FB

FB


Ads

Senin, 17 Juni 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 078

Akan tetapi keadaan Bu Sin bukan tidak berbahaya karena ketika ia menendang tadi, dua orang lawan lagi menerjangnya dari kanan kiri. Kepandaian si bopeng dan si kepala besar itu cukup lihai. Golok si bopeng itu melayang ke arah leher kiri sehingga Tiat-kak-coa si kepala besar menusukkan tongkatnya ke arah iga kanan!

Bu Sin terpaksa menggulingkan diri ke atas tanah, akan tetapi kedua orang lawannya mengejar terus. Dengan gerakan lincah Bu Sin sudah berhasil menyambar pedang yang tadi terjatuh dari tangan si juling. Pedang ini ia ayun menangkis golok, akan tetapi dalam keadaan masih telentang itu ia terancam tongkat Tiat-kak-coa.

“Blukkk! Aduhhhh....!”

Tiba-tiba Tiat-kak-coa terjungkal, dari kepalanya sebelah belakang mengucur kecap dan ia berkelojotan tak dapat bangkit lagi karena kepalanya sudah retak, disambar batu yang dilontarkan oleh Liu Hwee!

Dalam keadaan kaget dan khawatir, si bopeng tak sanggup menahan terjangan pedang di tangan Bu Sin dan pedang itu berhasil menusuk tembus bahu kanannya. Si bopeng berteriak kesakitan, goloknya terpental dan ia pun roboh mandi darah.

“Cepat, ikut aku!” Liu Hwee berbisik.

Dengan pedang rampasan di tangan, Bu Sin mengikuti gadis itu. Girang hatinya bahwa gadis itu ternyata tidak apa-apa. Mereka berlari-larian melalui lorong sempit dan tiba-tiba Liu Hwee berhenti.

“Ssttt, di depan pintu lorong penuh penjaga. Tak mungkin kita keluar dari situ.”

“Kita terjang saja, membuka jalan darah!” kata Bu Sin gagah.

“Sia-sia, apalagi mungkin It-gan Kai-ong berada disana. Aku tahu jalan rahasia. Mari....!”

Gadis itu menyambar tangan kiri Bu Sin ditariknya pemuda itu berlari memasuki cabang lorong yang sempit lagi gelap.

Berdebar jantung Bu Sin ketika tangannya merasai telapak tangan yang berkulit halus dan lunak. Tak terasa lagi ia menggenggam tangan kecil itu erat-erat dan serasa ada getaran di antara jari-jari mereka. Kembali Liu Hwee berhenti tiba-tiba di bagian yang gelap, melepaskan tangannya dan berbisik.

“Sin-ko, kau pegang batu yang kiri, aku yang kanan. Setelah kutekan alat rahasianya yang menghilangkan ganjal di belakangnya, kita tarik batu ke kanan kiri. Itu, batu yang menonjol, kau raba karena agak gelap.”

“Ah, inikah? Sudah siap, Moi-moi.”

Liu Hwee memasukkan lengannya yang kecil ke sebuah lubang yang terdapat dalam celah antara dua batu, mengerahkan tenaganya dan begitu ia menekan, terdengar suara berkeretakan di sebelah sana di balik dinding batu,

“Nah mari mulai menarik. Geser batu itu ke kiri, Koko!”

Mereka menarik, seorang ke kiri, seorang lagi ke kanan. Setelah mengerahkan sin-kang, barulah kedua batu itu bergerak menggelinding perlahan, membuka sebuah pintu!

“Cukup, lekas masuk!” Liu Hwee berbisik sambil menarik tangan Bu Sin.

Pintu itu hanya dapat dimasuki Bu Sin dengan tubuh miring. Setelah mereka masuk, Liu Hwee mendorong alat rahasia dan kedua batu besar itu menggelinding secara otomatis menutup pintu rahasia. Kiranya mereka berada di terowongan lain yang tiga kali lebih lebar, juga tidak gelap seperti tadi karena ada cahaya masuk ke dalamnya.

“Selamat!” bisik Liu Hwee sambil tersenyum. “Kau pandai sekali mainkan sandiwara kita, Sin-koko.”

Muka Bu Sin menjadi merah.
“Ah, jangan mengejek, Moi-moi. Justeru aku tadi telah membuka rahasia kita karena lupa diri melihat kau terlempar dan menumbuk batu. Kukira kau betul-betul terluka hebat, maka aku menjadi lupa dan hendak menolongmu....”






Wajah gadis itu berseri-seri.
“Ah, begitukah? Kukira kau bersandiwara, karena sikapmu itu tepat sekali. Mungkin itu yang membuat mereka tadi percaya penuh bahwa kau betul-betul hendak.... berbuat kurang ajar kepadaku. Kiranya kau tadi tidak bersandiwara.... ah, kau baik sekali, Koko.”

“Sudahlah Moi-moi, pujian-pujianmu yang berlebihan bisa-bisa menerbangkan aku ke langit! Sekarang bagaimana kita dapat keluar?”

“Mari ikut aku. Pesanku, kalau kau melihat apa saja yang luar biasa, harap kau jangan mengeluarkan suara, biarkan aku yang bicara. Ini penting sekali, Koko, karena sekali kau salah bicara, nyawamu terancam maut dan aku sendiri tidak akan mampu berbuat apa-apa untuk menolongmu.”

Bu Sin kaget dan mengangguk-angguk. Sudah terlalu banyak ia mengalami hal-hal aneh mengerikan, dan tempat yang serem seperti ini tentu saja mempunyai rahasia-rahasia yang menyeramkan pula. Akan tetapi hatinya besar, apalagi setelah ia merasakan kembali kehangatan, kehalusan dan kelunakan telapak tangan Liu Hwee yang menggandengnya.

Lorong itu makin lama makin lebar, akan tetapi makin gelap dan akhirnya mereka tiba di bagian yang gelap sekali. Dari tekanan tangan Liu Hwee, Bu Sin dapat menduga bahwa mereka berada di tempat berbahaya.

Tiba-tiba tercium bau yang amat harum dan Liu Hwee menghentikan langkahnya, tangannya mencengkeram tangan Bu Sin erat-erat sehingga pemuda itu hampir saja berteriak kalau ia tidak segera ingat akan pesan gadis itu. Anehnya, Liu Hwee segera menariknya dan mengajaknya berlutut di atas tanah yang ternyata becek dan basah!

“Cici yang mulia, adikmu lancang mengganggu, mohon ampun!” kata Liu Hwee dengan Suara aneh.

Hening sejenak, bau harum makin keras dan terdengarlah suara dari sudut yang gelap.
“Siauw-moi, apa Ayahmu juga melarang kau main-main dengan pemuda tampan sehingga kau membawanya kesini?”

Bu Sin diam-diam bergidik. Bau harum ini mengingatkan ia akan Siang-mou Sin-ni, serupa benar. Dan suara itu! Halus lembut dan merdu, akan tetapi mengandung sesuatu yang mengerikan, apalagi kata-katanya begitu tak tahu malu!

“Tidak, Cici. Dia ini seorang tamu kita. Kami berdua ditawan It-gan Kai-ong di dalam terowongan sebelah. Untuk menyelamatkan diri, terpaksa aku mempergunakan pintu rahasia dan dengan lancang lewat disini.”

“Hemmm, kau tahu siapapun dia yang berani menggangguku disini harus mati. Untukmu, aku masih bisa mengampuni, tapi dia ini!”

“Ampunkan dia, Cici. Bukan kehendaknya lewat disini, melainkan aku yang mengajaknya karena dia telah menolongku dari tangan anak buah It-gan Kai-ong. Orang-orang seperti kita tidak bisa hidup senang sebelum membalas budi orang, bukan? Dia menolong nyawaku satu kali, aku pun harus menolongnya kembali dua kali. Kalau kau membunuhnya, lebih baik bunuh aku lebih dulu, Cici.”

Terdengat suara ketawa lembut, tapi yang membuat bulu tengkuk Bu Sin meremang. Hanya suaranya kalau berkata-kata yang berbeda, akan tetapi harumnya dan ketawanya serupa benar dengan Siang-mou Sin-ni!

“Aku tidak bisa melihatnya jelas, tapi dia terang tampan dan muda. Tak bisa aku mengambil keputusan sebelum memeriksa dia orang apa!”

Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan bau harum menyengat hidung. Bu Sin kaget setengah mati ketika merasa betapa pipi dan dagunya diraba tangan yang halus sekali, juga leher dan kedua pundaknya disentuh orang yang tidak tampak! Hatinya lega bukan main ketika tangan yang meraba-raba itu lenyap kembali dan terdengar suara yang tadi.

“Tampan dan muda, juga gagah. Tapi sayang, dia lemah. Tak patut menjadi mantu Beng-kauwcu!”

“Cici....!” Liu Hwee memprotes.

“Cerewet! Aku tidak buta, aku tahu kau mencinta pemuda ini, Siauw-moi! Tapi dia tidak patut menjadi mantu Beng-kauwcu, kecuali kalau dia ini anak kaisar atau anak ketua partai persilatan yang besar. Dia orang apa, Siauw-moi?”

Bukan main mendongkolnya hati Bu Sin. Ia merasa bahwa siapapun juga adanya wanita iblis itu, bicaranya keterlaluan dan amat menghina Liu Hwee. Sudah gatal-gatal mulut dan lidahnya untuk mendamprat, dan hal ini pasti telah ia lakukan kalau saja ia tidak merasa betapa jari-jari tangan Liu Hwee mencengkeram tangannya dengan erat.

“Dia orang biasa saja, Cici.”

“Hemmm, adikku mencinta laki-laki biasa? Cih, mana bisa?”

“Cici yang mulia, cinta tidak mengenal kedudukan, tidak mengenal derajat maupun tingkat, tidak mengenal kaya miskin, bahkan ada kalanya tidak mengenal usia. Cici sendiri sudah mengalaminya, mana ada aturan melarang orang lain?”

“Sudah, sudah....! Kau cerewet seperti Ibumu! Kau hendak menyerang dengan senjataku sendiri, ya? Cerewet! Pergi! Bawa kekasihmu ini pergi sebelum aku membikin bolong-bolong yang bagus di kepalanya!”

“Terima kasih, Cici, selamat tinggal,”

Kata Liu Hwee yang cepat bangkit, menarik tangan Bu Sin dan setengah menyeret pemuda itu pergi dari situ, melalui lorong gelap tanpa mengeluarkan suara.

Ada seperempat jam mereka lari dan akhirnya mereka muncul keluar dari sebuah gua yang tertutup rapat oleh alang-alang di sebuah hutan kecil! Setelah melompat keluar, barulah Liu Hwee melepaskan tangan Bu Sin dan.... ia menjatuhkan diri ke atas rumput sambil menangis, menutupi mukanya dengan kedua tangan, terisak-isak dan pundaknya bergoyang-goyang!

Kagetlah Bu Sin. Cepat ia berlutut di dekat Liu Hwee,
“Moi-moi, ada apakah? Mengapa kau menangis?”

Dengan megap-megap gadis itu berkata di antara sedu-sedan,
“Aku malu.... aku malu setengah mati....”

Perlahan Bu Sin bangkit berdiri.
“Memang kurang ajar dia! Menghinamu sesuka hatinya. Biar kuhajar dia, Moi-moi!” Cepat Bu Sin melompat memasuki gua itu.

“Sin-koko, jangan....!” Liu Hwee kaget, berteriak dan melompat bangun.

Akan tetapi ia terlambat mencegah. Tiba-tiba terdengar suara gaduh, tubuh Bu Sin melayang keluar dari dalam gua. Jatuh berdebuk di depan kaki Liu Hwee bersama pedang rampasannya yang kini sudah patah menjadi tiga potong!

“Hi-hi-hik, sedikitnya kekasihmu bernyali juga. Selamat, Siauw-moi!” suara ini halus sekali, sekejap tecium bau harum akan tetapi segera lenyap lagi.

“Sin-ko....”

Liu Hwee berlutut dan merangkul pundak Bu Sin yang merintih perlahan,
“Cici! Kalau kau bunuh dia, aku akan mengadu nyawa denganmu!” teriaknya nyaring, akan tetapi tidak ada jawaban kecuali rintihan Bu Sin.

Tak lama kemudian pemuda itu membuka mata dan Liu Hwee merasa lega ketika memeriksa ternyata pemuda itu tidak terluka berat, hanya pingsan karena terbanting keras. Bu Sin membuka mata, melihat betapa Liu Hwee merangkulnya, pipinya menjadi merah sekali dan cepat ia bangkit.

“Waaahhhhh.... bukan main.... aku menusuknya, pedangku malah patah-patah dan sekali ia mendorong aku terlempar melayang keluar gua dan tidak ingat apa-apa lagi. Sakti luar biasa dia. Siapakah dia itu Moi-moi? Kau menyebutnya Cici....” tiba-tiba Bu Sin berhenti bicara dan mukanya pucat. “Dia kau sebut Cici.... kalau begitu.... dia itu....”

Ia tidak melanjutkan kata-katanya, akan tetapi pandang matanya bicara banyak dan dapat dimengerti oleh Liu Hwee yang mengangguk-angguk.

“Betul. Sin-koko, dia adalah Enci Liu Sian ibu kakakmu Bu Song....”

“Dia Tok-siauw-kui (Setan Racun Cilik).... ibu tiriku....”

“Sssttttt, sudahlah. Aku pesan padamu, pertemuan ini tidak sekali-kali boleh kau ceritakan kepada siapapun juga. Ingat, sekali kau melanggar, nyawa kita berdua sukar diselamatkan lagi. Mari kita pergi ke kota raja. Entah apa yang terjadi di sana!”

**** 078 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar