Puncak Gunung Thai-san yang menjulang tinggi di angkasa tertutup awan putih tebal yang bergumpal-gumpal mengelilingi puncak. Hampir selalu puncak Thai-san tertutup awan, kecuali pada musim panas, sekali waktu ada kalanya puncak Thai-san yang meruncing itu tampak dari bawah.
Keadaan inilah yang menimbulkan dongeng di kalangan penduduk di sekitar kaki dan lereng gunung, bahwa puncak Thai-san merupakan anak tangga menuju ke sorga! Dan bahwa hanya para dewa dan manusia setengah dewa saja yang dapat mendatangi puncak Thai-san.
Dongeng atau kepercayaan tentang hal ke dua ini tidaklah terlalu berlebihan kalau diingat bahwa penduduk pegunungan amatlah tebal kepercayaannya akan para dewa yang menguasai seluruh permukaan bumi dan diingat pula akan keadaan puncak itu sendiri. Terlalu tinggi, terlalu sukar jalan mendaki puncak, terlalu dingin sehingga manusia biasa tak mungkin akan dapat mendaki puncak. Terlalu banyak bahayanya. Binatang buas, jalan yang amat licin, jurang-jurang yang curam, daerah-daerah yang mengeluarkan gas, dan hawa dingin yang membekukan darah dalam badan.
Memang tak mungkin bagi manusia-manusia biasa, namun mungkin saja bagi manusia-manusia luar biasa, yaitu manusia-manusia yang memiliki kepandaian tinggi dan memiliki tubuh terlatih, yang kuat menghadapi semua tekanan, kuat pula mengatasi semua rintangan. Betapapun juga, jarang sekali terjadi puncak Thai-san dikunjungi orang pandai, karena selain perjalanan itu amat berbahaya, juga tanpa keperluan yang amat penting, apakah yang dicari di tempat sunyi itu?
Pagi hari itu amat cerah. Awan putih yang berkelompok di sekitar puncak tampak berkilauan seperti perak digosok, matahari membobol benteng halimun lembab, mencairkan segala kebekuan dan menghias ujung-ujung daun dengan mutiara-mutiara air embun berkilauan seperti hiasan anting-anting pada telinga dara jelita. Burung-burung berkicau menyambut hari yang amat indah itu, dan segala yang berada di permukaan bumi seakan bergembira ria. Apakah gerangan yang menyebabkan suasana gembira dan indah ini?
Tidak mengherankan. Musim semi tiba, pagi hari itu adalah permulaan dari tahun yang baru. Musim yang tepat sekali untuk memulai segala sesuatu dengan awalan-awalan yang sama sekali baru! Buang yang lama-lama dan yang buruk-buruk, mulai dengan yang baru-baru dan yang indah-indah. Setidaknya, demikianlah harapan dan renungan setiap insan pada setiap tahun baru.
Para penduduk di sekitar kaki dan lereng gunung, semenjak pagi hari sudah sibuk berpesta, bergembira ria merayakan hari tahun baru. Pakaian-pakaian simpanan dikeluarkan dari peti pakaian “setahun sekali” menghias tubuh, yang muda menghormat yang tua, yang muda minta maaf, yang tua memaafkan. Saling memaafkan, gembira tertawa, hilang dengki, lenyap benci. Alangkah indahnya dunia, alangkah nikmatnya hidup.
Serombongan orang amat cepat gerak-geriknya amat ringan langkah kakinya, bergerak cepat mendaki puncak Thai-san. Kalau saja para penduduk tidak sedang bersuka ria dan sempat menyaksikan gerak-gerik lima orang yang bagaikan serombongan kera besar melompat ke sana ke mari, menyelinap di antara batu-batu besar dan pohon-pohon mendaki puncak, tentu akan makin tebal kepercayaan mereka bahwa serombongan dewa atau manusia setengah dewa yang mendaki puncak itu, untuk bertahun baru disana!
Rombongan itu adalah para tosu dari Kun-lun-pai, termasuk tokoh-tokoh tingkat dua dan tiga di Kun-lun-pai, maka tidaklah mengherankan apabila mereka berlima sepandai itu mendaki puncak Thai-san.
Tiba-tiba pemimpin rombongan, Ang Kun Tojin mengangkat tangan memberi isyarat dan seketika lima orang itu berhenti, diam tak bergerak seperti patung-patung dewa penghias gunung. Mereka semua telah mendengar suara yang halus itu. Suara nyanyian yang halus seperti bisikan angin lalu, bercampur dan menyelinap di antara desir angin mempermainkan daun dan dendang anak sungai di dasar jurang. Namun kata-katanya jelas dapat tertangkap pendengaran telinga-telinga yang terlatih itu.
“Segala sesuatu yang menimpa diri pribadi
adalah akibat daripada pikiran sendiri.
Pikiran kotor yang mendorong ucapan dan perbuatan
selalu diikuti sakit dan penderitaan
seperti roda kereta mengikuti jejak sapi penariknya.
Pikiran bersih yang mendorong ucapan dan perbuatan
selalu diikuti kepuasan dan kebahagiaan
seperti bayangan yang tak pernah berpisah dari padanya.”
Ang Tojin melambaikan tangan dan lima orang tosu itu melanjutkan perjalanan mereka. Di wajah-wajah tua itu timbul semangat baru, timbul harapan dan kegembiraan.
“Twa-suheng (Kakak Seperguruan Pertama), apakah itu suara beliau....?” tosu termuda, belum lima puluh tahun, bertahi lalat di ujung hidung, bertanya.
“....ssssttttt....!”
Ang Kun Tojin menyuruh adik seperguruan termuda itu diam. Mereka melanjutkan pendakian dan tak seorang pun berani bertanya lagi. Sambil mempergunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang khas Kun-lun-pai, yaitu ilmu lari cepat Teng-peng-touw-sui (Injak Rumput Seperti Air). Langkah kaki mereka dalam berlarian itu pendek-pendek namun cepat dan gin-kang mereka begitu hebat sehingga seakan-akan rumput yang terinjak kaki mereka tak sempat rebah saking cepatnya kaki yang bergerak! Sementara itu, suara nyanyian terdengar terus, halus lembut menusuk anak telinga.
“Dia menyiksaku, dia memukulku,
dia mengalahkan aku, dia merampokku!
Pikiran seperti ini menimbulkan benci tiada habisnya.
Memang pikiran ini berarti melenyapkan kebencian,
karena benci takkan hapus oleh benci pula,
melainkan musnah oleh kasih!”
Ang Kun Tojin mengerutkan keningnya. Dia adalah seorang tosu (Pendeta Agama To) yang dalam pengetahuannya tentang Agama To, juga sebagai orang kedua dari Kun-lun-pai dan seorang yang tekun mempelajari filsafat agama, ia mengenal kata-kata dalam nyanyian itu. Itulah pelajaran dari Agama Buddha merupakan bait-bait pertama daripada pelajaran dalam kitab Dhammapada.
Ia pernah mendengar bahwa “beliau” adalah seorang yang menganut Agama To, megapa sekarang menyanyikan pelajaran berupa syair Agama Buddha? Apakah bukan beliau yang bernyanyi itu! Seorang hwesio (pendeta Buddha) yang berada di puncak? Mudah-mudahan begitu karena bagi Ang Kun Tojin, jauh lebih baik dan menimbulkan harapan apabila beliau itu seorang yang beragama To.
Di pertengahan puncak mereka berhenti lagi. Dengan penuh kekaguman mereka memandang ke bawah. Awan putih berombak-ombak seperti lautan susu di bawah kaki mereka. Puncak-puncak gunung lain tersembul keluar seperti pulau-pulau runcing atau seperti gunung-gunung kecil. Indah bukan main, mendatangkan rasa seakan-akan mereka telah berada di kahyangan, tempat tinggal para dewa dan mahluk halus, bukan tempat manusia, menimbulkan kepercayaan bahwa mereka makin dekat dengan Tuhan. Memang, siapa dapat merasai ketenangan dan ketenteraman, selalu akan merasa dekat dengan Tuhan!
Perjalanan dilanjutkan mendaki puncak. Tidak sesukar tadi, bahkan bumi yang mereka injak ditilami rumput-rumput hijau segar sehalus beludru. Akan tetapi setiba mereka di puncak yang dikelilingi batu-batu putih berjajar seperti menara, di tanah datar yang halus itu mereka mendapat kenyataan bahwa dua rombongan orang telah berada di situ, mendahului mereka!
“Ha-ha-ha, kalian terlambat, sehabat-sahabat Kun-lun-pai! Siapa terlambat takkan dapat, bukankah begitu kata peribahasa, Ang Kun Toyu?”
Tegur seorang laki-laki pendek gendut berusia enam puluhan, berpakaian sebagai petani sederhana dengan kepala dilindungi caping lebar. Di belakang si gendut ini berdiri enam orang petani lain, kesemuanya sudah lima puluh lewat usianya, sikap mereka sederhana seperti pakaian mereka, namun jelas tampak kegagahan pada pandang mata mereka.
“Siancai.... siancai....”
Ang Kun Tojin mengucapkan puja-puja sambil merangkapkan kedua tangan ke depan dada memberi hormat, diikuti oleh empat orang adik seperguruannya.
“Tidak dinyana sahabat Kok Bin Cu dari Hoa-san-pai sudah hadir. Selamat Musim Semi, Sicu (Orang Gagah).”
“Ha-ha-ha, selamat.... selaimat, Toyu. Semoga kalian panjang usia, penuh bahagia dan makin subur makmur dan kokoh kuat.”
Si Gendut yang bernama Kok Bin Cu dan menjadi murid kepala Hoa-san-pai itu balas memberi hormat, diturut oleh enam orang adik seperguruannya.
“Juga pinto (saya) sesaudara menghaturkan selamat kepada Leng Lo Suhu dan para Suhu dari Bu-tong-pai.”
Kata pula Ang Kun Tojin sambil memberi hormat kepada rombongan ke dua yang di sebelah kiri.
Rombongan ini terdiri dari empat orang hwesio berkepala gundul yang bersikap pendiam dan dingin. Mereka dipimpin oleh seorang hwesio tua, usianya sekitar tujuh puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan kelihatan masih kuat, jubahnya berwarna kuning, tanda bahwa dia adalah seorang hwesio yang sudah mencapai tingkat tinggi. Memang sesungguhnya, Leng Lo Hwesio adalah murid kepala dan menjadi orang kedua dari Bu-tong-pai, selain ilmu silatnya amat tinggi, juga pengetahuannya tentang Agama Buddha amat mendalam.
“Omitobud....” Leng Lo Hwesio cepat membalas penghormatan rombongan Kun-lun-pai ini, diturut oleh tiga orang adik seperguruannya. “Para saudara Toyu dari Kun-lun-pai amat ramah, semoga dilimpahi berkah oleh Sang Buddha....”
Murid kepala Hoa-san-pai yang bertubuh pendek gendut itu adalah seorang tua yang gembira sikapnya, suka berkelakar dan ia memandang dunia ini dari sudut yang menggembirakan.
Berbeda dengan rombongan-rombongan Kun-lun dan Bu-tong, yang bersikap serius dan pendiam sehingga keadaan disitu menjadi kaku dan dingin. Mungkin hal ini adalah karena kedua golongan ini telah menjadi pendeta sehingga mereka pun harus menyesuaikan sikap sebagaimana layaknya para pendeta, yaitu alim dan suci! Murid-murid Hoa-san-pai adalah penganut Agama To pula, akan tetapi mereka bukanlah tosu, bukan pendeta agama ini, melainkan penganut biasa dan hidup mereka sehari-hari adalah sebagai petani.
Melihat keadaan yang kaku dan dingin, Kok Bin Cu tertawa keras dan berkata.
“Wah, tiga rombongan wakil partai persilatan terbesar di dunia tanpa sengaja telah berkumpul disini. Kiranya dengan maksud yang sama pula, hendak bertemu dan mohon petunjuk dari Siansu (Guru Sakti), bukankah begitu Ang Kun Toyu dan Leng Lo Suhu?”
“Pinceng (saya) sesaudara memang hendak menghadap Bu Kek Siansu yang mulia dan mohon belas kasihannya.”
Jawab murid kepala Bu-tong-pai dengan suara merendah, sebagai seorang hwesio tidak malu-malu untuk minta-minta.
“Karena beliau seorang pendeta To, sudah selayaknya kalau kami datang mohon diberi penerangan,” jawab Ang Kun Tojin dengan angkuh.
“Belum tentu beliau seorang tosu, tadi pinceng mendengar beliau menyanyikan syair kitab Dammapada, bukankah itu membuktikan bahwa Bu Kek Siansu adalah seorang pendeta Buddha golongan kami?” bantah Leng Lo Hwesio dengan suaranya yang besar dan lambat.
Mendengar ini, diam-diam para anak murid Kun-lun-pai menjadi kaget, kagum dan juga khawatir. Nyanyian itu terdengar oleh mereka di lereng, masih amat jauh dari tempat ini, akan tetapi ternyata mereka yang berada di puncak ini juga mendengarnya. Bukan main! Penggunaan tenaga mujijat khi-kang yang disalurkan pada suara nyanyian itu benar-benar sudah mencapai tingkat sempurna. Mereka khawatir karena kalau betul-betul Bu Kek Siansu seorang penganut Agama Buddha, tentu saja tipis harapan bagi mereka untuk bersaing dengan para hwesio itu.
“Ha-ha-ha, ji-wi Lihiap (Dua Pendekar Tua) harap jangan salah duga dan menarik Siansu pada golongan masing-masing. Biarpun saya sendiri, seperti juga sahabat semua, selama hidup belum pernah bertemu muka dengan Bu Kek Siansu, namun sudah banyak saya mendengar tentang orang tua sakti itu. Beliau mengakui semua agama, seperti sifat para dewa yang melindungi semua manusia tanpa pilih bulu. Tentu beliau seorang yang amat adil. Dan mengingat bahwa kami datang lebih dulu, yang pertama di tempat ini, sepatutnya kami yang mendapat perhatian lebih dulu. Siapa cepat dia dapat, bukan?”
Ang Kun Tojin melangkah maju dan membantah,
“Sicu dan saudara-saudara dari Hoa-san bukanlah orang-orang yang mencari kesempurnaan batin, melainkan jasmaniah, hidup sebagai petani-petani yang bahagia. Ilmu Silat Hoa-san-pai juga sudah tersohor di kolong langit. Untuk apa pula mohon petunjuk Siansu? Tentu bukan untuk urusan kebatinan, akan tetapi kalau hendak mohon petunjuk tentang ilmu silat, untuk apakah pula? Pekerjaan petani tidak membutuhkan ilmu silat terlalu tinggi.”
“Ucapan Toyu benar,” sambung Leng Lo Hwesio, “bagi pendeta-pendeta seperti kami dan para tosu Kun-lun, tentu saja amat membutuhkan petunjuk tentang kebatinan dari Siansu. Akan tetapi para Sicu (Orang Gagah) dari Hoa-san, tak mungkin hendak minta petunjuk tentang kerohanian. Kalau mereka hendak minta petunjuk tentang ilmu silat, pinceng (saya) kira Siansu juga akan memberi petunjuk, jika melihat bahwa Ilmu Silat Hoa-san-pai masih amat rendah.”
Keadaan inilah yang menimbulkan dongeng di kalangan penduduk di sekitar kaki dan lereng gunung, bahwa puncak Thai-san merupakan anak tangga menuju ke sorga! Dan bahwa hanya para dewa dan manusia setengah dewa saja yang dapat mendatangi puncak Thai-san.
Dongeng atau kepercayaan tentang hal ke dua ini tidaklah terlalu berlebihan kalau diingat bahwa penduduk pegunungan amatlah tebal kepercayaannya akan para dewa yang menguasai seluruh permukaan bumi dan diingat pula akan keadaan puncak itu sendiri. Terlalu tinggi, terlalu sukar jalan mendaki puncak, terlalu dingin sehingga manusia biasa tak mungkin akan dapat mendaki puncak. Terlalu banyak bahayanya. Binatang buas, jalan yang amat licin, jurang-jurang yang curam, daerah-daerah yang mengeluarkan gas, dan hawa dingin yang membekukan darah dalam badan.
Memang tak mungkin bagi manusia-manusia biasa, namun mungkin saja bagi manusia-manusia luar biasa, yaitu manusia-manusia yang memiliki kepandaian tinggi dan memiliki tubuh terlatih, yang kuat menghadapi semua tekanan, kuat pula mengatasi semua rintangan. Betapapun juga, jarang sekali terjadi puncak Thai-san dikunjungi orang pandai, karena selain perjalanan itu amat berbahaya, juga tanpa keperluan yang amat penting, apakah yang dicari di tempat sunyi itu?
Pagi hari itu amat cerah. Awan putih yang berkelompok di sekitar puncak tampak berkilauan seperti perak digosok, matahari membobol benteng halimun lembab, mencairkan segala kebekuan dan menghias ujung-ujung daun dengan mutiara-mutiara air embun berkilauan seperti hiasan anting-anting pada telinga dara jelita. Burung-burung berkicau menyambut hari yang amat indah itu, dan segala yang berada di permukaan bumi seakan bergembira ria. Apakah gerangan yang menyebabkan suasana gembira dan indah ini?
Tidak mengherankan. Musim semi tiba, pagi hari itu adalah permulaan dari tahun yang baru. Musim yang tepat sekali untuk memulai segala sesuatu dengan awalan-awalan yang sama sekali baru! Buang yang lama-lama dan yang buruk-buruk, mulai dengan yang baru-baru dan yang indah-indah. Setidaknya, demikianlah harapan dan renungan setiap insan pada setiap tahun baru.
Para penduduk di sekitar kaki dan lereng gunung, semenjak pagi hari sudah sibuk berpesta, bergembira ria merayakan hari tahun baru. Pakaian-pakaian simpanan dikeluarkan dari peti pakaian “setahun sekali” menghias tubuh, yang muda menghormat yang tua, yang muda minta maaf, yang tua memaafkan. Saling memaafkan, gembira tertawa, hilang dengki, lenyap benci. Alangkah indahnya dunia, alangkah nikmatnya hidup.
Serombongan orang amat cepat gerak-geriknya amat ringan langkah kakinya, bergerak cepat mendaki puncak Thai-san. Kalau saja para penduduk tidak sedang bersuka ria dan sempat menyaksikan gerak-gerik lima orang yang bagaikan serombongan kera besar melompat ke sana ke mari, menyelinap di antara batu-batu besar dan pohon-pohon mendaki puncak, tentu akan makin tebal kepercayaan mereka bahwa serombongan dewa atau manusia setengah dewa yang mendaki puncak itu, untuk bertahun baru disana!
Rombongan itu adalah para tosu dari Kun-lun-pai, termasuk tokoh-tokoh tingkat dua dan tiga di Kun-lun-pai, maka tidaklah mengherankan apabila mereka berlima sepandai itu mendaki puncak Thai-san.
Tiba-tiba pemimpin rombongan, Ang Kun Tojin mengangkat tangan memberi isyarat dan seketika lima orang itu berhenti, diam tak bergerak seperti patung-patung dewa penghias gunung. Mereka semua telah mendengar suara yang halus itu. Suara nyanyian yang halus seperti bisikan angin lalu, bercampur dan menyelinap di antara desir angin mempermainkan daun dan dendang anak sungai di dasar jurang. Namun kata-katanya jelas dapat tertangkap pendengaran telinga-telinga yang terlatih itu.
“Segala sesuatu yang menimpa diri pribadi
adalah akibat daripada pikiran sendiri.
Pikiran kotor yang mendorong ucapan dan perbuatan
selalu diikuti sakit dan penderitaan
seperti roda kereta mengikuti jejak sapi penariknya.
Pikiran bersih yang mendorong ucapan dan perbuatan
selalu diikuti kepuasan dan kebahagiaan
seperti bayangan yang tak pernah berpisah dari padanya.”
Ang Tojin melambaikan tangan dan lima orang tosu itu melanjutkan perjalanan mereka. Di wajah-wajah tua itu timbul semangat baru, timbul harapan dan kegembiraan.
“Twa-suheng (Kakak Seperguruan Pertama), apakah itu suara beliau....?” tosu termuda, belum lima puluh tahun, bertahi lalat di ujung hidung, bertanya.
“....ssssttttt....!”
Ang Kun Tojin menyuruh adik seperguruan termuda itu diam. Mereka melanjutkan pendakian dan tak seorang pun berani bertanya lagi. Sambil mempergunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang khas Kun-lun-pai, yaitu ilmu lari cepat Teng-peng-touw-sui (Injak Rumput Seperti Air). Langkah kaki mereka dalam berlarian itu pendek-pendek namun cepat dan gin-kang mereka begitu hebat sehingga seakan-akan rumput yang terinjak kaki mereka tak sempat rebah saking cepatnya kaki yang bergerak! Sementara itu, suara nyanyian terdengar terus, halus lembut menusuk anak telinga.
“Dia menyiksaku, dia memukulku,
dia mengalahkan aku, dia merampokku!
Pikiran seperti ini menimbulkan benci tiada habisnya.
Memang pikiran ini berarti melenyapkan kebencian,
karena benci takkan hapus oleh benci pula,
melainkan musnah oleh kasih!”
Ang Kun Tojin mengerutkan keningnya. Dia adalah seorang tosu (Pendeta Agama To) yang dalam pengetahuannya tentang Agama To, juga sebagai orang kedua dari Kun-lun-pai dan seorang yang tekun mempelajari filsafat agama, ia mengenal kata-kata dalam nyanyian itu. Itulah pelajaran dari Agama Buddha merupakan bait-bait pertama daripada pelajaran dalam kitab Dhammapada.
Ia pernah mendengar bahwa “beliau” adalah seorang yang menganut Agama To, megapa sekarang menyanyikan pelajaran berupa syair Agama Buddha? Apakah bukan beliau yang bernyanyi itu! Seorang hwesio (pendeta Buddha) yang berada di puncak? Mudah-mudahan begitu karena bagi Ang Kun Tojin, jauh lebih baik dan menimbulkan harapan apabila beliau itu seorang yang beragama To.
Di pertengahan puncak mereka berhenti lagi. Dengan penuh kekaguman mereka memandang ke bawah. Awan putih berombak-ombak seperti lautan susu di bawah kaki mereka. Puncak-puncak gunung lain tersembul keluar seperti pulau-pulau runcing atau seperti gunung-gunung kecil. Indah bukan main, mendatangkan rasa seakan-akan mereka telah berada di kahyangan, tempat tinggal para dewa dan mahluk halus, bukan tempat manusia, menimbulkan kepercayaan bahwa mereka makin dekat dengan Tuhan. Memang, siapa dapat merasai ketenangan dan ketenteraman, selalu akan merasa dekat dengan Tuhan!
Perjalanan dilanjutkan mendaki puncak. Tidak sesukar tadi, bahkan bumi yang mereka injak ditilami rumput-rumput hijau segar sehalus beludru. Akan tetapi setiba mereka di puncak yang dikelilingi batu-batu putih berjajar seperti menara, di tanah datar yang halus itu mereka mendapat kenyataan bahwa dua rombongan orang telah berada di situ, mendahului mereka!
“Ha-ha-ha, kalian terlambat, sehabat-sahabat Kun-lun-pai! Siapa terlambat takkan dapat, bukankah begitu kata peribahasa, Ang Kun Toyu?”
Tegur seorang laki-laki pendek gendut berusia enam puluhan, berpakaian sebagai petani sederhana dengan kepala dilindungi caping lebar. Di belakang si gendut ini berdiri enam orang petani lain, kesemuanya sudah lima puluh lewat usianya, sikap mereka sederhana seperti pakaian mereka, namun jelas tampak kegagahan pada pandang mata mereka.
“Siancai.... siancai....”
Ang Kun Tojin mengucapkan puja-puja sambil merangkapkan kedua tangan ke depan dada memberi hormat, diikuti oleh empat orang adik seperguruannya.
“Tidak dinyana sahabat Kok Bin Cu dari Hoa-san-pai sudah hadir. Selamat Musim Semi, Sicu (Orang Gagah).”
“Ha-ha-ha, selamat.... selaimat, Toyu. Semoga kalian panjang usia, penuh bahagia dan makin subur makmur dan kokoh kuat.”
Si Gendut yang bernama Kok Bin Cu dan menjadi murid kepala Hoa-san-pai itu balas memberi hormat, diturut oleh enam orang adik seperguruannya.
“Juga pinto (saya) sesaudara menghaturkan selamat kepada Leng Lo Suhu dan para Suhu dari Bu-tong-pai.”
Kata pula Ang Kun Tojin sambil memberi hormat kepada rombongan ke dua yang di sebelah kiri.
Rombongan ini terdiri dari empat orang hwesio berkepala gundul yang bersikap pendiam dan dingin. Mereka dipimpin oleh seorang hwesio tua, usianya sekitar tujuh puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan kelihatan masih kuat, jubahnya berwarna kuning, tanda bahwa dia adalah seorang hwesio yang sudah mencapai tingkat tinggi. Memang sesungguhnya, Leng Lo Hwesio adalah murid kepala dan menjadi orang kedua dari Bu-tong-pai, selain ilmu silatnya amat tinggi, juga pengetahuannya tentang Agama Buddha amat mendalam.
“Omitobud....” Leng Lo Hwesio cepat membalas penghormatan rombongan Kun-lun-pai ini, diturut oleh tiga orang adik seperguruannya. “Para saudara Toyu dari Kun-lun-pai amat ramah, semoga dilimpahi berkah oleh Sang Buddha....”
Murid kepala Hoa-san-pai yang bertubuh pendek gendut itu adalah seorang tua yang gembira sikapnya, suka berkelakar dan ia memandang dunia ini dari sudut yang menggembirakan.
Berbeda dengan rombongan-rombongan Kun-lun dan Bu-tong, yang bersikap serius dan pendiam sehingga keadaan disitu menjadi kaku dan dingin. Mungkin hal ini adalah karena kedua golongan ini telah menjadi pendeta sehingga mereka pun harus menyesuaikan sikap sebagaimana layaknya para pendeta, yaitu alim dan suci! Murid-murid Hoa-san-pai adalah penganut Agama To pula, akan tetapi mereka bukanlah tosu, bukan pendeta agama ini, melainkan penganut biasa dan hidup mereka sehari-hari adalah sebagai petani.
Melihat keadaan yang kaku dan dingin, Kok Bin Cu tertawa keras dan berkata.
“Wah, tiga rombongan wakil partai persilatan terbesar di dunia tanpa sengaja telah berkumpul disini. Kiranya dengan maksud yang sama pula, hendak bertemu dan mohon petunjuk dari Siansu (Guru Sakti), bukankah begitu Ang Kun Toyu dan Leng Lo Suhu?”
“Pinceng (saya) sesaudara memang hendak menghadap Bu Kek Siansu yang mulia dan mohon belas kasihannya.”
Jawab murid kepala Bu-tong-pai dengan suara merendah, sebagai seorang hwesio tidak malu-malu untuk minta-minta.
“Karena beliau seorang pendeta To, sudah selayaknya kalau kami datang mohon diberi penerangan,” jawab Ang Kun Tojin dengan angkuh.
“Belum tentu beliau seorang tosu, tadi pinceng mendengar beliau menyanyikan syair kitab Dammapada, bukankah itu membuktikan bahwa Bu Kek Siansu adalah seorang pendeta Buddha golongan kami?” bantah Leng Lo Hwesio dengan suaranya yang besar dan lambat.
Mendengar ini, diam-diam para anak murid Kun-lun-pai menjadi kaget, kagum dan juga khawatir. Nyanyian itu terdengar oleh mereka di lereng, masih amat jauh dari tempat ini, akan tetapi ternyata mereka yang berada di puncak ini juga mendengarnya. Bukan main! Penggunaan tenaga mujijat khi-kang yang disalurkan pada suara nyanyian itu benar-benar sudah mencapai tingkat sempurna. Mereka khawatir karena kalau betul-betul Bu Kek Siansu seorang penganut Agama Buddha, tentu saja tipis harapan bagi mereka untuk bersaing dengan para hwesio itu.
“Ha-ha-ha, ji-wi Lihiap (Dua Pendekar Tua) harap jangan salah duga dan menarik Siansu pada golongan masing-masing. Biarpun saya sendiri, seperti juga sahabat semua, selama hidup belum pernah bertemu muka dengan Bu Kek Siansu, namun sudah banyak saya mendengar tentang orang tua sakti itu. Beliau mengakui semua agama, seperti sifat para dewa yang melindungi semua manusia tanpa pilih bulu. Tentu beliau seorang yang amat adil. Dan mengingat bahwa kami datang lebih dulu, yang pertama di tempat ini, sepatutnya kami yang mendapat perhatian lebih dulu. Siapa cepat dia dapat, bukan?”
Ang Kun Tojin melangkah maju dan membantah,
“Sicu dan saudara-saudara dari Hoa-san bukanlah orang-orang yang mencari kesempurnaan batin, melainkan jasmaniah, hidup sebagai petani-petani yang bahagia. Ilmu Silat Hoa-san-pai juga sudah tersohor di kolong langit. Untuk apa pula mohon petunjuk Siansu? Tentu bukan untuk urusan kebatinan, akan tetapi kalau hendak mohon petunjuk tentang ilmu silat, untuk apakah pula? Pekerjaan petani tidak membutuhkan ilmu silat terlalu tinggi.”
“Ucapan Toyu benar,” sambung Leng Lo Hwesio, “bagi pendeta-pendeta seperti kami dan para tosu Kun-lun, tentu saja amat membutuhkan petunjuk tentang kebatinan dari Siansu. Akan tetapi para Sicu (Orang Gagah) dari Hoa-san, tak mungkin hendak minta petunjuk tentang kerohanian. Kalau mereka hendak minta petunjuk tentang ilmu silat, pinceng (saya) kira Siansu juga akan memberi petunjuk, jika melihat bahwa Ilmu Silat Hoa-san-pai masih amat rendah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar