FB

FB


Ads

Senin, 17 Juni 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 080

“Kalau begitu kau mampus saja....”

“Tok-tok-tok....!” Lin Lin kaget dan cepat melangkah mundur, memberi tanda supaya Pak-sin-tung siap.

Suma Boan tersenyum lebar. Lucu benar keadaannya, siapa pula tamu yang datang kali ini?

“Siapa di luar?”

Tanyanya tanpa niat minta tolong, karena maklum bahwa orang datang mengetuk pintu seperti itu pasti bukan teman atau anak buahnya.

“Aku....! Suma-kongcu, keluarlah aku mau bicara....!”

Berubah wajah Lin Lin. Itulah suara Sian Eng, encinya! Cepat ia memberi tanda kepada Pak-sin-tung dan kakek buntung ini segera mengikuti Lin Lin, menyelinap ke bagian belakang rumah, bersembunyi.

“Ha, kebetulan sekali, Eng-moi. Kau masuklah, aku.... aku tak dapat bergerak....”

Hening sejenak di luar. Kemudian terdengar daun pintu dibuka dari luar. Sian Eng muncul, kelihatan ragu-ragu, curiga, juga cemas. Ketika pandang matanya melayang ke arah Suma Boan yang menggeletak terlentang di atas lantai, bajunya mandi darah, ia berseru kaget. Sejenak ia ragu-ragu, kemudian ia lari dan berlutut dekat Suma Boan.

“Suma.... Koko! Kau kenapakah? Kau terluka.... parah....?”

Suma Boan tersenyum dan napasnya makin terengah-engah disengaja, mulutnya merintih-rintih menahan sakit.

“Aku diserang penjahat, Eng-moi, tolong kau bebaskan totokan pada jalan darah thian-hu-hiat....”

Sian Eng membungkuk, lalu membuka jalan darah itu dengan totokan dan tekanan. Akhirnya Suma Boan dapat bergerak, bangkit duduk dan mengeluh lagi, mengaduh-aduh sambil memegangi pundak kirinya yang terluka.

“Bagaimana? Sakit sekalikah? Biar kuperiksa, harus segera dibalut....”

Kata Sian Eng yang timbul kasih dan ibanya menyaksikan orang yang dikasihinya itu menderita luka.

Dengan bantuan Sian Eng, Suma Boan berdiri dan jalan terhuyung-huyung ke arah bangku. Matanya mencari-cari dan mulutnya tersenyum ketika mendapat kenyataan bahwa Lin Lin dan kakek buntung sudah tidak berada di situ lagi. Dengan sikap manja ia merintih-rintih, membuat hati Sian Eng makin tak tega. Gadis ini lalu mencuci luka dan membalutnya.

“Penjahat siapakah yang melukaimu, Koko? Dan kenapa?”

“Tidak tahu, aku tidak mengenalnya. Kebetulan kau datang, Eng-moi. Kau baik sekali, tapi.... tapi kenapa malam hari dahulu itu kau lari dariku? Kenapa, Eng-moi? Apakah kau tidak dapat memaafkan kesalahanku? Aku menyesal Eng-moi, dan aku siap mohon maaf kepadamu....”

Setelah berkata demikian, Suma Boan menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu! Sian Fng terisak menangis, mengangkat bangun Suma Boan.

“Sudahlah, aku datang ini sebetulnya hendak bertanya kepadamu di mana aku bisa bertemu dengan Kakak Kam Bu Song. Kau bilang dia pasti berada di sini. Ketika tadi aku melihatmu, aku menjadi bingung dan ingin sekali aku menemuimu untuk menanyakan hal ini....”






Suma Boan mengerutkan keningnya.
“Eng-moi, apakah kau pernah menyuruh adikmu Lin Lin menanyakan hal ini kepadaku?”

Sian Eng menggeleng kepala.
“Tidak pernah. Malah aku sendiri tidak tahu kemana perginya anak itu, sampai sekarang aku tidak melihat dia. Aku khawatir sekali, adikku itu biarpun anak perempuan akan tetapi suka berandalan dan terlalu berani!”

Suma Boan mengangguk-angguk.
“Aku percaya.... dia.... dia gadis yang aneh dan gagah. Eng-moi, terus terang saja, Kam Bu Song adalah bekas sahabatku, dan kekasih adik perempuanku seperti pernah kuceritakan kepadamu. Akan tetapi semenjak.... semenjak ia menghilang, aku tidak pernah bertemu dengan dia lagi. Aku hanya mempunyai dugaan keras bahwa dia tentu berada di Nan-cao, karena aku mendengar bahwa dia masih mempunyai hubungan dengan Beng-kauw. Kalau saja kau mau bertanya kepada orang Beng-kauw, kiraku akan dapat membuka rahasianya.”

Sian Eng mengangguk.
“Aku pun pikir begitu. Aku pun mengerti bahwa ibu tiriku, ibu kandung Kakak Bu Song adalah Tok-siauw-kwi Liu Sian, puteri mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan ketua Beng-kauw yang diperingati hari kematiannya sekarang....”

“Apa....?” Suma Boan melompat kaget dari tempat duduknya. “Kalau begitu.... dia.... dia.... Suling Emas! Sudah kuduga, ada persamaan.... tapi Suling Emas jarang memperlihatkan diri lama-lama dan.... dan Bu Song seorang lemah sebaliknya Suling Emas demikian sakti....!”

Sian Eng menjadi pucat mukanya. Ia pun berdiri dan melongo.
“Suling Emas....? Kakakku.... Kam Bu Song.... Suling Emas....?”

Bibirnya menyerukan kata-kata ini berkali-kali seakan-akan ia tidak mau percaya, akan tetapi sekarang terbayanglah semua peristiwa ketika Suling Emas menolongnya, terulang kembali gema kata-kata pendekar itu dan maklumlah bahwa dia adalah adik tirinya! Pantas saja Suling Emas selalu menolong adik-adiknya secara diam-diam. Namun ia masih belum percaya benar.

“Suma-koko, bagaimana kau menduga bahwa Kakak Bu Song adalah Suling Emas?”

Suma Boan dengan gerakan halus dan sopan memegang tangan Sian Eng, ditariknya ke dekat meja.

“Mari kita duduk, adikku dan kita bicara baik-baik. Aku tidak ragu-ragu lagi sekarang. Pasti Suling Emas itulah penjelmaan dari Bu Song. Hanya beberapa kali aku melihat Suling Emas, itu pun hanya sekelebatan saja, akan tetapi bentuk tubuhnya dan wajahnya, sudah kuduga. Akan tetapi mana aku bisa percaya? Bu Song seorang pelajar yang lemah, sama sekali tidak tahu ilmu silat, sedangkan Suling Emas....! Akan tetapi setelah mendengar darimu bahwa kakakmu Bu Song itu putera dari puteri mendiang Pat-jiu Sin-ong, keraguanku lenyap karena cucu tunggal dari mendiang Pat-jiu Sin-ong adalah.... Suling Emas! Kalau begitu, tidak bisa lain, Bu Song adalah Suling Emas sendiri!”

“Wah.... dan kami telah menyangka sebagai pembunuh ayah bundaku!”

“Memang dia orang aneh, bisa melakukan apa saja. Sudahlah, Eng-moi, mari kita bicara tentang diri kita....”

Sian Eng mengangkat muka, memandang tajam penuh selidik.
“Bicara tentang diri kita? Apa yang hendak kau bicarakan?” Kedua pipinya mendadak berubah merah.

Suma Boan memegang tangannya, karena caranya sopan dan halus, Sian Eng tidak menarik lepas, hanya menundukkan muka dengan jantung berdebar.

“Moi-moi, kita saling mencinta.... tapi aku.... aku yang canggung ini takut kalau-kalau kau marah lagi. Moi-moi, apakah yang harus kulakukan untuk menyatakan cinta kasihku, dan bagaimana kau dapat selalu berada di sampingku?”

Tubuh Sian Eng panas dingin, tangannya gemetar, lalu perlahan ia berkata,
“Aku adalah seorang gadis terhormat, tentu saja aku hanya menghendaki penghormatan selayaknya. Aku tidak mau dipermainkan, dan.... dan kalau memang kau suka kepadaku, Koko, kuharap kau suka dengan resmi meminangku. Karena ayah bundaku sudah meninggal, maka kau bisa utusan meminangku kepada bibi guruku Kui Lan Nikouw di Kwan-im-bio yang berada di lereng puncak Cin-ling-san.” Suara Sian Eng makin lirih, agaknya ia bicara dengan malu-malu.

Di luar pondok makin gelap, dan dari luar hanya bisik-bisik saja yang terdengar, bisik-bisik mesra sepasang orang muda yang sedang diayun gelombang asmara.

**** 080 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar