FB

FB


Ads

Minggu, 10 Februari 2019

Bukek Siansu Jilid 086

Orang kerdil itu mengajak Sin Liong berlari melalui lorong-lorong dan ternyata lorong-lorong itu amat ruwet bangunannya, berbelit-belit dan banyak sekali persimpangannya. Pantas saja dia tidak berhasil, pikir Sin Liong dan merasa kagum.

Lorong rahasia ini memang amat hebat. Akhirnya setelah melalui jarak yang kurang lebih lima li jauhnya, tibalah mereka di dalam lorong yang tidak rata, lebar sempit dan di situ banyak terdapat gundukan-gundukan batu pedang dan dari atas bergantungan pula batu-batu yang runcing. Mereka berada di dalam guha-guha besar yang berbeda sekali dengan guha-guha dari mana Sin Liong dan Swat Hong masuk.

"Di mana tempatnya?" Sin Liong bertanya, suaranya gemetar karena dia merasa tegang sekali.

Benarkah bahwa Swat Hong terancam nyawanya dan mungkin sekali sudah tewas? Hampir dia memekik untuk melampiaskan kekhawatirannya. Tidak! Tidak mungkin! Tidak boleh!

"Di mana dia? Hayo katakan!" Dia mengguncang tangan orang kerdil itu.

Tubuh orang itu menggigil.
"Dia... di dalam guha sana itu.... lihat, di sana ada lubang besar, bukan?"

"Hayo kita ke sana!"

"Tidak.... tidak, aku takut....! Mereka menjebaknya di sana, tempat itu adalah sarang laba-laba raksasa yang mengerikan. Kurasa dia sudah tewas ....."

Sin Lion tidak perduli dan menyeret orang itu menuju ke lubang besar yang berada di sebelah kiri lorong, melalui bantu-batu menonjol yang ujungnya seruncing pedang. Setelah tiba di situ, tiba-tiba dia mendengar suara lirih.

"Sumoi....!" Dia berteriak.

"Suheng.... aihhhh.... Suheng....!" Terdengar suara tangis.

Swat Hong yang menangis. Masih hidup! Hampir Sin Liong bersorak saking girangnya dan dia mendorong orang kerdil itu sampai terguling-guling lima meter jauhnya. Orang kerdil itu merangkak dan pergi akan tetapi Sin Liong tidak memperdulikannya lagi. Dia sudah memasuki guha dan terus ke dalam, membelok ke kiri, ke arah suara Swat Hong.

Tiba-tiba dia terbelalak, otomatis dia memasang kuda-kuda dengan pedang tiangkat tinggi-tinggi dan tangan kiri siap di depan dada. Matanya yang terbelalak memandang tajam kepada seekor laba-laba raksasa sebesar kerbau, dengan sepasang anggauta bulat seperti mata melotot kepadanya.


Di belakang laba-laba itu tampak sarang laba-laba yang bukan main besarnya, benang sarang laba-laba itu sebesar jari-jari tangan, nampak kuat sekali dan di tengah-tengah sarang itu, tubuh Swat Hong menempel dengan kedua lengan terpentang, juga kakinya agak terpentang dan bagian tubuh dara itu agaknya melekat kepada sarang itu, tak dapat dilepaskan lagi. Gadis itu menangis ketika melihatnya dan hanya dapat berkata,

"Suheng....., cepat kau bunuh binatang menjijikan itu....!"

Sin Liong mencium bau harum yang aneh dan keras, dan maklumlah dia bahwa tempat itu penuh dengan hawa beracun! Laba-laba ini selain besar sekali juga beracun. Heran dia mengapa Swat Hong masih dapat hidup, akan tetapi dia tidak memperdulikan atau memusingkan hal itu, yang penting adalah menolong sumoinya.

"Tenanglah, Sumoi. Aku segera menolongmu," katanya dengan suara gemetar saking girang dan terharunya.






Laba-laba itu memandang buas. Begitu melihat Sin Liong, dia merangkak maju dengan cepat sekali dan tiba-tiba berbarengan dengan gerakan kaki depan dan mulutnya, sinar putih menyambar ke arah Sin Liong.

Itulah benang besar yang mengandung daya lekat luar biasa sekali, Sin Liong menggerakkan pedang rampasannya dan tali putih itu terbabat putus, kemudian dia melangkah maju, mengelak dari sambaran tali ke dua kemudian dari samping dia menggerakan kaki menendang.

"Desss....!!"

Betapa besar pun ukuran tubuh binatang itu, namun terkena tendangan kaki Sin Liong, dia terlempar, terbanting pada dinding batu, terhuyung-huyung lalu menghamburkan banyak benang putih ke arah Sin Liong.

Pemuda perkasa ini meloncat untuk mengelak dan ketika dia memandang lagi, ternyata laba-laba itu telah lari menghilang melalui sebuah lubang di celah-celah dinding batu. Cepat Sin Liong menghampiri Swat Hong, berusaha menurunkan tubuh gadis itu, akan tetapi ternyata sukar sekali karena sarang itu mengandung daya lekat yang dapat merobek pakaian Swat Hong.

Sin Liong menggerakkan pedangnya karena dia melihat bahwa sarang itu tergantung pada benang-benang pokok terbesar yang malang melintang dan melekat pada tanah dan pada langit-langit guha.

Pedangnya menyambar-nyambar dan runtuhlah sarang itu, membawa tubuh Swat Hong terjatuh ke bawah, gadis itu telah lemas sekali dan tentu akan terbanting kalau saja tidak disambar oleh Sin Liong. Pemuda itu membersihkan benang-benang laba-laba itu dan memondong tubuh sumoinya yang lemas menjauhi tempat itu. Ketika dia tiba di bagian yang lebar dari lorong itu, dia menurunkan sumoinya yang duduk bersandar batu.

"Bagaimana keadaanmu, Sumoi?" tanyanya sambil memeriksa nadi lengan sumoinya.

Detik jantungnya lemah, mukanya pucat dan tenaganya habis, akan tetapi yang mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa sumoinya itu telah keracunan!

"Untung.... untung kau datang, Suheng.... kalau tidak..... aku sudah hampir tidak kuat....." Gadis itu tiba-tiba merangkul dan menangis dipundak Sin Liong.

Pemuda itu membiarkan saja Swat Hong menangis. Tak lama kemudian dia berkata,
"Laba-laba itu beracun, kau terkena hawa beracun, akan tetapi berapa lama kau tertawan seperti itu?"

"Sejak malam tadi....... ahhhh, mengerikan sekali, Suheng...."

"Sudahlah, mari kubantu engkau mengusir hawa beracun yang mengeram di tubuhmu."

"Nanti dulu aku harus menceritakan dulu kepadamu....." Swat Hong berkata terengah-engah, "ceritaku akan dapat mengusir kengerian yang masih mencengkeram hatiku suheng."

Sin Liong mengangguk. Menurut hasil penyelidikan tadi, biarpun terserang hawa beracun namun keadaan Swat Hong tidak berbahaya dan malah lebih berbahaya ketegangan dan pukulan batin yang dideritanya selama satu malam itu.

Memang menceritakan kengerian yang mencengkeram merupakan obat mujarab pula, seolah-olah kengerian yang ditahan-tahan itu memperoleh jalan keluar dan dapat meringankan hati yang tertekan.

"Aku mengejar mereka dan mereka itu lenyap. Aku penasaran dan mencari terus, selalu tampak berkelebatnya bayangan mereka sehingga pengejaranku terarah. Aku sama sekali tidak mengira bahwa mereka memang memancingku ke tempat ini. Ketika aku melihat bahwa cuaca mulai gelap, aku melihat pula sinar api di depan dan terus aku mengejarnya. Kemudian, di antara sinar obor aku melihat beberapa orang kerdil lari memasuki guha ini. Aku cepat mengejar dan melihat bayangan mereka dekat sekali. Kupikir asal dapat menangkap seorang diantara mereka dan memaksanya menjadi petunjuk jalan, tentu beres. Maka melihat bayangan mereka begitu dekat di dalam guha ini, aku menerjang dan melompat maju, bermaksud menangkap seorang di antara mereka."

Sin Liong mendengarkan penuh perhatian dan diam-diam dia membandingkan pengalaman sumoinya dan pengalamannya sendiri. Ternyata jalan pikiran mereka untuk menawan seorang lawan adalah sama, hanya sayangnya, sumoinya tidak tahu bahwa dia sedang dipancing memasuki jebakan yang amat mengerikan.

"Ketika aku meloncat itu, aku tidak tahu bahwa di depanku terdapat sarang laba-laba itu. Tubuhku tertangkap, aku meronta-ronta namun laba-laba itu terus menambah tali-tali mengerikan itu yang mempunyai daya melekat luar biasa. Aku meronta terus sampai kehabisan napas dan melihat laba-laba itu begitu dekat, seolah-olah hendak menjilatku dan hendak menggigit, aku pingsan entah berapa kali."

"Hemm, engkau masih untung dapat terhindar, Sumoi. Sungguhpun aku merasa heran sekali...."

"Dapat kau bayangkan betapa ngeriku, Suheng, ketika aku siuman, tak jauh dari situ terdapat obor yang mendatangkan cahaya remang-remang amat mengerikan, dan aku terjerat sama sekali tak mampu bergerak, dan laba-laba itu...... mendekati aku, lalu mundur kembali, mendekati lagi seperti ragu-ragu..... ihh, melihat kaki yang berbulu itu, meraba-raba....." Swat Hong kembali menutupi mukanya dan terisak-isak.

"Memang hebat sekali pengalamanmu, Sumoi. Akan tetapi yang penting, engkau dapat terhindar. Hanya satu hal aku tidak mengerti, mengapa selama itu laba-laba raksasa tadi tidak menggigitmu? Padahal dia amat berbisa."

"Berkat inilah,"

Swat Hong mengeluarkan sebuah batu sebesar kepalanya, batu yang berkilauan mengeluarkan cahaya hijau.

"Ah kiranya engkau membawa bekal Batu Mustika Hijau? Pantas! Tentu saja binatang itu tidak berani menggigitmu, bahkan setiap kali mendekat menjadi ketakutan dan mundur kembali. Untung sekali, Sumoi. Sekarang, marilah kubantu engkau mengusir hawa beracun dari tubuhmu."

"Baik, Suheng.... aku...... ahhhh......" Tiba-tiba napasnya menjadi sesak dan Swat Hong terguling pingsan!

Sin Liong cepat menyambar tubuh sumoinya dan memeriksanya. Dia merasa heran sekali karena begitu memeriksa, dia mendapat kenyataan bahwa keadaan sumoinya tidak seringan yang diduganya semula. hal ini adalah karena tadi sumoinya meletakkan Batu Mustika Hijau itu di pinggangnya, maka ketika pada pemeriksaan pertama, hawa beracun agak tertolak oleh mustika itu sehingga kelihatanya hanya ringan. Sekarang, setelah batu itu dikeluarkan, daya tolak racun dari batu itu meninggalkan tubuh Swat Hong dan hawa beracun yang amat jahat itu menyerang sepenuhnya membuat Swat Hong roboh pingsan.

Sin Liong tidak ragu-ragu lagi, cepat dia memijat tengkuk dan mengurut kedua urat besar di pundak. Swat Hong mengeluh lirih dan membuka matanya.

"Sumoi, kau ternyata terluka hebat juga di sebelah dalam tubuhmu oleh hawa beracun itu. Lekas kau buka baju atas, aku harus mengerahkan sinkang, menempelkan tangan di punggungmu, langsung tidak tertutup pakaian."

Suara Sin Liong sungguh-sunggu dan Swat Hong juga mengerti akan keadaannya yang berbahaya. Dia merasa pening dan dadanya sesak sekali, maka tanpa membuang waktu lagi dia lalu membuka bajunya, duduk membelakangi Sin Liong dan membiarkan punggungnya terbuka sama sekali.

"Aughhh....ahhh, panas sekali..... ah, Suheng, badanku seperti dibakar rasanya...." Swat Hong merintih sambil memegangi bajunya dan mencegah baju itu merosot.

"Tenanglah, Sumoi. Biar kumulai, kau menerima sajalah hawa sinkang dariku."

Sambil duduk bersila di belakang Swat Hong, Sin Liong lalu mnyalurkan tenaga sinkang yang dingin, menempelkan telapak tangan pada punggung yang berkulit putih mulus, halus dan pada saat itu panas sekali.

Setelah telapak tangannya menempel, baru Sin Liong tahu betapa hawa beracun itu mendatangkan hawa panas yang makin lama makin hebat. Ahh, dia terlalu sembrono, mengira luka sumoinya tadi ringan saja sehingga tidak segera mengobati sumoinya.

Swat Hong merasa tersiksa, mulutnya terbuka dan dia merintih-rintih. Hawa panas luar biasa yang menyerang dari dalam membuatnya berpeluh, akan tetapi kini terasa olehnya betapa dari telapak tangan di punggungnya itu masuk perlahan-lahan hawa dingin, sedikit demi sedikit.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar