Diam-diam Gak Bun Beng membayangkan dengan hati khawatir apa yang telah terjadi di kerajaan. Cerita dari perwira gendut itu hanya menggambarkan keadaan luarnya saja, namun tidak menceritakan dengan jelas apa yang telah terjadi dan siapakah diantara para pangeran yang merencanakan pemberontakan, siapa pula yang bersekutu dengan orang-orang Mongol dan Tibet.
Hal ini menggelisahkan hatinya, terutama kalau dia teringat bahwa kini Milana tinggal di kota raja. Dia sudah mendengar berita bahwa Milana telah menikah. Biarpun tidak disengaja, berita ini menghancurkan dan sekaligus mendinginkan hatinya. Dia tahu bahwa Milana amat mencintanya dan tentu pernikahan itu atas desakan ayah dara itu, Pendekar Super Sakti.
Maka dia menerima nasib dan memang dialah yang meninggalkan kekasihnya itu. Akan tetapi, kini mendengar tentang pergolakan di kota raja, timbullah kekhawatirannya tentang diri kekasihnya itu.
Sebetulnya, apakah yang telah terjadi di istana Kaisar Kang Hsi? Agar lebih jelas, sebaiknya secara singkat kita mempelajari keadaannya. Telah ditetapkan bahwa yang menjadi Pangeran Mahkota adalah Pangeran Yung Ceng, seorang pangeran dari permaisuri yang amat dikasihi kaisar. Tentu saja masih banyak para pangeran yang lahir dari selir-selir kaisar, namun yang dicalonkan hanya Pangeran Yung Ceng seorang.
Kaisar masih mempunyai dua orang adik tiri, yaitu dua orang pangeran yang lahir dari selir ayahnya, yaitu Pangeran Liong Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong. Dua orang pangeran tua inilah yang tidak setuju akan pengangkatan Pangeran Yung Ceng sebagai pangeran mahkota karena mereka tahu bahwa kelak mereka tidak akan dapat mempermainkan pangeran ini yang tidak suka kepada kedua pamannya itu. Maka diam-diam dua orang pangeran tua ini merencanakan pemberontakan secara rahasia dan menghasut para pangeran lainnya.
Pada suatu hari, seorang pangeran dari selir, yang sebaya dengan Pangeran Yung Ceng, bernama Pangeran Yung Hwa, setelah mendengar akan kecantikan Puteri Bhutan, mengajukan permohonan kepada ayahanda kaisar agar dapat menikah dengan puteri terkenal itu.
Kaisar merasa senang dan setuju dengan keinginan hati Pangeran Yung Hwa ini. Akan tetapi seorang menteri setia, yaitu perdana menteri, yang sekaligus menjadi penasehat kaisar, membisikkan kaisar bahwa kurang tepatlah kalau putera kaisar dijodohkan dengan puteri sebuah negeri sekecil Bhutan!
Pangeran Yung Hwa sepatutnya dijodohkan dengan puteri kerajaan yang lebih besar lagi sehingga kehormatan kaisar tidak menurun. Adapun Puteri Bhutan itu, untuk menarik Bhutan negara kecil itu sebagai keluarga, sebaiknya dilamar untuk dinikahkan dengan Pangeran Liong Khi Ong yang biarpun sudah berusia lima puluh tahun namun masih “perjaka” dalam arti kata belum mempunyai isteri sah melainkan hanya berpuluh-puluh selir saja.
Perdana menteri mengemukakan hal ini menurut perhitungannya yang bijaksana. Dia sendiri tidak tahu akan pemberontakan rahasia yang diusahakan oleh Pangeran Liong Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong, akan tetapi dia tahu bahwa dua pangeran tua itu diam-diam tidak menyukai pangeran mahkota, maka pemberian “hadiah” ini untuk melunakkan hati Liong Khi Ong!
Kaisar yang mendapat keterangan panjang lebar ini mengangguk-anggukkan kepalanya dan memuji akan kecerdikan perdana menterinya, maka dia lalu menolak permintaan Yung Hwa dengan alasan bahwa Yung Hwa akan dinikahkan dengan seorang Puteri Birma yang lebih cantik dan lebih hebat lagi. Adapun Puteri Bhutan lalu dipinang untuk Pangeran Liong Khi Ong!
Justeru kesempatan ini dipergunakan secara licin oleh dua orang pangeran pemberontak itu untuk menggagalkan semua rencana, hanya dengan niat agar Bhutan menjadi musuh Pemerintah Ceng dan kelak mudah mereka ajak bersekutu untuk melawan pemerintah kakak mereka atau keponakan mereka sendiri.
Betapapun kedua orang pangeran itu merahasiakannya, namun tetap saja terasa oleh semua orang suasana panas, suasana tidak enak yang meliputi istana. Apalagi ketika dikabarkan bahwa Pangeran Yung Hwa yang “patah hati” itu lolos meninggalkan istana tanpa pamit!
Dan dikabarkan bahwa ada bentrok yang mulai terasa diantara perdana menteri dan kedua orang pangeran tua. Suasana panas ini tidak langsung ditimbulkan oleh mereka yang bersangkutan, melainkan oleh kaki tangan masing-masing dan mulailah terjadi pelotot-mempelototi, sindir-menyindir antara pengawal masing-masing apabila bertemu di jalan raya di kota raja. Bahkan telah terjadi beberapa kali bentrokan bersenjata, sungguhpun hanya kecil-kecilan dan secara bersembunyi.
Puteri Milana yang juga merasakan suasana panas ini sesungguhnya dia tidak lagi tinggal di istana, melainkan tinggal di gedung suaminya yang menjadi perwira tinggi dan pengawal istana. Dari suaminya, yang biarpun hubungan mereka seperti saudara saja namun masih bersikap baik kepadanya, dia mendengar tentang keadaan di istana.
Dengan hati khawatir Milana mulai sering mengunjungi Istana untuk mendengar-dengar dan melakukan penyelidikan. Jiwa patriotnya tersentuh dan agaknya sifat kepahlawanan ibunya menurun kepadanya. Dia menghadap kaisar yang menjadi kakeknya itu, dengan terus terang menyatakan kekhawatirannya tentang desas-desus bahwa ada persekutuan pemberontak mengancam pemerintah.
Kakeknya menertawakan cucunya ini, akan tetapi tidak melarang ketika Milana membentuk sebuah pasukan pengawal khusus yang dipimpinnya sendiri untuk melakukan penyelidikan dan untuk membasmi pemberontak yang berani mengacau kota raja!
Pendeknya dia mencontoh ibunya, Puteri Nirahai, untuk menjaga keselamatan kota dan semua keluarga kaisar! Dan dengan adanya pasukan istimewa inilah maka keadaan kota raja mulai agak tenang dan keselamatan penghuninya terjamin. Dua orang pangeran tua itu lebih berhati-hati, tidak berani melakukan tindakan terlalu menyolok karena merekapun maklum betapa lihainya cucu keponakan mereka, Puteri Milana.
Demikianlah sedikit gambaran keadaan kota raja, dan sudahlah sepatutnya kalau Gak Bun Beng merasa gelisah karena memang dia sedang menuju ke tempat yang amat gawat, yang setiap saat dapat meletus menjadi perang pemberontakan yang dahsyat.
Namun, tujuan yang utama Gak Bun Beng bukanlah untuk menyelidiki kota raja atau untuk melihat keselamatan Milana, melainkan untuk mengantar Syanti Dewi. Andaikata tidak ada Puteri Bhutan ini yang ditolongnya, kiranya mendengar apapun tentang kota raja dan istana, tidak akan menggerakkan hatinya untuk mengunjungi tempat itu.
Di sepanjang perjalanan, makin dekat dengan kota raja makin tampaklah suasana pertentangan. Bahkan diantara rakyat sendiri, ada yang pro dan ada yang anti kepada kaisar dan putera mahkota. Hal ini lumrah karena rakyat, betapapun juga menyadari bahwa pemerintah yang sekarang adalah pemerintah penjajah yang bagaimanapun tidak bisa mendapatkan dukungan sepenuhnya dari lubuk hati mereka.
Syanti Dewi memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silat. Gak Bun Beng tidak tanggung-tanggung mengajarkan rahasia-rahasia ilmu silat tinggi, bahkan dia telah mengoperkan hawa sin-kang gabungan Swat-im-sin-kang (Tenaga Inti Salju) dan Hui-yang-sin-kang (Tenaga Inti Api) yang amat mujijat dari dalam tubuhnya ke dalam tubuh dara itu.
Hal ini menggelisahkan hatinya, terutama kalau dia teringat bahwa kini Milana tinggal di kota raja. Dia sudah mendengar berita bahwa Milana telah menikah. Biarpun tidak disengaja, berita ini menghancurkan dan sekaligus mendinginkan hatinya. Dia tahu bahwa Milana amat mencintanya dan tentu pernikahan itu atas desakan ayah dara itu, Pendekar Super Sakti.
Maka dia menerima nasib dan memang dialah yang meninggalkan kekasihnya itu. Akan tetapi, kini mendengar tentang pergolakan di kota raja, timbullah kekhawatirannya tentang diri kekasihnya itu.
Sebetulnya, apakah yang telah terjadi di istana Kaisar Kang Hsi? Agar lebih jelas, sebaiknya secara singkat kita mempelajari keadaannya. Telah ditetapkan bahwa yang menjadi Pangeran Mahkota adalah Pangeran Yung Ceng, seorang pangeran dari permaisuri yang amat dikasihi kaisar. Tentu saja masih banyak para pangeran yang lahir dari selir-selir kaisar, namun yang dicalonkan hanya Pangeran Yung Ceng seorang.
Kaisar masih mempunyai dua orang adik tiri, yaitu dua orang pangeran yang lahir dari selir ayahnya, yaitu Pangeran Liong Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong. Dua orang pangeran tua inilah yang tidak setuju akan pengangkatan Pangeran Yung Ceng sebagai pangeran mahkota karena mereka tahu bahwa kelak mereka tidak akan dapat mempermainkan pangeran ini yang tidak suka kepada kedua pamannya itu. Maka diam-diam dua orang pangeran tua ini merencanakan pemberontakan secara rahasia dan menghasut para pangeran lainnya.
Pada suatu hari, seorang pangeran dari selir, yang sebaya dengan Pangeran Yung Ceng, bernama Pangeran Yung Hwa, setelah mendengar akan kecantikan Puteri Bhutan, mengajukan permohonan kepada ayahanda kaisar agar dapat menikah dengan puteri terkenal itu.
Kaisar merasa senang dan setuju dengan keinginan hati Pangeran Yung Hwa ini. Akan tetapi seorang menteri setia, yaitu perdana menteri, yang sekaligus menjadi penasehat kaisar, membisikkan kaisar bahwa kurang tepatlah kalau putera kaisar dijodohkan dengan puteri sebuah negeri sekecil Bhutan!
Pangeran Yung Hwa sepatutnya dijodohkan dengan puteri kerajaan yang lebih besar lagi sehingga kehormatan kaisar tidak menurun. Adapun Puteri Bhutan itu, untuk menarik Bhutan negara kecil itu sebagai keluarga, sebaiknya dilamar untuk dinikahkan dengan Pangeran Liong Khi Ong yang biarpun sudah berusia lima puluh tahun namun masih “perjaka” dalam arti kata belum mempunyai isteri sah melainkan hanya berpuluh-puluh selir saja.
Perdana menteri mengemukakan hal ini menurut perhitungannya yang bijaksana. Dia sendiri tidak tahu akan pemberontakan rahasia yang diusahakan oleh Pangeran Liong Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong, akan tetapi dia tahu bahwa dua pangeran tua itu diam-diam tidak menyukai pangeran mahkota, maka pemberian “hadiah” ini untuk melunakkan hati Liong Khi Ong!
Kaisar yang mendapat keterangan panjang lebar ini mengangguk-anggukkan kepalanya dan memuji akan kecerdikan perdana menterinya, maka dia lalu menolak permintaan Yung Hwa dengan alasan bahwa Yung Hwa akan dinikahkan dengan seorang Puteri Birma yang lebih cantik dan lebih hebat lagi. Adapun Puteri Bhutan lalu dipinang untuk Pangeran Liong Khi Ong!
Justeru kesempatan ini dipergunakan secara licin oleh dua orang pangeran pemberontak itu untuk menggagalkan semua rencana, hanya dengan niat agar Bhutan menjadi musuh Pemerintah Ceng dan kelak mudah mereka ajak bersekutu untuk melawan pemerintah kakak mereka atau keponakan mereka sendiri.
Betapapun kedua orang pangeran itu merahasiakannya, namun tetap saja terasa oleh semua orang suasana panas, suasana tidak enak yang meliputi istana. Apalagi ketika dikabarkan bahwa Pangeran Yung Hwa yang “patah hati” itu lolos meninggalkan istana tanpa pamit!
Dan dikabarkan bahwa ada bentrok yang mulai terasa diantara perdana menteri dan kedua orang pangeran tua. Suasana panas ini tidak langsung ditimbulkan oleh mereka yang bersangkutan, melainkan oleh kaki tangan masing-masing dan mulailah terjadi pelotot-mempelototi, sindir-menyindir antara pengawal masing-masing apabila bertemu di jalan raya di kota raja. Bahkan telah terjadi beberapa kali bentrokan bersenjata, sungguhpun hanya kecil-kecilan dan secara bersembunyi.
Puteri Milana yang juga merasakan suasana panas ini sesungguhnya dia tidak lagi tinggal di istana, melainkan tinggal di gedung suaminya yang menjadi perwira tinggi dan pengawal istana. Dari suaminya, yang biarpun hubungan mereka seperti saudara saja namun masih bersikap baik kepadanya, dia mendengar tentang keadaan di istana.
Dengan hati khawatir Milana mulai sering mengunjungi Istana untuk mendengar-dengar dan melakukan penyelidikan. Jiwa patriotnya tersentuh dan agaknya sifat kepahlawanan ibunya menurun kepadanya. Dia menghadap kaisar yang menjadi kakeknya itu, dengan terus terang menyatakan kekhawatirannya tentang desas-desus bahwa ada persekutuan pemberontak mengancam pemerintah.
Kakeknya menertawakan cucunya ini, akan tetapi tidak melarang ketika Milana membentuk sebuah pasukan pengawal khusus yang dipimpinnya sendiri untuk melakukan penyelidikan dan untuk membasmi pemberontak yang berani mengacau kota raja!
Pendeknya dia mencontoh ibunya, Puteri Nirahai, untuk menjaga keselamatan kota dan semua keluarga kaisar! Dan dengan adanya pasukan istimewa inilah maka keadaan kota raja mulai agak tenang dan keselamatan penghuninya terjamin. Dua orang pangeran tua itu lebih berhati-hati, tidak berani melakukan tindakan terlalu menyolok karena merekapun maklum betapa lihainya cucu keponakan mereka, Puteri Milana.
Demikianlah sedikit gambaran keadaan kota raja, dan sudahlah sepatutnya kalau Gak Bun Beng merasa gelisah karena memang dia sedang menuju ke tempat yang amat gawat, yang setiap saat dapat meletus menjadi perang pemberontakan yang dahsyat.
Namun, tujuan yang utama Gak Bun Beng bukanlah untuk menyelidiki kota raja atau untuk melihat keselamatan Milana, melainkan untuk mengantar Syanti Dewi. Andaikata tidak ada Puteri Bhutan ini yang ditolongnya, kiranya mendengar apapun tentang kota raja dan istana, tidak akan menggerakkan hatinya untuk mengunjungi tempat itu.
Di sepanjang perjalanan, makin dekat dengan kota raja makin tampaklah suasana pertentangan. Bahkan diantara rakyat sendiri, ada yang pro dan ada yang anti kepada kaisar dan putera mahkota. Hal ini lumrah karena rakyat, betapapun juga menyadari bahwa pemerintah yang sekarang adalah pemerintah penjajah yang bagaimanapun tidak bisa mendapatkan dukungan sepenuhnya dari lubuk hati mereka.
Syanti Dewi memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silat. Gak Bun Beng tidak tanggung-tanggung mengajarkan rahasia-rahasia ilmu silat tinggi, bahkan dia telah mengoperkan hawa sin-kang gabungan Swat-im-sin-kang (Tenaga Inti Salju) dan Hui-yang-sin-kang (Tenaga Inti Api) yang amat mujijat dari dalam tubuhnya ke dalam tubuh dara itu.
Sampai pingsan Syanti Dewi menerima tenaga dahsyat ini, dan bagi Gak Bun Beng sendiri, pengoperan tenaga sin-kang ini membuat dia selama tiga hari tiga malam harus berdiam diri mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya.
Dengan memiliki dasar tenaga sin-kang gabungan ini, biarpun ilmu silat yang dimainkan oleh Syanti Dewi masih sama dengan beberapa bulan yang lalu, namun kelihaiannya naik menjadi sepuluh kali lipat! Juga, biarpun dalam waktu singkat itu dia hanya menerima jurus-jurus baru yang tidak lebih dari belasan macam saja banyaknya, namun jurus-jurus ini sudah cukup untuk dipergunakan melindungi diri dari ancaman lawan yang amat kuatpun!
Mereka sudah menyeberangi Sungai Huang-ho dan tiba di kota Ban-jun di sebelah barat kota raja. Hari sudah siang ketika mereka memasuki kota itu dan karena kota raja sudah dekat dan mereka telah melakukan perjalanan yang melelahkan sekali, Gak Bun Beng mencari sebuah rumah penginapan.
Akan tetapi baru saja mereka sampai di jalan perempatan, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan tampak dari jauh mendatangi sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda besar dan dikusiri oleh seorang yang berpakaian tentara dan yang memegang golok.
Dari simpangan yang lain tampak belasan orang yang juga berpakaian tentara, dipimpin oleh seorang perwira dan mereka ini membalapkan kuda mengejar kereta itu! Kemudian betapa kagetnya hati Gak Bun Beng dan Syanti Dewi ketika melihat anak panah berapi menyambar ke arah kereta dan dalam sekejap mata saja kereta itu terbakar!
“Ohhh....!”
Syanti Dewi berseru, seruannya kabur didalam seruan-seruan semua orang yang melihat peristiwa itu dan yang segera lari cerai berai bersembunyi di balik-balik rumah penduduk.
“Kita harus menolong penumpang....!” kata pula puteri ini.
Gak Bun Beng memegang tangan dara itu mencegahnya bertindak lancang. Dia masih tidak tahu siapa penumpang kereta, siapa pula yang mengejar dan melepaskan anak panah berapi itu.
Sementara itu, perwira yang memimpin belasan orang perajurit sudah tiba disitu. Kusir kereta itu bangkit berdiri dan berusaha melawan dengan goloknya, akan tetapi karena di belakangnya ada api berkobar, dan gerakan perwira itu tangkas sekali, ketika kuda perwira itu meloncat dekat dan pedang perwira itu menyambar, robohlah kusir itu dari atas kereta, terjungkal diatas tanah jalan sedangkan dua ekor kuda yang panik karena “dikejar” api di belakang mereka itu, terus membalap sambil meringkik-ringkik.
Kini Gak Bun Beng tidak dapat tinggal diam lagi. Apa dan siapapun yang bermusuhan, kusir itu tewas dan penumpang kereta terancam maut. Dia harus menolongnya dulu dan baru kemudian mendengar urusannya.
Bagaikan kilat tubuhnya melesat berkelebat dan angin menyambar dan pendekar itu telah lenyap. Syanti Dewi kagum bukan main, akan tetapi juga khawatir ketika melihat bayangan Gak Bun Beng melesat ke dalam kereta yang terbakar. Akan tetapi hatinya lega ketika melihat pendekar itu melesat keluar lagi memondong seorang pemuda yang terluka ringan di pahanya.
“Keparat, berani mencampuri urusan kami?”
Perwira itu bersama belasan orang perajuritnya sudah menerjang maju kepada Gak Bun Beng yang menurunkan pemuda itu di tepi jalan dekat Syanti Dewi.
“Hemm, kalian terlalu kejam!” Gak Bun Beng berkata lalu menerjang ke depan karena dia tidak ingin pemuda itu diserang. “Dewi, lindungi dia!” katanya dan begitu perwira itu sudah dekat, dia menyambut pedang yang menusuknya dengan sentilan jari tangannya.
“Tringg.... krekkk!” Pedang itu patah menjadi dua!
Gak Bun Beng lalu berkelebat diantara mereka, dan kemanapun dia berkelebat, tentu senjata seorang perajurit penunggang kuda patah atau terlempar. Dua orang perajurit menghampiri pemuda yang terluka itu dengan golok terangkat, akan tetapi Syanti Dewi yang sudah siap dengan dua buah batu sebesar kepalan tangannya, menggerakkan tangan kanan dua kali. Terdengar teriakan mengaduh dan dua batang golok terlepas dari tangan yang disambar batu itu.
“Mundur....! Pergi....!”
Perwira itu memberi aba-aba dan pasukan kecilnya yang telah “dilucuti” senjatanya itu tidak menanti perintah kedua, terus membalikkan kuda dan terjadilah lomba balap kuda yang ramai, meninggalkan debu mengebul tinggi.
Gak Bun Beng menarik napas panjang. Hatinya lega bahwa urusan itu dapat diselesaikan sedemikian mudahnya. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia menoleh ke tempat Syanti Dewi berada, dia hanya melihat dara ini saja sedangkan pemuda yang terluka ringan dan hampir mati terbakar dalam kereta tadi tidak tampak lagi. Cepat dia menghampiri Syanti Dewi.
“Apa yang terjadi? Mana dia?”
“Dia telah pergi, paman. Dia hanya menanyakan nama paman, kemudian dia mengatakan bahwa dia berterima kasih sekali, bahwa selama hidupnya dia tidak akan melupakan budi paman.”
“Dalam keadaan terluka itu dia pergi?”
Syanti Dewi mengangguk.
“Dia tidak mau ditahan, agaknya tergesa-gesa sekali. Dan dia hanya menyatakan bahwa namanya adalah Yung Hwa.”
“Hemm.... sungguh aneh sekali. Mari kita pergi dari kota ini, Syanti Dewi, aku tidak mau menjadi perhatian orang.”
Memang pada saat itu, orang-orang sudah berkumpul dan menghampirinya sambil membicarakan kegagahannya ketika menolong penumpang kereta dan melawan belasan orang pasukan tadi.
Akan tetapi sebelum ada yang sempat bertanya, Gak Bun Beng sudah menggandeng tangan Syanti Dewi dan cepat-cepat meninggalkan kota itu, tidak menengok ketika mendengar ada orang-orang menegur dan memanggilnya menyuruh berhenti. Tentu saja orang-orang itu hanya melongo, dan laki-laki perkasa itu tentulah seorang diantara tokoh-tokoh kang-ouw yang memang selalu bersikap dan berwatak aneh.
Peristiwa itu menambah dorongan bagi Gak Bun Beng dan Syanti Dewi untuk cepat menuju ke kota raja. Mereka menduga bahwa tentu bentrokan yang terjadi itu ada hubungannya dengan kerusuhan di kota raja. Sama sekali Gak Bun Beng tidak menyangka bahwa yang ditolongnya itu adalah putera kaisar sendiri!
Dia adalah Pangeran Yung Hwa, adik Pangeran Mahkota Yung Ceng. Pangeran Yung Hwa itulah tadi yang tergila-gila mendengar kecantikan Syanti Dewi dan ingin menikah dengan puteri itu.
Tentu saja Gak Bun Beng dan Syanti Dewi tidak tahu sama sekali akan urusan itu, juga bagi pangeran muda yang tampan itu, sama sekali tidak pernah mimpi bahwa puteri yang membuatnya tergila-gila itu pernah berdiri di depannya, bahkan pernah menolongnya dengan merobohkan dua penyerangnya dengan sambitan batu, pernah dia bercakap-cakap dengan puteri itu!
Tentu saja dia hanya mengira bahwa wanita muda yang menolongnya itu hanyalah seorang dara kang-ouw yang lihai saja. Juga dia masih terlalu muda untuk mendengar nama Gak Bun Beng yang hanya dikenal oleh golongan yang lebih tua karena selama belasan tahun ini nama Gak Bun Beng tidak pernah disebut-sebut orang lagi, apalagi memang orangnya telah menghilang tanpa meninggalkan jejak.
Dengan cepat Gak Bun Beng melanjutkan perjalanan karena dia ingin cepat-cepat melihat keadaan kota raja. Apalagi ketika di sepanjang jalan setelah makin dekat kota raja dia melihat banyaknya pasukan-pasukan kecil yang hilir mudik dan kelihatan sibuk sekali.
Kelihatannya memang amat gawat keadaannya dan di sepanjang jalan dia mencari keterangan, namun para penduduk juga hanya mengetahui sedikit sekali tentang keadaan sedalam-dalamnya dari kota raja yang diliputi penuh rahasia itu, hanya mengatakan bahwa di sekitar kota raja muncul banyak orang-orang aneh dan lihai seolah-olah semua tokoh kang-ouw dan para datuk kaum sesat muncul dari tempat pertapaan mereka, semua orang sakti turun dari pegunungan dan semua iblis keluar dari neraka!
Dan bahwa kini sering sekali tampak perondaan pasukan tentara dari kota raja dan banyak terjadi pertempuran, bahkan antara pasukan dengan pasukan lain sehingga membingungkan dan mendatangkan rasa takut kepada rakyat jelata.
Beberapa hari kemudian, tibalah Gak Bun Beng dan Syanti Dewi di depan pintu gerbang kota raja sebelah barat. Di depan pintu gerbang ini, Gak Bun Beng berhenti dan termenung dengan muka berubah pucat. Terbayanglah olehnya semua pengalamannya belasan tahun yan lalu (baca cerita Sepasang Pedang Iblis) dan jantungnya berdebar tegang ketika teringat bahwa di dalam lingkungan tembok kota raja inilah adanya wanita yang pernah dan masih dicintanya. Puteri Milana!
Pintu gerbang itu terbuka lebar dan terjaga oleh sepasukan penjaga yang bersenjata lengkap dan yang memandangi orang-orang yang lalu lalang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Kalau ada orang yang kelihatan mencurigakan, tentu akan dipanggil dan diperiksa.
Akan tetapi keadaan Gak Bun Beng dan Syanti Dewi sama sekali tidak mencurigakan. Wajah Gak Bun Beng bukanlah wajah yang menyeramkan, bahkan seperti seorang petani biasa saja yang tampan, sedangkan biarpun wajah Syanti Dewi mempunyai kecantikan yang khas, namun kecantikannya yang mirip kecantikan wanita Mancu ini malah menyelamatkannya dari kecurigaan para penjaga. Apalagi karena kulit mukanya sudah agak gelap terbakar sinar matahari selama berpekan-pekan, dia mirip seorang gadis dusun biasa saja sungguhpun amat manisnya.
“Paman, hayo, kita masuk. Mengapa paman berdiri saja disini?” Syanti Dewi menegur dan menarik tangan pendekar itu.
“Ahhh.... eh.... benar kau.... mari....” kata Gak Bun Beng, suaranya agak parau dan gemetar.
“Paman, engkau kenapakah? Mukamu pucat sekali seperti orang sakit.”
“Sakit? Siapa....? Aku sakit? Ah, tidak....!”
Jawab Gak Bun Beng akan tetapi kedua kakinya tersaruk-saruk seolah-olah tubuhnya menjadi lemah kehabisan tenaga.
“Agaknya kau masuk angin, paman. Biar kubawakan buntalan itu.”
Syanti Dewi mengambil buntalan dari tangan Gak Bun Beng dan memandang pamannya itu penuh kekhawatiran.
Ternyata Gak Bun Beng memang sedang menderita tekanan batin yang hebat. Tidak hanya dia teringat akan segala peristiwa belasan tahun lalu, yang mendatangkan rasa duka, terharu, dan khawatir, akan tetapi kemudian dia teringat bahwa mereka telah tiba di tempat tujuan! Ini berarti bahwa dia akan segera berpisah dari Syanti Dewi. Kenyataan ini merupakan palu godam yang menghantam perasaan hatinya dan lebih parah lagi karena dia mendapat kenyataan betapa berat rasa hatinya untuk berpisah dari samping gadis ini!
Kesadaran akan hal inilah yang benar-benar menghimpit hatinya. Mengapa jadi demikian? Mengapa dia menjadi berat berpisah dari samping gadis ini? Biarpun Syanti Dewi sudah mengatakan akan suka ikut selamanya dengan dia, namun dia bukanlah seorang laki-laki yang mempergunakan kelemahan seorang gadis untuk menyenangkan diri sendiri. Tidak!
Apa akan jadinya dengan Syanti Dewi, puteri Raja Bhutan, gadis bangsawan tinggi yang biasa hidup mulia itu apabila ikut dengan dia? Menjadi seorang perantau yang tidak menentu makan, pakaian dan rumahnya? Tidak! Tidak! Tentu, saja dia tidak bisa menceritakan kepada Syanti Dewi bahwa bayangan perpisahan itu yang memberatkan hatinya, yang memukul batinnya, di samping bayangan pertemuannya dengan Milana!
Mereka melewati pintu gerbang dengan aman. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan serombongan pasukan masuk melalui pintu gerbang itu. Syanti Dewi masih memandang pamannya yang menunduk saja.
“Lakukan pengawasan ketat dan jangan lupa, kalau dua iblis itu berani muncul disini, cepat laporkan padaku!”
Suara bisikan yang tidak terdengar oleh orang lain karena diucapkan perlahan dan dari jarak jauh itu masih dapat ditangkap oleh pendengaran Gak Bun Beng dan ada sesuatu dalam suara itu yang membuatnya terkejut dan cepat dia menoleh ke kiri.
Seketika mukanya menjadi makin pucat seperti mayat, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga, kedua tangan dikepal dan dia tak bergerak seperti arca. Matanya memandang seperti orang yang hilang ingatan kepada seorang wanita cantik jelita dan gagah perkasa yang menunggang kuda besar dan berada di depan pasukan berkuda itu dan wanita inilah yang tadi bicara kepada perwira di sampingnya.
Wanita itu usianya kurang lebih tiga puluh tujuh tahun, tubuhnya masih padat dan tinggi semampai, menunggang kuda dengan tegak, tubuhnya tertutup mantel putih, rambutnya disanggul tinggi-tinggi dan yang membuat Gak Bun Beng hampir pingsan adalah wajah yang cantik itu kelihatan begitu kurus, begitu muram kehilangan cahayanya yang dahulu selalu berpancar dari wajah Milana! Hatinya menjerit.
“Milana....!” akan tetapi mulutnya tidak mengeluarkan suara apa-apa.
Syanti Dewi terkejut bukan main, cepat menengok dan diapun melihat wanita yang menunggang kuda itu dan segera rombongan itu lewat dan lenyap. Dia menoleh kembali kepada pamannya yang keadaannya masih payah. Kini Gak Bun Beng menggigit bibir bawahnya, alisnya berkerut dan bibirnya berbisik-bisik tanpa suara.
“Paman....! Ada apakah....? Paman....!”
Gak Bun Beng terhuyung dan cepat tangannya ditangkap oleh Syanti Dewi, kemudian dia menuntun pendekar itu ke pinggir jalan, terus diajaknya berjalan ke tempat yang sunyi. Tak jauh dari situ tampaklah huruf-huruf besar yang menyatakan bahwa disitu terdapat sebuah rumah penginapan.
“Paman, kita beristirahat di penginapan itu, ya?”
Gak Bun Beng hanya mengangguk dan memejamkan matanya. Syanti Dewi berkhawatir sekali. Dengan hati-hati dia menuntun Gak Bun Beng ke rumah penginapan itu dan minta disediakan sebuah kamar. Melihat gadis itu menuntun laki-laki yang kelihatannya menderita sakit, pelayan cepat menyediakan kamar dan Syanti Dewi segera menuntun Gak Bun Beng memasuki kamar.
Gak Bun Beng melempar tubuhnya ke atas pembaringan dan rebah telentang dengan muka tetap pucat. Pukulan batin yang amat hebat dideritanya. Bermacam-macam perasaan mengaduk hatinya, terutama sekali perasaan terharu melihat betapa Milana kini telah berubah menjadi sekurus dan sepucat itu.
“Aku menyiksanya.... aku menyiksa batinnya.... ah, aku menyiksanya....” Demikian jerit hati Gak Bun Beng dan dia memejamkan matanya.
Syanti Dewi duduk di pinggir pembaringan dan dipegangnya dahi pendekar itu. Panas!
“Aih, kau panas sekali, paman. Kau sakit! Kau demam....”
Gak Bun Beng membuka matanya, memandang Syanti Dewi sebentar, lalu memejamkannya kembali, menggeleng kepala dan berkata lemah,
“Tidak apa-apa, Dewi.... sebentar juga sembuh.... tidak apa-apa....”
“Paman, ah, paman, aku khawatir sekali. Kau tadi begitu pucat seperti mayat setelah melihat wanita itu! Siapakah wanita cantik dan gagah yang menunggang kuda itu tadi, paman?”
“Milana.... dia Milana....!” Ketika mengucapkan nama ini, seolah-olah hatinya menjerit memanggil nama kekasihnya. “Milana....!”
Mendengar nama ini, Syanti Dewi terkejut.
“Sang Puteri Milana....?”
Gak Bun Beng mengangguk lagi dan memejamkan matanya. Syanti Dewi mengulang nama itu dan memandang penolongnya penuh selidik, kemudian dia mengangguk-angguk. Digenggamnya tangan pendekar itu ketika dia berkata,
“Maafkan kelancanganku, ya, paman? Diakah wanita yang paman cinta? Sang Puteri Milana itu?”
Sejenak Gak Bun Beng tidak menjawab, bibirnya menggigil, matanya terpejam, kemudian dia mengangguk.
“Aihhh....!”
Syanti Dewi tertegun, sama sekali tidak menduga bahwa penolongnya ini mempunyai hubungan cinta kasih dengan cucu kaisar sendiri! Diam-diam dia mengakui bahwa memang patutlah kalau penolongnya ini mencinta wanita itu, karena memang wanita tadi itu hebat. Begitu cantik, begitu gagah dan begitu agung! Akan tetapi mengapa wanita itu tidak menahan kepergian pendekar ini? Apakah cinta kasih wanita itu kurang mendalam? Kasihan pendekar ini, sampai sekarang masih menderita hebat karena cinta kasihnya terputus!
“Kalau begitu, antarkan aku kepadanya, paman. Atau aku mencari sendiri, aku akan menghadapnya dan akan kutegur dia, akan kukatakan betapa dia telah membuat hidupmu sengsara, betapa dia telah berlaku kejam terhadapmu, betapa dia sepatutnya harus....”
“Hushh....! Jangan berkata begitu, Dewi. Akulah yang meninggalkannya. Cintaku kepadanya sedemikian mendalam sehingga aku tidak mau karena menikah denganku dia akan sengsara. Lihat, dia begitu agung, seorang puteri Istana! Cucu kaisar dan puteri Majikan Pulau Es, seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Super Sakti! Sedangkan aku.... ah, riwayatku hanya memalukan untuk dibicarakan, seorang rendah, miskin dan....”
“Dan semulia-mulianya orang, yang tak dapat melihat ini matanya buta!” Syanti Dewi melanjutkan.
“Tidak, Syanti Dewi. Kau tidak mengerti. Aku rela memutuskan hubungan kami, dan aku rela menderita kalau dia berbahagia. Karena itu, akupun tidak pernah menampakkan diri. Sekarang karena terpaksa aku berada disini dan.... dan melihat dia.... ahh, Dewi, apakah kau tidak melihat bagaimana wajahnya tadi?”
“Cantik dan agung, paman. Akan tetapi.... hemm, memang kurus dan pucat, agak murung....”
“Dia menderita, Dewi. Aku mengenal benar wajahnya. Dia menderita, dan semua itu karena aku.... ohh.” Gak Bun Beng memejamkan mata erat-erat, mulutnya terkancing.
“Paman....! Paman....!”
Syanti Dewi menjerit dan karena jeritannya itu pelayan tadi berlari masuk. Melihat betapa orang yang dipanggil “paman” oleh gadis itu pingsan dan kaku iapun ikut menjadi bingung sekali.
“Lekas.... oh, lekas panggilkan tabib....!”
Syanti Dewi memohon dan pelayan itu lalu lari keluar untuk memanggil ahli pengobatan yang kebetulan toko obatnya tidak begitu jauh dari situ.
Syanti Dewi sendiri cepat membuka baju Gak Bun Beng, kemudian dia meletakkan telapak tangannya di dada pendekar itu dan mati-matian mengerahkan sin-kang yang diajarkan oleh Gak Bun Beng. Napasnya sendiri sampai terengah-engah, wajahnya pucat, akan tetapi dia nekat terus menyalurkan sin-kang. Akhirnya, Gak Bun Beng sadar dan cepat dia menangkap tangan Syanti Dewi dan berkata,
“Anak bodoh....! Lekas kau bersila dan atur napasmu baik-baik!”
Syanti Dewi girang sekali melihat penolongnya sudah siuman, maka dia menurut dan bersila. Kini Gak Bun Beng yang membantunya dengan menempelkan telapak tangannya ke punggung dara itu. Syanti Dewi sehat, dan pulih kembali tenaganya, akan tetapi keadaan Gak Bun Beng makin lemah.
“Ahhh, gejolak batin yang belasan tahun kutekan, dalam sehari ini terbebas dari tekanan sehingga seolah-olah api dalam sekam, kini menyala, atau seperti air dibendung, kini pecah bendungannya. Mana aku kuat menahan? Jangan khawatir, Dewi, aku sudah sadar sekarang, hanya tinggal lemas. Tubuhku lemah sekali dan perlu beristirahat agak lama. Kita tunda saja pergi menghadap dia....”
“Menghadap Puteri Milana? Tak perlu kau terlalu banyak memikirkan urusanku, paman. Kalau kau menghendaki menghadap kapan sajapun boleh. Kalau tidakpun, aku juga tidak ingin masuk istana. Yang perlu kau harus berobat sampai sembuh.”
Pelayan datang bersama sinshe ahli obat. Setelah memeriksa nadi dan mendengarkan dada, sinshe tua itu mengangguk-angguk.
“Orang muda, jangan terlalu banyak pikiran. Memang sedang masanya dunia kacau dan ribut-ribut, akan tetapi bukan kita sendiri yang merasakannya, melainkan orang sedunia. Perlu apa gelisah dan berduka? Tenang dan bergembiralah dan tanpa obatpun kau akan sembuh. Akan tetapi perlu kuberi obat untuk menjaga jantungmu.”
Setelah membuat resep dan menerima uang biaya dari Syanti Dewi, sinshe itu lalu pergi dan si pelayan cepat membelikan obat dari resep itu. Sambil memasak obat di dalam kamar, Syanti Dewi memperhatikan dan menjaga Gak Bun Beng yang masih rebah telentang.
“Sinshe itu memang pandai....” kata Gak Bun Beng. “Sungguhpun dugaannya keliru, namun sifat penderitaanku dia tahu semua. Dan dia menyebutku orang muda, betapa lucunya!”
Dengan memiliki dasar tenaga sin-kang gabungan ini, biarpun ilmu silat yang dimainkan oleh Syanti Dewi masih sama dengan beberapa bulan yang lalu, namun kelihaiannya naik menjadi sepuluh kali lipat! Juga, biarpun dalam waktu singkat itu dia hanya menerima jurus-jurus baru yang tidak lebih dari belasan macam saja banyaknya, namun jurus-jurus ini sudah cukup untuk dipergunakan melindungi diri dari ancaman lawan yang amat kuatpun!
Mereka sudah menyeberangi Sungai Huang-ho dan tiba di kota Ban-jun di sebelah barat kota raja. Hari sudah siang ketika mereka memasuki kota itu dan karena kota raja sudah dekat dan mereka telah melakukan perjalanan yang melelahkan sekali, Gak Bun Beng mencari sebuah rumah penginapan.
Akan tetapi baru saja mereka sampai di jalan perempatan, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan tampak dari jauh mendatangi sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda besar dan dikusiri oleh seorang yang berpakaian tentara dan yang memegang golok.
Dari simpangan yang lain tampak belasan orang yang juga berpakaian tentara, dipimpin oleh seorang perwira dan mereka ini membalapkan kuda mengejar kereta itu! Kemudian betapa kagetnya hati Gak Bun Beng dan Syanti Dewi ketika melihat anak panah berapi menyambar ke arah kereta dan dalam sekejap mata saja kereta itu terbakar!
“Ohhh....!”
Syanti Dewi berseru, seruannya kabur didalam seruan-seruan semua orang yang melihat peristiwa itu dan yang segera lari cerai berai bersembunyi di balik-balik rumah penduduk.
“Kita harus menolong penumpang....!” kata pula puteri ini.
Gak Bun Beng memegang tangan dara itu mencegahnya bertindak lancang. Dia masih tidak tahu siapa penumpang kereta, siapa pula yang mengejar dan melepaskan anak panah berapi itu.
Sementara itu, perwira yang memimpin belasan orang perajurit sudah tiba disitu. Kusir kereta itu bangkit berdiri dan berusaha melawan dengan goloknya, akan tetapi karena di belakangnya ada api berkobar, dan gerakan perwira itu tangkas sekali, ketika kuda perwira itu meloncat dekat dan pedang perwira itu menyambar, robohlah kusir itu dari atas kereta, terjungkal diatas tanah jalan sedangkan dua ekor kuda yang panik karena “dikejar” api di belakang mereka itu, terus membalap sambil meringkik-ringkik.
Kini Gak Bun Beng tidak dapat tinggal diam lagi. Apa dan siapapun yang bermusuhan, kusir itu tewas dan penumpang kereta terancam maut. Dia harus menolongnya dulu dan baru kemudian mendengar urusannya.
Bagaikan kilat tubuhnya melesat berkelebat dan angin menyambar dan pendekar itu telah lenyap. Syanti Dewi kagum bukan main, akan tetapi juga khawatir ketika melihat bayangan Gak Bun Beng melesat ke dalam kereta yang terbakar. Akan tetapi hatinya lega ketika melihat pendekar itu melesat keluar lagi memondong seorang pemuda yang terluka ringan di pahanya.
“Keparat, berani mencampuri urusan kami?”
Perwira itu bersama belasan orang perajuritnya sudah menerjang maju kepada Gak Bun Beng yang menurunkan pemuda itu di tepi jalan dekat Syanti Dewi.
“Hemm, kalian terlalu kejam!” Gak Bun Beng berkata lalu menerjang ke depan karena dia tidak ingin pemuda itu diserang. “Dewi, lindungi dia!” katanya dan begitu perwira itu sudah dekat, dia menyambut pedang yang menusuknya dengan sentilan jari tangannya.
“Tringg.... krekkk!” Pedang itu patah menjadi dua!
Gak Bun Beng lalu berkelebat diantara mereka, dan kemanapun dia berkelebat, tentu senjata seorang perajurit penunggang kuda patah atau terlempar. Dua orang perajurit menghampiri pemuda yang terluka itu dengan golok terangkat, akan tetapi Syanti Dewi yang sudah siap dengan dua buah batu sebesar kepalan tangannya, menggerakkan tangan kanan dua kali. Terdengar teriakan mengaduh dan dua batang golok terlepas dari tangan yang disambar batu itu.
“Mundur....! Pergi....!”
Perwira itu memberi aba-aba dan pasukan kecilnya yang telah “dilucuti” senjatanya itu tidak menanti perintah kedua, terus membalikkan kuda dan terjadilah lomba balap kuda yang ramai, meninggalkan debu mengebul tinggi.
Gak Bun Beng menarik napas panjang. Hatinya lega bahwa urusan itu dapat diselesaikan sedemikian mudahnya. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia menoleh ke tempat Syanti Dewi berada, dia hanya melihat dara ini saja sedangkan pemuda yang terluka ringan dan hampir mati terbakar dalam kereta tadi tidak tampak lagi. Cepat dia menghampiri Syanti Dewi.
“Apa yang terjadi? Mana dia?”
“Dia telah pergi, paman. Dia hanya menanyakan nama paman, kemudian dia mengatakan bahwa dia berterima kasih sekali, bahwa selama hidupnya dia tidak akan melupakan budi paman.”
“Dalam keadaan terluka itu dia pergi?”
Syanti Dewi mengangguk.
“Dia tidak mau ditahan, agaknya tergesa-gesa sekali. Dan dia hanya menyatakan bahwa namanya adalah Yung Hwa.”
“Hemm.... sungguh aneh sekali. Mari kita pergi dari kota ini, Syanti Dewi, aku tidak mau menjadi perhatian orang.”
Memang pada saat itu, orang-orang sudah berkumpul dan menghampirinya sambil membicarakan kegagahannya ketika menolong penumpang kereta dan melawan belasan orang pasukan tadi.
Akan tetapi sebelum ada yang sempat bertanya, Gak Bun Beng sudah menggandeng tangan Syanti Dewi dan cepat-cepat meninggalkan kota itu, tidak menengok ketika mendengar ada orang-orang menegur dan memanggilnya menyuruh berhenti. Tentu saja orang-orang itu hanya melongo, dan laki-laki perkasa itu tentulah seorang diantara tokoh-tokoh kang-ouw yang memang selalu bersikap dan berwatak aneh.
Peristiwa itu menambah dorongan bagi Gak Bun Beng dan Syanti Dewi untuk cepat menuju ke kota raja. Mereka menduga bahwa tentu bentrokan yang terjadi itu ada hubungannya dengan kerusuhan di kota raja. Sama sekali Gak Bun Beng tidak menyangka bahwa yang ditolongnya itu adalah putera kaisar sendiri!
Dia adalah Pangeran Yung Hwa, adik Pangeran Mahkota Yung Ceng. Pangeran Yung Hwa itulah tadi yang tergila-gila mendengar kecantikan Syanti Dewi dan ingin menikah dengan puteri itu.
Tentu saja Gak Bun Beng dan Syanti Dewi tidak tahu sama sekali akan urusan itu, juga bagi pangeran muda yang tampan itu, sama sekali tidak pernah mimpi bahwa puteri yang membuatnya tergila-gila itu pernah berdiri di depannya, bahkan pernah menolongnya dengan merobohkan dua penyerangnya dengan sambitan batu, pernah dia bercakap-cakap dengan puteri itu!
Tentu saja dia hanya mengira bahwa wanita muda yang menolongnya itu hanyalah seorang dara kang-ouw yang lihai saja. Juga dia masih terlalu muda untuk mendengar nama Gak Bun Beng yang hanya dikenal oleh golongan yang lebih tua karena selama belasan tahun ini nama Gak Bun Beng tidak pernah disebut-sebut orang lagi, apalagi memang orangnya telah menghilang tanpa meninggalkan jejak.
Dengan cepat Gak Bun Beng melanjutkan perjalanan karena dia ingin cepat-cepat melihat keadaan kota raja. Apalagi ketika di sepanjang jalan setelah makin dekat kota raja dia melihat banyaknya pasukan-pasukan kecil yang hilir mudik dan kelihatan sibuk sekali.
Kelihatannya memang amat gawat keadaannya dan di sepanjang jalan dia mencari keterangan, namun para penduduk juga hanya mengetahui sedikit sekali tentang keadaan sedalam-dalamnya dari kota raja yang diliputi penuh rahasia itu, hanya mengatakan bahwa di sekitar kota raja muncul banyak orang-orang aneh dan lihai seolah-olah semua tokoh kang-ouw dan para datuk kaum sesat muncul dari tempat pertapaan mereka, semua orang sakti turun dari pegunungan dan semua iblis keluar dari neraka!
Dan bahwa kini sering sekali tampak perondaan pasukan tentara dari kota raja dan banyak terjadi pertempuran, bahkan antara pasukan dengan pasukan lain sehingga membingungkan dan mendatangkan rasa takut kepada rakyat jelata.
Beberapa hari kemudian, tibalah Gak Bun Beng dan Syanti Dewi di depan pintu gerbang kota raja sebelah barat. Di depan pintu gerbang ini, Gak Bun Beng berhenti dan termenung dengan muka berubah pucat. Terbayanglah olehnya semua pengalamannya belasan tahun yan lalu (baca cerita Sepasang Pedang Iblis) dan jantungnya berdebar tegang ketika teringat bahwa di dalam lingkungan tembok kota raja inilah adanya wanita yang pernah dan masih dicintanya. Puteri Milana!
Pintu gerbang itu terbuka lebar dan terjaga oleh sepasukan penjaga yang bersenjata lengkap dan yang memandangi orang-orang yang lalu lalang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Kalau ada orang yang kelihatan mencurigakan, tentu akan dipanggil dan diperiksa.
Akan tetapi keadaan Gak Bun Beng dan Syanti Dewi sama sekali tidak mencurigakan. Wajah Gak Bun Beng bukanlah wajah yang menyeramkan, bahkan seperti seorang petani biasa saja yang tampan, sedangkan biarpun wajah Syanti Dewi mempunyai kecantikan yang khas, namun kecantikannya yang mirip kecantikan wanita Mancu ini malah menyelamatkannya dari kecurigaan para penjaga. Apalagi karena kulit mukanya sudah agak gelap terbakar sinar matahari selama berpekan-pekan, dia mirip seorang gadis dusun biasa saja sungguhpun amat manisnya.
“Paman, hayo, kita masuk. Mengapa paman berdiri saja disini?” Syanti Dewi menegur dan menarik tangan pendekar itu.
“Ahhh.... eh.... benar kau.... mari....” kata Gak Bun Beng, suaranya agak parau dan gemetar.
“Paman, engkau kenapakah? Mukamu pucat sekali seperti orang sakit.”
“Sakit? Siapa....? Aku sakit? Ah, tidak....!”
Jawab Gak Bun Beng akan tetapi kedua kakinya tersaruk-saruk seolah-olah tubuhnya menjadi lemah kehabisan tenaga.
“Agaknya kau masuk angin, paman. Biar kubawakan buntalan itu.”
Syanti Dewi mengambil buntalan dari tangan Gak Bun Beng dan memandang pamannya itu penuh kekhawatiran.
Ternyata Gak Bun Beng memang sedang menderita tekanan batin yang hebat. Tidak hanya dia teringat akan segala peristiwa belasan tahun lalu, yang mendatangkan rasa duka, terharu, dan khawatir, akan tetapi kemudian dia teringat bahwa mereka telah tiba di tempat tujuan! Ini berarti bahwa dia akan segera berpisah dari Syanti Dewi. Kenyataan ini merupakan palu godam yang menghantam perasaan hatinya dan lebih parah lagi karena dia mendapat kenyataan betapa berat rasa hatinya untuk berpisah dari samping gadis ini!
Kesadaran akan hal inilah yang benar-benar menghimpit hatinya. Mengapa jadi demikian? Mengapa dia menjadi berat berpisah dari samping gadis ini? Biarpun Syanti Dewi sudah mengatakan akan suka ikut selamanya dengan dia, namun dia bukanlah seorang laki-laki yang mempergunakan kelemahan seorang gadis untuk menyenangkan diri sendiri. Tidak!
Apa akan jadinya dengan Syanti Dewi, puteri Raja Bhutan, gadis bangsawan tinggi yang biasa hidup mulia itu apabila ikut dengan dia? Menjadi seorang perantau yang tidak menentu makan, pakaian dan rumahnya? Tidak! Tidak! Tentu, saja dia tidak bisa menceritakan kepada Syanti Dewi bahwa bayangan perpisahan itu yang memberatkan hatinya, yang memukul batinnya, di samping bayangan pertemuannya dengan Milana!
Mereka melewati pintu gerbang dengan aman. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan serombongan pasukan masuk melalui pintu gerbang itu. Syanti Dewi masih memandang pamannya yang menunduk saja.
“Lakukan pengawasan ketat dan jangan lupa, kalau dua iblis itu berani muncul disini, cepat laporkan padaku!”
Suara bisikan yang tidak terdengar oleh orang lain karena diucapkan perlahan dan dari jarak jauh itu masih dapat ditangkap oleh pendengaran Gak Bun Beng dan ada sesuatu dalam suara itu yang membuatnya terkejut dan cepat dia menoleh ke kiri.
Seketika mukanya menjadi makin pucat seperti mayat, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga, kedua tangan dikepal dan dia tak bergerak seperti arca. Matanya memandang seperti orang yang hilang ingatan kepada seorang wanita cantik jelita dan gagah perkasa yang menunggang kuda besar dan berada di depan pasukan berkuda itu dan wanita inilah yang tadi bicara kepada perwira di sampingnya.
Wanita itu usianya kurang lebih tiga puluh tujuh tahun, tubuhnya masih padat dan tinggi semampai, menunggang kuda dengan tegak, tubuhnya tertutup mantel putih, rambutnya disanggul tinggi-tinggi dan yang membuat Gak Bun Beng hampir pingsan adalah wajah yang cantik itu kelihatan begitu kurus, begitu muram kehilangan cahayanya yang dahulu selalu berpancar dari wajah Milana! Hatinya menjerit.
“Milana....!” akan tetapi mulutnya tidak mengeluarkan suara apa-apa.
Syanti Dewi terkejut bukan main, cepat menengok dan diapun melihat wanita yang menunggang kuda itu dan segera rombongan itu lewat dan lenyap. Dia menoleh kembali kepada pamannya yang keadaannya masih payah. Kini Gak Bun Beng menggigit bibir bawahnya, alisnya berkerut dan bibirnya berbisik-bisik tanpa suara.
“Paman....! Ada apakah....? Paman....!”
Gak Bun Beng terhuyung dan cepat tangannya ditangkap oleh Syanti Dewi, kemudian dia menuntun pendekar itu ke pinggir jalan, terus diajaknya berjalan ke tempat yang sunyi. Tak jauh dari situ tampaklah huruf-huruf besar yang menyatakan bahwa disitu terdapat sebuah rumah penginapan.
“Paman, kita beristirahat di penginapan itu, ya?”
Gak Bun Beng hanya mengangguk dan memejamkan matanya. Syanti Dewi berkhawatir sekali. Dengan hati-hati dia menuntun Gak Bun Beng ke rumah penginapan itu dan minta disediakan sebuah kamar. Melihat gadis itu menuntun laki-laki yang kelihatannya menderita sakit, pelayan cepat menyediakan kamar dan Syanti Dewi segera menuntun Gak Bun Beng memasuki kamar.
Gak Bun Beng melempar tubuhnya ke atas pembaringan dan rebah telentang dengan muka tetap pucat. Pukulan batin yang amat hebat dideritanya. Bermacam-macam perasaan mengaduk hatinya, terutama sekali perasaan terharu melihat betapa Milana kini telah berubah menjadi sekurus dan sepucat itu.
“Aku menyiksanya.... aku menyiksa batinnya.... ah, aku menyiksanya....” Demikian jerit hati Gak Bun Beng dan dia memejamkan matanya.
Syanti Dewi duduk di pinggir pembaringan dan dipegangnya dahi pendekar itu. Panas!
“Aih, kau panas sekali, paman. Kau sakit! Kau demam....”
Gak Bun Beng membuka matanya, memandang Syanti Dewi sebentar, lalu memejamkannya kembali, menggeleng kepala dan berkata lemah,
“Tidak apa-apa, Dewi.... sebentar juga sembuh.... tidak apa-apa....”
“Paman, ah, paman, aku khawatir sekali. Kau tadi begitu pucat seperti mayat setelah melihat wanita itu! Siapakah wanita cantik dan gagah yang menunggang kuda itu tadi, paman?”
“Milana.... dia Milana....!” Ketika mengucapkan nama ini, seolah-olah hatinya menjerit memanggil nama kekasihnya. “Milana....!”
Mendengar nama ini, Syanti Dewi terkejut.
“Sang Puteri Milana....?”
Gak Bun Beng mengangguk lagi dan memejamkan matanya. Syanti Dewi mengulang nama itu dan memandang penolongnya penuh selidik, kemudian dia mengangguk-angguk. Digenggamnya tangan pendekar itu ketika dia berkata,
“Maafkan kelancanganku, ya, paman? Diakah wanita yang paman cinta? Sang Puteri Milana itu?”
Sejenak Gak Bun Beng tidak menjawab, bibirnya menggigil, matanya terpejam, kemudian dia mengangguk.
“Aihhh....!”
Syanti Dewi tertegun, sama sekali tidak menduga bahwa penolongnya ini mempunyai hubungan cinta kasih dengan cucu kaisar sendiri! Diam-diam dia mengakui bahwa memang patutlah kalau penolongnya ini mencinta wanita itu, karena memang wanita tadi itu hebat. Begitu cantik, begitu gagah dan begitu agung! Akan tetapi mengapa wanita itu tidak menahan kepergian pendekar ini? Apakah cinta kasih wanita itu kurang mendalam? Kasihan pendekar ini, sampai sekarang masih menderita hebat karena cinta kasihnya terputus!
“Kalau begitu, antarkan aku kepadanya, paman. Atau aku mencari sendiri, aku akan menghadapnya dan akan kutegur dia, akan kukatakan betapa dia telah membuat hidupmu sengsara, betapa dia telah berlaku kejam terhadapmu, betapa dia sepatutnya harus....”
“Hushh....! Jangan berkata begitu, Dewi. Akulah yang meninggalkannya. Cintaku kepadanya sedemikian mendalam sehingga aku tidak mau karena menikah denganku dia akan sengsara. Lihat, dia begitu agung, seorang puteri Istana! Cucu kaisar dan puteri Majikan Pulau Es, seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Super Sakti! Sedangkan aku.... ah, riwayatku hanya memalukan untuk dibicarakan, seorang rendah, miskin dan....”
“Dan semulia-mulianya orang, yang tak dapat melihat ini matanya buta!” Syanti Dewi melanjutkan.
“Tidak, Syanti Dewi. Kau tidak mengerti. Aku rela memutuskan hubungan kami, dan aku rela menderita kalau dia berbahagia. Karena itu, akupun tidak pernah menampakkan diri. Sekarang karena terpaksa aku berada disini dan.... dan melihat dia.... ahh, Dewi, apakah kau tidak melihat bagaimana wajahnya tadi?”
“Cantik dan agung, paman. Akan tetapi.... hemm, memang kurus dan pucat, agak murung....”
“Dia menderita, Dewi. Aku mengenal benar wajahnya. Dia menderita, dan semua itu karena aku.... ohh.” Gak Bun Beng memejamkan mata erat-erat, mulutnya terkancing.
“Paman....! Paman....!”
Syanti Dewi menjerit dan karena jeritannya itu pelayan tadi berlari masuk. Melihat betapa orang yang dipanggil “paman” oleh gadis itu pingsan dan kaku iapun ikut menjadi bingung sekali.
“Lekas.... oh, lekas panggilkan tabib....!”
Syanti Dewi memohon dan pelayan itu lalu lari keluar untuk memanggil ahli pengobatan yang kebetulan toko obatnya tidak begitu jauh dari situ.
Syanti Dewi sendiri cepat membuka baju Gak Bun Beng, kemudian dia meletakkan telapak tangannya di dada pendekar itu dan mati-matian mengerahkan sin-kang yang diajarkan oleh Gak Bun Beng. Napasnya sendiri sampai terengah-engah, wajahnya pucat, akan tetapi dia nekat terus menyalurkan sin-kang. Akhirnya, Gak Bun Beng sadar dan cepat dia menangkap tangan Syanti Dewi dan berkata,
“Anak bodoh....! Lekas kau bersila dan atur napasmu baik-baik!”
Syanti Dewi girang sekali melihat penolongnya sudah siuman, maka dia menurut dan bersila. Kini Gak Bun Beng yang membantunya dengan menempelkan telapak tangannya ke punggung dara itu. Syanti Dewi sehat, dan pulih kembali tenaganya, akan tetapi keadaan Gak Bun Beng makin lemah.
“Ahhh, gejolak batin yang belasan tahun kutekan, dalam sehari ini terbebas dari tekanan sehingga seolah-olah api dalam sekam, kini menyala, atau seperti air dibendung, kini pecah bendungannya. Mana aku kuat menahan? Jangan khawatir, Dewi, aku sudah sadar sekarang, hanya tinggal lemas. Tubuhku lemah sekali dan perlu beristirahat agak lama. Kita tunda saja pergi menghadap dia....”
“Menghadap Puteri Milana? Tak perlu kau terlalu banyak memikirkan urusanku, paman. Kalau kau menghendaki menghadap kapan sajapun boleh. Kalau tidakpun, aku juga tidak ingin masuk istana. Yang perlu kau harus berobat sampai sembuh.”
Pelayan datang bersama sinshe ahli obat. Setelah memeriksa nadi dan mendengarkan dada, sinshe tua itu mengangguk-angguk.
“Orang muda, jangan terlalu banyak pikiran. Memang sedang masanya dunia kacau dan ribut-ribut, akan tetapi bukan kita sendiri yang merasakannya, melainkan orang sedunia. Perlu apa gelisah dan berduka? Tenang dan bergembiralah dan tanpa obatpun kau akan sembuh. Akan tetapi perlu kuberi obat untuk menjaga jantungmu.”
Setelah membuat resep dan menerima uang biaya dari Syanti Dewi, sinshe itu lalu pergi dan si pelayan cepat membelikan obat dari resep itu. Sambil memasak obat di dalam kamar, Syanti Dewi memperhatikan dan menjaga Gak Bun Beng yang masih rebah telentang.
“Sinshe itu memang pandai....” kata Gak Bun Beng. “Sungguhpun dugaannya keliru, namun sifat penderitaanku dia tahu semua. Dan dia menyebutku orang muda, betapa lucunya!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar