Biarpun suara Gak Bun Beng masih gemetar dan lemah, membuat Syanti Dewi terharu dan khawatir, namun teringat akan nasehat sinshe tadi Syanti Dewi berkata dengan tertawa dan suaranya gembira,
“Hi-hik, paman . Apanya yang lucu? Memang kau masih muda, malah engkau masih.... perjaka lagi, hi-hik!”
Gak Bun Beng mencoba untuk tersenyum.
“Bagaimana kau tahu?”
Memang sesungguhnya, Gak Bun Beng yang sudah berusia empat puluh tahun itu masih perjaka, belum pernah dia mengadakan hubungan badani dengan wanita!
“Tentu saja tahu! Bukankah engkau tak pernah kawin? Itu berarti masih perjaka!”
Gak Bun Beng tidak menjawab. Dia terharu sekali karena dia tahu bahwa sebetulnya hati dara itu gelisah memikirkan bagaimana nanti kalau dia ditinggal di istana, memikirkan sakitnya. Akan tetapi gadis itu sengaja memaksa diri bergembira dan mengajak berkelakar agar dia lekas sembuh. Betapa luhur budi dara ini!
Dengan penuh ketekunan Syanti Dewi merawat Gak Bun Beng, memberinya minum obat dan bahkan menyuapi mulut Gak Bun Beng ketika makan bubur, tetap tak membolehkan pendekar itu bangkit dan makan sendiri. Akhirnya, dengan hati diliputi penuh keharuan, Gak Bun Beng tertidur nyenyak.
Sore harinya, melihat Gak Bun Beng masih tidur terus hati Syanti Dewi menjadi tidak enak. Bagaimana kalau terus tidur dan tidak akan bangun kembali? Membayangkan pendekar itu “mati” Syanti Dewi menjadi panik. Kacau hatinya, maka dia lalu bertanya kepada pelayan dan menuju ke rumah obat menemui sinshe tadi, memberitahukan bahwa obat telah diminumkan dan menanyakan mengapa setelah minum obat lalu tertidur terus sejak tadi sampai sekarang.
“Bagus, bagus....!” Sinshe itu mengangguk-angguk. “Jangan ganggu dia. Makin banyak tidur makin baik, dia gelisah dan berduka, tidur dan istirahat, bergembira adalah yang mujarab.”
Legalah hati Syanti Dewi dan dengan hati dan langkah ringan dia kembali ke rumah penginapan. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia melihat keributan terjadi di rumah penginapan itu. Dua orang kakek yang aneh sekali telah berada di ruangan depan penginapan dan berhadapan dengan lima orang pelayan.
Karena mereka itu ribut-ribut tepat di depan pintu kamar Gak Bun Beng, maka Syanti Dewi terhalang tak dapat masuk dan dia menjadi khawatir sekali. Sejenak dia memandang dengan penuh keheranan dan kengerian.
Kedua orang kakek itu memang luar biasa sekali. Wajah keduanya persis sehingga mudah diduga tentu mereka adalah orang-orang kembar. Akan tetapi pakaian mereka berbeda jauh, seperti bumi dengan langit.
Yang seorang bermuka merah, tubuhnya hanya tertutup oleh sebuah celana pendek sehingga dari pinggang ke atas dan dari paha ke bawah sama sekali telanjang, memakai sepatupun tidak! Adapun kakek yang kedua, mukanya putih, pakaiannya lengkap, terlalu lengkap malah, karena diluar pakaiannya dia memakai mantel bulu tebal, seolah-olah dia selalu merasa dingin sedangkan yang seorang seolah-olah kegerahan terus! Dua kakek ini marah-marah.
“Kami juga mampu bayar, kenapa tidak boleh memakai kamar ini?” bentak yang bermantel bulu.
“Maaf, loya. Kamar ini sudah ada tamunya, bahkan sedang sakit. Harap ji-wi suka memakai kamar yang berada didalam atau dibelakang.”
“Tidak! Kami memerlukan kamar paling depan! Hayo suruh si sakit itu keluar dan pindah kebelakang. Kami berani bayar tiga kali lipat!”
“Tapi, loya....”
“Heh-heh, kamu minta mampus?”
Tiba-tiba yang setengah telanjang itu membentak sambil terkekeh, tangannya menepuk meja di sebelahnya dan.... permukaan meja itu menjadi hangus seperti dibakar!
Para pelayan terkejut sekali dan tidak berani bicara lagi, sedangkan Syanti Dewi yang menyaksikan demontrasi tadi juga terkejut. Mengertilah dia bahwa kakek setengah telanjang itu memiliki sin-kang yang amat hebat sehingga mampu membakar meja! Dia lalu menyelinap dari samping, mendorong daun jendela kamar Gak Bun Beng.
Akan tetapi dia melihat pendekar itu sudah bangkit dan duduk, dan ketika melihat Syanti Dewi, dia berkata,
“Biarlah kubereskan urusan diluar.”
“Jangan, paman.... mereka.... mereka lihai sekali....”
Tentu saja kata-kata ini hanya disambut dengan senyum saja oleh Gak Bun Beng dan dia lalu turun dari pembaringan, terhuyung dan membuka pintu kamarnya. Melihat dua orang kakek itu menghadapi lima orang pelayan yang ketakutan, Gak Bun Beng mengerutkan alisnya dan berkata,
“Andaikata ji-wi sedang sakit dan aku yang sehat, tentu dengan senang hati aku mengalah dan memberikan kamar ini untuk ji-wi. Akan tetapi karena keadaan kita sebaliknya, sungguh tidak patut kalau ji-wi hendak memaksa para pelayan. Harap saja ji-wi suka memandang aku yang sedang sakit untuk mengambil kamar didalam saja.”
“Heh-heh-heh-heh, apa kau juga ingin mampus?”
Kembali kakek setengah telanjang berkata dan dia menggunakan telapak tangannya mendorong meja tadi dan.... seketika keempat kaki meja itu amblas ke dalam lantai yang keras, seolah-olah lantai itu terbuat dari agar-agar saja!
Melihat ini Gak Bun Beng mengerutkan alisnya.
“Hemm, kau memang hebat, akan tetapi berwatak buruk sekali!”
Gak Bun Beng melangkah maju dan sekali kakinya dihempaskan ke lantai, meja yang kakinya amblas tadi mencelat ke atas sampai ada setengah meter dari lantai!
“Hi-hik, paman . Apanya yang lucu? Memang kau masih muda, malah engkau masih.... perjaka lagi, hi-hik!”
Gak Bun Beng mencoba untuk tersenyum.
“Bagaimana kau tahu?”
Memang sesungguhnya, Gak Bun Beng yang sudah berusia empat puluh tahun itu masih perjaka, belum pernah dia mengadakan hubungan badani dengan wanita!
“Tentu saja tahu! Bukankah engkau tak pernah kawin? Itu berarti masih perjaka!”
Gak Bun Beng tidak menjawab. Dia terharu sekali karena dia tahu bahwa sebetulnya hati dara itu gelisah memikirkan bagaimana nanti kalau dia ditinggal di istana, memikirkan sakitnya. Akan tetapi gadis itu sengaja memaksa diri bergembira dan mengajak berkelakar agar dia lekas sembuh. Betapa luhur budi dara ini!
Dengan penuh ketekunan Syanti Dewi merawat Gak Bun Beng, memberinya minum obat dan bahkan menyuapi mulut Gak Bun Beng ketika makan bubur, tetap tak membolehkan pendekar itu bangkit dan makan sendiri. Akhirnya, dengan hati diliputi penuh keharuan, Gak Bun Beng tertidur nyenyak.
Sore harinya, melihat Gak Bun Beng masih tidur terus hati Syanti Dewi menjadi tidak enak. Bagaimana kalau terus tidur dan tidak akan bangun kembali? Membayangkan pendekar itu “mati” Syanti Dewi menjadi panik. Kacau hatinya, maka dia lalu bertanya kepada pelayan dan menuju ke rumah obat menemui sinshe tadi, memberitahukan bahwa obat telah diminumkan dan menanyakan mengapa setelah minum obat lalu tertidur terus sejak tadi sampai sekarang.
“Bagus, bagus....!” Sinshe itu mengangguk-angguk. “Jangan ganggu dia. Makin banyak tidur makin baik, dia gelisah dan berduka, tidur dan istirahat, bergembira adalah yang mujarab.”
Legalah hati Syanti Dewi dan dengan hati dan langkah ringan dia kembali ke rumah penginapan. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia melihat keributan terjadi di rumah penginapan itu. Dua orang kakek yang aneh sekali telah berada di ruangan depan penginapan dan berhadapan dengan lima orang pelayan.
Karena mereka itu ribut-ribut tepat di depan pintu kamar Gak Bun Beng, maka Syanti Dewi terhalang tak dapat masuk dan dia menjadi khawatir sekali. Sejenak dia memandang dengan penuh keheranan dan kengerian.
Kedua orang kakek itu memang luar biasa sekali. Wajah keduanya persis sehingga mudah diduga tentu mereka adalah orang-orang kembar. Akan tetapi pakaian mereka berbeda jauh, seperti bumi dengan langit.
Yang seorang bermuka merah, tubuhnya hanya tertutup oleh sebuah celana pendek sehingga dari pinggang ke atas dan dari paha ke bawah sama sekali telanjang, memakai sepatupun tidak! Adapun kakek yang kedua, mukanya putih, pakaiannya lengkap, terlalu lengkap malah, karena diluar pakaiannya dia memakai mantel bulu tebal, seolah-olah dia selalu merasa dingin sedangkan yang seorang seolah-olah kegerahan terus! Dua kakek ini marah-marah.
“Kami juga mampu bayar, kenapa tidak boleh memakai kamar ini?” bentak yang bermantel bulu.
“Maaf, loya. Kamar ini sudah ada tamunya, bahkan sedang sakit. Harap ji-wi suka memakai kamar yang berada didalam atau dibelakang.”
“Tidak! Kami memerlukan kamar paling depan! Hayo suruh si sakit itu keluar dan pindah kebelakang. Kami berani bayar tiga kali lipat!”
“Tapi, loya....”
“Heh-heh, kamu minta mampus?”
Tiba-tiba yang setengah telanjang itu membentak sambil terkekeh, tangannya menepuk meja di sebelahnya dan.... permukaan meja itu menjadi hangus seperti dibakar!
Para pelayan terkejut sekali dan tidak berani bicara lagi, sedangkan Syanti Dewi yang menyaksikan demontrasi tadi juga terkejut. Mengertilah dia bahwa kakek setengah telanjang itu memiliki sin-kang yang amat hebat sehingga mampu membakar meja! Dia lalu menyelinap dari samping, mendorong daun jendela kamar Gak Bun Beng.
Akan tetapi dia melihat pendekar itu sudah bangkit dan duduk, dan ketika melihat Syanti Dewi, dia berkata,
“Biarlah kubereskan urusan diluar.”
“Jangan, paman.... mereka.... mereka lihai sekali....”
Tentu saja kata-kata ini hanya disambut dengan senyum saja oleh Gak Bun Beng dan dia lalu turun dari pembaringan, terhuyung dan membuka pintu kamarnya. Melihat dua orang kakek itu menghadapi lima orang pelayan yang ketakutan, Gak Bun Beng mengerutkan alisnya dan berkata,
“Andaikata ji-wi sedang sakit dan aku yang sehat, tentu dengan senang hati aku mengalah dan memberikan kamar ini untuk ji-wi. Akan tetapi karena keadaan kita sebaliknya, sungguh tidak patut kalau ji-wi hendak memaksa para pelayan. Harap saja ji-wi suka memandang aku yang sedang sakit untuk mengambil kamar didalam saja.”
“Heh-heh-heh-heh, apa kau juga ingin mampus?”
Kembali kakek setengah telanjang berkata dan dia menggunakan telapak tangannya mendorong meja tadi dan.... seketika keempat kaki meja itu amblas ke dalam lantai yang keras, seolah-olah lantai itu terbuat dari agar-agar saja!
Melihat ini Gak Bun Beng mengerutkan alisnya.
“Hemm, kau memang hebat, akan tetapi berwatak buruk sekali!”
Gak Bun Beng melangkah maju dan sekali kakinya dihempaskan ke lantai, meja yang kakinya amblas tadi mencelat ke atas sampai ada setengah meter dari lantai!
Dua orang kakek itu terkejut sekali, saling pandang, kemudian menghadapi Gak Bun Beng.
“Bagus, engkau merupakan lawan yang boleh juga! Kau menantang kami, ya?”
Serta merta kakek bermantel tebal itu menghantam ke depan dengan telapak tangan kanan. Mendengar sambaran angin ini dan merasakan betapa ada hawa yang amat dingin datang menyambarnya, Gak Bun Beng terkejut dan maklumlah dia bahwa kakek ini adalah seorang ahli Im-kang, maka diapun cepat menyambut dengan telapak tangan kiri.
“Plakkk!”
Pada saat itu, kakek setengah telanjang juga sudah menghantam dengan telapak tangan terbuka pula, dan Gak Bun Beng merasa betapa hawa yang menyambarnya amatlah panasnya. Maka diapun menyambut dengan tangan kanannya.
“Plakk!”
Dua orang kakek ini terkejut, berseru
“Aughh....!” dan muka mereka menjadi pucat.
Tentu saja kedua orang kakek itu tidak mengenal siapa yang mereka serang. Kakek kembar ini pernah kita jumpai, yaitu ketika mereka bersama kawan-kawannya yang semua berjumlah dua puluh orang menyerbu ke Pulau Es dan dapat dihalau pergi oleh Pendekar Super Sakti, dua orang isteri dan dua orang puteranya.
Si muka putih yang selalu bermantel itu adalah Pak-thian Lo-mo sedangkan si muka merah yang setengah telanjang itu adalah Lam-thian Lo-mo. Kedua kakek kembar ini memang memiliki keistimewaan masing-masing, kalau si baju tebal itu seorang ahli tenaga sakti Im-kang yang selalu kedinginan adalah si setengah telanjang itu seorang ahli Yang-kang yang selalu kepanasan.
Akan tetapi, sekali ini mereka bertemu dengan Gak Bun Beng, seorang ahli dalam tenaga sin-kang Inti Salju dan Inti Api, maka dengan sendirinya dia berani menghadapi pukulan panas dengan hawa yang lebih panas sedangkan pukulan dingin dia hadapi dengan hawa yang lebih dingin lagi!
“Ouhhhh....!”
Kedua orang kakek itu mengerahkan tenaganya karena Pak-thian Lo-mo si ahli Im-kang mulai menggigil kedinginan sedangkan Lam-thian Lomo si ahli Yang-kang mulai berpeluh kepanasan. Untung bagi mereka bahwa Gak Bun Beng tidak berniat membunuh orang, dan lebih untung lagi bahwa pendekar sakti itu sedang sakit, maka pengerahan tenaga ini membuat Gak Bun Beng terbatuk-batuk dan muntah darah!
Kesempatan ini dipergunakan oleh kakek kembar itu untuk menarik tangan masing-masing, kemudian melihat lawannya muntah darah, mereka berdua menyerang lagi dengan hebatnya!
Gak Bun Beng menggerakkan kedua tangannya dan biarpun dia menggoyang-goyangkan kepala untuk mengusir kepeningan kepalanya dan mengusir kunang-kunang yang tampak ribuan didepan matanya, dia masih bisa menangkis setiap pukulan yang datang dengan cepatnya sehingga kedua kakek itu merasa amat terheran-heran dan terkejut bukan main!
Belum pernah mereka menghadapi lawan yang sehebat dan setangguh ini setelah Pendekar Super Sakti! Tentu saja mereka menjadi penasaran dan kini mereka mengeluarkan senjata mereka, yaitu sabuk baja yang berupa pecut. Terdengarlah bunyi meledak-ledak ketika kedua kakek itu menggerakkan senjata mereka menyerang Gak Bun Beng.
Pendekar ini berusaha mengelak dan bahkan menangkis dengan lengannya yang penuh dengan hawa sin-kang, namun karena pandang matanya berkunang dan dia terhuyung-huyung, ada beberapa pukulan yang mengenai tubuhnya sehingga dia terluka cukup berat.
Pada saat itu, Syanti Dewi sudah meloncat masuk kedalam kamar, menyambar buntalan dari meja dan melihat betapa Gak Bun Beng dikeroyok dan terhuyung-huyung, dia menjerit.
Pada saat itu, terdengarlah derap banyak kaki kuda dan sesosok bayangan menyambar masuk disertai bentakan nyaring seorang wanita.
“Sepasang iblis laknat, kalian berani mengacau kota raja?”
“Sing-sing....!” Dua sinar terang menyambar ke arah dua orang kakek itu.
“Trang-trang....!”
Dua batang pisau terbang itu dapat disampok pecut baja, namun kedua kakek itu terkejut ketika tangan mereka terasa tergetar, tanda bahwa dua batang pisau terbang itu diluncurkan oleh orang yang memiliki tenaga hebat.
Wanita yang bukan lain adalah Puteri Milana ini sudah membentak lagi dan sinar-sinar halus menyambar, kini serangan jarum-jarum halus menyambar ke arah jalan-jalan darah di tubuh bagian depan dari kedua orang kakek kembar.
“Hayaaaa....!”
Dua orang kakek itu berteriak dan dengan cepat mereka memutar pecut untuk melindungi tubuh sambil meloncat keluar dari rumah penginapan dimana mereka disambut oleh sepasukan pengawal yang cukup lihai.
Sementara itu, ketika Milana melihat orang yang tadi dikeroyok oleh sepasang kakek kembar itu terhuyung dan dipapah oleh seorang gadis cantik, dia cepat membalikkan tubuhnya mengejar dua orang kakek kembar yang sudah merobohkan dua orang pengawal.
Dengan pedangnya yang berkilauan Milana menerjang dan kedua orang kakek itu terpaksa harus mengerahkan kepandaian mereka karena wanita ini benar-benar amat lihai, apalagi dibantu oleh banyak sekali pengawal yang mengurung mereka.
“Paman, kau.... terluka....” Syanti Dewi memeluk tubuh yang terhuyung itu.
“Dewi.... cepat.... bawa aku pergi.... jangan sampai dia melihatku....!”
Syanti Dewi tadi sudah melihat kedatangan Milana dan dia kagum meyaksikan kehebatan puteri itu. Setelah dekat dan melihat wajah Milana terkena sinar penerangan, barulah dia melihat betapa cantiknya puteri itu, sungguhpun wajah itu begitu pucat, begitu dingin dan muram seperti kehilangan cahayanya. Kini mendengar ucapan Gak Bun Beng, dia menjadi bingung. Mengapa penolongnya ini selalu hendak menghindarkan diri dari kekasihnya?
“Dewi, cepat.... aku tak tahan lagi....” Bun Beng berbisik. “Kesana.... melalui jendela....”
Syanti Dewi tidak berani membantah dan memapah penolongnya itu memasuki kamar dan membantunya keluar melalui jendela. Ketika mereka lewat di samping rumah mereka melihat betapa pertempuran masih berlangsung dengan hebat sungguhpun kedua orang kakek itu terkepung dan terdesak oleh pedang Milana. Akan tetapi pada saat itu Milana kebetulan melirik ke arah Gak Bun Beng yang juga sedang memandang ke arah pertempuran.
“Gak-twako....!”
Seruan lirih ini terdengar diantara suara beradunya senjata dan teriakan orang-orang, akan tetapi Gak Bun Beng mengenal suara Milana, maka cepat dia memondong tubuh Syanti Dewi dan melesat pergi dengan kecepatan kilat, tidak memperdulikan bahwa tenaganya sudah hampir habis. Dia berlari terus, meloncati tembok pintu gerbang, akan tetapi ketika dia sudah meloncat turun ke tempat gelap, dia terguling dan roboh pingsan di tempat gelap itu!
“Paman....! Paman....!” Syanti Dewi berbisik-bisik dekat telinga pendekar itu, akan tetapi Gak Bun Beng tidak bergerak.
Sementara itu, Milana yang terkejut bukan main melihat orang yang tadi dikeroyok dua orang kakek dan agaknya terluka itu lewat di samping rumah bersama seorang gadis cantik, karena dia mengenal wajah Gak Bun Beng! Agaknya tidak mungkin salah lagi. Diantara selaksa wajah orang laki-laki, dia akan mengenal wajah Gak Bun Beng, pria yang pernah dicintanya dan masih dicintanya itu. Biarpun laki-laki setengah tua itu berkumis dan berjenggot, akan tetapi dia tidak pangling melihat mulutnya, hidungnya, terutama mata dan pandang matanya.
Karena perhatiannya tertarik, apalagi karena meninggalkan gelanggang pertempuran untuk berusaha mengejar Gak Bun Beng, kedua orang kakek kembar itu tidak terdesak lagi dan sambil berseru keras mereka lalu meloncat dan melarikan diri pula.
“Mereka lari!”
“Kejar....!”
Barulah Milana sadar ketika mendengar teriakan-teriakan ini. Cepat dia memerintahkan para pengawal untuk mengejar kedua orang kakek itu, juga dia memerintahkan sebagian pasukan lagi untuk mencari orang yang bersama dengan gadis cantik yang tadi dikeroyok oleh dua orang kakek. Dari keterangan pelayan dia mendengar betapa laki-laki itu datang ke losmen dalam keadaan sakit dan dirawat oleh gadis yang agaknya adalah keponakan laki-laki itu.
Milana termenung mendengar keterangan ini. Melihat wajahnya, apalagi melihat kenyataannya bahwa dalam keadaan sakit masih mampu menahan pengeroyokan dua orang kakek lihai, jelas bahwa orang tadi tentulah Gak Bun Beng. Akan tetapi kalau benar dia, mengapa lari darinya? Mengapa tidak menemuinya? Dan sakit apakah? Kemana perginya? Bimbanglah hati Milana dan dia sendiri membantu pencarian itu. Bukan mencari sepasang kakek kembar, melainkan mencari Gak Bun Beng. Baginya kakek kembar itu tidak penting, hanya merupakan orang-orang dari golongan sesat yang mencurigakan saja.
Semalam suntuk dia dan pasukannya mencari dan akhirnya, menjelang pagi keesokan harinya, terpaksa dia pulang dengan hati parah, penuh kebimbangan dan penyesalan. Dia telah melihat kekasihnya, akan tetapi belum ada ketentuan juga.
Bagaimana dengan keadaan Syanti Dewi dan Gak Bun Beng yang karena terlampau banyak mempergunakan tenaga, apalagi karena sudah terluka dalam pertempuran melawan Siang Lo-mo, yaitu kakek kembar itu? Dapat dibayangkan betapa bingungnya rasa hati Syanti Dewi. Dia mengerahkan tenaganya, memondong tubuh Gak Bun Beng untuk dibawa pergi dari pintu gerbang utara itu.
Akan tetapi sebelum dia melangkah jauh, dia mendengar suara hiruk-pikuk dan melihat serombongan pasukan berlari-lari mendatangi. Tentu saja dia terkejut melihat obor-obor di tangan para perajurit itu.
Dilihatnya bahwa di bawah pintu gerbang itu terdapat sebuah sungai dengan jembatannya, maka cepat dia membawa tubuh Gak Bun Beng turun ke bawah jembatan. Karena jalannya menurun dan agak sukar, dia takut kalau memondong tubuh penolongnya bisa tergelincir, maka terpaksa dia bersusah payah menarik atau menyeret tubuh Gak Bun Beng turun ke bawah jembatan dimana dia bersembunyi sambil memeluk pundak dan kepala Gak Bun Beng dengan hati berdebar penuh rasa khawatir dan ketegangan.
Sambil memangku kepala penolongnya, dia membasahi saputangannya dengan air sungai dan membasuh muka dan kepala pendekar itu, berbisik-bisik memanggil-manggil namanya. Ketika Gak Bun Beng tetap tidak menjawab, Syanti Dewi terisak dan mendekap kepala itu, menempelkan pipinya pada muka pendekar itu dan berbisik dekat telinganya.
“Paman Gak.... jangan kau mati.... jangan tinggalkan aku sendiri, paman....!”
Akan tetapi karena takut, dia menahan isaknya sehingga hanya air matanya saja yang bercucuran, dia menangis tanpa suara.
Setelah keadaan sunyi kembali dan pasukan itu dengan suara hiruk-pikuk telah kembali memasuki pintu gerbang, barulah Syanti Dewi berani bergerak. Dengan susah payah dia berhasil juga menyeret tubuh Gak Bun Beng keluar dari bawah jembatan, kemudian memondong tubuh pendekar itu dan secepat mungkin dia membawa Gak Bun Beng pergi jauh dari tempat itu.
Sampai dua hari dua malam Bun Beng pingsan tak sadarkan diri sama sekali, ditangisi oleh Syanti Dewi didalam sebuah hutan yang besar dan liar. Berkali-kali Puteri Bhutan ini memanggil-manggil, mengguncang-guncang tubuh pendekar itu, kemudian diseling tangisnya terisak-isak sambil menyatakan penyesalan hatinya kepada Puteri Milana yang dianggapnya kejam!
Pada hari ketiga, saking lelahnya, Syanti Dewi yang duduk bersandar batang pohon tertidur atau setengah pingsan. Dia lelah bukan main, lelah, lemas karena lapar dan haus yang sama sekali tak dihiraukannya, dan mengantuk karena semenjak melarikan diri bersama Bun Beng dia sama sekali belum tidur.
Pagi-pagi tadi, lewat tengah malam, dia menangis dengan putus harapan dan didekapnya kepala Bun Beng yang dipangkunya, karena dia menganggap bahwa pendekar itu tentu tidak dapat sadar kembali. Akhirnya dia tertidur atau setengah pingsan, bersandar pada batang pohon sambil tetap memangku kepala Gak Bun Beng yang masih belum sadar.
Ketika Bun Beng siuman dan membuka matanya, pertama-tama yang diingatnya adalah Milana, maka dia terbelalak melirik kekanan kiri, takut kalau-kalau Milana berada disitu. Tiba-tiba dia duduk dan membalik, memandang kepada Syanti Dewi yang masih pula bersandar pohon, dengan muka pucat dan masih ada bekas air mata.
Bun Beng mengeluh lirih. Dia telah tidur atau pulas dengan kepala di atas pangkuan gadis itu! Dan mereka telah berada di dalam hutan besar! Padahal, seingatnya, dia memondong gadis ini berlari secepatnya dari kota raja, melompati benteng pagar tembok kota raja lalu dia terguling dan tidak ingat apa-apa lagi.
“Dewi....!”
Bun Beng berkata lirih, setengah menduga bahwa tentu Syanti Dewi yang menyelamatkannya, membawanya sampai ke dalam hutan lebat itu.
Biarpun hanya lirih saja panggilan ini, Syanti Dewi membuka kedua matanya. Ketika dia melihat Bun Beng sudah duduk di depannya, memandangnya dengan sepasang mata yang penuh perasaan haru, dia menggosok-gosok kedua matanya, takut kalau-kalau dia hanya bermimpi, kemudian, ketika melihat bahwa Bun Beng tetap masih duduk di depannya, tidak pingsan lagi, bukan main girangnya rasa hati dara ini.
“Paman ! Aihh, paman.... syukurlah bahwa paman telah sadar! Ahh, betapa sengsara dan takut hatiku selama dua hari dua malam ini, melihat paman diam tak pernah bergerak....”
Bun Beng memegang kedua tangan dara itu dan memandang tajam.
“Apa katamu? Selama dua hari dua malam aku.... aku tak sadarkan diri?”
Syanti Dewi hanya mengangguk dan baru sekarang terasa oleh dara itu betapa lapar perutnya, betapa lelah tubuhnya.
“Dan selama ini engkau.... engkau memaksa diri melarikan aku kesini.... dan.... dan merawatku....?” Bun Beng menelan ludahnya menahan keharuan hatinya.
Kembali Syanti Dewi mengangguk. Kemudian berkata lirih,
“Aih, paman Gak. Bagaimana aku dapat merawatmu? Aku sudah bingung sekali, hampir putus harapan pagi tadi melihat engkau seperti.... seperti mati. Aku takut sekali....”
Bun Beng menggenggam kedua tangan yang kecil itu, suaranya gemetar ketika dia berkata,
“Dewi.... kau.... kau seorang.... anak yang baik sekali.”
Hati dara itu girang bukan main. Setelah Bun Beng siuman, dia tidak mengkhawatirkan apa-apa lagi, tidak takut apa-apa lagi.
“Paman, kau tentu lapar sekali, dua hari dua malam tidak makan apa-apa, tidak minum apa-apa. Aku akan mencari buah-buahan untukmu.”
Tapi Gak Bun Beng tidak melepaskan tangan dara itu.
“Dewi, katakanlah, apakah selama ini engkau juga pernah makan?”
Syanti Dewi menunduk dan menggeleng kepala.
“Dan pernah minum?”
Kembali Syanti Dewi menggeleng kepala.
Bun Beng menghela napas.
“Luar biasa sekali! Engkau seorang gadis yang luar biasa sekali. Seorang yang berhati mulia, engkau seorang puteri budiman. Cara bagaimanakah engkau dapat melarikan aku ke tempat ini, Dewi?”
Wajah yang agak pucat itu kini menjadi merah dan Syanti Dewi lalu menceritakan betapa hampir saja mereka tertangkap oleh sepasukan tentara kalau saja dia tidak cepat menyeret Bun Beng ke kolong jembatan. Kemudian dia menceritakan betapa dia membawa lari Bun Beng tanpa tujuan tertentu, pokoknya asal dapat menjauh dari kota raja, sejauh mungkin.
“Aku hanya tahu bahwa paman tidak ingin dilihat.... orang, maka aku membawa paman menjauh dari kota raja sedapat mungkin. Akan tetapi aku merasa heran sekali mengapa paman melarikan diri begitu paman melihat Puteri Milana? Mengapa paman tidak ingin dia melihat paman? Bahkan aku mendengar dia mengenal dan memanggil paman malam itu. Mengapa, paman?”
Gak Bun Beng menunduk, menghela napas panjang, lalu menggeleng-geleng kepalanya.
“Aku.... aku tidak kuat menghadapinya.... aku.... aku.... ah, aku hanya seorang laki-laki yang bodoh.”
Hening sampai lama. Bun Beng tetap menunduk dan Syanti Dewi mencoba untuk menyelami perasaan pendekar itu dengan menatap tajam wajah yang muram itu. Kemudian terdengar Syanti Dewi bertanya, suaranya lirih.
“Paman Gak, demikian besarkah cintamu terhadap Puteri Milana?”
Bun Beng tidak menjawab, hanya menarik napas panjang, lalu untuk membelokkan bahan pembicaraannya, dia berkata,
“Dewi, kita harus kembali ke kota raja. Aku akan mengantarkan sampai keluar pintu gerbang, dan kau masuk sendiri serta langsung menghadap Puteri Milana. Ceritakan riwayatmu tanpa menyebut-nyebut namaku, dan aku yakin dia akan suka menolongmu.”
“Aku hanya mau menghadap dia kalau bersamamu, paman.”
“Ah, engkau tahu bahwa aku tidak mungkin dapat menemuinya.”
“Kalau begitu akupun tidak sudi menghadapnya!”
Jawaban Syanti Dewi ini agak keras, sungguh jauh bedanya dengan sikapnya seperti biasa yang penuh kehalusan, seolah-olah baru satu kali ini dia marah-marah.
Bun Beng mengangkat muka memandang.
“Mengapa, Dewi? Bukankah engkau jauh-jauh dari Bhutan dikirim ke kota raja oleh ayahmu untuk menjadi mantu kaisar?”
“Tidak, tidak! Paman sudah tahu sendiri akan semua akal busuk yang bersembunyi di balik kepura-puraan perjodohan itu! Aku tidak sudi! Pula, dahulu aku hanya mau karena ada adik Ceng di sampingku. Sekarang adik Ceng hilang, mungkin tewas, dan sebagai gantinya adalah paman. Karena itu, tanpa paman, aku tidak sudi harus pergi sendiri ke istana. Leblh baik aku.... mati disini....”
Bun Beng memegang tangan dara itu.
“Tenanglah, tidak ada yang memaksamu, Dewi. Kalau begitu, kita harus melanjutkan perjalanan ke utara. Aku mau menemui Jenderal Kao Liang. Di kota raja sedang terjadi pergolakan dan agaknya dia yang menguasai banyak pasukan saja yang akan dapat menyelamatkan kota raja dan sekaligus mewakili aku mengurus urusanmu dengan kaisar. Percayalah, tidak akan ada yang memaksamu, Dewi. Aku akan mempertaruhkan nyawaku untuk mencegah siapapun yang memaksamu.”
Wajah yang jelita itu berseri.
“Baik, paman. Kemanapun paman membawaku pergi, aku akan suka ikut, asal jangan menyuruh aku pergi seorang diri. Wah, perutku lapar sekali, tentu paman juga. Biar aku mencari buah-buah....”
Bun Beng sudah menyambitkan batu kecil yang digenggamnya dan kelinci gemuk yang menyusup diantara semak-semak itu mati seketika.
“Nah, itu ada kelinci gemuk yang menyerahkan dagingnya, Dewi. Ambillah.”
Tadi Syanti Dewi terkejut menyaksikan gerakan pendekar itu, akan tetapi mendengar ucapannya, dia tertawa lalu berlari-lari dan membuka-buka semak-semak itu. Benar saja, disitu terdapat seekor kelinci gemuk yang telah mati dengan kepala pecah disambar batu, masih hangat tubuhnya.
Sambil tertawa gembira Syanti Dewi lalu menguliti dan memanggang daging kelinci. Setelah Bun Beng siuman kembali, terusirlah semua kekhawatiran dan kedukaan dari hati dara ini yang sebaliknya menjadi riang gembira kembali, sungguhpun tubuhnya masih terasa amat lelah.
Akan tetapi ternyata pukulan batin yang diderita oleh Gak Bun Beng dalam pertemuannya dengan Milana ditambah dengan luka dalam yang dideritanya ketika dalam keadaan tidak sehat dia bertanding melawan Siang Lo-mo, dua orang kakek kembar di kota raja itu, membuat pendekar ini lemah dan sakit.
Ditambah lagi kenyataan yang menusuk hatinya, yang mendatangkan rasa khawatir dan bingung, kenyataan yang dirahasiakan yaitu sikap Syanti Dewi kepadanya, sikap yang amat baik, mengandung kasih sayang, sikap yang hanya dapat diperlihatkan seorang wanita yang jatuh cinta, membuat dia makin menderita batinnya.
Dia memandang gejala ini sebagai datangnya suatu bahaya yang amat besar, yang amat mengkhawatirkan bagi kehidupan Syanti Dewi. Biarpun dara ini tak pernah menyatakan dengan mulut, biarpun mungkin dara itu sendiri masih belum sadar akan perasaan hatinya sendiri, namun Bun Beng sudah dapat menduganya, melihat dari pandang matanya, gerak-geriknya, suaranya. Hal ini menimbulkan rasa nyeri di hatinya. Tidak, betapapun juga, dia tidak akan menyeret dara yang amat berbudi ini kedalam hidupnya yang serba canggung dan sengsara. Dia tidak akan mengulangi riwayat penuh duka seperti yang dialaminya dengan Milana.
Memang betapa akan amat mudahnya untuk jatuh cinta kepada seorang dara seperti Syanti Dewi, seorang dara yang berbudi mulia, halus dan penuh perasaan. Akan tetapi tidak! Dia bukanlah seorang yang hanya mementingkan kesenangan dirinya sendiri saja.
Perang yang terjadi dalam batin Bun Beng menambah luka dalam yang dideritanya dalam pertandingan berat sebelah ketika melawan kakek kembar dalam keadaan sakit itu. Karena itu, perjalanan ke utara bersama Syanti Dewi itu dilakukan dengan susah payah dan lambat, bahkan akhirnya Bun Beng jatuh sakit lagi!
Di dalam perjalanan ini, di waktu dia terserang sakit, lebih jelas kenyataannya bahwa yang diduga dan ditakuti Bun Beng adalah benar. Perawatan yang dilakukan Syanti Dewi terhadap dirinya amat luar biasa, penuh ketelitian, penuh pengorbanan dan ketekunan.
Diam-diam Bun Beng yang menderita sakit itu mengambil keputusan bahwa kalau dia sudah dapat bertemu dengan Jenderal Kao Liang, dia akan menyerahkan Syanti Dewi dalam perlindungan jenderal yang dipercayanya itu, kemudian dia akan pergi untuk selamanya, tidak akan mencampuri dunia ramai lagi, seperti dahulu sebelum bertemu dengan Syanti Dewi dan terpaksa mengantarkan dara itu ke kota raja.
“Bagus, engkau merupakan lawan yang boleh juga! Kau menantang kami, ya?”
Serta merta kakek bermantel tebal itu menghantam ke depan dengan telapak tangan kanan. Mendengar sambaran angin ini dan merasakan betapa ada hawa yang amat dingin datang menyambarnya, Gak Bun Beng terkejut dan maklumlah dia bahwa kakek ini adalah seorang ahli Im-kang, maka diapun cepat menyambut dengan telapak tangan kiri.
“Plakkk!”
Pada saat itu, kakek setengah telanjang juga sudah menghantam dengan telapak tangan terbuka pula, dan Gak Bun Beng merasa betapa hawa yang menyambarnya amatlah panasnya. Maka diapun menyambut dengan tangan kanannya.
“Plakk!”
Dua orang kakek ini terkejut, berseru
“Aughh....!” dan muka mereka menjadi pucat.
Tentu saja kedua orang kakek itu tidak mengenal siapa yang mereka serang. Kakek kembar ini pernah kita jumpai, yaitu ketika mereka bersama kawan-kawannya yang semua berjumlah dua puluh orang menyerbu ke Pulau Es dan dapat dihalau pergi oleh Pendekar Super Sakti, dua orang isteri dan dua orang puteranya.
Si muka putih yang selalu bermantel itu adalah Pak-thian Lo-mo sedangkan si muka merah yang setengah telanjang itu adalah Lam-thian Lo-mo. Kedua kakek kembar ini memang memiliki keistimewaan masing-masing, kalau si baju tebal itu seorang ahli tenaga sakti Im-kang yang selalu kedinginan adalah si setengah telanjang itu seorang ahli Yang-kang yang selalu kepanasan.
Akan tetapi, sekali ini mereka bertemu dengan Gak Bun Beng, seorang ahli dalam tenaga sin-kang Inti Salju dan Inti Api, maka dengan sendirinya dia berani menghadapi pukulan panas dengan hawa yang lebih panas sedangkan pukulan dingin dia hadapi dengan hawa yang lebih dingin lagi!
“Ouhhhh....!”
Kedua orang kakek itu mengerahkan tenaganya karena Pak-thian Lo-mo si ahli Im-kang mulai menggigil kedinginan sedangkan Lam-thian Lomo si ahli Yang-kang mulai berpeluh kepanasan. Untung bagi mereka bahwa Gak Bun Beng tidak berniat membunuh orang, dan lebih untung lagi bahwa pendekar sakti itu sedang sakit, maka pengerahan tenaga ini membuat Gak Bun Beng terbatuk-batuk dan muntah darah!
Kesempatan ini dipergunakan oleh kakek kembar itu untuk menarik tangan masing-masing, kemudian melihat lawannya muntah darah, mereka berdua menyerang lagi dengan hebatnya!
Gak Bun Beng menggerakkan kedua tangannya dan biarpun dia menggoyang-goyangkan kepala untuk mengusir kepeningan kepalanya dan mengusir kunang-kunang yang tampak ribuan didepan matanya, dia masih bisa menangkis setiap pukulan yang datang dengan cepatnya sehingga kedua kakek itu merasa amat terheran-heran dan terkejut bukan main!
Belum pernah mereka menghadapi lawan yang sehebat dan setangguh ini setelah Pendekar Super Sakti! Tentu saja mereka menjadi penasaran dan kini mereka mengeluarkan senjata mereka, yaitu sabuk baja yang berupa pecut. Terdengarlah bunyi meledak-ledak ketika kedua kakek itu menggerakkan senjata mereka menyerang Gak Bun Beng.
Pendekar ini berusaha mengelak dan bahkan menangkis dengan lengannya yang penuh dengan hawa sin-kang, namun karena pandang matanya berkunang dan dia terhuyung-huyung, ada beberapa pukulan yang mengenai tubuhnya sehingga dia terluka cukup berat.
Pada saat itu, Syanti Dewi sudah meloncat masuk kedalam kamar, menyambar buntalan dari meja dan melihat betapa Gak Bun Beng dikeroyok dan terhuyung-huyung, dia menjerit.
Pada saat itu, terdengarlah derap banyak kaki kuda dan sesosok bayangan menyambar masuk disertai bentakan nyaring seorang wanita.
“Sepasang iblis laknat, kalian berani mengacau kota raja?”
“Sing-sing....!” Dua sinar terang menyambar ke arah dua orang kakek itu.
“Trang-trang....!”
Dua batang pisau terbang itu dapat disampok pecut baja, namun kedua kakek itu terkejut ketika tangan mereka terasa tergetar, tanda bahwa dua batang pisau terbang itu diluncurkan oleh orang yang memiliki tenaga hebat.
Wanita yang bukan lain adalah Puteri Milana ini sudah membentak lagi dan sinar-sinar halus menyambar, kini serangan jarum-jarum halus menyambar ke arah jalan-jalan darah di tubuh bagian depan dari kedua orang kakek kembar.
“Hayaaaa....!”
Dua orang kakek itu berteriak dan dengan cepat mereka memutar pecut untuk melindungi tubuh sambil meloncat keluar dari rumah penginapan dimana mereka disambut oleh sepasukan pengawal yang cukup lihai.
Sementara itu, ketika Milana melihat orang yang tadi dikeroyok oleh sepasang kakek kembar itu terhuyung dan dipapah oleh seorang gadis cantik, dia cepat membalikkan tubuhnya mengejar dua orang kakek kembar yang sudah merobohkan dua orang pengawal.
Dengan pedangnya yang berkilauan Milana menerjang dan kedua orang kakek itu terpaksa harus mengerahkan kepandaian mereka karena wanita ini benar-benar amat lihai, apalagi dibantu oleh banyak sekali pengawal yang mengurung mereka.
“Paman, kau.... terluka....” Syanti Dewi memeluk tubuh yang terhuyung itu.
“Dewi.... cepat.... bawa aku pergi.... jangan sampai dia melihatku....!”
Syanti Dewi tadi sudah melihat kedatangan Milana dan dia kagum meyaksikan kehebatan puteri itu. Setelah dekat dan melihat wajah Milana terkena sinar penerangan, barulah dia melihat betapa cantiknya puteri itu, sungguhpun wajah itu begitu pucat, begitu dingin dan muram seperti kehilangan cahayanya. Kini mendengar ucapan Gak Bun Beng, dia menjadi bingung. Mengapa penolongnya ini selalu hendak menghindarkan diri dari kekasihnya?
“Dewi, cepat.... aku tak tahan lagi....” Bun Beng berbisik. “Kesana.... melalui jendela....”
Syanti Dewi tidak berani membantah dan memapah penolongnya itu memasuki kamar dan membantunya keluar melalui jendela. Ketika mereka lewat di samping rumah mereka melihat betapa pertempuran masih berlangsung dengan hebat sungguhpun kedua orang kakek itu terkepung dan terdesak oleh pedang Milana. Akan tetapi pada saat itu Milana kebetulan melirik ke arah Gak Bun Beng yang juga sedang memandang ke arah pertempuran.
“Gak-twako....!”
Seruan lirih ini terdengar diantara suara beradunya senjata dan teriakan orang-orang, akan tetapi Gak Bun Beng mengenal suara Milana, maka cepat dia memondong tubuh Syanti Dewi dan melesat pergi dengan kecepatan kilat, tidak memperdulikan bahwa tenaganya sudah hampir habis. Dia berlari terus, meloncati tembok pintu gerbang, akan tetapi ketika dia sudah meloncat turun ke tempat gelap, dia terguling dan roboh pingsan di tempat gelap itu!
“Paman....! Paman....!” Syanti Dewi berbisik-bisik dekat telinga pendekar itu, akan tetapi Gak Bun Beng tidak bergerak.
Sementara itu, Milana yang terkejut bukan main melihat orang yang tadi dikeroyok dua orang kakek dan agaknya terluka itu lewat di samping rumah bersama seorang gadis cantik, karena dia mengenal wajah Gak Bun Beng! Agaknya tidak mungkin salah lagi. Diantara selaksa wajah orang laki-laki, dia akan mengenal wajah Gak Bun Beng, pria yang pernah dicintanya dan masih dicintanya itu. Biarpun laki-laki setengah tua itu berkumis dan berjenggot, akan tetapi dia tidak pangling melihat mulutnya, hidungnya, terutama mata dan pandang matanya.
Karena perhatiannya tertarik, apalagi karena meninggalkan gelanggang pertempuran untuk berusaha mengejar Gak Bun Beng, kedua orang kakek kembar itu tidak terdesak lagi dan sambil berseru keras mereka lalu meloncat dan melarikan diri pula.
“Mereka lari!”
“Kejar....!”
Barulah Milana sadar ketika mendengar teriakan-teriakan ini. Cepat dia memerintahkan para pengawal untuk mengejar kedua orang kakek itu, juga dia memerintahkan sebagian pasukan lagi untuk mencari orang yang bersama dengan gadis cantik yang tadi dikeroyok oleh dua orang kakek. Dari keterangan pelayan dia mendengar betapa laki-laki itu datang ke losmen dalam keadaan sakit dan dirawat oleh gadis yang agaknya adalah keponakan laki-laki itu.
Milana termenung mendengar keterangan ini. Melihat wajahnya, apalagi melihat kenyataannya bahwa dalam keadaan sakit masih mampu menahan pengeroyokan dua orang kakek lihai, jelas bahwa orang tadi tentulah Gak Bun Beng. Akan tetapi kalau benar dia, mengapa lari darinya? Mengapa tidak menemuinya? Dan sakit apakah? Kemana perginya? Bimbanglah hati Milana dan dia sendiri membantu pencarian itu. Bukan mencari sepasang kakek kembar, melainkan mencari Gak Bun Beng. Baginya kakek kembar itu tidak penting, hanya merupakan orang-orang dari golongan sesat yang mencurigakan saja.
Semalam suntuk dia dan pasukannya mencari dan akhirnya, menjelang pagi keesokan harinya, terpaksa dia pulang dengan hati parah, penuh kebimbangan dan penyesalan. Dia telah melihat kekasihnya, akan tetapi belum ada ketentuan juga.
Bagaimana dengan keadaan Syanti Dewi dan Gak Bun Beng yang karena terlampau banyak mempergunakan tenaga, apalagi karena sudah terluka dalam pertempuran melawan Siang Lo-mo, yaitu kakek kembar itu? Dapat dibayangkan betapa bingungnya rasa hati Syanti Dewi. Dia mengerahkan tenaganya, memondong tubuh Gak Bun Beng untuk dibawa pergi dari pintu gerbang utara itu.
Akan tetapi sebelum dia melangkah jauh, dia mendengar suara hiruk-pikuk dan melihat serombongan pasukan berlari-lari mendatangi. Tentu saja dia terkejut melihat obor-obor di tangan para perajurit itu.
Dilihatnya bahwa di bawah pintu gerbang itu terdapat sebuah sungai dengan jembatannya, maka cepat dia membawa tubuh Gak Bun Beng turun ke bawah jembatan. Karena jalannya menurun dan agak sukar, dia takut kalau memondong tubuh penolongnya bisa tergelincir, maka terpaksa dia bersusah payah menarik atau menyeret tubuh Gak Bun Beng turun ke bawah jembatan dimana dia bersembunyi sambil memeluk pundak dan kepala Gak Bun Beng dengan hati berdebar penuh rasa khawatir dan ketegangan.
Sambil memangku kepala penolongnya, dia membasahi saputangannya dengan air sungai dan membasuh muka dan kepala pendekar itu, berbisik-bisik memanggil-manggil namanya. Ketika Gak Bun Beng tetap tidak menjawab, Syanti Dewi terisak dan mendekap kepala itu, menempelkan pipinya pada muka pendekar itu dan berbisik dekat telinganya.
“Paman Gak.... jangan kau mati.... jangan tinggalkan aku sendiri, paman....!”
Akan tetapi karena takut, dia menahan isaknya sehingga hanya air matanya saja yang bercucuran, dia menangis tanpa suara.
Setelah keadaan sunyi kembali dan pasukan itu dengan suara hiruk-pikuk telah kembali memasuki pintu gerbang, barulah Syanti Dewi berani bergerak. Dengan susah payah dia berhasil juga menyeret tubuh Gak Bun Beng keluar dari bawah jembatan, kemudian memondong tubuh pendekar itu dan secepat mungkin dia membawa Gak Bun Beng pergi jauh dari tempat itu.
Sampai dua hari dua malam Bun Beng pingsan tak sadarkan diri sama sekali, ditangisi oleh Syanti Dewi didalam sebuah hutan yang besar dan liar. Berkali-kali Puteri Bhutan ini memanggil-manggil, mengguncang-guncang tubuh pendekar itu, kemudian diseling tangisnya terisak-isak sambil menyatakan penyesalan hatinya kepada Puteri Milana yang dianggapnya kejam!
Pada hari ketiga, saking lelahnya, Syanti Dewi yang duduk bersandar batang pohon tertidur atau setengah pingsan. Dia lelah bukan main, lelah, lemas karena lapar dan haus yang sama sekali tak dihiraukannya, dan mengantuk karena semenjak melarikan diri bersama Bun Beng dia sama sekali belum tidur.
Pagi-pagi tadi, lewat tengah malam, dia menangis dengan putus harapan dan didekapnya kepala Bun Beng yang dipangkunya, karena dia menganggap bahwa pendekar itu tentu tidak dapat sadar kembali. Akhirnya dia tertidur atau setengah pingsan, bersandar pada batang pohon sambil tetap memangku kepala Gak Bun Beng yang masih belum sadar.
Ketika Bun Beng siuman dan membuka matanya, pertama-tama yang diingatnya adalah Milana, maka dia terbelalak melirik kekanan kiri, takut kalau-kalau Milana berada disitu. Tiba-tiba dia duduk dan membalik, memandang kepada Syanti Dewi yang masih pula bersandar pohon, dengan muka pucat dan masih ada bekas air mata.
Bun Beng mengeluh lirih. Dia telah tidur atau pulas dengan kepala di atas pangkuan gadis itu! Dan mereka telah berada di dalam hutan besar! Padahal, seingatnya, dia memondong gadis ini berlari secepatnya dari kota raja, melompati benteng pagar tembok kota raja lalu dia terguling dan tidak ingat apa-apa lagi.
“Dewi....!”
Bun Beng berkata lirih, setengah menduga bahwa tentu Syanti Dewi yang menyelamatkannya, membawanya sampai ke dalam hutan lebat itu.
Biarpun hanya lirih saja panggilan ini, Syanti Dewi membuka kedua matanya. Ketika dia melihat Bun Beng sudah duduk di depannya, memandangnya dengan sepasang mata yang penuh perasaan haru, dia menggosok-gosok kedua matanya, takut kalau-kalau dia hanya bermimpi, kemudian, ketika melihat bahwa Bun Beng tetap masih duduk di depannya, tidak pingsan lagi, bukan main girangnya rasa hati dara ini.
“Paman ! Aihh, paman.... syukurlah bahwa paman telah sadar! Ahh, betapa sengsara dan takut hatiku selama dua hari dua malam ini, melihat paman diam tak pernah bergerak....”
Bun Beng memegang kedua tangan dara itu dan memandang tajam.
“Apa katamu? Selama dua hari dua malam aku.... aku tak sadarkan diri?”
Syanti Dewi hanya mengangguk dan baru sekarang terasa oleh dara itu betapa lapar perutnya, betapa lelah tubuhnya.
“Dan selama ini engkau.... engkau memaksa diri melarikan aku kesini.... dan.... dan merawatku....?” Bun Beng menelan ludahnya menahan keharuan hatinya.
Kembali Syanti Dewi mengangguk. Kemudian berkata lirih,
“Aih, paman Gak. Bagaimana aku dapat merawatmu? Aku sudah bingung sekali, hampir putus harapan pagi tadi melihat engkau seperti.... seperti mati. Aku takut sekali....”
Bun Beng menggenggam kedua tangan yang kecil itu, suaranya gemetar ketika dia berkata,
“Dewi.... kau.... kau seorang.... anak yang baik sekali.”
Hati dara itu girang bukan main. Setelah Bun Beng siuman, dia tidak mengkhawatirkan apa-apa lagi, tidak takut apa-apa lagi.
“Paman, kau tentu lapar sekali, dua hari dua malam tidak makan apa-apa, tidak minum apa-apa. Aku akan mencari buah-buahan untukmu.”
Tapi Gak Bun Beng tidak melepaskan tangan dara itu.
“Dewi, katakanlah, apakah selama ini engkau juga pernah makan?”
Syanti Dewi menunduk dan menggeleng kepala.
“Dan pernah minum?”
Kembali Syanti Dewi menggeleng kepala.
Bun Beng menghela napas.
“Luar biasa sekali! Engkau seorang gadis yang luar biasa sekali. Seorang yang berhati mulia, engkau seorang puteri budiman. Cara bagaimanakah engkau dapat melarikan aku ke tempat ini, Dewi?”
Wajah yang agak pucat itu kini menjadi merah dan Syanti Dewi lalu menceritakan betapa hampir saja mereka tertangkap oleh sepasukan tentara kalau saja dia tidak cepat menyeret Bun Beng ke kolong jembatan. Kemudian dia menceritakan betapa dia membawa lari Bun Beng tanpa tujuan tertentu, pokoknya asal dapat menjauh dari kota raja, sejauh mungkin.
“Aku hanya tahu bahwa paman tidak ingin dilihat.... orang, maka aku membawa paman menjauh dari kota raja sedapat mungkin. Akan tetapi aku merasa heran sekali mengapa paman melarikan diri begitu paman melihat Puteri Milana? Mengapa paman tidak ingin dia melihat paman? Bahkan aku mendengar dia mengenal dan memanggil paman malam itu. Mengapa, paman?”
Gak Bun Beng menunduk, menghela napas panjang, lalu menggeleng-geleng kepalanya.
“Aku.... aku tidak kuat menghadapinya.... aku.... aku.... ah, aku hanya seorang laki-laki yang bodoh.”
Hening sampai lama. Bun Beng tetap menunduk dan Syanti Dewi mencoba untuk menyelami perasaan pendekar itu dengan menatap tajam wajah yang muram itu. Kemudian terdengar Syanti Dewi bertanya, suaranya lirih.
“Paman Gak, demikian besarkah cintamu terhadap Puteri Milana?”
Bun Beng tidak menjawab, hanya menarik napas panjang, lalu untuk membelokkan bahan pembicaraannya, dia berkata,
“Dewi, kita harus kembali ke kota raja. Aku akan mengantarkan sampai keluar pintu gerbang, dan kau masuk sendiri serta langsung menghadap Puteri Milana. Ceritakan riwayatmu tanpa menyebut-nyebut namaku, dan aku yakin dia akan suka menolongmu.”
“Aku hanya mau menghadap dia kalau bersamamu, paman.”
“Ah, engkau tahu bahwa aku tidak mungkin dapat menemuinya.”
“Kalau begitu akupun tidak sudi menghadapnya!”
Jawaban Syanti Dewi ini agak keras, sungguh jauh bedanya dengan sikapnya seperti biasa yang penuh kehalusan, seolah-olah baru satu kali ini dia marah-marah.
Bun Beng mengangkat muka memandang.
“Mengapa, Dewi? Bukankah engkau jauh-jauh dari Bhutan dikirim ke kota raja oleh ayahmu untuk menjadi mantu kaisar?”
“Tidak, tidak! Paman sudah tahu sendiri akan semua akal busuk yang bersembunyi di balik kepura-puraan perjodohan itu! Aku tidak sudi! Pula, dahulu aku hanya mau karena ada adik Ceng di sampingku. Sekarang adik Ceng hilang, mungkin tewas, dan sebagai gantinya adalah paman. Karena itu, tanpa paman, aku tidak sudi harus pergi sendiri ke istana. Leblh baik aku.... mati disini....”
Bun Beng memegang tangan dara itu.
“Tenanglah, tidak ada yang memaksamu, Dewi. Kalau begitu, kita harus melanjutkan perjalanan ke utara. Aku mau menemui Jenderal Kao Liang. Di kota raja sedang terjadi pergolakan dan agaknya dia yang menguasai banyak pasukan saja yang akan dapat menyelamatkan kota raja dan sekaligus mewakili aku mengurus urusanmu dengan kaisar. Percayalah, tidak akan ada yang memaksamu, Dewi. Aku akan mempertaruhkan nyawaku untuk mencegah siapapun yang memaksamu.”
Wajah yang jelita itu berseri.
“Baik, paman. Kemanapun paman membawaku pergi, aku akan suka ikut, asal jangan menyuruh aku pergi seorang diri. Wah, perutku lapar sekali, tentu paman juga. Biar aku mencari buah-buah....”
Bun Beng sudah menyambitkan batu kecil yang digenggamnya dan kelinci gemuk yang menyusup diantara semak-semak itu mati seketika.
“Nah, itu ada kelinci gemuk yang menyerahkan dagingnya, Dewi. Ambillah.”
Tadi Syanti Dewi terkejut menyaksikan gerakan pendekar itu, akan tetapi mendengar ucapannya, dia tertawa lalu berlari-lari dan membuka-buka semak-semak itu. Benar saja, disitu terdapat seekor kelinci gemuk yang telah mati dengan kepala pecah disambar batu, masih hangat tubuhnya.
Sambil tertawa gembira Syanti Dewi lalu menguliti dan memanggang daging kelinci. Setelah Bun Beng siuman kembali, terusirlah semua kekhawatiran dan kedukaan dari hati dara ini yang sebaliknya menjadi riang gembira kembali, sungguhpun tubuhnya masih terasa amat lelah.
Akan tetapi ternyata pukulan batin yang diderita oleh Gak Bun Beng dalam pertemuannya dengan Milana ditambah dengan luka dalam yang dideritanya ketika dalam keadaan tidak sehat dia bertanding melawan Siang Lo-mo, dua orang kakek kembar di kota raja itu, membuat pendekar ini lemah dan sakit.
Ditambah lagi kenyataan yang menusuk hatinya, yang mendatangkan rasa khawatir dan bingung, kenyataan yang dirahasiakan yaitu sikap Syanti Dewi kepadanya, sikap yang amat baik, mengandung kasih sayang, sikap yang hanya dapat diperlihatkan seorang wanita yang jatuh cinta, membuat dia makin menderita batinnya.
Dia memandang gejala ini sebagai datangnya suatu bahaya yang amat besar, yang amat mengkhawatirkan bagi kehidupan Syanti Dewi. Biarpun dara ini tak pernah menyatakan dengan mulut, biarpun mungkin dara itu sendiri masih belum sadar akan perasaan hatinya sendiri, namun Bun Beng sudah dapat menduganya, melihat dari pandang matanya, gerak-geriknya, suaranya. Hal ini menimbulkan rasa nyeri di hatinya. Tidak, betapapun juga, dia tidak akan menyeret dara yang amat berbudi ini kedalam hidupnya yang serba canggung dan sengsara. Dia tidak akan mengulangi riwayat penuh duka seperti yang dialaminya dengan Milana.
Memang betapa akan amat mudahnya untuk jatuh cinta kepada seorang dara seperti Syanti Dewi, seorang dara yang berbudi mulia, halus dan penuh perasaan. Akan tetapi tidak! Dia bukanlah seorang yang hanya mementingkan kesenangan dirinya sendiri saja.
Perang yang terjadi dalam batin Bun Beng menambah luka dalam yang dideritanya dalam pertandingan berat sebelah ketika melawan kakek kembar dalam keadaan sakit itu. Karena itu, perjalanan ke utara bersama Syanti Dewi itu dilakukan dengan susah payah dan lambat, bahkan akhirnya Bun Beng jatuh sakit lagi!
Di dalam perjalanan ini, di waktu dia terserang sakit, lebih jelas kenyataannya bahwa yang diduga dan ditakuti Bun Beng adalah benar. Perawatan yang dilakukan Syanti Dewi terhadap dirinya amat luar biasa, penuh ketelitian, penuh pengorbanan dan ketekunan.
Diam-diam Bun Beng yang menderita sakit itu mengambil keputusan bahwa kalau dia sudah dapat bertemu dengan Jenderal Kao Liang, dia akan menyerahkan Syanti Dewi dalam perlindungan jenderal yang dipercayanya itu, kemudian dia akan pergi untuk selamanya, tidak akan mencampuri dunia ramai lagi, seperti dahulu sebelum bertemu dengan Syanti Dewi dan terpaksa mengantarkan dara itu ke kota raja.
**** 037 ****
Cerita nya monoton.
BalasHapusSelalu menampilkan sikap seorang pendekar golongan putih yg lemah saat berurusan dengan cinta.
Cerita nya monoton.
BalasHapusSelalu menampilkan sikap seorang pendekar golongan putih yg lemah saat berurusan dengan cinta.