Hek-giam-lo menengok ke arah gadis itu yang kini sudah berdiri dengan muka pucat. Iblis itu mendengus, lalu menggumam,
“Tidak dibunuh buat apa? Dia kurang ajar, berani mencintai Tuan Puteri, harus dibunuh mati untuk menebus dosanya....!” Setelah berkata demikian, Hek-giam-lo melangkah lagi menghampiri Bok Liong.
“Hek-giam-lo, kalau kau membunuhnya, aku tidak sudi ikut ke Khitan!” Kembali Lin Lin berseru.
Tanpa menoleh Hek-giam-lo menjawab dengan suara mengejek,
“Hamba dapat memaksa Paduka!”
Bok Liong membacokkan pedangnya dengan sekuat tenaga. Tubuhnya yang terjepit membuat ia tidak dapat menyerang secara baik, hanya asal membacok saja. Hek-giam-lo mendengus dan tahu-tahu pedang itu sudah terlibat oleh ujung lengan baju sebelah kiri, sedangkan tangan kanan iblis itu sudah bergerak mencengkeram ke arah kepala Bok Liong. Pemuda ini hanya dapat memandang dengan mata mendelik dan dengan sikap gagah menanti datangnya maut dengan mata terpentang lebar.
“Hek-giam-lo, kalau kau bunuh dia, aku akan bunuh diri!”
Teriak Lin Lin yang sudah kebingungan sekali melihat Bok Liong terancam bahaya maut. Pemuda itu datang untuk menolongnya, tak mungkin sekarang ia diam saja menyaksikan penolongnya terancam kematian yang mengerikan.
Cengkeraman ke arah kepala itu mendadak berubah dan kini yang dicengkeram adalah baju pada punggung Bok Liong. Sekali sentak tubuh pemuda itu sudah keluar dari jepitan papan dan sekali mengayun tangan Hek-giam-lo melemparkan tubuh Bok Liong keluar dari perahu dan “byuuurrrrr....!” untuk kedua kalinya air muncrat tinggi ketika tertimpa tubuh pemuda itu.
Hanya sebentar Bok Liong tenggelam. Segera ia muncul lagi, terengah-engah dan menyemburkan air dari dalam mulutnya. Pedang Goat-kong-kiam masih di tangan kanannya dan dengan mata mendelik marah ia berenang ke arah perahu sambil memaki.
“Hek-giam-lo iblis penakut anak-anak! Kalau kau tidak membebaskan Lin-moi, akan mengadu jiwa denganmu!”
Melihat kenekatan pemuda yang keras kepala ini, Lin Lin bingung dan kaget sekali. Cepat ia berlari ke pinggir perahu dan berseru,
“Liong-twako, jangan kesini lagi! Kau pergilah, sia-sia melawan dia!”
“Lin-moi, tidak bisa aku meninggalkan kau tertawan iblis itu. Kalau perlu aku akan mengadu jiwa, apa artinya kematian? Hidup pun tidak akan berguna bagiku kalau kau mengalami bencana!”
Penuh semangat pemuda ini menjawab. Jawaban yang sekaligus menyatakan cinta kasihnya terhadap gadis itu!
Merah seketika wajah Lin Lin dan sejenak ia terharu. Pemuda ini benar-benar hebat, gagah perkasa dan cinta kasihnya terhadap dirinya sudah cukup teruji. Berkali-kali pemuda ini menolongnya dari bencana tanpa mempedulikan keselamatan dirinya sendiri.
“Jangan, Twako,” katanya, suaranya agak gemetar. “Kau pergilah, aku tidak apa-apa, percayalah. Kelak kita dapat bertemu kembali. Aku minta dengan sangat, jangan kau kembali ke perahu!”
Bok Liong meragu, akan tetapi mendengar suara yang gemetar itu dan melihat wajah Lin Lin yang ketakutan mengkhawatirkan keadaan dan keselamatan dirinya, diam- diam ia merasa bahagia sekali.
“Baiklah, Lin-moi, asal kau selamat, aku menurut segala kehendakmu. Tapi, aku akan selalu membayangimu. Awas mereka yang berani mengganggu, aku pasti akan menjungkir balikkan bumi langit untuk mengadu jiwa!”
Setelah berkata demikian, pemuda itu berenang ke pinggir. Setelah mendarat, barulah ia merasa betapa tubuhnya sakit-sakit semua dan ia menggigil kedinginan. Akan tetapi melihat perahu itu meluncur maju menurutkan aliran sungai, ia pun cepat-cepat mengikuti dari tepi sungai.
Pemuda ini sudah mengambil keputusan untuk terus mengikuti jejak Lin Lin yang menjadi tawanan orang-orang Khitan. Ia bersikeras untuk membayangi terus, biarpun ia harus berjalan sampai ke Khitan, atau kalau perlu, ia akan terus membayangi sampai ke neraka!
Dapat dibayangkan betapa sengsaranya perjalanan ini. Yang dibayangi naik perahu, karena perahu itu menurutkan aliran air, maka tidak pernah berhenti. Bok Liong harus mengikuti terus siang malam, dan ia harus menyaksikan dengan tubuh letih betapa para penumpang perahu enak-enakan duduk melengggut, atau harus menyaksikan dengan perut lapar betapa para penumpang perahu makan minum di atas dek.
Adapun Lin Lin selalu berada di dalam bilik perahu. Hanya kadang-kadang saja gadis itu keluar dan dengan hati pedih melihat bayangan Bok Liong bergerak di tepi sungai. Hatinya makin terharu dan kasihan melihat pemuda itu, bukan hanya karena kesetiaan dan cinta kasih pemuda itu, melainkan terutama sekali kasihan karena hatinya sendiri tidak akan dapat membalas cinta kasih Bok Liong. Hatinya sendiri, sudah tersangkut oleh.... sebuah suling yang terbuat daripada emas!
“Tidak dibunuh buat apa? Dia kurang ajar, berani mencintai Tuan Puteri, harus dibunuh mati untuk menebus dosanya....!” Setelah berkata demikian, Hek-giam-lo melangkah lagi menghampiri Bok Liong.
“Hek-giam-lo, kalau kau membunuhnya, aku tidak sudi ikut ke Khitan!” Kembali Lin Lin berseru.
Tanpa menoleh Hek-giam-lo menjawab dengan suara mengejek,
“Hamba dapat memaksa Paduka!”
Bok Liong membacokkan pedangnya dengan sekuat tenaga. Tubuhnya yang terjepit membuat ia tidak dapat menyerang secara baik, hanya asal membacok saja. Hek-giam-lo mendengus dan tahu-tahu pedang itu sudah terlibat oleh ujung lengan baju sebelah kiri, sedangkan tangan kanan iblis itu sudah bergerak mencengkeram ke arah kepala Bok Liong. Pemuda ini hanya dapat memandang dengan mata mendelik dan dengan sikap gagah menanti datangnya maut dengan mata terpentang lebar.
“Hek-giam-lo, kalau kau bunuh dia, aku akan bunuh diri!”
Teriak Lin Lin yang sudah kebingungan sekali melihat Bok Liong terancam bahaya maut. Pemuda itu datang untuk menolongnya, tak mungkin sekarang ia diam saja menyaksikan penolongnya terancam kematian yang mengerikan.
Cengkeraman ke arah kepala itu mendadak berubah dan kini yang dicengkeram adalah baju pada punggung Bok Liong. Sekali sentak tubuh pemuda itu sudah keluar dari jepitan papan dan sekali mengayun tangan Hek-giam-lo melemparkan tubuh Bok Liong keluar dari perahu dan “byuuurrrrr....!” untuk kedua kalinya air muncrat tinggi ketika tertimpa tubuh pemuda itu.
Hanya sebentar Bok Liong tenggelam. Segera ia muncul lagi, terengah-engah dan menyemburkan air dari dalam mulutnya. Pedang Goat-kong-kiam masih di tangan kanannya dan dengan mata mendelik marah ia berenang ke arah perahu sambil memaki.
“Hek-giam-lo iblis penakut anak-anak! Kalau kau tidak membebaskan Lin-moi, akan mengadu jiwa denganmu!”
Melihat kenekatan pemuda yang keras kepala ini, Lin Lin bingung dan kaget sekali. Cepat ia berlari ke pinggir perahu dan berseru,
“Liong-twako, jangan kesini lagi! Kau pergilah, sia-sia melawan dia!”
“Lin-moi, tidak bisa aku meninggalkan kau tertawan iblis itu. Kalau perlu aku akan mengadu jiwa, apa artinya kematian? Hidup pun tidak akan berguna bagiku kalau kau mengalami bencana!”
Penuh semangat pemuda ini menjawab. Jawaban yang sekaligus menyatakan cinta kasihnya terhadap gadis itu!
Merah seketika wajah Lin Lin dan sejenak ia terharu. Pemuda ini benar-benar hebat, gagah perkasa dan cinta kasihnya terhadap dirinya sudah cukup teruji. Berkali-kali pemuda ini menolongnya dari bencana tanpa mempedulikan keselamatan dirinya sendiri.
“Jangan, Twako,” katanya, suaranya agak gemetar. “Kau pergilah, aku tidak apa-apa, percayalah. Kelak kita dapat bertemu kembali. Aku minta dengan sangat, jangan kau kembali ke perahu!”
Bok Liong meragu, akan tetapi mendengar suara yang gemetar itu dan melihat wajah Lin Lin yang ketakutan mengkhawatirkan keadaan dan keselamatan dirinya, diam- diam ia merasa bahagia sekali.
“Baiklah, Lin-moi, asal kau selamat, aku menurut segala kehendakmu. Tapi, aku akan selalu membayangimu. Awas mereka yang berani mengganggu, aku pasti akan menjungkir balikkan bumi langit untuk mengadu jiwa!”
Setelah berkata demikian, pemuda itu berenang ke pinggir. Setelah mendarat, barulah ia merasa betapa tubuhnya sakit-sakit semua dan ia menggigil kedinginan. Akan tetapi melihat perahu itu meluncur maju menurutkan aliran sungai, ia pun cepat-cepat mengikuti dari tepi sungai.
Pemuda ini sudah mengambil keputusan untuk terus mengikuti jejak Lin Lin yang menjadi tawanan orang-orang Khitan. Ia bersikeras untuk membayangi terus, biarpun ia harus berjalan sampai ke Khitan, atau kalau perlu, ia akan terus membayangi sampai ke neraka!
Dapat dibayangkan betapa sengsaranya perjalanan ini. Yang dibayangi naik perahu, karena perahu itu menurutkan aliran air, maka tidak pernah berhenti. Bok Liong harus mengikuti terus siang malam, dan ia harus menyaksikan dengan tubuh letih betapa para penumpang perahu enak-enakan duduk melengggut, atau harus menyaksikan dengan perut lapar betapa para penumpang perahu makan minum di atas dek.
Adapun Lin Lin selalu berada di dalam bilik perahu. Hanya kadang-kadang saja gadis itu keluar dan dengan hati pedih melihat bayangan Bok Liong bergerak di tepi sungai. Hatinya makin terharu dan kasihan melihat pemuda itu, bukan hanya karena kesetiaan dan cinta kasih pemuda itu, melainkan terutama sekali kasihan karena hatinya sendiri tidak akan dapat membalas cinta kasih Bok Liong. Hatinya sendiri, sudah tersangkut oleh.... sebuah suling yang terbuat daripada emas!
**** 096 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar