Memang banyak hal luar biasa terjadi di Kota Raja Nan-cao. Pesta yang dirayakan selama tiga hari itu ternyata diisi dengan kejadian hebat dan seakan-akan pesta perayaan Beng-kauw itu menjadi pusat pertentangan dan adu ilmu.
Apalagi dengan munculnya bahaya baru yang mengancam ketenangan pesta itu, yaitu Lin Lin. Gadis ini sekarang telah berubah menjadi seorang Puteri Kerajaan Khitan yang berpengaruh dan ditaati perintahnya oleh orang-orang pandai. Dan menurutkan wataknya yang aneh di samping kecerdikannya mencari alasan agar ia jangan dibawa secara paksa ke Khitan, Lin Lin bisa menjadi seorang gadis yang akan menimbulkan geger di Nan-cao!
Telah dituturkan di bagian depan betapa Lin Lin dengan Pedang Besi Kuning telah berhasil menundukkan Pak-sin-tung si kakek buntung yang lihai, sute dari Hek-giam-lo dan dara cerdik itu kini bersama Pak-sin-tung kembali ke dalam kota raja, diiringkan dua puluh empat orang-orang pilihan dari Khitan secara sembunyi.
Hari sudah mulai gelap ketika ia memasuki kota dan ia tidak membuang waktu lagi, terus mengajak Pak-sin-tung mencari tempat kediaman Suma Boan. Cepat sekali tempat ini dapat dicari atas bantuan kedua puluh empat orang yang dapat bekerja cepat itu.
Pada saat itu, Suma Boan sedang berada di dalam kamar pondoknya. Pondok darurat yang cukup mewah. Sebagai seorang putera pangeran, apalagi seorang putera pangeran Kerajaan Sung, pemuda ini mendapatkan tempat terhormat dan sebuah pondok berkamar satu untuk dirinya sendiri.
Ia masih merasa mendongkol karena siang tadi ia telah dibikin malu oleh Gan-lopek. Awas kakek gila itu, pikirnya, berani membikin malu kepadanya di depan tuan rumah dan para tamu. Besok diadakan upacara sembahyang mendiang ketua Beng-kauwcu, dia akan mencari akal untuk membalas penghinaan itu. Sampai sekarang, semua rencananya berjalan dengan baik.
Biarpun ia seorang pemuda bangsawan, akan tetapi tidak seperti putera-putera bangsawan lain, Suma Boan tak pernah diikuti oleh pelayan-pelayan atau pengawal-pengawal. Hal ini adalah karena biarpun seorang bangsawan, dia adalah seorang pemuda ahli silat yang sering kali merantau di dunia kang-ouw, malah boleh dibilang seorang tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi, maka ia tidak suka akan segala ikatan dan pelayanan orang-orang lemah.
Kali ini pun ia berada di pondok seorang diri, sama sekali tidak ada penjagaan di sekeliling pondoknya. Ia mempunyai banyak pembantu dan kaki tangan, akan tetapi pada saat itu mereka semua telah pergi menjalankan tugas masing-masing atas perintah Suma-kongcu.
“Tok-tok-tok....!”
“Siapa....?”
Tanya Suma Boan, terkejut dan heran karena semua anak buahnya tidak akan berani mengetuk pintu depan seperti itu.
“Suma-kongcu, aku datang mau bicara penting!” terdengar suara halus seorang wanita.
Suma-kongcu adalah seorang pemuda mata keranjang dan dalam keadaan biasa suara panggilan seorang wanita yang demikian merdu dan halus tentu akan mendebarkan jantungnya serta menimbulkan gairahnya. Akan tetapi di samping kelemahannya ini, ia pun seorang yang amat cerdik. Ia maklum bahwa pada saat itu dan di tempat itu banyak terdapat musuh berkumpul di Nan-cao, maka ia selalu siap waspada dan curiga.
“Siapa di luar? Aku tidak bisa menemui orang yang tidak kukenal,”
Jawabnya dan diam-diam ia telah menyiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
“Suma-kongcu, aku.... Lin Lin, aku datang membawa pesan enciku Sian Eng!”
Dari encinya, Lin Lin mendengar bahwa Suma-kongcu dapat mencarikan kakaknya, Kam Bu Song, maka sengaja sekarang Lin Lin menggunakan nama encinya itu yang ia duga mempunyai hubungan yang lebih baik dengan kongcu ini daripada dia.
Benar saja dugaan Lin Lin, mendengar disebutnya nama Sian Eng, hilang keraguan Suma Boan, apalagi ia sekarang mengenal suara Lin Lin gadis galak itu. Biarpun yang sudah-sudah gadis ini memusuhinya, namun ia tidak takut kalau hanya menghadapi gadis cantik itu. Wah, mungkin nasib baik menghampiriku, ada nona manis yang hendak mengusir kesunyianku malam ini, pikirnya sambil tersenyunn, lalu membuka pintu.
Benar saja, gadis jelita itu berdiri di depan pondok, biarpun keadaan remang-remang Suma Boan masih dapat mengenal Lin Lin. Akan tetapi di belakang gadis itu tampak seorang kakek yang berdiri di atas sepasang tongkat, seorang kakek yang buntung kedua belah kakinya! Ia tidak mengenal kakek ini, akan tetapi kehadirannya mendatangkan rasa kecewa.
“Silakan masuk, Nona,” katanya, menahan rasa kecewanya.
Lin Lin tersenyum dan menoleh kepada Pak-sin-tung.
“Mari kita masuk, tuan rumah mengundang kita.”
“Maaf, Nona.” kata Suma Boan cepat. “Aku tidak mengenal kakek itu. Siapakah dia?”
“Dia? Dia pengawalku,” jawab Lin Lin bangga.
“Ah, aku hanya mengundang Nona, bukan dia. Eh, aku.... ngeri melihat kakinya. Silakan kau masuk, Nona.”
Lin Lin sudah timbul marahnya, akan tetapi ia menindas perasaannya dan melangkah masuk. Setelah duduk Lin Lin melihat betapa kongcu itu memandangnya dengan mata berminyak. Cepat-cepat ia berkata,
“Suma-kongcu, kedatanganku ini untuk bertanya kepadamu, dimana adanya Kakak Kam Bu Song seperti yang kau janjikan kepada Enci Sian Eng?”
Dengan pandang mata yang penuh gairah dan kagum kepada wajah jelita dan tubuh padat ramping itu, Suma Boan tersenyum-senyum lalu bertanya,
“Siapa yang mengutusmu kesini?”
“Enci Sian Eng.”
Suma Boan mempermainkan matanya, melirik ke kanan kiri dengan menjual mahal! Ia cukup maklum betapa Sian Eng jatuh hati kepadanya, biarpun gadis itu tetap mempertahankan diri dan tidak sudi melayani kehendaknya yang tidak patut.
“Kalau dia ingin bertanya, kenapa tidak datang sendiri? Suruh ia datahg sendiri kesini baru aku mau bicara.”
“Dia tidak mau datang, dia menyuruh aku mewakilinya.” kata Lin Lin, menahan hatinya yang makin marah.
Senyum Suma Boan melebar, matanya berkedip-kedip penuh arti.
“Betulkah begitu? Ahai, adik manis, kau betul-betul mau mewakilinya? Kalau dia datang, aku minta dia bermalam disini semalam baru besok kuberi tahu tentang Kam Bu Song, apakah kau mau mewakili encimu tidur disini semalam bersamaku....?”
Suma Boan cepat melompat ke belakang ketika meja yang berdiri di antara dia dan Lin Lin tiba-tiba melayang ke arahnya karena ditendang oleh Lin Lin. Gadis ini tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan pedangnya sudah berada di tangan, kedua pipinya merah, matanya bersinar-sinar.
“Wahai, jangan marah, Nona manis. Bukan aku yang menyuruh kau datang ke sini, melainkan atas kehendakmu sendiri, bukan?”
Akan tetapi kembali Suma Boan harus cepat mengelak karena kini sinar emas dari pedang di tangan Lin Lin sudah menerjangnya dengan hebat.
“Agaknya harus kurobek-robek kulit tubuhmu dengan pedang, baru kau mau bicara baik-baik!” bentak Lin Lin dan terus melanjutkan serangannya.
Namun biarpun Lin Lin berpedang mustika dan mainkan ilmu pedang yang didasari gerak dan tenaga sakti Khong-in-ban-kin, namun tingkat ilmu kepandaian Suma Boan masih lebih tinggi dari padanya, juga latihan pemuda bangsawan ini lebih masak. Biarpun ia bertangan kosong, namun pukulan-pukulan balasan Suma Boan mendatangkan angin pukulan yang kuat, membuat Lin Lin beberapa kali berputar-putar untuk menghindarinya.
Pada saat itu tampak sinar hitam yang panjang berkelebat menerjang ke arah leher Suma Boan, disusul sinar hitam mengurung pinggangnya. Pemuda ini kaget sekali, cepat ia menggunakan lengan baju menangkis.
“Plak-plak!”
Ia terhuyung dan ujung lengan bajunya pecah-pecah! Ketika ia melompat ke belakang sambil berjungkir balik, kiranya yang menerjangnya adalah kakek yang buntung kedua kakinya tadi. Gentarlah hati Suma Boan. Ia tidak mengenal kakek ini dan tadi ia memandang rendah mendengar kakek ini pengawal Lin Lin. Kiranya kakek buntung ini memiliki ilmu yang dahsyat!
Pedang di tangan Lin Lin tidak memberi ampun, mendesaknya hebat. Suma Boan mencari kesempatan untuk melompat keluar dari pondok dan memanggil teman-temannya, akan tetapi agaknya kakek buntung itu selain lihai ilmunya, juga amat cerdik. Sepasang tongkat pengganti kaki itu kiranya dimainkan seperti sepasang toya yang menghalangi jalan keluar.
Ketika pedang bersinar emas itu menusuk dadanya, Suma Boan cepat miringkan tubuh dan bermaksud merampas pedang, akan tetapi tiba-tiba pundaknya kena dihantam tongkat si buntung. Keras sekali pukulan ini sehingga kulit daging pundaknya pecah dan mengeluarkan darah. Suma Boan terhuyung-huyung, masih berhasil mengelak daripada sambaran pedang Lin Lin, akan tetapi totokan ujung tongkat membuatnya roboh, tak dapat menggerakkan kaki tangan lagi.
Lin Lin segera menodongkan pedangnya ke depan dada Suma Boan.
“Hayo lekas mengaku di mana adanya Kakak Bu Song, kalau kau mau hidup!”
Suma Boan tersenyum mengejek. Keringat membasahi dahinya, darah di pundaknya membasahi bajunya, akan tetapi ia tidak kelihatan gentar.
“Nona manis, mati di tanganmu amatlah menyenangkan. Biar kau membunuhku, aku Suma Boan bukanlah manusia yang tunduk akan ancaman maut. Aku hanya mau bicara dalam keadaan yang lebih baik dan manis, atau kalau encimu sendiri datang kesini.”
Bukan main gemasnya hati Lin Lin. Ia memang benci kepada laki-laki ini, apalagi bicaranya begitu kurang ajar.
Apalagi dengan munculnya bahaya baru yang mengancam ketenangan pesta itu, yaitu Lin Lin. Gadis ini sekarang telah berubah menjadi seorang Puteri Kerajaan Khitan yang berpengaruh dan ditaati perintahnya oleh orang-orang pandai. Dan menurutkan wataknya yang aneh di samping kecerdikannya mencari alasan agar ia jangan dibawa secara paksa ke Khitan, Lin Lin bisa menjadi seorang gadis yang akan menimbulkan geger di Nan-cao!
Telah dituturkan di bagian depan betapa Lin Lin dengan Pedang Besi Kuning telah berhasil menundukkan Pak-sin-tung si kakek buntung yang lihai, sute dari Hek-giam-lo dan dara cerdik itu kini bersama Pak-sin-tung kembali ke dalam kota raja, diiringkan dua puluh empat orang-orang pilihan dari Khitan secara sembunyi.
Hari sudah mulai gelap ketika ia memasuki kota dan ia tidak membuang waktu lagi, terus mengajak Pak-sin-tung mencari tempat kediaman Suma Boan. Cepat sekali tempat ini dapat dicari atas bantuan kedua puluh empat orang yang dapat bekerja cepat itu.
Pada saat itu, Suma Boan sedang berada di dalam kamar pondoknya. Pondok darurat yang cukup mewah. Sebagai seorang putera pangeran, apalagi seorang putera pangeran Kerajaan Sung, pemuda ini mendapatkan tempat terhormat dan sebuah pondok berkamar satu untuk dirinya sendiri.
Ia masih merasa mendongkol karena siang tadi ia telah dibikin malu oleh Gan-lopek. Awas kakek gila itu, pikirnya, berani membikin malu kepadanya di depan tuan rumah dan para tamu. Besok diadakan upacara sembahyang mendiang ketua Beng-kauwcu, dia akan mencari akal untuk membalas penghinaan itu. Sampai sekarang, semua rencananya berjalan dengan baik.
Biarpun ia seorang pemuda bangsawan, akan tetapi tidak seperti putera-putera bangsawan lain, Suma Boan tak pernah diikuti oleh pelayan-pelayan atau pengawal-pengawal. Hal ini adalah karena biarpun seorang bangsawan, dia adalah seorang pemuda ahli silat yang sering kali merantau di dunia kang-ouw, malah boleh dibilang seorang tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi, maka ia tidak suka akan segala ikatan dan pelayanan orang-orang lemah.
Kali ini pun ia berada di pondok seorang diri, sama sekali tidak ada penjagaan di sekeliling pondoknya. Ia mempunyai banyak pembantu dan kaki tangan, akan tetapi pada saat itu mereka semua telah pergi menjalankan tugas masing-masing atas perintah Suma-kongcu.
“Tok-tok-tok....!”
“Siapa....?”
Tanya Suma Boan, terkejut dan heran karena semua anak buahnya tidak akan berani mengetuk pintu depan seperti itu.
“Suma-kongcu, aku datang mau bicara penting!” terdengar suara halus seorang wanita.
Suma-kongcu adalah seorang pemuda mata keranjang dan dalam keadaan biasa suara panggilan seorang wanita yang demikian merdu dan halus tentu akan mendebarkan jantungnya serta menimbulkan gairahnya. Akan tetapi di samping kelemahannya ini, ia pun seorang yang amat cerdik. Ia maklum bahwa pada saat itu dan di tempat itu banyak terdapat musuh berkumpul di Nan-cao, maka ia selalu siap waspada dan curiga.
“Siapa di luar? Aku tidak bisa menemui orang yang tidak kukenal,”
Jawabnya dan diam-diam ia telah menyiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
“Suma-kongcu, aku.... Lin Lin, aku datang membawa pesan enciku Sian Eng!”
Dari encinya, Lin Lin mendengar bahwa Suma-kongcu dapat mencarikan kakaknya, Kam Bu Song, maka sengaja sekarang Lin Lin menggunakan nama encinya itu yang ia duga mempunyai hubungan yang lebih baik dengan kongcu ini daripada dia.
Benar saja dugaan Lin Lin, mendengar disebutnya nama Sian Eng, hilang keraguan Suma Boan, apalagi ia sekarang mengenal suara Lin Lin gadis galak itu. Biarpun yang sudah-sudah gadis ini memusuhinya, namun ia tidak takut kalau hanya menghadapi gadis cantik itu. Wah, mungkin nasib baik menghampiriku, ada nona manis yang hendak mengusir kesunyianku malam ini, pikirnya sambil tersenyunn, lalu membuka pintu.
Benar saja, gadis jelita itu berdiri di depan pondok, biarpun keadaan remang-remang Suma Boan masih dapat mengenal Lin Lin. Akan tetapi di belakang gadis itu tampak seorang kakek yang berdiri di atas sepasang tongkat, seorang kakek yang buntung kedua belah kakinya! Ia tidak mengenal kakek ini, akan tetapi kehadirannya mendatangkan rasa kecewa.
“Silakan masuk, Nona,” katanya, menahan rasa kecewanya.
Lin Lin tersenyum dan menoleh kepada Pak-sin-tung.
“Mari kita masuk, tuan rumah mengundang kita.”
“Maaf, Nona.” kata Suma Boan cepat. “Aku tidak mengenal kakek itu. Siapakah dia?”
“Dia? Dia pengawalku,” jawab Lin Lin bangga.
“Ah, aku hanya mengundang Nona, bukan dia. Eh, aku.... ngeri melihat kakinya. Silakan kau masuk, Nona.”
Lin Lin sudah timbul marahnya, akan tetapi ia menindas perasaannya dan melangkah masuk. Setelah duduk Lin Lin melihat betapa kongcu itu memandangnya dengan mata berminyak. Cepat-cepat ia berkata,
“Suma-kongcu, kedatanganku ini untuk bertanya kepadamu, dimana adanya Kakak Kam Bu Song seperti yang kau janjikan kepada Enci Sian Eng?”
Dengan pandang mata yang penuh gairah dan kagum kepada wajah jelita dan tubuh padat ramping itu, Suma Boan tersenyum-senyum lalu bertanya,
“Siapa yang mengutusmu kesini?”
“Enci Sian Eng.”
Suma Boan mempermainkan matanya, melirik ke kanan kiri dengan menjual mahal! Ia cukup maklum betapa Sian Eng jatuh hati kepadanya, biarpun gadis itu tetap mempertahankan diri dan tidak sudi melayani kehendaknya yang tidak patut.
“Kalau dia ingin bertanya, kenapa tidak datang sendiri? Suruh ia datahg sendiri kesini baru aku mau bicara.”
“Dia tidak mau datang, dia menyuruh aku mewakilinya.” kata Lin Lin, menahan hatinya yang makin marah.
Senyum Suma Boan melebar, matanya berkedip-kedip penuh arti.
“Betulkah begitu? Ahai, adik manis, kau betul-betul mau mewakilinya? Kalau dia datang, aku minta dia bermalam disini semalam baru besok kuberi tahu tentang Kam Bu Song, apakah kau mau mewakili encimu tidur disini semalam bersamaku....?”
Suma Boan cepat melompat ke belakang ketika meja yang berdiri di antara dia dan Lin Lin tiba-tiba melayang ke arahnya karena ditendang oleh Lin Lin. Gadis ini tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan pedangnya sudah berada di tangan, kedua pipinya merah, matanya bersinar-sinar.
“Wahai, jangan marah, Nona manis. Bukan aku yang menyuruh kau datang ke sini, melainkan atas kehendakmu sendiri, bukan?”
Akan tetapi kembali Suma Boan harus cepat mengelak karena kini sinar emas dari pedang di tangan Lin Lin sudah menerjangnya dengan hebat.
“Agaknya harus kurobek-robek kulit tubuhmu dengan pedang, baru kau mau bicara baik-baik!” bentak Lin Lin dan terus melanjutkan serangannya.
Namun biarpun Lin Lin berpedang mustika dan mainkan ilmu pedang yang didasari gerak dan tenaga sakti Khong-in-ban-kin, namun tingkat ilmu kepandaian Suma Boan masih lebih tinggi dari padanya, juga latihan pemuda bangsawan ini lebih masak. Biarpun ia bertangan kosong, namun pukulan-pukulan balasan Suma Boan mendatangkan angin pukulan yang kuat, membuat Lin Lin beberapa kali berputar-putar untuk menghindarinya.
Pada saat itu tampak sinar hitam yang panjang berkelebat menerjang ke arah leher Suma Boan, disusul sinar hitam mengurung pinggangnya. Pemuda ini kaget sekali, cepat ia menggunakan lengan baju menangkis.
“Plak-plak!”
Ia terhuyung dan ujung lengan bajunya pecah-pecah! Ketika ia melompat ke belakang sambil berjungkir balik, kiranya yang menerjangnya adalah kakek yang buntung kedua kakinya tadi. Gentarlah hati Suma Boan. Ia tidak mengenal kakek ini dan tadi ia memandang rendah mendengar kakek ini pengawal Lin Lin. Kiranya kakek buntung ini memiliki ilmu yang dahsyat!
Pedang di tangan Lin Lin tidak memberi ampun, mendesaknya hebat. Suma Boan mencari kesempatan untuk melompat keluar dari pondok dan memanggil teman-temannya, akan tetapi agaknya kakek buntung itu selain lihai ilmunya, juga amat cerdik. Sepasang tongkat pengganti kaki itu kiranya dimainkan seperti sepasang toya yang menghalangi jalan keluar.
Ketika pedang bersinar emas itu menusuk dadanya, Suma Boan cepat miringkan tubuh dan bermaksud merampas pedang, akan tetapi tiba-tiba pundaknya kena dihantam tongkat si buntung. Keras sekali pukulan ini sehingga kulit daging pundaknya pecah dan mengeluarkan darah. Suma Boan terhuyung-huyung, masih berhasil mengelak daripada sambaran pedang Lin Lin, akan tetapi totokan ujung tongkat membuatnya roboh, tak dapat menggerakkan kaki tangan lagi.
Lin Lin segera menodongkan pedangnya ke depan dada Suma Boan.
“Hayo lekas mengaku di mana adanya Kakak Bu Song, kalau kau mau hidup!”
Suma Boan tersenyum mengejek. Keringat membasahi dahinya, darah di pundaknya membasahi bajunya, akan tetapi ia tidak kelihatan gentar.
“Nona manis, mati di tanganmu amatlah menyenangkan. Biar kau membunuhku, aku Suma Boan bukanlah manusia yang tunduk akan ancaman maut. Aku hanya mau bicara dalam keadaan yang lebih baik dan manis, atau kalau encimu sendiri datang kesini.”
Bukan main gemasnya hati Lin Lin. Ia memang benci kepada laki-laki ini, apalagi bicaranya begitu kurang ajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar