Tok-sim Lo-tong agaknya menjadi marah dan penasaran sekali. Sambil meringkik aneh ia menubruk ke arah tambang, agaknya bermaksud memutus tambang itu. Suling Emas dapat menduga niat jahat ini, maka sekali melompat ia telah berada di tepi dan sulingnya berkelebat merupakan sinar terang menusuk ubun-ubun kepala Tok-sim Lo-tong.
Terpaksa iblis ini tidak melanjutkan niat jahatnya, sebaliknya ia menggulingkan tubuhnya ke belakang. Sambil bergulingan ini, kedua tangannya tiada hentinya bergerak dan batu-batu besar kecil berhamburan menyambar ke arah Suling Emas bagaikan hujan derasnya. Hebat memang iblis itu. Sukar dikatakan apakah gerakannya bergulingan itu gerakan mengelak ataukah menyerang, sifatnya mengandung kedua-duanya. Ia bergulingan untuk mengelak dari suling lawan, namun ia pun bergulingan sambil menyerang.
Serangan yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan karena semua batu itu besar kecil menyambar ke arah jalan-jalan darah di tubuh, bukan sambaran sembarang sambar! Suling Emas sibuk memutar sulingnya menangkis, malah mengeluarkan kipasnya dan senjata ke dua ini banyak berjasa mengebut runtuh batu-batu kecil. Biarpun serangan itu hebat, namun Suling Emas masih sempat berseru ke sebelah belakangnya.
“Kalian menyeberanglah!”
Bu Sin dan Sian Eng mendengar seruan yang nyaring luar biasa ini. Mereka lalu mendekati jembatan tambang.
“Kau menyeberang dulu, Eng-moi, biar aku di belakangmu,” kata Bu Sin.
Menyeberang tambang seperti itu bukanlah hal yang terlalu sukar bagi Sian Eng. Hanya tempat dan keadaannyalah yang terlalu mengerikan sehingga jantungnya berdebar tegang, wajahnya agak pucat dan rasa takut menyelubungi hatinya. Melihat betapa kedua kaki adiknya agak menggigil, Bu Sin menyentuh pundaknya dan berkata.
“Jangan takut, adikku. Tidak apa-apa, tambangnya begini besar dan kuat, jaraknya tidak jauh, apa sukarnya? Asal kau jangan memandang ke bawah.”
Sian Eng mengangguk, lalu melangkah maju ke atas tambang, diikuti kakaknya. Dua orang muda ini melangkah hati-hati sekali, mengembangkan kedua lengan ke kanan kiri untuk mengatur keseimbangan tubuh.
Ketika mereka tiba di tengah-tengah “jembatan”, mendadak terdengar suara orang tertawa di sebelah belakang mereka. Bu Sin dan Sian Eng kaget, cepat menengok dan alangkah kaget hati mereka melihat dua orang laki-laki memegang golok, datang tertawa-tawa sambil menggerakkan golok hendak membabat tambang yang mereka injak!
“Twako.... tolong....!”
Hampir berbareng Bu Sin dan Sian Eng berteriak, akan tetapi hampir putus asa karena pada saat itu Suling Emas masih bertempur seru menghadapi Tok-sim Lo-tong.
Dua batang golok yang tajam menyambar ke arah tambang dan agaknya dalam detik-detik berikutnya tubuh Bu Sin dan Sian Eng akan terbanting hancur lebur di dasar jurang kalau saja pada saat itu tidak terjadi hal yang hebat.
Suling Emas mendengar teriakan adik-adiknya, cepat menengok dan berseru keras, tangan kirinya yang memegang kipas menyambar ke bawah dan di lain detik, dua buah batu kecil telah dilontarkan oleh kipas itu, bagaikan dua butir peluru saja. Menyambarnya dua buah batu kecil itu sama sekali tidak kelihatan saking cepatnya. Tahu-tahu dua orang pemegang golok itu memekik ngeri, mereka terguling roboh dan karena mereka berdiri di tepi jurang, tubuh mereka tak dapat dicegah lagi menggelinding turun dan melayang ke bawah.
Hanya terdengar raung mengerikan ketika dua tubuh itu melayang-layang, kemudian sunyi, bahkan terbantingnya tubuh itu ke atas batu-batu runcing di sebelah bawah tidak terdengar sampai ke atas, saking tingginya tempat itu.
Sejenak Sian Eng meramkan mata dan tubuhnya bergoyang-goyang. Ia merasa ngeri dan tegang, kedua kakinya menggigil dan hampir pingsan. Untung baginya, Bu Sin lebih tabah hatinya. Pemuda ini cepat melangkah maju dan menangkap lengan adiknya ketika melihat gadis itu bergoyang-goyang dan tidak dapat bergerak maju.
“Eng-moi, bahaya telah lewat, hayo cepat menyeberang!” katanya sambil mengguncangkan dan mendorong.
Sian Eng sadar kembali, mengeluh lirih lalu melangkah kecil menyeberangi tambang yang tinggal beberapa meter jauhnya itu. Setelah berhasil mencapai tepi penyeberangan luar biasa ini, Bu Sin dan Sian Eng mendapat kenyataan bahwa bukit di seberang sini jauh bedanya dengan bukit di seberang sana.
Bukit ini subur, indah dan menyenangkan sekali. Dari atas tampak di lereng gunung itu air sungai bening berkilauan. Itulah Sungai Kan-kiang. Tentu saja mereka hanya dapat memandang tamasya alam ini sepintas lalu saja karena perhatian mereka segera tertuju ke arah Suling Emas yang masih bertempur melawan Tok-sim Lo-tong. Mereka berdua maklum bahwa dengan tingkat kepandaian mereka, membantu Suling Emas berarti malah mengacaukan gerakan-gerakannya, maka mereka hanya memandang dengan kagum dan juga cemas.
Kakek tinggi kurus itu ternyata lihai bukan main. Ia menghadapi Suling Emas hanya bertangan kosong saja, akan tetapi ternyata segala sesuatu yang berada di dekatnya merupakan senjatanya! Batu-batu besar kecil, ranting-ranting dan dahan, kadang-kadang malah pohon-pohon yang cukup besar dicabutnya dan dimainkan sebagai senjata!
Memang demikianlah keadaan kedua saudara Tok-sim Lo-tong dan suhengnya, Toat-beng Koai-jin. Mereka berdua ini adalah murid-murid orang sakti, akan tetapi karena sejak kecil hidup di dalam hutan liar, mereka menjadi ganas seperti orang hutan dan cara mereka berkelahi pun kasar dan sederhana. Namun karena gerakan-gerakan mereka berdasarkan ilmu silat tinggi yang luar biasa, maka tentu saja kepandaian mereka hebat.
Suling Emas sudah berhasil mendesaknya, namun belum juga dapat merobohkannya. Ada empat kali sulingnya mengenai sasaran, namun kekebalan kakek kurus itu dapat menahan hantaman suling yang kenanya memang tidak tepat benar.
“Bu Sin, Eng-moi, lekas kalian pergi ke sungai itu dan cari perahu. Aku menyusul segera! Kalau aku belum datang dan kalian sudah mendapat perahu, berangkat saja dulu menurutkan aliran sungai. Lekas!”
Bu Sin dan adiknya heran melihat sikap Suling Emas yang tergesa-gesa dan seperti gugup itu. Terang bahwa Suling Emas tidak akan kalah oleh si kakek kurus, mengapa mengusir mereka pergi cepat-cepat? Akan tetapi kelika melihat pandang mata Suling Emas mengerling tajam ke arah belakang mereka, Bu Sin cepat menengok dan bukan main kagetnya ketika ia melihat beberapa orang berlari cepat menuju ke penyeberangan.
Bahkan yang terdepan, seorang kakek bertelanjang badan hanya pakai cawat seperti Tok-sim Lo-tong, tubuhnya gemuk berpunuk, telah meloncat ke atas tambang dengan kecepatan dan keringanan tubuh yang mengagumkan sekali. Toat-beng Koai-jin!
Tahulah Bu Sin sekarang akan maksud Suling Emas. Tentu saja dengan adanya mereka berdua, Suling Emas menjadi kurang leluasa untuk melawan sekian banyak orang pandai, karena disamping harus menandingi mereka, juga harus melindungi kedua adiknya.
“Tapi.... kau sendiri.... Twako?”
Sian Eng mengkhawatirkan kakaknya dan agaknya tidak tega untuk meninggalkan Suling Emas seorang diri menghadapi sekian banyaknya lawan tangguh.
“Pergilah....!”
Suling Emas berseru kesal dan Bu Sin lalu menarik tangan Sian Eng, diajak berlari cepat pergi meninggalkan tempat berbahaya itu.
Jalan menuruni bukit hijau ini amat mudah, jauh bedanya dengan bukit di seberang dan karena sungai itu sudah tampak dari lereng tadi, kini dengan mudah Bu Sin dan Sian Eng mengerahkan larinya. Hanya satu jam mereka berlari menuruni bukit dan tibalah mereka di tepi Sungai Kan-kiang.
Mereka sama sekali tidak tahu bahwa baru malam tadi perahu yang membawa orang-orang Khitan dan Lin Lin lewat di tempat itu. Memang jalan melalui bukit dan menyeberangi tambang itu merupakan jalan yang amat dekat, jalan memotong yang lurus, tidak seperti jalan sungai yang berbelok-belok.
“Kita menanti disini, Sin-ko. Ah, Twako menghadapi banyak musuh lihai, bagaimana kalau.... kalau dia....”
“Dia tidak akan kalah, Eng-moi. Jangan kau khawatir. Kita harus mentaati pesannya, mari kita mencari perahu.”
“Tapi disini amat sunyi, mana ada perahu? Pula, kurasa lebih baik kita jangan pergi sebelum Song-twako datang.”
“Twako tadi berpesan supaya kita berangkat dulu, kalau tidak ada perahu, kita bisa mencari ke sebelah hilir sampai dapat. Mari, Eng-moi, Song-twako memesan demikian tentu ada alasannya.”
Tanpa memberi kesempatan lagi kepada Sian Eng untuk membantah, Bu Sin memegang tangannya dan diajak melanjutkan perjalanan, menyusuri tepi sungai itu ke hilir dengan langkah cepat. Tentu saja mereka juga tidak tahu bahwa kira-kira tiga puluh li di sebelah depan sana, Lie Bok Liong juga menyusuri tepi sungai untuk mengikuti perahu besar yang menawan Lin Lin!
Terpaksa iblis ini tidak melanjutkan niat jahatnya, sebaliknya ia menggulingkan tubuhnya ke belakang. Sambil bergulingan ini, kedua tangannya tiada hentinya bergerak dan batu-batu besar kecil berhamburan menyambar ke arah Suling Emas bagaikan hujan derasnya. Hebat memang iblis itu. Sukar dikatakan apakah gerakannya bergulingan itu gerakan mengelak ataukah menyerang, sifatnya mengandung kedua-duanya. Ia bergulingan untuk mengelak dari suling lawan, namun ia pun bergulingan sambil menyerang.
Serangan yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan karena semua batu itu besar kecil menyambar ke arah jalan-jalan darah di tubuh, bukan sambaran sembarang sambar! Suling Emas sibuk memutar sulingnya menangkis, malah mengeluarkan kipasnya dan senjata ke dua ini banyak berjasa mengebut runtuh batu-batu kecil. Biarpun serangan itu hebat, namun Suling Emas masih sempat berseru ke sebelah belakangnya.
“Kalian menyeberanglah!”
Bu Sin dan Sian Eng mendengar seruan yang nyaring luar biasa ini. Mereka lalu mendekati jembatan tambang.
“Kau menyeberang dulu, Eng-moi, biar aku di belakangmu,” kata Bu Sin.
Menyeberang tambang seperti itu bukanlah hal yang terlalu sukar bagi Sian Eng. Hanya tempat dan keadaannyalah yang terlalu mengerikan sehingga jantungnya berdebar tegang, wajahnya agak pucat dan rasa takut menyelubungi hatinya. Melihat betapa kedua kaki adiknya agak menggigil, Bu Sin menyentuh pundaknya dan berkata.
“Jangan takut, adikku. Tidak apa-apa, tambangnya begini besar dan kuat, jaraknya tidak jauh, apa sukarnya? Asal kau jangan memandang ke bawah.”
Sian Eng mengangguk, lalu melangkah maju ke atas tambang, diikuti kakaknya. Dua orang muda ini melangkah hati-hati sekali, mengembangkan kedua lengan ke kanan kiri untuk mengatur keseimbangan tubuh.
Ketika mereka tiba di tengah-tengah “jembatan”, mendadak terdengar suara orang tertawa di sebelah belakang mereka. Bu Sin dan Sian Eng kaget, cepat menengok dan alangkah kaget hati mereka melihat dua orang laki-laki memegang golok, datang tertawa-tawa sambil menggerakkan golok hendak membabat tambang yang mereka injak!
“Twako.... tolong....!”
Hampir berbareng Bu Sin dan Sian Eng berteriak, akan tetapi hampir putus asa karena pada saat itu Suling Emas masih bertempur seru menghadapi Tok-sim Lo-tong.
Dua batang golok yang tajam menyambar ke arah tambang dan agaknya dalam detik-detik berikutnya tubuh Bu Sin dan Sian Eng akan terbanting hancur lebur di dasar jurang kalau saja pada saat itu tidak terjadi hal yang hebat.
Suling Emas mendengar teriakan adik-adiknya, cepat menengok dan berseru keras, tangan kirinya yang memegang kipas menyambar ke bawah dan di lain detik, dua buah batu kecil telah dilontarkan oleh kipas itu, bagaikan dua butir peluru saja. Menyambarnya dua buah batu kecil itu sama sekali tidak kelihatan saking cepatnya. Tahu-tahu dua orang pemegang golok itu memekik ngeri, mereka terguling roboh dan karena mereka berdiri di tepi jurang, tubuh mereka tak dapat dicegah lagi menggelinding turun dan melayang ke bawah.
Hanya terdengar raung mengerikan ketika dua tubuh itu melayang-layang, kemudian sunyi, bahkan terbantingnya tubuh itu ke atas batu-batu runcing di sebelah bawah tidak terdengar sampai ke atas, saking tingginya tempat itu.
Sejenak Sian Eng meramkan mata dan tubuhnya bergoyang-goyang. Ia merasa ngeri dan tegang, kedua kakinya menggigil dan hampir pingsan. Untung baginya, Bu Sin lebih tabah hatinya. Pemuda ini cepat melangkah maju dan menangkap lengan adiknya ketika melihat gadis itu bergoyang-goyang dan tidak dapat bergerak maju.
“Eng-moi, bahaya telah lewat, hayo cepat menyeberang!” katanya sambil mengguncangkan dan mendorong.
Sian Eng sadar kembali, mengeluh lirih lalu melangkah kecil menyeberangi tambang yang tinggal beberapa meter jauhnya itu. Setelah berhasil mencapai tepi penyeberangan luar biasa ini, Bu Sin dan Sian Eng mendapat kenyataan bahwa bukit di seberang sini jauh bedanya dengan bukit di seberang sana.
Bukit ini subur, indah dan menyenangkan sekali. Dari atas tampak di lereng gunung itu air sungai bening berkilauan. Itulah Sungai Kan-kiang. Tentu saja mereka hanya dapat memandang tamasya alam ini sepintas lalu saja karena perhatian mereka segera tertuju ke arah Suling Emas yang masih bertempur melawan Tok-sim Lo-tong. Mereka berdua maklum bahwa dengan tingkat kepandaian mereka, membantu Suling Emas berarti malah mengacaukan gerakan-gerakannya, maka mereka hanya memandang dengan kagum dan juga cemas.
Kakek tinggi kurus itu ternyata lihai bukan main. Ia menghadapi Suling Emas hanya bertangan kosong saja, akan tetapi ternyata segala sesuatu yang berada di dekatnya merupakan senjatanya! Batu-batu besar kecil, ranting-ranting dan dahan, kadang-kadang malah pohon-pohon yang cukup besar dicabutnya dan dimainkan sebagai senjata!
Memang demikianlah keadaan kedua saudara Tok-sim Lo-tong dan suhengnya, Toat-beng Koai-jin. Mereka berdua ini adalah murid-murid orang sakti, akan tetapi karena sejak kecil hidup di dalam hutan liar, mereka menjadi ganas seperti orang hutan dan cara mereka berkelahi pun kasar dan sederhana. Namun karena gerakan-gerakan mereka berdasarkan ilmu silat tinggi yang luar biasa, maka tentu saja kepandaian mereka hebat.
Suling Emas sudah berhasil mendesaknya, namun belum juga dapat merobohkannya. Ada empat kali sulingnya mengenai sasaran, namun kekebalan kakek kurus itu dapat menahan hantaman suling yang kenanya memang tidak tepat benar.
“Bu Sin, Eng-moi, lekas kalian pergi ke sungai itu dan cari perahu. Aku menyusul segera! Kalau aku belum datang dan kalian sudah mendapat perahu, berangkat saja dulu menurutkan aliran sungai. Lekas!”
Bu Sin dan adiknya heran melihat sikap Suling Emas yang tergesa-gesa dan seperti gugup itu. Terang bahwa Suling Emas tidak akan kalah oleh si kakek kurus, mengapa mengusir mereka pergi cepat-cepat? Akan tetapi kelika melihat pandang mata Suling Emas mengerling tajam ke arah belakang mereka, Bu Sin cepat menengok dan bukan main kagetnya ketika ia melihat beberapa orang berlari cepat menuju ke penyeberangan.
Bahkan yang terdepan, seorang kakek bertelanjang badan hanya pakai cawat seperti Tok-sim Lo-tong, tubuhnya gemuk berpunuk, telah meloncat ke atas tambang dengan kecepatan dan keringanan tubuh yang mengagumkan sekali. Toat-beng Koai-jin!
Tahulah Bu Sin sekarang akan maksud Suling Emas. Tentu saja dengan adanya mereka berdua, Suling Emas menjadi kurang leluasa untuk melawan sekian banyak orang pandai, karena disamping harus menandingi mereka, juga harus melindungi kedua adiknya.
“Tapi.... kau sendiri.... Twako?”
Sian Eng mengkhawatirkan kakaknya dan agaknya tidak tega untuk meninggalkan Suling Emas seorang diri menghadapi sekian banyaknya lawan tangguh.
“Pergilah....!”
Suling Emas berseru kesal dan Bu Sin lalu menarik tangan Sian Eng, diajak berlari cepat pergi meninggalkan tempat berbahaya itu.
Jalan menuruni bukit hijau ini amat mudah, jauh bedanya dengan bukit di seberang dan karena sungai itu sudah tampak dari lereng tadi, kini dengan mudah Bu Sin dan Sian Eng mengerahkan larinya. Hanya satu jam mereka berlari menuruni bukit dan tibalah mereka di tepi Sungai Kan-kiang.
Mereka sama sekali tidak tahu bahwa baru malam tadi perahu yang membawa orang-orang Khitan dan Lin Lin lewat di tempat itu. Memang jalan melalui bukit dan menyeberangi tambang itu merupakan jalan yang amat dekat, jalan memotong yang lurus, tidak seperti jalan sungai yang berbelok-belok.
“Kita menanti disini, Sin-ko. Ah, Twako menghadapi banyak musuh lihai, bagaimana kalau.... kalau dia....”
“Dia tidak akan kalah, Eng-moi. Jangan kau khawatir. Kita harus mentaati pesannya, mari kita mencari perahu.”
“Tapi disini amat sunyi, mana ada perahu? Pula, kurasa lebih baik kita jangan pergi sebelum Song-twako datang.”
“Twako tadi berpesan supaya kita berangkat dulu, kalau tidak ada perahu, kita bisa mencari ke sebelah hilir sampai dapat. Mari, Eng-moi, Song-twako memesan demikian tentu ada alasannya.”
Tanpa memberi kesempatan lagi kepada Sian Eng untuk membantah, Bu Sin memegang tangannya dan diajak melanjutkan perjalanan, menyusuri tepi sungai itu ke hilir dengan langkah cepat. Tentu saja mereka juga tidak tahu bahwa kira-kira tiga puluh li di sebelah depan sana, Lie Bok Liong juga menyusuri tepi sungai untuk mengikuti perahu besar yang menawan Lin Lin!
**** 098 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar