kesengsaraan batin karena dia? Karena isterinya mencinta dia? Hampir dia tidak berani membuka surat itu dan dia memandang kepada Milana. Akan tetapi wanita itu pun merunduk saja, agaknya menanti dengan penuh ketegangan.
“Sumoi, katakanlah, mengapa suamimu melakukan perbuatan nekat itu? Seorang diri menyerbu istana dan membunuh Pangeran Liong Bin Ong, bukankah hal itu sama artinya dengan membunuh diri?”
Ucapan itu terasa oleh Milana seperti tusukan pada jantungnya dan tak dapat dicegahnya lagi beberapa butir air mata mengalir turun dan karena dia menunduk, air mata itu berkumpul di ujung hidungnya seperti sebutir mutiara besar. Milana menggeleng kepala dan mutiara itu jatuh dari ujung hidungnya.
“Aku.... aku tidak tahu....” Dia merasa lehernya seperti dicekik, tidak mampu lagi mengeluarkan kata-kata.
Gak Bun Beng menarik napas, memandang sampul surat itu lalu memberanikan hatinya, membuka sampul itu dengan jari-jari tangan gemetar dan mengeluarkan suratnya. Dia sudah siap untuk menerima berita yang paling buruk, siap untuk menerima celaan dan kutuk orang yang sudah mati itu. Lalu dibacanya surat itu,
Gak Bun Beng Taihiap,
Kalau taihiap membaca surat ini, saya tentu sudah mati. Kematian yang tidak sia-sia karena saya tentu telah berhasil membunuh dalang pemberontak Liong Bin Ong. Terutama sekali, dengan kematian saya, Puteri Milana menjadi bebas untuk hidup bersama satu-satunya pria yang dicintanya, yaitu Taihiap sendiri. Percayalah, sejak dahulu sampai saat ini Puteri Milana hanya mencinta Taihiap seorang, dan dia menjadi isteri saya hanya namanya saja, bukan isteri dalam arti sesungguhnya. Sampai saat ini Puteri Milana masih seorang gadis yang selalu menanti pinangan Taihiap!
Semoga bahagia,
Han Wi Kong.
Surat itu terlepas dari jari-jari tangan Gak Bun Beng yang gemetar karena jantungnya berdebar dengan keras.
“Ohhh....” demikian keluhnya.
Mendengar keluhan ini, Milana mengangkat mukanya memandang. Gak Bun Beng lalu menyambar kertas itu dan menyerahkan kepada Milana sambil berkata, suaranya gemetar,
“Benarkah ini....? Benarkah ini....?”
Milana menerima surat itu dan membacanya, dipandang dengan tajam oleh Gak Bun Beng. Perlahan-lahan kedua pipi wanita itu berubah menjadi merah sekali dan surat itu pun terlepas dari tangannya yang menggigil.
“Benarkah, Milana....?” tanya Bun Beng, suaranya lirih seperti berbisik.
Milana mengangkat muka memandang. Dua pasang mata saling bertemu dan akhirnya Milana hanya mengangguk penuh kepastian.
Bun Beng meloncat berdiri.
“Akan tetapi mengapa?” teriaknya. “Milana? Engkau adalah isterinya! Mengapa engkau menyiksanya sedemikian rupa? Belasan tahun menjadi isterinya.... hanya dalam nama saja....? Betapa kejamnya engkau....”
Mendengar ucapan ini, Milana juga meloncat berdiri dan memandang Bun Beng dengan mata bersinar-sinar.
“Mengapa? Tentu saja aku tidak bisa menyerahkan diri kepada lain pria! Setelah aku menyerahkan cinta kasih dan hatiku kepadamu, suheng, bagaimana mungkin aku dapat menyerahkan tubuhku kepada pria lain?”
“Ahh.... tapi... kalau begitu, mengapa engkau menikah dengan dia?”
“Karena Kaisar memaksaku.”
“Kau bisa saja pergi dari istana dan mencari aku, Milana....”
“Suheng, bukankah engkau yang telah meninggalkan aku, pergi dariku? Aku telah merasa berdosa kepadamu dahulu, telah tidak mempercayaimu (dalam cerita Sepasang Pedang Iblis)...., akan tetapi aku tidak mungkin bisa menyerahkan diri kepada pria lain....”
“Milana.... sumoi, begitu besar cintamu kepadaku....”
“Dan kau tadinya kuanggap telah melupakan aku, Suheng. Kiranya engkau pun rela hidup merana, tak pernah menikah, karena cintamu kepadaku....”
“Milana.... aku cinta padamu, sejak dahulu sampai detik ini.... aku hanya merasa diriku tidak berharga untukmu. Dan ternyata engkau.... engkau begitu setia kepadaku.... ternyata aku yang telah menyiksa hidupmu, Milana....”
“Suheng....!”
Milana mengeluh dan mereka saling tubruk, saling rangkul karena sekarang keduanya yakin akan cinta kasih mereka masing-masing.
“Sumoi.... Milana.... ah, Milana.... betapa aku rindu padamu.”
“Aku pun rindu padamu, Suheng....”
Sejenak kedua orang itu lupa diri. Milana terlena dalam pelukan Bun Beng, air matanya mengalir turun dari kedua mata yang dipejamkan. Bun Beng mendekapnya, menciumnya, mencium lehernya, dagunya, bibirnya, hidung dan matanya, menghisap air mata itu, air mata yang seolah-olah menjadi air embun yang menyiram kembang di dalam hatinya yang kehausan dan yang hampir melayu, sehingga kembang itu menjadi segar kembali.
Pada saat itu dicurahkanlah segala kerinduannya, segala cinta kasihnya sehingga setiap bulu di tubuhnya seolah-olah bangkit dan membelai wanita itu. Milana memejamkan matanya, merasa terayun di angkasa dengan nikmatnya.
Wanita manakah yang tidak akan merasa berbahagia bahwa dia telah menundukkan hati pria yang dicintanya, merasa dibutuhkan, dicinta dan dipuja? Bisikan halus yang keluar dari bibir Bun Beng di dekat telinga, bisikan yang berkali-kali menyatakan cinta kasih yang mendalam, membuat hati Milana bangga dan bisikan itu lebih merdu daripada nyanyian surga!
Akan tetapi tiba-tiba Milana melepaskan dirinya dengan halus, kini dia memandang kekasihnya dengan bibir tersenyum dan mata masih basah, dengan kedua pipi kemerahan seperti wajah seorang dara remaja yang baru pertama kali menerima ciuman seorang pria. Bun Beng memandang dengan terpesona.
“Jangan.... Suheng, jangan dulu...., kita harus menghormati Han Wi Kong.... dialah yang sesungguhnya mempertemukan kita kembali. Kita.... kita harus sabar menanti.... biarkan aku berkabung selama setahun untuknya, Suheng.”
Gak Bun Beng tersenyum, senyum penuh kecerahan yang baru pertama kali ini nampak di wajahnya, seolah-olah wajahnya bersinar kembali dengan cahaya kehidupan. Dia mengangguk dan matanya memandang penuh kelembutan, penuh kemesraan dan penuh pengertian.
“Memang sebaiknya begitu, Sumoi. Sebaiknya begitu...., betapapun juga, secara lahiriah dia adalah suamimu dan sahabat kita yang amat baik. Setelah menanti belasan tahun lamanya, apa artinya setahun bagi kita?”
Milana melangkah maju lagi dan memegang kedua tangan kekasihnya.
“Aku tahu bahwa engkaulah satu-satunya manusia yang bijaksana dan mulia di dunia ini. Mulai saat ini aku merasa seolah-olah baru hidup, suheng....”
Gak Bun Beng balas menggenggam jari-jari tangan yang halus itu.
“Bukan baru hidup melainkan hidup baru, Sumoi. Sekarang, apakah engkau hendak melanjutkan perjalananmu ke Pulau Es?”
“Aku.... aku.... terserah kepadamu, Suheng. Sejak saat ini, aku hanya menurut apa yang kau katakan dan kau tentukan. Aku takut kalau-kalau keputusanku sendiri akan mengakibatkan kesalahan hebat seperti yang telah kita alami bersama dahulu. Aku menyerahkan segalanya kepadamu, Suheng.”
Bukan main girangnya hati Gak Bun Beng.
“Kiranya lebih baik kalau kelak setahun kemudian kita bersama pergi menghadap ke Pulau Es untuk minta doa restu dari orang-orang tua. Sekarang, lebih baik kita mengejar perjalanan Syanti Dewi. Hatiku merasa tidak tenang kalau sampai anak itu hanya dikawal oleh pasukan biasa. Sebaiknya waktu yang satu tahun itu kita pergunakan untuk mengawalnya ke Bhutan.”
Milana mengangguk, lalu berkata,
“Dia.... Syanti Dewi amat mencintamu, Gak-suheng....”
“Eh, bagaimana kau tahu?”
“Anak yang baik itu menceritakan segalanya kepadaku. Dan tahukah engkau betapa dia marah-marah kepadaku dan menuntut agar aku membahagiakan engkau. Tidakkah aneh sekali itu? Seorang anak belasan tahun mengajarkan aku tentang cinta kasih! Dia benar-benar cinta kepadamu sehingga aku merasa heran mengapa engkau tidak menyambut uluran hati seorang dara secantik dia?”
“Sumoi, perlukah kau tanyakan lagi hal itu? Dengan adanya engkau, betapa mungkin aku mencinta wanita lain? Aku tahu akan kebaikan hatinya, karena itu dia kuanggap sebagai keponakan atau anak sendiri, dan karena itu pula kita sudah sepatutnya mengantarkan dia kembali kepada orang tuanya di Bhutan.”
Milana tersenyum manja.
“Terima kasih, Suheng. Pernyataanmu itu makin meyakinkan hatiku betapa besar cintamu kepadaku, dan amat membahagiakan hatiku.”
“Hemm, tidak kalah besarnya dengan kebahagiaanku memperoleh kenyataan bahwa selama ini engkau tetap mencintaku, Sumoi. Mari kita berangkat, aku khawatir terjadi hal-hal yang tidak baik terhadap diri Syanti Dewi.”
Maka berangkatlah kedua orang kekasih yang baru saling menemukan kembali setelah cinta kasih mereka terpisah selama belasan tahun itu. Patut dikagumi Gak Bun Beng dan Milana. Keduanya masih perawan dan perjaka, biarpun usia mereka telah mendekati empat puluh tahun, dan mereka selama belasan tahun menekan kerinduan hati masing-masing.
Kini, setelah mereka berdua memperoleh kebebasan dan tidak ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk saling memiliki, seolah-olah kenikmatan itu merupakan setangkai bunga di depan mata, tinggal mengulur tangan memetiknya saja, dan keduanya sudah saling mencinta dan sudah saling percaya, tidak ada halangannya untuk saling menyerahkan diri lahir batin, mereka masih mampu mengatasi dorongan nafsu mereka dan melihat kenyataan bahwa hal itu kurang baik dan bahwa sudah sepatutnya kalau mereka menanti saja sudah menjadi bukti betapa teguh dan kokoh kuat dasar batin kedua orang gagah ini, yang tidak mudah dimabok oleh nafsu berahi!
Sambil bergandeng tangan mereka pergi meninggalkan hutan itu dan dengan kecepatan luar biasa mereka menggunakan ilmu berlari cepat mereka menuju ke barat untuk menyusul rombongan Syanti Dewi yang dikawal oleh dua losin orang pasukan pengawal Jenderal Kao Liang.
Ketika mereka tiba di dekat dusun yang dijadikan markas sementara oleh Hek-tiauw Lo-mo, di tengah jalan mereka bertemu dengan Suma Kian Bu yang memimpin sepasukan yang terdiri dari belasan orang, yaitu pasukan yang didapatnya dari Perdana Menteri.
Pemuda ini setelah behasil membantu Tek Hoat membakar ruangan dan membiarkan Tek Hoat menolong Ceng Ceng, lalu melarikan diri ke kota raja dan dia pun pergi menemui Perdana Menteri Su, menceritakan dan minta bantuan untuk menolong Ceng Ceng dan Topeng Setan.
Perdana Menteri Su dengan singkat menceritakan bahwa Syanti Dewi telah ditolong Tek Hoat dan karena semua perbuatannya itu adalah di luar tahu istana, maka perdana menteri yang bijaksana ini hanya dapat menyuruh pengawal-pengawal pribadinya yang berjumlah lima belas orang untuk membantu Suma Kian Bu menolong Ceng Ceng dan Topeng Setan.
Demikianlah, di tengah jalan mereka saling bertemu.
“Enci Milana! Gak-suheng!”
Kian Bu berseru dengan girang bukan main dan dia memegangi kedua tangan suheng dan encinya itu.
“Hemmm, kemana saja engkau selama ini, Kian Bu?” Milana bertanya.
Ditanya demikian, Kian Bu menundukkan muka menyembunyikan perasaan jengah dan malunya. Tentu saja tidak mungkin dia menceritakan pengalamannya dengan Hong Kui.
“Aku hanya merantau saja, Enci, akan tetapi ada hal yang lebih penting untuk kalian ketahui dan kebetulan sekali aku bertemu dengan kalian. Marilah kita pergi menolong Ceng Ceng dan Topeng Setan dan di perjalanan nanti kuceritakan semua kepada Ji-wi (Kalian Berdua).”
Tentu saja Gak Bun Beng dan Milana terkejut dan segera mengikuti adik itu melanjutkan perjalanan menuju ke dusun yang dijadikan tempat tinggal Tambolon. Kian Bu telah mendengar penuturan dari Perdana Menteri Su betapa Ceng Ceng masih ditawan oleh Tambolon menurut cerita Tek Hoat dan Syanti Dewi, dan bahwa Tek Hoat sedang pergi untuk menolongnya. Sedangkan Topeng Setan ditawan Hek-tiauw Lo-mo di dusun Nam-lim.
Dengan singkat namun jelas Kian Bu menceritakan betapa dia bertemu dengan Tek Hoat dan dia membantu Tek Hoat untuk membebaskan Ceng Ceng, kemudian dia pergi ke kota raja untuk minta bantuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar