“Hemmm.... sebelum mengenal dia, aku belum pernah mencintai orang lain, sesudah itupun aku tidak ada minat dan waktu.... aku malah muak dan tidak percaya akan cinta kasih antara pria dan wanita yang kesemuanya kuanggap palsu belaka! Aku tidak percaya lagi akan kata-kata cinta yang pada hakekatnya hanyalah penonjolan keinginan pribadi untuk mencari kesenangan dan kepuasan hati sendiri. Akan tetapi.... sikapku karena patah hati itu ternyata keliru dan baru aku sadar bahwa memang ada cinta kasih yang murni, yang tanpa pamrih.... yaitu setelah aku bertemu denganmu, Dewi. Setelah aku berjumpa denganmu, setelah aku bergaul beberapa lamanya denganmu, kau mengingatkan aku kepada dia....”
“Aduh, paman Gak.... sungguh kasihan kau! Kalau begitu, mengapa kita tidak pergi mencari dia? Dimanakah kekasihmu itu? Sekarang belum terlambat untuk menyambung kembali pertalian kasih sayang yang secara paksa paman putuskan itu! Marilah, aku akan menceritakan kepadanya betapa paman adalah seorang jantan yang hebat, seorang pria yang budiman, yang sampai saat inipun tidak pernah melupakan dia, tidak pernah mengurangi cinta kasihnya yang mendalam dan murni!”
Gak Bun Beng menggeleng kepala.
“Dia.... dia sudah menikah dengan orang lain, Dewi....”
“Ihhhh....!” Mata yang indah itu terbelalak memandang Bun Beng. “Mana mungkin....? Bukankah dia mencintamu, paman?”
“Dia tidak berdaya, kehendak orang tuanya.”
Tiba-tiba Gak Bun Beng teringat bahwa dia telah berlarut-larut, melihat wajah dara itu yang biasanya seperti matahari pagi kini menjadi muram, pucat dan layu, dia hampir memukul kepalanya sendiri. Tiba-tiba dia memegang tangan dara itu, ditariknya berdiri dan sambil tersenyum dia berkata,
“Aahhh, apa yang telah kita lakukan ini? Kita mendongeng tentang cerita-cerita duka, menggali pendaman-pendaman busuk! Padahal dunia ini begini indah, matahari begitu terang! Hapuskan air matamu itu, Dewi! Engkau masih muda belia, muda remaja. Lihat, masa depanmu seperti sinar matahari itu, cerah dan terang! Perlu apa hidup sekali ini di dunia harus berkeluh kesah dan berduka cita! Air mata darah sekalipun tidak akan dapat membangkitkan kembali yang telah mati! Ha-ha-ha, aku bodoh dan canggung! Mari, Dewi, kita lanjutkan perjalanan. Lihat disana itu, genteng-gentengnya masih baru, tentu itu merupakan bangunan baru, dan kalau tidak salah, itulah markas pasukan yang akan kita selidiki.”
Melihat perubahan sikap pendekar itu, Syanti Dewi yang berperasaan tajam halus dan memang cerdik itu, maklum bahwa pendekar itu selain hendak mengubur kembali kenangan yang menyedihkan, juga tidak ingin menyeretnya berlarut-larut ke dalam awan kedukaan. Dia makin kagum dan bersyukur, dan diapun membantu agar pendekar itu tidak kecewa. Dia menghapus semua keharuannya dan mulai tampaklah senyum di bibir dara itu dan matanya mulai bercahaya ketika dia memandang wajah Gak Bun Beng.
“Baik, paman. Marilah, akan tetapi harap paman menjagaku baik-baik karena aku masih ngeri kalau teringat akan kekasaran perajurit-perajurit itu.”
“Jangan khawatir. Betapapun juga, andaikata terjadi apa-apa yang tak dapat kucegah, kita masih mempunyai jimat berupa nama jenderal itu, bukan? Cuma satu hal yang harus kau jaga. Jangan kau menari seindah tadi!”
“Eh, mengapa, paman?”
“Mana mungkin ada penari dusun dapat menari seindah tarian bidadari seperti tadi! Jangan, gerakkan selendangmu biasa saja, agak perkasarlah, gerakan kaki tanganmu.”
Syanti Dewi tertawa. Sedap perasaan Gak Bun Beng mendengar suara ketawa ini dan buyarlah semua awan mendung.
“Perintahmu ini jauh lebih sukar daripada perintah memperbaiki atau memperhalus tarian, paman. Memperkasar tarian? Betapa sukarnya, akan tetapi biarlah kucoba asal paman membantu dengan suara sulingmu.”
“Membantu bagaimana?”
“Jangan terlalu merdu! Bikin agak sumbang begitulah, jadi aku akan tetap teringat untuk membikin gerakannya kaku.”
Keduanya tertawa dan melanjutkan perjalanan menuju ke sekelompok bangunan di depan sambil bergandengan tangan. Sekali ini Gak Bun Beng tidak ragu-ragu lagi untuk menggenggam tangan yang kecil halus itu. Mereka bergandengan sebagai dua orang sahabat, sebagai ayah dan anak, bukanlah sebagai sepasang kekasih!
Markas itu adalah markas pasukan penjaga tapal batas. Biasanya mereka bermalas-malasan, akan tetapi semenjak Jenderal Kao Liang datang beberapa hari yang lalu, mereka tidak berani bermalas-malasan lagi dan penjagaan dilakukan dengan tertib. Juga tidak ada yang berani berkeliaran mengganggu dusun-dusun terdekat karena Jenderal Kao Liang terkenal sebagai seorang pembesar yang keras dan kedatangannya otomatis membuat para komandan pasukan di tempat itu juga menjadi tegas dan keras terhadap bawahannya.
Banyak juga orang preman, penduduk dusun yang keluar masuk pintu gerbang benteng, ada yang mengantar kayu bakar, sayur-sayuran dan lain-lain. Gak Bun Beng berjalan tenang bersama Syanti Dewi dan sambil berjalan dia meniup sulingnya. Ketika mereka tiba di depan pintu gerbang, empat orang penjaga menghadang mereka dan seorang diantaranya menghardik,
“Berhenti! Siapa kalian dan mengapa engkau meniup-niup suling di tempat ini? Tak tahukah bahwa disini adalah markas pasukan?”
“Maaf, kami memanglah rombongan tari maka sudah menjadi kebiasaan saya kalau berjalan meniup suling agar tidak lekas lelah. Jadi disini adalah markas pasukan pemerintah? Kebetulan sekali! Kami sedang menuju ke timur dan karena kami ingin mendengar secara resmi bagaimana keadaan disana, maka kami ingin memperoleh keterangan dari komandan kalian. Untuk itu, kami bersedia menghibur kalian dengan tari-tarian dan memberi obat luka yang manjur.”
Para penjaga itu saling pandang dan mereka berkali-kali memandang wajah Syanti Dewi yang amat cantik biarpun sederhana pakaiannya itu.
“Kau tunggu sebentar, aku akan melapor kepada komandan!” kata seorang diantara mereka penuh gairah.
Gak Bun Beng mengangguk dan duduk di sudut sambil meniup sulingnya, sengaja dia mainkan sulingnya sebaik mungkin untuk menarik perhatian. Sedangkan Syanti Dewi menunduk saja karena dia merasa “ngeri” melihat pandang mata para penjaga itu yang seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat!
Tak lama kemudian muncullah si penjaga tadi mengiringkan seorang perwira gendut pendek yang mukanya bulat dan lucu kelihatannya. Perwira itu adalah komandan sementara di markas itu karena panglimanya sedang pergi mengikuti Jenderal Kao Liang yang sedang memimpin pasukan beroperasi di daerah barat.
“Aduh, paman Gak.... sungguh kasihan kau! Kalau begitu, mengapa kita tidak pergi mencari dia? Dimanakah kekasihmu itu? Sekarang belum terlambat untuk menyambung kembali pertalian kasih sayang yang secara paksa paman putuskan itu! Marilah, aku akan menceritakan kepadanya betapa paman adalah seorang jantan yang hebat, seorang pria yang budiman, yang sampai saat inipun tidak pernah melupakan dia, tidak pernah mengurangi cinta kasihnya yang mendalam dan murni!”
Gak Bun Beng menggeleng kepala.
“Dia.... dia sudah menikah dengan orang lain, Dewi....”
“Ihhhh....!” Mata yang indah itu terbelalak memandang Bun Beng. “Mana mungkin....? Bukankah dia mencintamu, paman?”
“Dia tidak berdaya, kehendak orang tuanya.”
Tiba-tiba Gak Bun Beng teringat bahwa dia telah berlarut-larut, melihat wajah dara itu yang biasanya seperti matahari pagi kini menjadi muram, pucat dan layu, dia hampir memukul kepalanya sendiri. Tiba-tiba dia memegang tangan dara itu, ditariknya berdiri dan sambil tersenyum dia berkata,
“Aahhh, apa yang telah kita lakukan ini? Kita mendongeng tentang cerita-cerita duka, menggali pendaman-pendaman busuk! Padahal dunia ini begini indah, matahari begitu terang! Hapuskan air matamu itu, Dewi! Engkau masih muda belia, muda remaja. Lihat, masa depanmu seperti sinar matahari itu, cerah dan terang! Perlu apa hidup sekali ini di dunia harus berkeluh kesah dan berduka cita! Air mata darah sekalipun tidak akan dapat membangkitkan kembali yang telah mati! Ha-ha-ha, aku bodoh dan canggung! Mari, Dewi, kita lanjutkan perjalanan. Lihat disana itu, genteng-gentengnya masih baru, tentu itu merupakan bangunan baru, dan kalau tidak salah, itulah markas pasukan yang akan kita selidiki.”
Melihat perubahan sikap pendekar itu, Syanti Dewi yang berperasaan tajam halus dan memang cerdik itu, maklum bahwa pendekar itu selain hendak mengubur kembali kenangan yang menyedihkan, juga tidak ingin menyeretnya berlarut-larut ke dalam awan kedukaan. Dia makin kagum dan bersyukur, dan diapun membantu agar pendekar itu tidak kecewa. Dia menghapus semua keharuannya dan mulai tampaklah senyum di bibir dara itu dan matanya mulai bercahaya ketika dia memandang wajah Gak Bun Beng.
“Baik, paman. Marilah, akan tetapi harap paman menjagaku baik-baik karena aku masih ngeri kalau teringat akan kekasaran perajurit-perajurit itu.”
“Jangan khawatir. Betapapun juga, andaikata terjadi apa-apa yang tak dapat kucegah, kita masih mempunyai jimat berupa nama jenderal itu, bukan? Cuma satu hal yang harus kau jaga. Jangan kau menari seindah tadi!”
“Eh, mengapa, paman?”
“Mana mungkin ada penari dusun dapat menari seindah tarian bidadari seperti tadi! Jangan, gerakkan selendangmu biasa saja, agak perkasarlah, gerakan kaki tanganmu.”
Syanti Dewi tertawa. Sedap perasaan Gak Bun Beng mendengar suara ketawa ini dan buyarlah semua awan mendung.
“Perintahmu ini jauh lebih sukar daripada perintah memperbaiki atau memperhalus tarian, paman. Memperkasar tarian? Betapa sukarnya, akan tetapi biarlah kucoba asal paman membantu dengan suara sulingmu.”
“Membantu bagaimana?”
“Jangan terlalu merdu! Bikin agak sumbang begitulah, jadi aku akan tetap teringat untuk membikin gerakannya kaku.”
Keduanya tertawa dan melanjutkan perjalanan menuju ke sekelompok bangunan di depan sambil bergandengan tangan. Sekali ini Gak Bun Beng tidak ragu-ragu lagi untuk menggenggam tangan yang kecil halus itu. Mereka bergandengan sebagai dua orang sahabat, sebagai ayah dan anak, bukanlah sebagai sepasang kekasih!
Markas itu adalah markas pasukan penjaga tapal batas. Biasanya mereka bermalas-malasan, akan tetapi semenjak Jenderal Kao Liang datang beberapa hari yang lalu, mereka tidak berani bermalas-malasan lagi dan penjagaan dilakukan dengan tertib. Juga tidak ada yang berani berkeliaran mengganggu dusun-dusun terdekat karena Jenderal Kao Liang terkenal sebagai seorang pembesar yang keras dan kedatangannya otomatis membuat para komandan pasukan di tempat itu juga menjadi tegas dan keras terhadap bawahannya.
Banyak juga orang preman, penduduk dusun yang keluar masuk pintu gerbang benteng, ada yang mengantar kayu bakar, sayur-sayuran dan lain-lain. Gak Bun Beng berjalan tenang bersama Syanti Dewi dan sambil berjalan dia meniup sulingnya. Ketika mereka tiba di depan pintu gerbang, empat orang penjaga menghadang mereka dan seorang diantaranya menghardik,
“Berhenti! Siapa kalian dan mengapa engkau meniup-niup suling di tempat ini? Tak tahukah bahwa disini adalah markas pasukan?”
“Maaf, kami memanglah rombongan tari maka sudah menjadi kebiasaan saya kalau berjalan meniup suling agar tidak lekas lelah. Jadi disini adalah markas pasukan pemerintah? Kebetulan sekali! Kami sedang menuju ke timur dan karena kami ingin mendengar secara resmi bagaimana keadaan disana, maka kami ingin memperoleh keterangan dari komandan kalian. Untuk itu, kami bersedia menghibur kalian dengan tari-tarian dan memberi obat luka yang manjur.”
Para penjaga itu saling pandang dan mereka berkali-kali memandang wajah Syanti Dewi yang amat cantik biarpun sederhana pakaiannya itu.
“Kau tunggu sebentar, aku akan melapor kepada komandan!” kata seorang diantara mereka penuh gairah.
Gak Bun Beng mengangguk dan duduk di sudut sambil meniup sulingnya, sengaja dia mainkan sulingnya sebaik mungkin untuk menarik perhatian. Sedangkan Syanti Dewi menunduk saja karena dia merasa “ngeri” melihat pandang mata para penjaga itu yang seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat!
Tak lama kemudian muncullah si penjaga tadi mengiringkan seorang perwira gendut pendek yang mukanya bulat dan lucu kelihatannya. Perwira itu adalah komandan sementara di markas itu karena panglimanya sedang pergi mengikuti Jenderal Kao Liang yang sedang memimpin pasukan beroperasi di daerah barat.
Perwira itu sebetulnya seorang yang sabar dan baik, akan tetapi begitu melihat bahwa yang disebut rombongan tari itu terdapat seorang gadis yang demikian denok, kontan saja sikapnya menjadi berubah dari biasanya. Dia memasang aksi seolah-olah dialah komandan terbesar, dialah panglima tertinggi atau bahkan kaisar sendiri!
Sambil bertolak pinggang dia memandang kepada Gak Bun Beng yang sudah berdiri dan menjura di depannya. Pandang matanya menyapu pendekar itu dan dara di sebelahnya, seolah-olah dia sama sekali tidak acuh akan kecantikan dara itu dan hanya menjalankan tugasnya sebagai “komandan” betul-betul, lalu dia membentak dengan suara nyaring,
“Siapa kau dan dari mana hendak kemana?”
Gak Bun Beng yang sudah berpengalaman dan pandai membaca sikap dan isi hati orang, tersenyum geli karena maklum bahwa kegagahan perwira ini adalah dibuat-buat untuk menarik perhatian Syanti Dewi, tentunya dengan maksud agar dara itu kagum melihat seorang “komandan sungguhan”!
Ingin sekali dia melihat akan bagaimana wajah badut ini kalau dia tahu bahwa gadis dusun yang cantik dan dipasangi aksi itu adalah Puteri Bhutan yang akan menjadi mantu kaisar! Bisa dibayangkan bahwa si gendut pendek ini tentu akan bertiarap di depan kaki Syanti Dewi, menyusup-nyusup seperti ular diantara rumput dan minta-minta ampun!
“Maafkan kami berdua, tai-ciangkun!”
Kata Gak Bun Beng yang makin geli hatinya melihat betapa perwira itu ketika mendengar sebutan tai-ciangkun terus saja melembungkan dadanya dan mengempiskan perutnya, akan tetapi karena tidak dapat menahan lama-lama, segera dadanya mengempis dan perutnya mengembung kembali seperti biasanya.
Dicobanya lagi beberapa kali, namun makin lama makin tak kuat sampai napasnya senin kemis dan akhirnya dia membiarkan saja perutnya gendut bergantung dan dadanya mengempis.
“Saya bernama Gak Bun Beng dan dia adalah anakku bernama Dewi, ibunya seorang Tibet. Kami hendak pergi ke timur, akan tetapi di sepanjang jalan saya melihat pasukan pemberontak yang melarikan diri dan kabar selentingan bahwa di timur geger karena perang. Hal ini sangat menggelisahkan kami karena kabar yang kami terima tidak jelas. Maka kami ingin memperoleh keterangan yang resmi dan jelas dari tai-ciangkun agar hati kami lega untuk melanjutkan perjalan ke timur yang amat jauh itu. Untuk kebaikan tai-ciangkun, sebelumnya kami menghaturkan terima kasih dan untuk membalas budi, kami akan mengadakan pertunjukan tari-tarian dan membagi obat luka yang mujarab untuk tai-ciangkun.”
Perwira gendut itu menggerak-gerakkan alisnya seperti orang yang berpikir keras. Memang dia berpikir, akan tetapi alis tipis yang digerak-gerakkan itu termasuk aksinya agar kelihatan sebagai panglima ahli siasat yang pandai. Lagi-lagi, matanya yang agak bulat dan kecil melirik ke arah Syanti Dewi. Lirikan cepat tidak kentara akan tetapi tentu saja tidak terlepas dari pandang mata Gak Bun Beng.
“Dewi.... hemmm....”
Perwira itu menggumam, agaknya tertarik oleh nama itu dan sama sekali tidak memperhatikan nama laki-laki bercaping itu.
“Bagaimana, tai-ciangkun?” Gak Bun Beng bertanya ketika melihat perwira itu seperti mimpi menyebut nama Dewi.
“Ohhh.... ya, kami pikir dulu. Eh, engkau kelihatan begini tabah menghadapi pasukan, seperti sudah biasa. Engkau bukan mata-mata pemberontak, bukan?”
Gak Bun Beng tersenyum. Pertanyaan ini saja sudah membuktikan betapa tololnya perwira ini dan dengan seorang perwira seperti ini menjadi komandan markas, tidak akan heran kalau mata-mata dapat menyelundup masuk.
“Tentu saja bukan, tai-ciangkun. Kalau mata-mata musuh, masa kami mencari penyakit datang kesini? Saya memang sudah biasa dengan pasukan, apalagi pasukan pemerintah sendiri, karena belasan tahun yang lalu saya pun pernah menjadi perajurit dalam pasukan istimewa yang dipimpin oleh Puteri Nirahai sendiri.”
“Ohhh....!”
Seruan ini terdengar dari banyak mulut para perajurit yang sudah mengerumuni tempat itu. Pasukan istimewa dari Puteri Nirahai memang terkenal sekali dan mendengar ini, perwira gendut itu berseri wajahnya.
“Apa katamu tadi? Tepat sekali, bukan? Sudah kulihat bahwa engkau adalah seorang yang biasa dengan pasukan. Kiranya masih bekas rekan sendiri, ha-ha! Kalau begitu, tentu saja kalian kami sambut dengan kedua tangan terbuka. Selamat datang dan marilah masuk. Mari silahkan, nona.... eh, nona Dewi. Indah sekali nama puterimu, saudara Gak!”
Syanti Dewi menjura dengan hormat dan Gak Bun Beng tersenyum girang ketika keduanya diiringkan oleh sang perwira gendut sendiri memasuki pintu gerbang markas itu. Hari telah mulai gelap karena tadi mereka berangkat dari dusun setelah berbelanja dan sudah lewat tengah hari. Dan tadi mereka agak lama berhenti bercakap-cakap sehingga menjelang senja mereka baru tiba di depan markas itu.
“Sebaiknya tari-tarian dilakukan di waktu malam hari, di dekat api unggun, barulah tampak lebih indah dan meriah,” kata Gak Bun Beng.
“Baik, dan memang sebaiknya demikian agar semua anak buah dapat ikut menonton karena sudah bebas tugas,” kata perwira itu yang mulai kelihatan kebaikan hatinya seperti biasa.
“Sekarang kalau kau tidak berkeberatan, ciangkun, harap suka menceritakan kepadaku tentang keadaan di kota raja. Saya ingin membawa anak saya ke kota raja, akan tetapi tentu saja hati saya tidak akan tenteram sebelum tahu bagaimana keadaan disana.”
Perwira itu menggeleng kepalanya.
“Sebetulnya, perjalanan kesana dari sini sudah tidak akan terganggu oleh para pemberontak lagi karena belum lama ini telah dilakukan operasi pembersihan besar-besaran. Akan tetapi, tentu saja kau harus berhati-hati terhadap perampok dan orang jahat, saudara Gak.”
“Harap ciangkun tidak usah khawatir. Kalau hanya menghadapi para perampok, kiranya saya tidak percuma menjadi bekas anak buah Puteri Nirahai. Akan tetapi, bagaimanakah keadaan kerajaan sendiri? Mengapa banyak timbul pemberontakan? Kalau kiranya memang perlu, biarpun sekarang sudah mulai tua, aku akan menghadap panglima di kota raja untuk menjadi perajurit lagi, membela pemerintah.”
Perwira itu menggeleng-geleng kepala.
“Memang kurang baik keadaannya. Karena itulah Jenderal Kao Liang sendiri sibuk kesana kemari, mengadakan pengontrolan dan perondaan sendiri, hanya dengan beberapa orang pembantu dan pengawalnya. Tentu kau tahu, setelah sri baginda menjelang tua, biarpun tahta kerajaan sudah ditentukan akan jatuh kepada Putera Mahkota Yung Ceng, tetap saja timbul perebutan. Kabarnya banyak pangeran yang diam-diam melakukan pemberontakan secara rahasia sehingga sukar diketahui yang mana yang setia kepada kerajaan dan yang mana yang memberontak. Apalagi akhir-akhir ini keadaan dibikin ramai dan ribut lagi dengan adanya pertalian jodoh antara Puteri Kerajaan Bhutan dan seorang pangeran.”
Perwira itu agaknya senang bercerita, apalagi melihat Syanti Dewi mendengarkan dengan penuh perhatian sehingga mata yang indah itu jarang berkedip, pandangannya seolah-olah bergantung kepada bibirnya yang sedang bercerita, bibir yang tebal membiru karena terlalu banyak menghisap tembakau.
Disebutnya Puteri Bhutan itu mengejutkan hati Gak Bun Beng dan karena dia ingin agar perhatian perwira itu beralih dari wajah Syanti Dewi yang tentu saja lebih kaget lagi, dia cepat berkata,
“Mengapa pertalian jodoh dapat menimbulkan ramai dan ribut, ciangkun?”
“Sebetulnya pernikahan itu sendiri tidak akan menimbulkan ribut, bahkan merupakan peristiwa yang menggembirakan. Kabarnya Puteri Bhutan itu cantik bukan main, seperti bidadari....”
“Hemm, sayapun sudah mendengar, bahkan melebihi bidadari,”
Kata Gak Bun Beng secara kelakar untuk sekedar melenyapkan kekagetan Syanti Dewi. Dara itu menoleh kepada “ayahnya” dan tersenyum.
“Akan tetapi di balik pernikahan itu tersembunyi maksud-maksud tertentu dari kedua pihak. Pihak Bhutan tentu saja suka berbesan dengan kaisar kita, karena ingin mendapat perlindungan dari para pemberontak Tibet dan Mongol yang dipimpin Raja Muda Tambolon. Sebaliknya, pihak kaisar juga ingin menaklukkan negara itu secara halus melalui ikatan kekeluargaan tanpa perang. Namun maksud kaisar ini mendapatkan tantangan dari banyak pangeran dengan bermacam-macam dalih, akan tetapi saya kira dasarnya hanyalah karena tidak ingin melihat kedudukan kaisar makin kuat dengan adanya banyak negara lain yang bersekutu! Maka kabarnya terjadi bermacam-macam usaha untuk menggagalkan pernikahan itu, bahkan kabarnya rombongan penjemput puteri yang dipimpin Panglima Tan Siong Khi telah diserbu dan puteri itu sendiri kabarnya lenyap ditawan pemberontak. Inilah sebabnya mengapa Jenderal Kao Liang mengamuk dan menumpas para pemberontak di perbatasan. Celakanya ada kabar angin bahwa usaha itu diatur dari kota raja sendiri, oleh para pangeran yang secara rahasia memberontak.”
Kaget bukan main hati Gak Bun Beng mendengar ini. Kiranya segala kekacauan itu bersumber kepada perebutan kekuasaan di istana! Bagaimana dengan Milana?
“Lalu bagaimana kabarnya sikap pangeran yang akan dikawinkan dengan Puteri Bhutan?”
“Pangeran Liong Khi Ong? Hemm, tidak ada berita tentang dia, kelihatannya tenang-tenang saja, bahkan belum lama ini diapun ikut rombongan Jenderal Kao Liang meninjau ke barat, akan tetapi lalu terpisah dan berpesiar menggunakan perahu melalui sungai dikawal oleh pasukannya sendiri. Masih untung Puteri Bhutan yang seperti bidadari itu tidak jadi menikah dengan pangeran itu!”
“Kenapa demikian? Bukankah enak menikah dengan pangeran yang tinggi kedudukannya?”
Tiba-tiba Syanti Dewi bertanya, tidak dapat menahan hatinya lagi karena yang dibicarakan itu sesungguhnya adalah dirinya sendiri.
Perwira gendut memandang dan tersenyum menyeringai, senang hatinya mendengar dara itu bertanya,
“Menarik sekali ceritaku, ya?”
“Ceritamu menarik dan hebat, tai-ciangkun,” jawab Syanti Dewi.
“Biarpun andaikata engkau sendiri, nona, akan sengsara kalau menjadi isteri Pangeran Liong Khi Ong.” Perwira itu berkata sambil mengurut kumisnya yang tebal. “Pangeran itu terkenal sebagai seorang mata keranjang, selain selirnya banyak sekali, juga setiap malam dia harus berganti teman baru. Maka, andaikata puteri itu menjadi isterinya, dalam beberapa hari saja tentu dia akan disia-siakan begitu saja!”
“Ahhh....!” Tentu saja berita ini membuat Syanti Dewi terkejut dan marah.
“Ceritamu menarik sekali, ciangkun dan terima kasih atas segala keterangannya. Dengan ceritamu itu, saya malah ingin sekali segera tiba di kota raja untuk mendaftarkan masuk perajurit lagi. Sekarang, hari sudah malam, mari kita mulai dengan pertunjukan sebagai upah kebaikan ciangkun. Dan sebungkus obat ini adalah obat yang amat manjur terhadap luka-luka, saya haturkan kepada ciangkun.”
“Terima kasih, terima kasih.”
Perwira itu menerima bungkusan obat, lalu mengantarkan mereka keluar. Api unggun dipasang di pelataran yang luas itu, dan para perajurit sudah berkumpul untuk menonton.
Gak Bun Beng mengeluarkan sulingnya dan Syanti Dewi mengeluarkan selendang. Suling kemudian ditiup, semakin malam semakin mengalun nyaring dan kemudian mulailah Syanti Dewi menari dengan selendang merahnya. Gak Bun Beng meniup suling sambil duduk dan matanya mengikuti gerakan Syanti Dewi, juga siap waspada melindungi dara itu, sedangkan Syanti Dewi menari di dalam api unggun, membuat selendang itu nampak seperti api bernyala dan wajah yang cantik itu kemerahan, amat cantik jelitanya.
Ketika melihat betapa dara itu tenggelam ke dalam tariannya dan menari dengan amat indah, Gak Bun Beng cepat mengangkat sedikit jari penutup lubang sulingnya sehingga suara sulingnya menjadi sumbang. Syanti Dewi terkejut mendengar suara ini, teringat dan menengok ke arah Gak Bun Beng sambil tersenyum, lalu tangan kanannya digerakkan secara kaku, sungguhpun tangan kirinya masih bergerak halus dan lemas sekali.
Makin sumbang suara suling, makin kaku gerakan Syanti Dewi dan tak lama kemudian suara suling itu bunyinya seperti suling ular! Tari-tarian dara itupun makin kacau, akan tetapi karena hatinya geli, dia tersenyum-senyum dan senyumnya inilah yang menyelimuti semua kejanggalan itu! Seluruh penonton terpesona oleh senyumnya!
Setelah suara suling berhenti dan Syanti Dewi juga menghentikan tariannya, terdengar tepuk sorak riuh rendah diselingi permintaan agar dara itu melanjutkan tari-tariannya. Gak Bun Beng maklum bahwa kalau dituruti para prajurit yang sudah lama tinggal di asrama dan rata-rata “haus wanita” itu keadaannya akan menjadi runyam, apalagi kalau Syanti Dewi secara tak sadar begitu banyak mengobral senyumnya.
Selain itu, juga si perwira gendut bisa saja menuntut yang bukan-bukan nanti. Keterangan yang resmi dan jelas tentang keadaan di kota raja sudah didapat, dan itulah memang sasaran utamanya. Setelah berhasil, perlu apa tinggal lebih lama lagi di tempat ini? Bagi dia tidak apa-apa, akan tetapi bagi Syanti Dewi amat berbahaya. Juga dia yakin kalau Jenderal Kao Liang tiba, tentu jenderal itu akan marah dan mungkin akan menghukum si perwira gendut yang melalaikan tugas dan bersenang-senang.
“Saudara sekalian,” tiba-tiba dia bangkit berdiri dan menghampiri Syanti Dewi yang masih menerima sorak sorai itu sambil tersenyum dan membungkuk-bungkuk.
Suara berisik berhenti dan semua orang hendak mendengarkan kata-kata ayah dara yang amat mempesona itu.
“Saudara-saudara sekalian, kami masih mempunyai pertunjukan yang menarik lagi, yaitu tarian bersama antara anakku dan aku sendiri, akan tetapi harap Saudara sekalian suka duduk dan jangan berdiri agar yang berada di belakang dapat menonton pula dengan senang.”
Semua orang tertawa dan mulailah mereka duduk di atas tanah dengan hati senang karena jarang terdapat hiburan seperti ini. Setelah melihat semua orang duduk, Gak Bun Beng lalu meniup sulingnya sambil menggerakkan kedua kaki seperti orang menari.
Hal ini mengherankan Syanti Dewi. Dia tahu bahwa “ayahnya” ini mempunyai suatu niat tertentu, akan tetapi tidak tahu niat apa. Diapun membantu dan mulai menari lagi dengan indahnya. Tiba-tiba Gak Bun Beng berbisik sambil menghentikan sebentar tiupan sulingnya,
“Kau nanti naik ke punggungku!” lalu terus menyuling, mengejapkan mata kepada Syanti Dewi agar mendekati dan mengikutinya. Gak Bun Beng melangkah makin ke pinggir, kemudian secara tiba-tiba dia berbisik, “Hayo sekarang!”
Syanti Dewi yang cerdik mengerti bahwa pendekar itu tentu akan membawanya lari tanpa menimbulkan pertempuran, maka cepat dia meloncat ke punggung pendekar itu.
Gak Bun Beng mengeluarkan suara melengking nyaring sekali, tangan kirinya menahan tubuh Syanti Dewi yang digendongnya di belakang punggung, tangan kanan memegang suling dan tubuhnya sudah melesat seperti terbang saja melalui kepala orang-orang yang duduk itu!
Semua orang bersorak, mengira bahwa ayah dan anak itu masih memperlihatkan pertunjukan yang memang amat hebat dan menarik. Akan tetapi ketika kedua orang itu lenyap ditelan kegelapan malam dan keadaan sunyi kembali, terdengar mereka ribut-ribut,
“Kemana mereka?”
“Mereka menghilang!”
“Wah, tentu telah lari!”
“Mengapa lari?”
“Mata-mata! Mereka tentu mata-mata!”
Perwira gendut itu memerintahkan semua anak buahnya untuk mencari dan mengejar, namun sia-sia belaka karena Gak Bun Beng dan Syanti Dewi telah pergi jauh sekali, jauh dari markas itu dan sudah berjalan sambil tertawa-tawa.
“Paman, mengapa kau harus mempergunakan akal untuk lari? Bukankah perwira itu baik sekali dan kita tidak akan terganggu?”
“Hemm, belum tentu. Kalau hanya aku sendiri, pasti tidak ada gangguan. Akan tetapi ada engkau, Dewi!”
Syanti Dewi mengerti dan menghela napas panjang.
“Sungguh tidak enak menjadi wanita....”
“Heh....?”
“Apalagi kalau masih muda....”
“Hemm....”
“Dan cantik pula. Selalu menghadapi gangguan pria.”
“Tidak semua pria, Dewi.”
“Tentu saja, paman. Pria seperti paman tidak akan mengganggu wanita, akan tetapi ada berapa gelintir orang seperti paman di dunia ini? Justeru itulah celakanya, pria seperti paman tidak pernah mengganggu, dan yang mengganggu hanyalah laki-laki ceriwis macam tikus yang menjemukan saja!”
Gak Bun Beng tertawa karena kini dia melihat segi-segi lain yang mengagumkan hatinya dalam diri gadis ini. Kalau tiba saatnya, gadis ini dapat pula bersikap jenaka dan lucu, sungguhpun tidak selincah Milana misalnya. Dia terkejut, dan mengepal tinjunya. Mengapa dia jadi teringat kepada Milana dan membanding-bandingkan dengan dara ini?
“Paman, kalau hanya ingin mendengar berita tentang kota raja, bertanya biasapun bisa. Mengapa paman harus menggunakan siasat penyamaran kemudian melarikan diri?”
“Ah, tidak mudah, Dewi. Bertanya kepada orang biasa, tentu tidak tahu jelas. Bertanya kepada mereka secara biasa, tentu menimbulkan kecurigaan dan selain tidak akan memperoleh penuturan jelas, mungkin malah ditangkap dengan tuduhan mata-mata yang melakukan penyelidikan.”
“Setelah mendengar penuturan itu, aku makin tidak suka pergi ke kota raja, paman.”
“Hem, aku mengerti. Akan tetapi kita harus kesana lebih dulu, harus melihat sendiri keadaannya. Bagaimana kalau si gendut tadi hanya membual saja?”
“Akan tetapi aku tidak sudi menjadi isteri pangeran itu!” kata Syanti Dewi dengan tarikan muka jijik dan mengkal hatinya.
“Habis bagaimana?”
“Terserah kepada paman saja, kemanapun juga, selama hidupku. Aku suka menjadi apa saja, murid, anak, keponakan, pelayan, atau.... ah, apa saja terserah paman.”
“Hemm.... hemm....” Gak Bun Beng mengelus jenggotnya yang pendek.
“Kalau paman keberatan, aku akan kembali ke Bhutan saja!”
Gak Bun Beng menengok dan tersenyum melihat betapa kini gadis itupun bisa memperlihatkan sikap merajuk dan manja seperti biasanya kaum wanita.
“Kita ke kota raja dulu dan nanti kita lihat bagaimana perkembangannya, Dewi.”
Berangkatlah mereka melanjutkan perjalanan menuju ke timur. Di sepanjang perjalanan mulailah Gak Bun Beng memberi pelajaran ilmu silat tinggi kepada Syanti Dewi.
“Coba kau mainkan jurus-jurus pilihan dari gurumu, perwira Bhutan murid kakek adik angkatmu itu.”
“Baik dan aku mengharapkan petunjuk dan bimbingan paman.”
Puteri itu lalu bergerak dan bersilat, memilih jurus-jurus yang dianggapnya paling ampuh. Kadang-kadang Gak Bun Beng memandang penuh perhatian, menyuruhnya berhenti tiba-tiba dan memperbaiki jurus itu, dan demikianlah, perlahan-lahan dia mengajarkan dasar-dasar ilmu silat tinggi, dimasukkan dalam jurus-jurus yang telah dikenal oleh puteri itu.
Dengan adanya pelajaran silat ini yang selalu dilatih setiap kali ada kesempatan, perjalanan jauh itu tidaklah terasa melelahkan, apalagi memang ada daya tarik luar biasa yang mempesonakan hati masing-masing dari teman seperjalanan itu.
Sambil bertolak pinggang dia memandang kepada Gak Bun Beng yang sudah berdiri dan menjura di depannya. Pandang matanya menyapu pendekar itu dan dara di sebelahnya, seolah-olah dia sama sekali tidak acuh akan kecantikan dara itu dan hanya menjalankan tugasnya sebagai “komandan” betul-betul, lalu dia membentak dengan suara nyaring,
“Siapa kau dan dari mana hendak kemana?”
Gak Bun Beng yang sudah berpengalaman dan pandai membaca sikap dan isi hati orang, tersenyum geli karena maklum bahwa kegagahan perwira ini adalah dibuat-buat untuk menarik perhatian Syanti Dewi, tentunya dengan maksud agar dara itu kagum melihat seorang “komandan sungguhan”!
Ingin sekali dia melihat akan bagaimana wajah badut ini kalau dia tahu bahwa gadis dusun yang cantik dan dipasangi aksi itu adalah Puteri Bhutan yang akan menjadi mantu kaisar! Bisa dibayangkan bahwa si gendut pendek ini tentu akan bertiarap di depan kaki Syanti Dewi, menyusup-nyusup seperti ular diantara rumput dan minta-minta ampun!
“Maafkan kami berdua, tai-ciangkun!”
Kata Gak Bun Beng yang makin geli hatinya melihat betapa perwira itu ketika mendengar sebutan tai-ciangkun terus saja melembungkan dadanya dan mengempiskan perutnya, akan tetapi karena tidak dapat menahan lama-lama, segera dadanya mengempis dan perutnya mengembung kembali seperti biasanya.
Dicobanya lagi beberapa kali, namun makin lama makin tak kuat sampai napasnya senin kemis dan akhirnya dia membiarkan saja perutnya gendut bergantung dan dadanya mengempis.
“Saya bernama Gak Bun Beng dan dia adalah anakku bernama Dewi, ibunya seorang Tibet. Kami hendak pergi ke timur, akan tetapi di sepanjang jalan saya melihat pasukan pemberontak yang melarikan diri dan kabar selentingan bahwa di timur geger karena perang. Hal ini sangat menggelisahkan kami karena kabar yang kami terima tidak jelas. Maka kami ingin memperoleh keterangan yang resmi dan jelas dari tai-ciangkun agar hati kami lega untuk melanjutkan perjalan ke timur yang amat jauh itu. Untuk kebaikan tai-ciangkun, sebelumnya kami menghaturkan terima kasih dan untuk membalas budi, kami akan mengadakan pertunjukan tari-tarian dan membagi obat luka yang mujarab untuk tai-ciangkun.”
Perwira gendut itu menggerak-gerakkan alisnya seperti orang yang berpikir keras. Memang dia berpikir, akan tetapi alis tipis yang digerak-gerakkan itu termasuk aksinya agar kelihatan sebagai panglima ahli siasat yang pandai. Lagi-lagi, matanya yang agak bulat dan kecil melirik ke arah Syanti Dewi. Lirikan cepat tidak kentara akan tetapi tentu saja tidak terlepas dari pandang mata Gak Bun Beng.
“Dewi.... hemmm....”
Perwira itu menggumam, agaknya tertarik oleh nama itu dan sama sekali tidak memperhatikan nama laki-laki bercaping itu.
“Bagaimana, tai-ciangkun?” Gak Bun Beng bertanya ketika melihat perwira itu seperti mimpi menyebut nama Dewi.
“Ohhh.... ya, kami pikir dulu. Eh, engkau kelihatan begini tabah menghadapi pasukan, seperti sudah biasa. Engkau bukan mata-mata pemberontak, bukan?”
Gak Bun Beng tersenyum. Pertanyaan ini saja sudah membuktikan betapa tololnya perwira ini dan dengan seorang perwira seperti ini menjadi komandan markas, tidak akan heran kalau mata-mata dapat menyelundup masuk.
“Tentu saja bukan, tai-ciangkun. Kalau mata-mata musuh, masa kami mencari penyakit datang kesini? Saya memang sudah biasa dengan pasukan, apalagi pasukan pemerintah sendiri, karena belasan tahun yang lalu saya pun pernah menjadi perajurit dalam pasukan istimewa yang dipimpin oleh Puteri Nirahai sendiri.”
“Ohhh....!”
Seruan ini terdengar dari banyak mulut para perajurit yang sudah mengerumuni tempat itu. Pasukan istimewa dari Puteri Nirahai memang terkenal sekali dan mendengar ini, perwira gendut itu berseri wajahnya.
“Apa katamu tadi? Tepat sekali, bukan? Sudah kulihat bahwa engkau adalah seorang yang biasa dengan pasukan. Kiranya masih bekas rekan sendiri, ha-ha! Kalau begitu, tentu saja kalian kami sambut dengan kedua tangan terbuka. Selamat datang dan marilah masuk. Mari silahkan, nona.... eh, nona Dewi. Indah sekali nama puterimu, saudara Gak!”
Syanti Dewi menjura dengan hormat dan Gak Bun Beng tersenyum girang ketika keduanya diiringkan oleh sang perwira gendut sendiri memasuki pintu gerbang markas itu. Hari telah mulai gelap karena tadi mereka berangkat dari dusun setelah berbelanja dan sudah lewat tengah hari. Dan tadi mereka agak lama berhenti bercakap-cakap sehingga menjelang senja mereka baru tiba di depan markas itu.
“Sebaiknya tari-tarian dilakukan di waktu malam hari, di dekat api unggun, barulah tampak lebih indah dan meriah,” kata Gak Bun Beng.
“Baik, dan memang sebaiknya demikian agar semua anak buah dapat ikut menonton karena sudah bebas tugas,” kata perwira itu yang mulai kelihatan kebaikan hatinya seperti biasa.
“Sekarang kalau kau tidak berkeberatan, ciangkun, harap suka menceritakan kepadaku tentang keadaan di kota raja. Saya ingin membawa anak saya ke kota raja, akan tetapi tentu saja hati saya tidak akan tenteram sebelum tahu bagaimana keadaan disana.”
Perwira itu menggeleng kepalanya.
“Sebetulnya, perjalanan kesana dari sini sudah tidak akan terganggu oleh para pemberontak lagi karena belum lama ini telah dilakukan operasi pembersihan besar-besaran. Akan tetapi, tentu saja kau harus berhati-hati terhadap perampok dan orang jahat, saudara Gak.”
“Harap ciangkun tidak usah khawatir. Kalau hanya menghadapi para perampok, kiranya saya tidak percuma menjadi bekas anak buah Puteri Nirahai. Akan tetapi, bagaimanakah keadaan kerajaan sendiri? Mengapa banyak timbul pemberontakan? Kalau kiranya memang perlu, biarpun sekarang sudah mulai tua, aku akan menghadap panglima di kota raja untuk menjadi perajurit lagi, membela pemerintah.”
Perwira itu menggeleng-geleng kepala.
“Memang kurang baik keadaannya. Karena itulah Jenderal Kao Liang sendiri sibuk kesana kemari, mengadakan pengontrolan dan perondaan sendiri, hanya dengan beberapa orang pembantu dan pengawalnya. Tentu kau tahu, setelah sri baginda menjelang tua, biarpun tahta kerajaan sudah ditentukan akan jatuh kepada Putera Mahkota Yung Ceng, tetap saja timbul perebutan. Kabarnya banyak pangeran yang diam-diam melakukan pemberontakan secara rahasia sehingga sukar diketahui yang mana yang setia kepada kerajaan dan yang mana yang memberontak. Apalagi akhir-akhir ini keadaan dibikin ramai dan ribut lagi dengan adanya pertalian jodoh antara Puteri Kerajaan Bhutan dan seorang pangeran.”
Perwira itu agaknya senang bercerita, apalagi melihat Syanti Dewi mendengarkan dengan penuh perhatian sehingga mata yang indah itu jarang berkedip, pandangannya seolah-olah bergantung kepada bibirnya yang sedang bercerita, bibir yang tebal membiru karena terlalu banyak menghisap tembakau.
Disebutnya Puteri Bhutan itu mengejutkan hati Gak Bun Beng dan karena dia ingin agar perhatian perwira itu beralih dari wajah Syanti Dewi yang tentu saja lebih kaget lagi, dia cepat berkata,
“Mengapa pertalian jodoh dapat menimbulkan ramai dan ribut, ciangkun?”
“Sebetulnya pernikahan itu sendiri tidak akan menimbulkan ribut, bahkan merupakan peristiwa yang menggembirakan. Kabarnya Puteri Bhutan itu cantik bukan main, seperti bidadari....”
“Hemm, sayapun sudah mendengar, bahkan melebihi bidadari,”
Kata Gak Bun Beng secara kelakar untuk sekedar melenyapkan kekagetan Syanti Dewi. Dara itu menoleh kepada “ayahnya” dan tersenyum.
“Akan tetapi di balik pernikahan itu tersembunyi maksud-maksud tertentu dari kedua pihak. Pihak Bhutan tentu saja suka berbesan dengan kaisar kita, karena ingin mendapat perlindungan dari para pemberontak Tibet dan Mongol yang dipimpin Raja Muda Tambolon. Sebaliknya, pihak kaisar juga ingin menaklukkan negara itu secara halus melalui ikatan kekeluargaan tanpa perang. Namun maksud kaisar ini mendapatkan tantangan dari banyak pangeran dengan bermacam-macam dalih, akan tetapi saya kira dasarnya hanyalah karena tidak ingin melihat kedudukan kaisar makin kuat dengan adanya banyak negara lain yang bersekutu! Maka kabarnya terjadi bermacam-macam usaha untuk menggagalkan pernikahan itu, bahkan kabarnya rombongan penjemput puteri yang dipimpin Panglima Tan Siong Khi telah diserbu dan puteri itu sendiri kabarnya lenyap ditawan pemberontak. Inilah sebabnya mengapa Jenderal Kao Liang mengamuk dan menumpas para pemberontak di perbatasan. Celakanya ada kabar angin bahwa usaha itu diatur dari kota raja sendiri, oleh para pangeran yang secara rahasia memberontak.”
Kaget bukan main hati Gak Bun Beng mendengar ini. Kiranya segala kekacauan itu bersumber kepada perebutan kekuasaan di istana! Bagaimana dengan Milana?
“Lalu bagaimana kabarnya sikap pangeran yang akan dikawinkan dengan Puteri Bhutan?”
“Pangeran Liong Khi Ong? Hemm, tidak ada berita tentang dia, kelihatannya tenang-tenang saja, bahkan belum lama ini diapun ikut rombongan Jenderal Kao Liang meninjau ke barat, akan tetapi lalu terpisah dan berpesiar menggunakan perahu melalui sungai dikawal oleh pasukannya sendiri. Masih untung Puteri Bhutan yang seperti bidadari itu tidak jadi menikah dengan pangeran itu!”
“Kenapa demikian? Bukankah enak menikah dengan pangeran yang tinggi kedudukannya?”
Tiba-tiba Syanti Dewi bertanya, tidak dapat menahan hatinya lagi karena yang dibicarakan itu sesungguhnya adalah dirinya sendiri.
Perwira gendut memandang dan tersenyum menyeringai, senang hatinya mendengar dara itu bertanya,
“Menarik sekali ceritaku, ya?”
“Ceritamu menarik dan hebat, tai-ciangkun,” jawab Syanti Dewi.
“Biarpun andaikata engkau sendiri, nona, akan sengsara kalau menjadi isteri Pangeran Liong Khi Ong.” Perwira itu berkata sambil mengurut kumisnya yang tebal. “Pangeran itu terkenal sebagai seorang mata keranjang, selain selirnya banyak sekali, juga setiap malam dia harus berganti teman baru. Maka, andaikata puteri itu menjadi isterinya, dalam beberapa hari saja tentu dia akan disia-siakan begitu saja!”
“Ahhh....!” Tentu saja berita ini membuat Syanti Dewi terkejut dan marah.
“Ceritamu menarik sekali, ciangkun dan terima kasih atas segala keterangannya. Dengan ceritamu itu, saya malah ingin sekali segera tiba di kota raja untuk mendaftarkan masuk perajurit lagi. Sekarang, hari sudah malam, mari kita mulai dengan pertunjukan sebagai upah kebaikan ciangkun. Dan sebungkus obat ini adalah obat yang amat manjur terhadap luka-luka, saya haturkan kepada ciangkun.”
“Terima kasih, terima kasih.”
Perwira itu menerima bungkusan obat, lalu mengantarkan mereka keluar. Api unggun dipasang di pelataran yang luas itu, dan para perajurit sudah berkumpul untuk menonton.
Gak Bun Beng mengeluarkan sulingnya dan Syanti Dewi mengeluarkan selendang. Suling kemudian ditiup, semakin malam semakin mengalun nyaring dan kemudian mulailah Syanti Dewi menari dengan selendang merahnya. Gak Bun Beng meniup suling sambil duduk dan matanya mengikuti gerakan Syanti Dewi, juga siap waspada melindungi dara itu, sedangkan Syanti Dewi menari di dalam api unggun, membuat selendang itu nampak seperti api bernyala dan wajah yang cantik itu kemerahan, amat cantik jelitanya.
Ketika melihat betapa dara itu tenggelam ke dalam tariannya dan menari dengan amat indah, Gak Bun Beng cepat mengangkat sedikit jari penutup lubang sulingnya sehingga suara sulingnya menjadi sumbang. Syanti Dewi terkejut mendengar suara ini, teringat dan menengok ke arah Gak Bun Beng sambil tersenyum, lalu tangan kanannya digerakkan secara kaku, sungguhpun tangan kirinya masih bergerak halus dan lemas sekali.
Makin sumbang suara suling, makin kaku gerakan Syanti Dewi dan tak lama kemudian suara suling itu bunyinya seperti suling ular! Tari-tarian dara itupun makin kacau, akan tetapi karena hatinya geli, dia tersenyum-senyum dan senyumnya inilah yang menyelimuti semua kejanggalan itu! Seluruh penonton terpesona oleh senyumnya!
Setelah suara suling berhenti dan Syanti Dewi juga menghentikan tariannya, terdengar tepuk sorak riuh rendah diselingi permintaan agar dara itu melanjutkan tari-tariannya. Gak Bun Beng maklum bahwa kalau dituruti para prajurit yang sudah lama tinggal di asrama dan rata-rata “haus wanita” itu keadaannya akan menjadi runyam, apalagi kalau Syanti Dewi secara tak sadar begitu banyak mengobral senyumnya.
Selain itu, juga si perwira gendut bisa saja menuntut yang bukan-bukan nanti. Keterangan yang resmi dan jelas tentang keadaan di kota raja sudah didapat, dan itulah memang sasaran utamanya. Setelah berhasil, perlu apa tinggal lebih lama lagi di tempat ini? Bagi dia tidak apa-apa, akan tetapi bagi Syanti Dewi amat berbahaya. Juga dia yakin kalau Jenderal Kao Liang tiba, tentu jenderal itu akan marah dan mungkin akan menghukum si perwira gendut yang melalaikan tugas dan bersenang-senang.
“Saudara sekalian,” tiba-tiba dia bangkit berdiri dan menghampiri Syanti Dewi yang masih menerima sorak sorai itu sambil tersenyum dan membungkuk-bungkuk.
Suara berisik berhenti dan semua orang hendak mendengarkan kata-kata ayah dara yang amat mempesona itu.
“Saudara-saudara sekalian, kami masih mempunyai pertunjukan yang menarik lagi, yaitu tarian bersama antara anakku dan aku sendiri, akan tetapi harap Saudara sekalian suka duduk dan jangan berdiri agar yang berada di belakang dapat menonton pula dengan senang.”
Semua orang tertawa dan mulailah mereka duduk di atas tanah dengan hati senang karena jarang terdapat hiburan seperti ini. Setelah melihat semua orang duduk, Gak Bun Beng lalu meniup sulingnya sambil menggerakkan kedua kaki seperti orang menari.
Hal ini mengherankan Syanti Dewi. Dia tahu bahwa “ayahnya” ini mempunyai suatu niat tertentu, akan tetapi tidak tahu niat apa. Diapun membantu dan mulai menari lagi dengan indahnya. Tiba-tiba Gak Bun Beng berbisik sambil menghentikan sebentar tiupan sulingnya,
“Kau nanti naik ke punggungku!” lalu terus menyuling, mengejapkan mata kepada Syanti Dewi agar mendekati dan mengikutinya. Gak Bun Beng melangkah makin ke pinggir, kemudian secara tiba-tiba dia berbisik, “Hayo sekarang!”
Syanti Dewi yang cerdik mengerti bahwa pendekar itu tentu akan membawanya lari tanpa menimbulkan pertempuran, maka cepat dia meloncat ke punggung pendekar itu.
Gak Bun Beng mengeluarkan suara melengking nyaring sekali, tangan kirinya menahan tubuh Syanti Dewi yang digendongnya di belakang punggung, tangan kanan memegang suling dan tubuhnya sudah melesat seperti terbang saja melalui kepala orang-orang yang duduk itu!
Semua orang bersorak, mengira bahwa ayah dan anak itu masih memperlihatkan pertunjukan yang memang amat hebat dan menarik. Akan tetapi ketika kedua orang itu lenyap ditelan kegelapan malam dan keadaan sunyi kembali, terdengar mereka ribut-ribut,
“Kemana mereka?”
“Mereka menghilang!”
“Wah, tentu telah lari!”
“Mengapa lari?”
“Mata-mata! Mereka tentu mata-mata!”
Perwira gendut itu memerintahkan semua anak buahnya untuk mencari dan mengejar, namun sia-sia belaka karena Gak Bun Beng dan Syanti Dewi telah pergi jauh sekali, jauh dari markas itu dan sudah berjalan sambil tertawa-tawa.
“Paman, mengapa kau harus mempergunakan akal untuk lari? Bukankah perwira itu baik sekali dan kita tidak akan terganggu?”
“Hemm, belum tentu. Kalau hanya aku sendiri, pasti tidak ada gangguan. Akan tetapi ada engkau, Dewi!”
Syanti Dewi mengerti dan menghela napas panjang.
“Sungguh tidak enak menjadi wanita....”
“Heh....?”
“Apalagi kalau masih muda....”
“Hemm....”
“Dan cantik pula. Selalu menghadapi gangguan pria.”
“Tidak semua pria, Dewi.”
“Tentu saja, paman. Pria seperti paman tidak akan mengganggu wanita, akan tetapi ada berapa gelintir orang seperti paman di dunia ini? Justeru itulah celakanya, pria seperti paman tidak pernah mengganggu, dan yang mengganggu hanyalah laki-laki ceriwis macam tikus yang menjemukan saja!”
Gak Bun Beng tertawa karena kini dia melihat segi-segi lain yang mengagumkan hatinya dalam diri gadis ini. Kalau tiba saatnya, gadis ini dapat pula bersikap jenaka dan lucu, sungguhpun tidak selincah Milana misalnya. Dia terkejut, dan mengepal tinjunya. Mengapa dia jadi teringat kepada Milana dan membanding-bandingkan dengan dara ini?
“Paman, kalau hanya ingin mendengar berita tentang kota raja, bertanya biasapun bisa. Mengapa paman harus menggunakan siasat penyamaran kemudian melarikan diri?”
“Ah, tidak mudah, Dewi. Bertanya kepada orang biasa, tentu tidak tahu jelas. Bertanya kepada mereka secara biasa, tentu menimbulkan kecurigaan dan selain tidak akan memperoleh penuturan jelas, mungkin malah ditangkap dengan tuduhan mata-mata yang melakukan penyelidikan.”
“Setelah mendengar penuturan itu, aku makin tidak suka pergi ke kota raja, paman.”
“Hem, aku mengerti. Akan tetapi kita harus kesana lebih dulu, harus melihat sendiri keadaannya. Bagaimana kalau si gendut tadi hanya membual saja?”
“Akan tetapi aku tidak sudi menjadi isteri pangeran itu!” kata Syanti Dewi dengan tarikan muka jijik dan mengkal hatinya.
“Habis bagaimana?”
“Terserah kepada paman saja, kemanapun juga, selama hidupku. Aku suka menjadi apa saja, murid, anak, keponakan, pelayan, atau.... ah, apa saja terserah paman.”
“Hemm.... hemm....” Gak Bun Beng mengelus jenggotnya yang pendek.
“Kalau paman keberatan, aku akan kembali ke Bhutan saja!”
Gak Bun Beng menengok dan tersenyum melihat betapa kini gadis itupun bisa memperlihatkan sikap merajuk dan manja seperti biasanya kaum wanita.
“Kita ke kota raja dulu dan nanti kita lihat bagaimana perkembangannya, Dewi.”
Berangkatlah mereka melanjutkan perjalanan menuju ke timur. Di sepanjang perjalanan mulailah Gak Bun Beng memberi pelajaran ilmu silat tinggi kepada Syanti Dewi.
“Coba kau mainkan jurus-jurus pilihan dari gurumu, perwira Bhutan murid kakek adik angkatmu itu.”
“Baik dan aku mengharapkan petunjuk dan bimbingan paman.”
Puteri itu lalu bergerak dan bersilat, memilih jurus-jurus yang dianggapnya paling ampuh. Kadang-kadang Gak Bun Beng memandang penuh perhatian, menyuruhnya berhenti tiba-tiba dan memperbaiki jurus itu, dan demikianlah, perlahan-lahan dia mengajarkan dasar-dasar ilmu silat tinggi, dimasukkan dalam jurus-jurus yang telah dikenal oleh puteri itu.
Dengan adanya pelajaran silat ini yang selalu dilatih setiap kali ada kesempatan, perjalanan jauh itu tidaklah terasa melelahkan, apalagi memang ada daya tarik luar biasa yang mempesonakan hati masing-masing dari teman seperjalanan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar