FB

FB


Ads

Senin, 24 Juni 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 094

Mari kita ikuti pengalaman Lin Lin yang sudah lama kita tinggalkan. Seperti telah diceritakan di bagian depan, sekeluarnya dari terowongan rahasia dan melihat Cui-beng-kui, Lin Lin lupa akan segalanya saking marahnya melihat pembunuh ayah bunda angkatnya. Maka ia lalu menerjang dan menyerang Cui-beng-kui, malah dibantu oleh Bu Sin dan Sian Eng.

Akan tetapi tentu saja mereka bukan lawan Cui-beng-kui yang sakti, dan sebagaimana telah kita ketahui, Lin Lin kemudian ditolong oleh orang-orang Khitan yang secara aneh sekali berhasil membawa pergi Lin Lin berikut pedangnya dan mayat orang-orang Khitan yang tewas disitu.

Kiranya orang-orang Khitan itu melakukan gerakan ilmu barisan yang mereka sebut “mengacau atau mengail ikan”, berhasil membikin bingung orang-orang yang berada di situ dan dalam kehebohan itu dapat membawa pergi Lin Lin. Memang, orang-orang Khitan ini yang semenjak dahulu merupakan bangsa perantau, pandai sekali berperang gerilya sehingga hanya dua belas orang saja telah berhasil “mencuri” Lin Lin dari depan banyak orang.

Lin Lin sendiri yang ketika itu hampir celaka di tangan Cui-beng-kui kalau saja secara sembunyi tidak ditolong oleh Suling Emas, hanya melihat orang-orang Khitan itu berlari-lari di sekelilingnya, membuatnya pening dan entah bagaimana, akhirnya ia ikut berlari-lari dan tahu-tahu ia sudah berlari jauh meninggalkan Nan-cao, tapi selalu berada di dalam kurungan orang-orang Khitan!

Setelah menjelang senja dan rombongan orang Khitan itu yang tiada henti-hentinya berlari tiba jauh di daerah perbatasan kota raja mereka berhenti. Lin Lin terengah-engah dan barulah gadis ini sadar sepenuhnya bahwa ia tadi ikut berlari-lari bersama rombongan itu keluar dari kota raja.

“He, kalian ini membawaku kemana? Antarkan aku kembali ke Kota Raja Nan-cao. Aku harus bunuh Cui-beng-kui iblis jahat itu!”

Seorang diantara dua belas perajurit Khitan itu, yang paling tua, menjura dengan hormat di depan Lin Lin lalu berkata,

“Tuan puteri, susah payah hamba berhasil menyelamatkan Paduka daripada bahaya maut. Hamba hanya melakukan perintah. Kalau Paduka kembali kesana, berarti hanya akan mengorbankan nyawa secara sia-sia.”

“Huh, tidak gampang Cui-beng-kui dapat membunuhku. Suling Emas takkan membiarkan dia membunuhku. Tadi pun Suling Emas membantuku. Hayo antar aku kembali ke sana!”

“Tuan puteri, hamba sekalian tidak berani. Hamba yang membantu mendiang Pak-sin-tung-lociangkun, selain kehilangan beliau, juga kehilangan dua belas orang saudara. Hamba semua hanya melaksanakan perintah Hek-lo-ciangkun, sebaiknya Paduka bicara dengan beliau....”

“Siapa Hek-lo-ciangkun (Panglima Tua Hitam)?” tanya Lin Lin.

“Paduka sendiri yang memerintahkan beliau merampas tongkat....”

“Ohhh, kau maksudkan Hek-giam-lo? Mana dia sekarang? Dia harus membantuku membunuh Cui-beng-kui! Mana dia? Suruh dia kesini!”

Dengan sikap yang agung seakan-akan memang semenjak kecil dia memerintah orang-orang Khitan, Lin Lin membentak-bentak mereka.

“Hek-lo-ciangkun sudah lama menanti Paduka, Tuan Puteri. Marilah, tidak jauh lagi. Setelah bertemu dengan Hek-lo-ciangkun, Paduka dapat berunding dengannya.”

Lin Lin menganggap omongan ini tepat.
“Baik, hayo kita berangkat menemui Hek-giam-lo!”

Maka berangkatlah mereka, sekarang tidak berlarian seperti tadi lagi, melainkan berjalan kaki. Lin Lin di depan bersama pemimpin rombongan, diiringkan oleh yang lain dari belakang. Rombongan itu berjalan dengan langkah tegap, wajah mereka berseri, sama sekali tidak kelihatan berduka walaupun baru saja kehilangan seorang panglima dan dua belas orang kawan. Semangat mereka tinggi dan dalam melangkahkan kaki secara berirama mereka lalu bernyanyi dengan suara lantang dan gagah!

Mula-mula Lin Lin merasa betapa lucu kelakuan mereka ini, akan tetapi lambat laun ia merasa tertarik sekali dan kagum. Agaknya panggilan darahnya membuat ia merasa dekat dengan orang-orang ini, malah sebentar kemudian ia ikut pula mengatur langkah membarengi mereka dan karena lagu itu pendek dan diulang-ulang, beberapa menit kemudian Lin Lin ikut pula bernyanyi bersama mereka! Kata-katanya asing baginya, namun, dasar ia cerdas, sebentar saja ia hafal tanpa dapat mengerti maksud kata-katarnya. Ikut sertanya Lin Lin dalam barisan ini sambil bernyanyi menambah semangat orang-orang Khitan itu dan suara nyanyian mereka makin keras dan makin bersemangat.






Tak lama kemudian sampailah mereka di tepi sebuah sungai. Inilah Sungai Kan-kiang, sungai yang mengalir menuju ke utara dan menjadi anak sungai atau cabang dari sungai besar Yang-ce-kiang. Pemimpin rombongan mengeluarkan sebuah tanduk, agaknya tanduk rusa yang besar. Ketika ia meniup tanduk itu terdengar bunyi suara yang aneh, seperti suara binatang tidak keras akan tetapi suara itu membawa getaran yang kuat.

Sepuluh menit kemudian, terdengarlah lengking seperti suling dan tampaklah sebuah perahu besar meluncur datang. Di kepala perahu berdiri sesosok tubuh yang berselubung pakaian hitam dengan muka tertutup kedok tengkorak. Hek-giam-lo!

Sebentar kemudian perahu itu minggir dan Lin Lin meloncat ke atas perahu, diikuti oleh dua belas orang pengikutnya. Perahu itu diikatkan pada sebatang pohon. Setelah berada di atas perahu, dua belas orang itu sibuk bekerja, dan agaknya mereka sudah biasa dengan pekerjaan di perahu. Kini anak buah perahu yang tadinya hanya tiga orang, menjadi lima belas orang.

Lin Lin cepat menghampiri Hek-giam-lo.
“Bagaimana Hek-giam-lo? Apakah perintahku sudah kau lakukan? Mana tongkat Beng-kauw itu?” berkata Lin Lin dengan sikap memerintah.

Hek-giam-lo membungkuk sedikit, lalu terdengar suaranya dari balik kedok tengkorak.
“Berkat bintang Paduka yang terang, tongkat Beng-kauw sudah berhasil hamba rampas, sekarang berada di dalam bilik perahu. Harap Paduka sudi masuk bilik dan beristirahat, sebentar lagi kita berangkat.”

“Berangkat?” Lin Lin terkejut. “Ke mana?”

“Ke mana lagi kalau bukan ke Khi¬tan? Kita pulang, Tuan Puteri.”

“Tidak! Aku perintahkan, tidak pulang ke Khitan sekarang! Hek-giam-lo, kau harus membantuku, kembali ke Nan-cao untuk menghadapi Cui-beng-kui!”

Sejenak tengkorak hitam itu diam saja, bergerak pun tidak, seakan-akan ia termenung. Sukar untuk mengatakan bagaimana perasaannya di saat itu karena wajahnya yang asli tidak nampak. Akan tetapi setelah ia bicara, ternyata bahwa ia menahan kemarahannya.

“Tuan Puteri Yalina, sudah banyak kita kehilangan orang, bahkan sute Pak-sin-tung sampai tewas, semua gara-gara permintaan Paduka yang bukan-bukan! Sekarang hamba tidak dapat memenuhi permintaan Paduka lagi, kita harus berangkat kembali ke Khitan di mana Sri Baginda sudah menanti-nanti kedatangan Paduka.”

“Tidak! Kau harus menurut perintahku, Hek-giam-lo!”

Si Tengkorak Hitam menggeleng-geleng kepalanya dan mendengus tak acuh.

“Kau lihat apa ini? Kau harus tunduk kepadaku!”

Lin Lin mencabut keluar Pedang Besi Kuning dan menodongkannya ke arah Hek-giam-lo. Melihat ini, para anak buah perahu serta-merta menjatuhkan diri berlutut.

Akan tetapi Hek-giam-lo mendengus aneh dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah menyergap maju dan tiba-tiba Lin Lin merasa tubuhnya menjadi kaku dan pedang itu telah terampas oleh Hek-giam-lo!

Tengkorak Hitam itu mengeluarkan suara perintah dalam bahasa Khitan dan lima orang yang berlutut di belakang Lin Lin, tiba-tiba melompat dan menerkam gadis itu, menelikung kedua lengannya ke belakang dan mengikatnya dengan sehelai sabuk sutera yang kuat. Di lain saat, ketika mereka melepaskan Lin Lin, gadis itu sudah terbelenggu kedua tangannya di belakang tubuh.

Lin Lin terkejut, sama sekali tidak mengira bahwa orang-orang itu, termasuk Hek-giam-lo akan berani melawannya. Akan tetapi ia tidak takut, malah ia lalu memaki-maki.

“Keparat kau, Hek-giam-lo! Awas kau, sesampainya di Khitan, akan kuberi tahu kepada Sri Baginda tentang perlakukanmu yang kurang ajar agar kau mendapat hukuman penggal leher!”

Hek-giam-lo mendengus, kemudian memberi perintah dalam bahasa Khitan. Agaknya ia menyuruh pergi para anak buahnya karena mereka itu seorang demi seorang lalu menghilang ke dalam dan ke balik bilik perahu. Kemudian Hek-giam-lo menghadapi Lin Lin yang berdiri dengan tegak walaupun kedua tangannya terbelenggu.

“Yalina, ucapanmu ini mengingatkan aku akan Ibumu. Dahulu Ibumu juga hendak memenggal leherku, malah ia telah menyiram mukaku dengan racun. Kau tahu aku siapa? Nah, tengoklah baik-baik!”

Cepat sekali Hek-giam-lo merenggut kedoknya dan.... Lin Lin menjadi pucat, memandang terbelalak pada wajah seorang laki-laki yang bentuknya tampan gagah, akan tetapi wajah itu mengerikan karena.... tidak berkulit lagi! Daging muka itu, atau lebih tepat tulang-tulangnya terbungkus kulit tipis licin, hidung dan bibirnya yang masih bagus bentuknya itu pun menjadi mengerikan dengan kulit tipis berkerut dan putih seakan-akan tidak berdarah. Matanya tidak berbulu lagi, alisnya pun hilang, kepalanya tidak berambut. Benar-benar wajah yang mengerikan, jauh lebih mengerikan daripada wajah Cui-beng-kui!

“Kau.... kau siapa....?” Dengan suara lirih dan penuh kengerian Lin Lin bertanya.

Secepat tadi ketika merenggutkan kedoknya, Hek-giam-lo sudah memasangnya kembali. Kedok tengkorak itu agaknya tidak mengerikan lagi, dibandingkan dengan muka yang bersembunyi di balik kedok.

“Hemmm, kau telah melihat wajahku? Wajah yang dahulunya tampan gagah, karena aku berdosa mencinta Ibumu, aku mendapat perlakuan begini kejam. Ibumu menolak aku, kakaknya sendiri seayah lain ibu, dan dia memilih seorang perajurit biasa menjadi suaminya, yaitu Ayahmu!”

Hek-giam-lo diam sejenak, agaknya menahan kemarahannya. Lin Lin teringat akan cerita Kim-lun Seng-jin tentang Puteri Mahkota Khitan yang bernama Tayami, yang menurut Kim-lun Seng-jin adalah ibunya. Teringat ia betapa kakek itu bercerita bahwa Puteri Tayami bersama suaminya, seorang perajurit gagah perkasa dan pilihan, gugur dalam perang melawan musuh karena ada saudara-saudara ibunya yang berkhianat. Mengingat ini, serta-merta naik darah panas ke kepalanya dan mulutnya menyerang dengan ejekan.

“Jadi kaukah orangnya yang berkhianat, bersekutu dengan Kerajaan Sung sehingga bengsaku dipukul hancur di Shan-si, dan ibu serta ayahku gugur?”

Enak saja mulut Lin Lin menyebut “bangsaku” dan “ayah ibuku”, karena memang ia sudah tidak ragu-ragu lagi. Inilah musuh besarnya yang sesungguhnya, orang yang menjadi biang keladi kematian ayah bundanya yang gugur sebagai pejuang bangsa yang gagah perkasa.

“Heh-heh, kau pandai menduga, ya? Memang betul begitulah. Akan tetapi pembalasanku ini tidak berlebihan, kau sudah melihat mukaku yang disiram air beracun oleh Ibumu.”

“Aku tidak percaya! Aku tidak percaya Ibu seganas itu! Kecuali kalau kau melakukan hal yang jahat, untuk membela diri mungkin Ibu terpaksa harus menggunakan racun.”

“Hemmm, kau memang pandai menduga, agaknya arwah Ibumu yang berbisik di dalam hatimu. Aku tidak bersalah, dosaku tidak berarti. Ibumu cantik jelita, seperti engkau begini, dan aku dahulu seorang pria yang tampan dan muda, penuh semangat dan nafsu. Aku hanya memasuki kamar Ibumu, hendak mencumbu rayu, sudah sewajarnya antara pria dan wanita. Tapi dia.... dia.... ah, semenjak itu aku benci kepadanya!”

Lin Lin dapat membayangkan semua itu, biarpun ia tidak mendapat cerita yang jelas, namun ia dapat menduga apa yang telah terjadi pada masa sebelum ia terlahir di dunia itu (baca cerita Suling Emas).

“Hek-giam-lo, kalau begitu sikapmu tunduk kepadaku hanya pura-pura. Kau menawanku mau apa?”

Secara tidak terduga, Hek-giam-lo kembali menjura dengan penuh penghormatan!

“Ih, tak perlu membadut dan berpura-pura lagi!” bentak Lin Lin.

“Tuan Puteri Yalina, hamba tidak berpura-pura. Hamba Hek-giam-lo hanya mentaati perintah Sri Baginda atau kakak hamba sendiri. Paduka harus hamba bawa ke Khitan dan disana Paduka akan dikaruniai anugerah sebagai permaisuri menjadi ratu di sisi Sri Baginda kakak hamba.”

“Apa....?” Lin Lin menjerit. “Kalau dia itu kakakmu, dan kau kakak seayah ibuku, berarti kau dan dia itu masih pamanku. Dia paman tua, dia uwakku, masa dia hendak memperisteriku? Gila kau!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar