FB

FB


Ads

Senin, 24 Juni 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 093

Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara ledakan keras dan semua orang menjadi pucat, mulut ternganga dan mata terbelalak memandang ke arah peti mati yang mendadak meledak keras itu. Tutup peti mati pecah berantakan dan.... sesosok tubuh yang tinggi besar bangkit dari dalam peti mati, langsung berdiri tegak.

Tubuh tinggi besar berpakaian serba putih, bermuka pucat tapi tetap dapat dikenal sebagai muka Pat-jiu Sin-ong Liu Gan! Mata yang terbelalak lebar hampir keluar dari pelupuknya itu seperti bukan mata manusia, dan suaranya terdengar berkumandang seperti suara dari dunia lain ketika mulutnya yang tertarik keras itu bergerak.

“Tiga tahun aku menanti datangnya saat ini.... Lu Sian.... aku dapat menduga akan hal ini setelah kau mencuri Sam-po-cin-keng (Kitab Tiga Pusaka) dan minggat.... hanya aku yang dapat menahanmu. Mari kau ikut aku meninggalkan dunia yang banyak penderitaan ini....!”

Sejenak Liu Lu Sian terhenyak kaget, mundur dua langkah dan mukanya berubah pucat. Akan tetapi beberapa detik kemudian ia agaknya dapat menahan gelora hatinya yang terkejut, karena ia melangkah maju lagi tiga langkah dengan gerakan tenang. Kemudian suaranya terdengar lantang, juga mengandung kumandang seperti terdengar dari dunia lain karena ia juga mempergunakan ilmu mujijat Coam-im-i-hun-to seperti yang dipergunakan ayahnya tadi.

“Tidak, Ayah. Aku masih ingin hidup, ingin menguasai dunia, ingin memperkembangkan Beng-kauw sehingga seluruh manusia di permukaan bumi ini menjadi penganut Beng-kauw semua!”

“Bodoh! Agama yang dipaksakan dengan kekerasan akan hancur sendiri karena para penganutnya akan menjadi penganut palsu. Mari, ikut dengan aku!”

“Ayah, kenapa kau tidak mati sendiri? Aku tidak mau ikut!”

Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang disangka telah mati selama tiga tahun lebih itu tertawa, suara ketawanya bergelombang dan kumandangnya datang susul menyusul. Lebih separoh jumlah tamu jatuh bergulingan, tidak kuat menahan getaran suara ketawa bergelombang ini yang seakan-akan membetot semangat mereka sehingga mereka roboh pingsan! Hanya tokoh-tokoh besar saja yang sanggup menahan sehingga tidak roboh terguling, akan tetapi mereka tetap saja harus mengerahkan sin-kang dan tergoyang-goyang di atas tempat duduk masing-masing.

“Kau hendak memaksa, Ayah? Aku melawan!”

Bentak Liu Lu Sian dan tubuhnya bergerak ke depan, melancarkan pukulan dengan kedua tangannya, dibantu rambut kepalanya.

Karena maklum bahwa di dunia ini agaknya hanya ayahnya yang merupakan lawan terberat, maka sekaligus Liu Lu Sian mengeluarkan seluruh tenaganya untuk merobohkan ayahnya yang disangkanya telah mati itu.

Pat-jiu Sin-ong Liu Gan masih tertawa keras ketika ia mengulur kedua tangannya ke depan. Dua pasang tangan bertemu di udara, sepasang mata Liu Gan makin melotot keluar dan ia tampak kaget sekali, mulutnya mengeluarkan suara “Uhhhhh!” dan darah segar tersembur keluar dari mulutnya.

Akan tetapi dari mulut Liu Lu Sian keluar jerit mengerikan, lalu terdengar suara gaduh ketika tubuh dua orang itu roboh menabrak dan menggulingkan peti mati berikut meja sembahyang. Keduanya roboh miring dengan sepasang tangan masih saling menempel, akan tetapi ketika Beng-kauw Liu Mo dan yang lain-lain mendekati, mereka mendapat kenyataan bahwa kedua orang ayah dan anak ini telah putus napasnya!

Pat-jiu Sin-ong Liu Gan telah memenuhi kehendaknya, yaitu mengajak puterinya bersama-sama meninggalkan dunia. Sebetulnya hanya Liu Mo seorang yang tahu bahwa suhengnya itu tiga tahun yang lalu belum mati, melainkan minta supaya dimasukkan peti dan dianggap mati karena sesungguhnya suhengnya itu bermaksud menyembunyikan diri dan bertapa, menanti munculnya Liu Lu Sian karena kakek ini sudah dapat membayangkan bahwa puterinya yang binal itu setelah berhasil mencuri Sam-po-cin-keng, di kemudian hari pasti akan menggegerkan dunia (baca cerita Suling Emas).

Suling Emas sudah berlutut di dekat jenazah ibunya, wajahnya muram dan sedih, akan tetapi hatinya lega karena ia pikir lebih baik begini daripada melihat ibunya hidup membuat kekacauan di dunia. Liu Hwee juga berlutut disitu dan menangis. Tubuh Kauw Bian Cinjin yang terluka hebat, akan tetapi tidak membahayakan nyawanya, telah diangkut ke dalam untuk dirawat.

Para anggauta Beng-kauw nampak berkabung dan berduka, juga masih tegang oleh peristiwa hebat tadi. Tak seorang pun di antara mereka berani bersuara. Beng-kauwcu Liu Mo lalu berdiri dan menghadapi para tamunya yang masih tegang, apalagi mereka yang tadi pingsan dan sudah siuman kembali.

“Cu-wi sekalian yang terhormat. Harap Cu-wi maafkan akan segala peristiwa yang tidak kami sengaja ini. Cu-wi maklum bahwa peristiwa ini adalah urusan pribadi Beng-kauw, maka kami harap Cu-wi sekalian sudi memaklumi dan tidak salah faham. Agar ucapan keponakan kami tadi tidak dianggap sebagai sikap Beng-kauw, kami sebagai ketua Beng-kauw disini menyatakan dengan tegas bahwa Beng-kauw tidak bermaksud memaksa orang menjadi pemeluknya, dan bahwa Nan-cao sama sekali tidak bermaksud untuk mengganggu negara tetangga, akan tetapi kami pun pantang diganggu. Kemudian, mengingat akan keadaan yang menimpa kami, maka kami persilakan Cu-wi sekalian kembali ke tempat masing-masing, diikuti ucapan selamat jalan dan terima kasih serta maaf bahwa kami tidak sempat mengantar.”

Maka bubarlah para tamu. Setelah mereka memberi hormat, berduyun-duyun mereka keluar dari Kota Raja Nan-cao. Di sepanjang jalan mereka itu ramai membicarakan peristiwa mengerikan yang terjadi di Nan-cao dan mereka merasa puas bahwa mereka mendapat kesempatan menyaksikan hal-hal luar biasa, ketegangan yang mengerikan dan pertempuran-pertempuran tingkat tinggi yang tak mungkin mereka saksikan lagi.

Suling Emas ikut membantu pemakaman ibu dan kakeknya, juga penguburan Cui-beng-kui. Kemudian ia berlutut di depan Beng-kauwcu Liu Mo dan berkata dengan suara sedih.

“Saya mintakan maaf atas sepak terjang mendiang Ibu yang telah mengacau Beng-kauw.”

Liu Mo menarik napas panjang dan mengulur tangan mengelus kepala Suling Emas,
“Tidak apa, anak baik. Memang Ibumu sejak dahulu begitu, keras hati dan aneh wataknya. Untung bahwa kau agaknya mewarisi watak Ayahmu. Mendiang Ayahmu, Jenderal Kam Si Ek adalah seorang laki-laki sejati, seorang pendekar perkasa yang mengagumkan. Karena itu pula, melihat gelagat adikmu Bu Sin dan anakku Hwee-ji (Anak Hwee), aku akan merasa bahagia sekali kalau mereka dapat terangkap jodoh. Aku serahkan urusan ini kepadamu.”

Suling Emas mengangguk-angguk,
“Baiklah. Dan sebagai penebus dosa Ibu, saya akan menyusul Hek-giam-lo ke Khitan untuk minta kembali tongkat Beng-kauw yang dirampasnya.”

Setelah berpamit, Suling Emas mengajak kedua orang adiknya, Bu Sin dan Sian Eng, pergi dari Nan-cao untuk mencari dan menolong Lin Lin, sekalian untuk merampas kembali tongkat Beng-kauw dan untuk mewakili Ibunya menghadapi lima orang Thian-te Liok-koai di puncak Thai-san!

Perpisahan yang sederhana, akan tetapi mendatangkan kedukaan dan kesepian di hati Bu Sin dan Liu Hwee. Hanya pandang mata mereka saja saling menyatakan perasaan hati yang mewakili seribu bahasa. Terpisahnya dua hati yang saling mencinta.

**** 093 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar